Banyak
sekali kaidah-kaidah fiqh yang berbicara tentang jinayah dan jarimah.
Diantaranya adalah : Kaidah tentang kesamaan qishash dengan hudud, disebutkan oleh Ibnu Nujaym dalam
kitabnya:
القصاص كالحدود
Jarimah qishash
sama dengan jarimah hudud.
Dijelaskan
bahwa kesamaannya terletak pada keharusan untuk berhati-hati dalam pemberian
sanksi. Pada jarimah qishash pun, hukuman gugur jika terdapat syubhat
(kesamaran). Oleh karena itu, keharusan untuk menghindari hukuman hudud,
berlaku juga pada jarimah qishash. Kemudian perbedaan jarimah hudud
dengan jarimah qishash terletak pada tujuh hal, yaitu:
a)
Pada
jarimah qishash, hakim boleh memutuskan hukuman berdasarkan pengetahuannya,
sedangkan pada jarimah hudud tidak boleh.
b)
Pada
jarimah qishash, hak menuntut qishash bisa diwariskan, sedangkan pada jarimah
hudud tidak.
c)
Pada
jarimah qishash, korban atau wali korban dapat memaafkan sehingga hukuman dapat
gugur secara mutlak atau berpindah kepada hukum penggantinya, sedangkan pada
jarimah hudud tidak ada pemaafan.
d)
Pada
jarimah qishash, tidak ada kadaluarsa dalam kesaksian, sedangkan pada jarimah
hudud ada kadaluarsa dalam kesaksian kecuali pada jarimah qadzaf.
e)
Pada
jarimah qishash, pembuktian dengan isyarat dan tulisan dapat diterima,
sedangkan pada jarimah hudud tidak.
f)
Pada
jarimah qishash, dibolehkan ada pembelaan (al syafa‟at), sedangkan pada jarimah
hudud tidak ada.
g)
Pada
jarimah qishash, harus ada tuntutan, sedangkan pada jarimah hudud tidak perlu
kecuali pada jarimah qadzaf.
Selanjutnya
Kaidah kedua tentang keharusan adanya kafaah:
Qishash gugur
karena ketiadaan kafaah (kesetaraan) dalam hal kemerdekaan dan agama.
Kaidah
ketiga tentang keharusan adanya kesamaan (al musawah) dan keserupaan (al
mumatsalah) dalam jinayah terhadap selain jiwa:
ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﻌﺪﻡ
ﺍﻟﻤﺴﺎﻭﺓ ﻭﺍﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ
Qishash gugur
karena ketiadaan kesamaan dan keserupaan.
Kaidah di atas
mengandung arti bahwa qishash tidak dapat dilaksanakan jika tidak ada
kesamaan dan keserupaan antara pelaku dengan korbannya. Kesamaan yang dimaksud
adalah kesamaan dalam kesehatan dan kesempurnaan (kemulusan). Misalnya, tangan
yang lumpuh tidak sama dengan tangan yang sehat; tangan yang berjari lengkap
tidak sama dengan tangan yang tidak berjari atau tidak lengkap; mata yang
melihat tidak sama dengan mata yang buta; dan seterusnya. Adapun keserupaan
yang dimaksud adalah tangan kanan dengan tangan kanan; kaki kiri dengan kaki
kiri; mata kanan dengan mata kanan; telinga kiri dengan telinga kiri; dan
seterusnya. Sebagai contoh kasus, jika ada kesamaan dan keserupaan: seseorang
yang tidak memiliki telinga kiri memotong telinga kiri orang lain, pada kasus
ini qishash tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada keserupaan, sehingga
sanksi ini berpindah kepada diyat.
Kaidah
keempat tentang gugurnya qishash karena ada kerelaan/izin korban: Pada dasarnya
para fuqaha sepakat bahwa adanya kerelaan korban untuk dibunuh tidak
membolehkan seseorang melakukan pembunuhan, seperti kasus euthanasia. Tetapi
mereka berbeda dalam posisi kerelaan tersebut. Menurut Hanafiyah:
ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﺮﺿﺎ
ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ
Qishash (hukum
asal) gugur karena ada kerelaan korban.
Gugurnya
qishash disebabkan oleh adanya kerelaan atau izin korban yang dapat
dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman berpindah kepada diyat.
Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hudud. Menurut
pendapat Malikiyah yang rajih dan sebagian Syafi‟iyah:
ﻻ ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﺮﺿﺎ
ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ
Qishash tidak gugur
karena ada kerelaan korban.
Kerelaan korban
tidak dapat dipersamakan dengan pemaafan karena kerelaan itu ada sebelum
terjadi jarimah pembunuhan, sedangkan pemaafan ada setelah terjadi jarimah.
Oleh karena itu, pembunuhan tersebut tetap merupakan pembunuhan sengaja yang
harus dihukum dengan qishash. Pendapat Malikiyah yang marjuh (sahnun) dan
sebagian Syafi‟iyah: Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik
dari hukuman asli (qishash) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban
itu lebih utama dari pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.
Kaidah
kelima tentang kaifiyah eksekusi qishash: Pendapat Hanafiyah:
لا قصاص إلا بالسيف
Tidak ada
qishash kecuali dengan pedang.
Kaidah
ini mengandung arti bahwa dengan cara apapun suatu pembunuhan dilakukan,
pelaksanaan qishashnya harus dengan menggunakan pedang. Pendapat Malikiyah,
Syafi‟iyah, dan Hanabilah:
ﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﺑﺸﻲﺀ ﻗﺘﻞ
ﺑﻤﺜﻠﻪ
Barang siapa
yang membunuh dengan sesuatu (cara/alat), maka ia diqishash dengan cara yang
serupa.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa eksekusi qishash dilaksanakan sesuai dengan cara pelaku
melakukan pembunuhan. Misalnya, seseorang melakukan pembunuhan dengan cara
mencekik, maka iapun diqishash dengan cara dicekik pula. Atau seseorang
melakukan pembunuhan dengan cara membakar, maka ia pun diqishash dengan cara
dibakar pula. Selain itu, Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepada para
sahabatnya untuk mengqishash seorang Yahudi dengan cara yang sama (Yahudi itu
telah membunuh jariyahnya dengan cara meremukan kepalanya diantara dua batu). Namun
demikian, keharusan dengan cara yang sama ini dikecualikan, jika pembunuhan
yang dilakukan menggunakan cara yang haram. Misalnya, seseorang melakukan
sodomi terhadap seorang anak yang menyebabkan kematian, atau seseorang
melakukan pembunuhan dengan menggunakan khamr.
Kaidah
keenam tentang gugurnya qishash karena korban hilang jaminan perlindungan:
ﺍﻹﻫﺪﺍﺭ ﻫﻮ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ
Ada kebolehan
(melakukan sesuatu) terhadap orang yang telah hilang jaminan perlindungan.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa seseorang boleh melakukan sesuatu terhadap seseorang yang
telah hilang hak-hak perlindungannya, baik tubuhnya, jiwanya, maupun hartanya.
Adapun yang dimaksud dengan hilangnya jaminan perlindungan adalah orang-orang
yang telah melakukan perbuatan jarimah yang harus dikenai sanksi hudud atau
qishash. Misalnya, orang yang telah melakukan jarimah zina, pencurian,
perampokan, pemberontakan, riddah, penganiayaan, dan pembunuhan. Perlakuan
sesuatu yang boleh dilakukan bergantung kepada jenis hukuman yang harus
diterima oleh korban. Misalnya, seseorang boleh membunuh korban yang telah
melakukan zina (zina muhshan), melakukan pembunuhan, dan jarimah
lainnya, yang sanksinya dibunuh. Ada perbedaan sifat hilangnya jaminan
perlindungan diantara orang yang telah melakukan jarimah hudud dengan jarimah
qishash. Pada jarimah hudud bersifat mutlak sedangkan pada jarimah qishash
bersifat relatif. Pada jarimah qishash, hilangnya jaminan perlindungan
bergantung kepada pemaafan wali korban. Oleh karena itu, kepada selain wali
korban, orang yang telah membunuh tidak hilang jaminan perlindungannya.
Selanjutnya
adalah Kaidah Fiqhiyyah yang berkenaan dengan hudud, berikut adalah
penjelasannya : Kaidah pertama tentang homoseks (al-liwath):
ﺍﻟﻠﻮﺍﻃ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Homoseks itu
seperti zina.
Kaidah ini
dipegang oleh Malikiyah, Syafi‟iyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah. Akan tetapi
mereka berbeda pendapat dalam memberikan hukuman terhadap pelaku homoseks.
Syafi‟iyah berpendapat bahwa hukumannya sama persis dengan had zina, yaitu
didera bagi yang ghair muhshan dan rajam bagi yang muhshan. Sementara
Malikiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah berpendapat bahwa hukuman bagi homoseks
itu adalah rajam baik pelakunya muhshan maupun ghair muhshan. Berbeda
dengan pendapat Jumhur Fuqaha di atas, Hanafiyah berpendapat bahwa:
ﺍﻟﻠﻮﺍﻃ ﻟﻴﺲ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Homoseks tidak
sama dengan zina.
Mereka
beralasan bahwa: 1) Perbedaan nama mengakibatkan perbedaan hukum. 2) Para
sahabat berbeda pendapat dalam memberikan hukuman terhadap pelaku homoseks. Ini
menunjukkan homoseks ini termasuk wilayah ijtihadi. 3) Zina dapat merusak nasab
sedangkan homoseks tidak. 4) Wath‟i melalui qubul merupakan sesuatu yang secara
naluriah menjadi kecenderungan semua orang terutama bagi yang diwath‟i nya
sedangkan melalui dubur tidak. 5) Sebutan al fahisyat terhadap jarimah homoseks
tidak menunjukkan kesamaan hukum dengan zina, karena selain homoseks, banyak
perbuatan dosa besar yang termasuk al fahisyat.
Kaidah kedua yaitu tentang lesbian (al-musahaqah), Para
fuqaha sepakat bahwa lesbian tidak sama dengan zina. Mereka menyatakan:
ﺍﻟﻤﺴﺎﺣﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Jarimah lesbian
tidak sama dengan jarimah zina.
Selanjutnya
yaitu kaidah ketiga tentang menyetubuhi binatang:
ﻻﺣﺪ ﻋﻟﻰ ﻣﻦ ﻭﻃﺀ
ﺍﻟﺒﻬﻴﻤﺔ
Tidak ada had
tentang orang yang menyetubuhi binatang.
Kaidah
keempat tentang laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan: Pendapat jumhur:
ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻟﺤﺪ ﻋﻟﻰ ﻣﻦ
ﻭﻃﺀ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻤﻴﺘﺔ
Tidak ada had
terhadap laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan.
Dengan alasan
karena persetubuhan itu bukan merupakan kecenderungan (keinginan) dari keumuman
manusia. Orang yang melakukan persetubuhan dengan mayat cukup dikenai sanksi ta‟zir.
Berbeda dengan jumhur, Malikiyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa: “Had
wajib ditegakkan terhadap laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan”. Mereka
beralasan bahwa persetubuhan tersebut kedudukannya sama dengan persetubuhan
terhadap wanita yang hidup. Hal ini dikarenakan kebutuhan syahwat dapat
terpenuhi dengan menyetubuhi mayat perempuan sebagaimana menyetubuhi perempuan
yang hidup.
Kaidah
kelima tentang perempuan yang menyetubuhi mayat laki-laki:
ﻻﻳﺤﺪ ﻣﻦ ﺍﺩﺧﻠﺖ ﺫﻛﺮ
ﻣﻴﺖ ﻓﻲ ﻓﺮﺟﻬﺎ
Tidak ada had
bagi perempuan yang memasukkan kelamin laki-laki yang sudah meninggal ke dalam
farjinya.
Menurut
Malikiyah, hal ini didasarkan bahwa persetubuhan itu tidak mendatangkan
kenikmatan.
Kaidah
keenam tentang perempuan dewasa yang bersetubuh dengan anak laki-laki (yang
belum dewasa):
ﻻﺣﺪ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ
ﺍﻟﺘﻲ ﻁﺎﻭﻋﺖ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺠﻨﻮﻥ
Tidak ada had
bagi perempuan yang bersetubuh dengan anak laki-laki atau orang gila.
Kaidah ketujuh
tentang laki-laki dewasa yang bersetubuh dengan anak perempuan yang masih kecil
(belum dewasa): Dikenakan had bagi laki-laki yang menyetubuhi perempuan yang
belum dewasa yang memungkinkan untuk disetubuhi”. Kaidah kedelapan tentang
suami yang menyetubuhi istri melalui duburnya:
ﻻﻳﺤﺪ ﻣﻦ ﻭﻁﺀ ﺯﻭﺟﺘﻪ
ﻓﻲ ﺩﺑﺮﻫﺎ ﻭﻟﻜﻦ ﻳﺆﺩﺏ
“Tidak ada
had bagi suami yang menyetubuhi istrinya melalui duburnya, melainkan ta‟zir”.
Selanjutnya
adalah kaidah-kaidah fiqh yang berkenaan dengan Jarimah Qadzaf, diantaranya
adalah : Kaidah pertama tentang menuduh seseorang telah melakukan kejahatan:
ﻣﻦ ﺭﻣﻰ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ﺑﻮﺍﻗﻌﺔ
ﺃﻭ ﺻﻔﺔ ﻣﺤﺮﻣﺔ ﻣﺎ, ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺜﺒﺖ ﺻﺤﺘﻪ ﻣﺎ ﺭﻣﺎﻩ ﺑﻪ ﻓﺈﻥ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ ﺇﺛﺒﺎﺗﻪ ﺃﻭ ﺇﻣﺘﻨﻊ ﻭﺟﺒﺖ
ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ
Barang siapa
menuduh seseorang dengan suatu kejadian atau keadaan yang diharamkan, maka
wajib baginya untuk membuktikan kebenaran tuduhannya. Apabila ia tidak dapat
membuktikannya maka ia wajib dihukum.
Kaidah di atas
menjelaskan bahwa orang yang menuduh seseorang dengan tuduhan telah melakukan
suatu tindakan kejahatan atau sesuatu yang diharamkan maka ia wajib membuktikan
kebenaran tuduhan tersebut. Misalnya, seseorang menuduh orang lain telah
berbuat zina atau telah mencuri, maka orang tersebut (penuduh) wajib
membuktikan kebenaran ucapannya. Penuduh harus dikenai hukuman jika ia tidak
dapat membuktikan kebenaran ucapannya. Sebaliknya, orang yang dituduh harus
dikenai hukuman jika penuduh dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Selain
itu, ada kaidah pokok yang menyatakan bahwa:
ﺍﻷﺻﻞ ﺑﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬﻣﺔ
Pada asalnya
seseorang itu terbebas dari sesuatu beban.
Kaidah di atas
menunjukkan bahwa seseorang itu pada asalnya tidak bersalah sehingga ketika ada
tuduhan seseorang yang menyatakan bahwa ia telah bersalah maka penuduh harus
membuktikan kebenaran tuduhannya. Si tertuduh memiliki hak untuk membela diri
dengan menyatakan bahwa ia tidak bersalah atau melakukan kejahatan yang
dituduhkan kepadanya.
Kaidah
kedua tentang mencaci:
ﻣﻦ ﺳﺒﺐ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ﺃﻭ
ﺷﺘﻤﻪ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺍﻟﺤﻖ ﻓﻲ ﺇﺛﺒﺎﺕ ﺻﺤﺔ ﻣﺎ ﻗﺎﻝ
Barang siapa
mengejek atau mencaci seseorang, maka wajib baginya hukuman tanpa harus
membuktikan kebenaran ucapannya.
Kaidah di atas
mengandung arti bahwa mengejek atau mencaci maki seseorang, sejak awal, sudah
termasuk perbuatan jarimah. Ia tidak perlu membuktikan kebenaran ucapannya
tetapi harus diberikan sanksi agar terpelihara kehormatan diri seseorang.
Misalnya, seseorang menghina keadaan fisik atau sifat orang lain dengan hinaan
seperti: “Hai hitam!”, “Hai hidung pesek!”, “Hai orang bodoh!”, dan sebagainya.
Kata-kata tersebut tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Sebab, perbuatan
tersebut sudah termasuk perbuatan maksiat, meskipun apa yang dikatakan itu
benar keadaannya. Berbeda dengan menuduh seseorang dengan tuduhan telah berbuat
jarimah. Pada awalnya, perbuatan tersebut (menuduh) bukan merupakan perbuatan
jarimah. Sebab, bisa jadi ia sebagai saksi untuk mengungkapkan suatu peristiwa
yang telah terjadi.
Kaidah
ketiga tentang menuduh perbuatan yang wajib dikenai had zina:
ﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ ﺣﺪ ﺍﻟﺯﻧﺎ
ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻓﺎﻋﻠﻪ ﻳﻮﺟﺐ ﺣﺪ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺎﺫﻑ ﺑﻪ
Setiap yang
dihukum dengan had zina bagi pelakunya, maka wajib juga dihukum dengan had
qadzaf bagi penuduhnya.
Demikian juga
dalam hal qadzaf, kualifikasi jarimah qadzaf pun bergantung pada kualifikasi
jarimah zina, sebab jarimah qadzaf ini berkenaan dengan tuduhan zina. Seseorang
telah dapat dikualifikasikan sebagai penuduh zina jika ia menuduh seseorang
telah melakukan perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan zina
dan ia tidak dapat membuktikan tuduhannya. Misalnya, sebagian Hanabilah
menganggap bahwa menyetubuhi binatang itu termasuk perbuatan zina, maka orang
yang menuduh seseorang dengan tuduhan telah bersetubuh dengan hewan harus
dikenai sanksi qadzaf jika ia tidak dapat membuktikan tuduhannya. Sementara
Malikiyah, Hanafiyah, sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah menganggap bahwa
menyetubuhi hewan itu bukan perbuatan zina, tetapi tetap harus dikenai sanksi
ta‟zir karena merupakan perbuatan maksiat. Orang yang menuduh perbuatan tersebut
pun tidak bisa dikenai had qadzaf, melainkan ta‟zir, jika ia tidak dapat
membuktikan kebenaran tuduhannya.
Demikian
juga dalam hal menuduh seseorang telah melakukan jarimah homoseks. Jumhur
berpendapat bahwa menuduh seseorang telah melakukan jarimah homoseks harus
dikenai had qadzaf karena homoseks termasuk zina. Sedangkan Hanafiyah
menganggap bahwa homoseks itu bukan zina, maka orang yang menuduh perbuatan
tersebut pun tidak dapat dikenai had qadzaf , melainkan ta‟zir. Hukuman itu
diberikan jika penuduh tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Kaidah
keempat tentang syarat tuduhan zina:
ﻳﺸﺘﺮﻃ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺬﻑ
ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ ﻣﻌﻠﻮﻣﺎ ﻭﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﻣﻂﻠﻘﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮﻃ ﻭﺍﻹﺿﺎﻓﺔ ﺇﻟﻰ ﻭﻗﺖ ﻣﻌﻴﻦ
Disyaratkan
dalam tuduhan zina (yang dikenai had) adalah orang yang dituduh itu diketahui
dan tuduhan terbebas dari syarat dan kaitan dengan waktu yang ditentukan.
Kaidah ini
menunjukkan bahwa seseorang dianggap telah melakukan jarimah qadzaf, jika
tuduhannya itu dituduhkan kepada seseorang tertentu (diketahui). Misalnya,
kamu, dia (dengan menyebutkan namanya), ayahmu, ibumu, anakmu (dengan
menyebutkan nama jika anaknya lebih dari seorang) dan sebagainya. Adapun
kata-kata yang tidak jelas dituduhkan kepada siapa, misalnya: “Diantaramu, ada
salah seorang yang telah berzina” atau “Salah satu yang berada di kelas itu
telah melakukan zina”. Kata-kata tersebut belum dianggap sebagai tuduhan zina.
Selain itu, tuduhan itu tidak boleh digantungkan dengan waktu atau keadaan
tertentu. Misalnya, “Kamu telah berzina jika saya lulus ujian” atau “Kamu telah
berzina jika saya telah sampai ke rumah”. Perkataan seperti itu belum dianggap
sebagai tuduhan zina.
Kaidah
kelima tentang syarat orang yang dituduh:
ﻳﺸﺘﺮﻃ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ
ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺤﺼﻨﺎ ﺭﺟﻼ ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﺍﻣﺮﺃﺓ
Disyaratkan
orang yang dituduh itu harus muhshan (orang yang memelihara diri dari perbuatan
zina) baik laki-laki atau perempuan.
Kaidah ini
menjelaskan bahwa seseorang dianggap telah melakukan jarimah qadzaf jika
tuduhan itu dituduhkan kepada muhshan atau muhshanat. Adapun arti muhshan dalam
jarimah qadzaf adalah laki-laki atau perempuan yang biasa menjaga diri (iffah)
dari perzinhaan, baligh, berakal, merdeka, dan muslim. Dengan demikian, menuduh
zina terhadap orang yang jelas-jelas pelacur, tidak termasuk jarimah qadzaf.
Selanjutnya
kaidah-kadiah fiqh yang berkenaan dengan Jarimah Minum Khamr diantaranya
adalah : Kaidah pertama tentang minuman yang memabukkan:
ﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺧﻤﺮ ﻭﻛﻞ
ﺧﻤﺮ ﺣﺮﺍﻡ
Setiap yang
memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa setiap minuman yang memabukkan kedudukannya sama seperti
khamr yang dikemukakan dalam al Quran. Barang siapa yang meminumnya, sedikit
atau banyak, akan dikenai sanksi dera sebagaimana yang pernah dilakukan
Rasulullah SAW. Berbeda dengan pendapat jumhur, Abu Hanifah mengatakan bahwa:
ﺣﺮﻣﺔ ﺍﻟﺨﻤﺮﺓ ﻟﻌﻴﻨﻬﺎ
ﻭﺍﻟﻤﺴﻜﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﺮﺍﺏ
Khamr haram
karena dzatnya, sedangkan minuman (selain khamr) karena mabuknya.
Kaidah tersebut
dipegang oleh Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, khamr
adalah perasan anggur yang difermentasikan sehingga menimbulkan
gelembung-gelembung (berbuih) sampai berbusa. Adapun dari bahan-bahan lainnya
tidak dinamakan khamr. Menurutnya, berbeda nama berarti berbeda hukumnya.
Keharaman khamr karena dzatnya. Oleh karena itu, minum sedikit atau banyak
sudah termasuk perbuatan haram (jarimah). Sedangkan minuman lain yang dibuat
dari selain anggur, keharamannya karena mabuknya. Misalnya, seseorang minum
minuman “keras” yang bukan berasal dari perasan anggur, selama belum mabuk,
halal hukumnya. Tetapi, jika ia mabuk, maka pada tegukan yang terakhir itulah
ia telah melakukan perbuatan yang haram atau jarimah minum minuman “keras”.
Kaidah
kedua tentang kadar minuman yang memabukkan:
ﻻﻋﺒﺮﺓ ﺑﻘﻮﺓ ﺍﻹﺴﻜﺎﺭ
ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﺏ ﻓﻤﺎ ﺃﺳﻜﺮ ﻛﺜﻴﺮﻩ ﻓﻘﻠﻴﻠﻪ ﺣﺮﺍﻡ
Daya mabuk
suatu minuman (kadar alkohol) bukanlah ukuran (keharaman), minuman yang dalam
keadaan banyak dapat memabukkan maka dalam keadaan sedikitpun telah haram.
Maksudnya,
keharaman minuman keras itu tidak diukur oleh banyaknya (kadar) minuman yang
dapat memabukkan peminumnya. Misalnya, seseorang baru mabuk jika telah minum
tiga gelas. Menurut jumhur, pada tegukan pertama pun sudah haram apabila
minuman itu memabukkan, walaupun ia belum mabuk.
Jarimah
berikutnya adalah Jarimah Pencurian, kaidah fiqhiyyah yang berkenaan
dengan hal ini adalah : Kaidah pertama tentang kualifikasi jarimah pencurian:
ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ
ﻋﺸﺮﺓ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﻭ ﻣﻘﺪﺍﺭﻫﺎ ﺧﻔﻴﺔ ﻋﻤﻦ ﻫﻮ ﻣﺘﺼﺪ ﻟﻠﺤﻔﻈ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﺘﺴﺎﺭﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺘﻤﻮﻝ
ﻟﻠﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﺣﺮﺯ ﺑﻼ ﺷﺒﻬﺔ
Pencurian
adalah mengambil harta yang dilakukan oleh orang yang berakal (tidak gila) dan
telah dewasa; sekurang-kurangnya sepuluh dirham; yang dilakukan dengan cara
diam-diam; harta tersebut tersimpan di tempat yang terjaga (layak), tidak cepat
rusak dan milik orang lain dengan tidak ada syubhat.
Kaidah
kedua tentang harta yang dirusak:
ﻛﻞ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﻬﻠﻚ ﻓﻲ
ﻣﺤﻞ ﺍﻟﺤﺎﺩﺙ ﻓﻬﻮ ﻣﺘﻠﻒ ﻻ ﻣﺴﺮﻭﻕ
Setiap (harta)
yang habis (lenyap) pada waktu pencurian maka termasuk perusakan bukan
pencurian.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa suatu perbuatan dianggap pencurian apabila harta yang
dicuri itu tidak dirusak di tempat penyimpanannya, baik dengan cara dimakan,
diminum, atau disobek. Pengambilan harta dengan cara dirusak seperti ditelan,
disobek, atau dipecahkan merupakan perbuatan perusakan. Misalnya, seorang
pencuri memakan hidangan yang tersedia di meja makan, perbuatan itu merupakan
perusakan bukan pencurian. Akan tetapi, perbuatan itu sudah merupakan pencurian
jika pencuri itu membawa keluar makanan tersebut dari hiriznya dan telah
mencapai nishab kemudian memakannya. Para Fuqaha sepakat bahwa perusakan itu
terhadap harta yang menjadi rusak karena ditelan. Sedangkan harta yang tidak
rusak, maka mereka berbeda pendapat. Pendapat tersebut adalah:
1) Perbuatan tersebut merupakan
perusakan bukan pencurian.
2) Perbuatan tersebut merupakan
pencurian.
3) Perbuatan tersebut merupakan
perusakan jika harta yang ditelan itu dapat dikeluarkan. Sebaliknya perbuatan
tersebut merupakan pencurian jika harta yang ditelan itu tidak dapat
dikeluarkan.
Kaidah
ketiga tentang gugurnya hiriz:
ﻳﺒﻂﻞ ﺍﻟﺤﺮﺯ ﺑﻔﺘﺢ
ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﻘﺐ
Hiriz gugur
(hilang) karena pintu telah terbuka atau adanya lubang.
Kaidah ini
dipegang oleh al Syafi‟i, Ahmad, dan Syi‟ah Zaydiyah. Kaidah ini mengandung
arti bahwa seseorang yang mengambil harta di suatu tempat dalam keadaan terbuka
pintunya atau melalui suatu lubang, tidak termasuk pencurian yang harus dikenai
had melainkan ta‟zir. Mereka beranggapan bahwa pengambilan harta tersebut bukan
pada tempat penyimpanan yang layak. Sedangkan Malik dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa: “Hiriz gugur (hilang) karena pintu telah terbuka atau adanya lubang”.
Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa, meskipun pintu atau jendela suatu
tempat itu terbuka atau dindingnya berlubang, pengambilan harta di dalamnya
merupakan pencurian yang harus dikenai had.
Kaidah
keempat tentang harta yang tidak berharga:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻲﺀ
ﺍﻟﺘﺎﻓﻪ
Tidak ada
potong tangan pada (pencurian) sesuatu yang remeh.
Kaidah ini menjelaskan
bahwa pencurian yang dapat dikenai had adalah pencurian terhadap harta yang
berharga, paling tidak bagi pemiliknya. Menurut Mustafa Ahmad Al Zarqa, harta
(yang berharga) adalah sesuatu yang disenangi oleh tabi‟at manusia dan mungkin
disimpan sampai waktu yang diperlukan.
Kaidah
kelima tentang harta yang diharamkan dan alat-alat maksiat:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻓﻲ ﺳﺮﻗﺔ ﻣﺤﺮﻡ
ﻭﺁﻵﺕ ﺍﻟﻠﻬﻮﻱ
Tidak ada
potong tangan terhadap pencurian barang-barang yang diharamkan dan alat-alat
maksiat.
Kaidah ini
didasarkan atas adanya syubhat bahwa di satu sisi pengambilan barang orang lain
itu diharamkan, tetapi di sisi lain ada perintah untuk memberantas kemaksiatan,
yaitu al amr bil ma‟ruf al nahyi ‘an al munkar. Selain itu, barang-barang
tersebut termasuk harta yang tidak berharga karena harus dimusnahkan.
Barang-barang yang diharamkan tersebut diantaranya adalah babi, khamr, patung,
dan bangkai. Sedangkan alat-alat maksiat diantaranya adalah al thanbur (semacam
mandolin atau kecapi) dan al mizmar (semacam terompet atau seruling). Pengambilan
benda-benda tersebut tidak akan dikenai had meskipun telah mencapai nishab
pencurian.
Kaidah
keenam tentang nishab pencurian:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻨﺼﺎﺏ
Tidak ada
potong tangan sebelum nishab.
Jumhur berbeda
pendapat tentang batasan nishab dalam pencurian. Abu Hanifah berpendapat bahwa
batasan nishabnya adalah 1 dinar atau 10 dirham. Menurutnya, harga perisai
(pada masa Abu Hanifah) adalah 10 dirham. Sedangkan Malik dan Syafi‟i
berpendapat bahwa batasan nishabnya adalah seperempat dinar atau tiga dirham.
Dan mereka berbeda pendapat tentang standar pokok yang dijadikan batasan
nishab. Menurut Malik, standar pokok nishab adalah seperempat dinar untuk emas
dan tiga dirham untuk perak. Sedangkan menurut Syafi‟i standarnya adalah
seperempat dinar emas, sehingga harga dirham harus disesuaikan dengan harga
dinar, apabila harga dirham fluktuatif.
Kaidah
ketujuh tentang ayah yang mencuri harta anak:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺻﻮﻝ
ﺇﺫﺍ ﺳﺮﻗﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ
Tidak ada
potong tangan terhadap ayah (dan terus ke atas) yang mencuri harta anaknya (dan
seterusnya ke bawah).
Kaidah ini
didasarkan atas kesamaran dalam pemilikan harta. Jumhur berpendapat bahwa pada
harta anak itu terdapat harta ayah, sehingga pengambilan harta anak itu bukan
merupakan pencurian yang dikenai had.
Jarimah
Perampokan, beberapa kaidah
yang membahas tentang hal ini diantaranya adalah : Kaidah pertama tentang cara
pengambilan harta:
ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ ﻫﻮ ﺃﺧﺬ
ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﻐﺎﻟﺒﺔ
Perampokan
adalah pengambilan harta yang dilakukan secara terang-terangan.
Kaidah ini
membedakan antara perampokan dengan pencurian. Abdul Qadir Awdah mengistilahkan
hirabah dengan sariqah kubra (pencurian besar), sedangkan
pengambilan harta yang dilakukan dengan cara diam-diam disebut dengan sariqah
sughra (perampokan kecil). Besar dan kecil di sini tidak dimaksudkan untuk
membedakan besar kecilnya harta yang diambil, tetapi membedakan cara
pengambilannya bahwa pengambilan harta ini harus menjadi niat para pelaku
sehingga dapat dikualifikasikan sebagai jarimah hirabah.
Kaidah
kedua tentang tempat perampokan:
ﺃﻥ ﺗﻘﻊ ﺟﻨﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﺔ
ﻓﻲ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺮ
Perampokan
dilakukan di luar kota.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa pengambilan harta secara terang-terangan tersebut harus
dilakukan di luar kota, seperti di jalanan padang pasir. Sementara jalanan di
dalam kota ramai dilalui orang sehingga mudah meminta pertolongan. Selain itu,
ada pihak berwenang yang menjaga keamanan. Oleh karena itu, perampokan di dalam
kota tidak murni memerangi Allah sehingga tidak dapat dikenai had hirabah.
Pendapat Jumhur (Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Zhahiriyah): “Perampokan bisa
dilakukan di luar kota atau di dalam”. Adapun penjelasan dari Satria Effendi,
bahwa yang menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan kualifikasi jarimah
hirabah adalah adanya tindakan kekerasan di suatu tempat yang jauh dari tempat
meminta pertolongan. Tindakan ini melahirkan ketakutan yang bisa terjadi di
mana saja, termasuk di rumah. Oleh karena itu, tempat perampokan tidak dibatasi
di jalan tetapi dapat terjadi di mana saja. Bahkan akhir-akhir ini, perampokan
bersenjata di rumah-rumah lebih menakutkan dibanding dengan di jalan-jalan.
Kaidah
ketiga tentang keharusan menggunakan senjata:
ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﻴﻦ
ﺳﻼﺡ
Orang-orang
yang merampok itu harus menggunakan senjata.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa suatu tindakan pengambilan harta secara paksa
dikualifikasikan sebagai jarimah hirabah jika para pelakunya menggunakan
senjata.
Jarimah
Pemberontakan : kaidah-kadiah
fiqh yang membahas hal ini adalah : Kaidah pertama tentang menolak imam berbuat
maksiat:
ﺍﻹﻣﺘﻨﺎﻉ ﻋﻦ ﺍﻟﻂﺎﻋﺔ
ﻓﻲ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻟﻴﺲ ﺑﻐﻴﺎ
Menolak taat
(perintah imam) berbuat maksiat bukan merupakan jarimah bughat.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa orang yang tidak mematuhi perintah Imam berbuat maksiat
tidak dapat dikategorikan sebagai pemberontak. Sebab ketundukan atau ketaatan
rakyat kepada pemimpinnya tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas pada hal-hal
yang bukan maksiat.
Kaidah
kedua tentang keharusan adanya pengerahan kekuatan:
ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺎﻡ
ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻘﻮﺓ ﻟﻴﺲ ﺑﻐﻴﺎ
Menentang imam
tanpa disertai pengerahan kekuatan bukan merupakan jarimah bughat.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa sikap menentang Imam atau tidak tunduk terhadap
perintahnya tanpa disertai dengan tindakan perlawanan atau pengerahan kekuatan
belum dapat dikategorikan sebagai jarimah pemberontakan. Misalnya, seperti
sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak memba’at Abu Bakar selama beberapa bulan;
Sa’d bin Ubadah yang tidak pernah memba’at Abu Bakar sampai mati; Abdullah bin
Umar dan Zubair yang tidak memba’at Yazid bin Mu‟awiyah.
Terkahir
yaitu kaidah-kaidah fiqhiyyah tentang Jarimah Riddah, diantaranya adalah
: Kaidah pertama tentang meninggalkan kewajiban:
ﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﻣﺘﻨﻊ ﻋﻦ
ﺇﺗﻴﺎﻥ ﻓﻌﻞ ﻳﻮﺟﺒﻪ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﺤﻼﻝ ﻋﺪﻡ ﺇﺗﻴﺎﻧﻪ ﻓﻬﻮ ﺭﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
Setiap orang
yang menolak melakukan perbuatan yang diwajibkan Islam kepadanya disertai
dengan keyakinan halal meninggalkannya maka dia telah keluar dari Islam.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya oleh syariat Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu bukan wajib,
maka ia dapat dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar dari Islam atau
telah berbuat jarimah riddah. Misalnya, seseorang tidak mau melaksanakan shalat
wajib dengan alasan bahwa shalat tersebut tidak wajib. Tetapi orang yang tidak
melaksanakan shalat wajib karena malas dikualifikasikan telah fasiq atau ’ashy
(pelaku maksiat) dan termasuk jarimah ta’zir.
Kaidah
kedua tentang melakukan perbuatan yang diharamkan:
ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺗﻰ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ
ﻣﻊ ﺍﺳﺘﺤﻼﻝ ﺇﺗﻴﺎﻧﻬﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
Setiap keyakinan
yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukkan telah keluar dari Islam.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-larangan syariat Islam
disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, maka ia telah
keluar dari Islam. Misalnya, seorang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu
tidak haram, maka ia telah keluar dari Islam. Apabila ia melakukannya karena
melanggar keharaman disertai keyakinan bahwa perbuatan tersebut dilarang, ia tidak
keluar dari Islam melainkan telah berbuat maksiat atau melakukan jarimah zina.
Kaidah
ketiga tentang keyakinan yang keluar dari Islam:
ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺧﺮﻭﺟﺎ ﻋﻦ
ﺍﻹﺴﻼﻡ ﻛﻞ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﻣﻨﺎﻑ ﻟﻺﺳﻼﻡ
Setiap
keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukkan telah keluar dari
Islam.
Di antara contoh-contoh
keyakinan yang bertentangan dengan Islam adalah keyakinan bahwa al Quran itu
bukan dari Allah melainkan kata-kata Muhammad; Muhammad adalah pendusta; ada
lagi nabi terakhir setelah kenabian Muhammad; dan Ali bin Abi Thalib adalah
Tuhan. Akan tetapi keyakinan-keyakinan tersebut belum dapat dikualifikasikan
jarimah riddah yang dikenai had jika belum dinyatakan dengan ucapan atau
perbuatan. Sebab Allah memaafkan ummat-Nya dari apa yang dibisikkan hatinya
selama belum diungkapkan atau dikerjakan.
Dalam
studi fiqh jinayah, selain adanya hudud maka dikenal pula istilah Ta’zir, yaitu
hukuman yang diputuskan oleh hakim terhadap satu kejahatan yang tidak
disebutkan hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Beberapa
kaidah fiqh tentang hal ini adalah :
Kaidah
pertama tentang kualifikasi jarimah ta‟zir:
كل معصية لا حد
فيها ولا كفارة فهو التعزير
Setiap
perbuatan maksiat yang tidak dikenai sanksi had atau kaffarat adalah jarimah
ta’zir. Kaidah ini mengandung arti bahwa
setiap perbuatan maksiat yang tidak dapat dikenai sanksi hudud atau kaffarah
dikualifikasikan sebagai jarimah ta’zir. Para fuqaha sepakat bahwa yang
dimaksud dengan perbuatan maksiat adalah meninggalkan kewajiban dan melakukan
hal-hal yang dilarang. Tidak melaksanakan sholat wajib; tidak menunaikan zakat;
atau mengkhianati adalah perbuatan maksiat dengan cara meninggalkan kewajiban.
Sedangkan mengurangi timbangan; berdusta; atau berkhulwat adalah perbuatan
maksiat dengan cara melakukan hal-hal yang dilarang. Seluruh perbuatan tersebut
dapat dikenai sanksi ta’zir.
Kaidah
kedua tentang percobaan melakukan jarimah:
أن الشروع في الجريمة
لا يعاقب عليه بقصاص ولا حد وانما يعاقب عليه بالتعزير أيا كان نوع الجريمة
Percobaan
melakukan jarimah, apapun jarimahnya, tidak bisa dikenai hukuman qishash atau
hudud melainkan ta’zir.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa percobaan melakukan jarimah hudud atau qisash tidak dapat
dikategorikan telah melakuakn jarimah tersebut secara sempurna sehingga tidak
bisa dikenai had atau qisash, melainkan tazir. Hukuman itupun diberikan jika di
antara percobaan tersebut telah dapat dikategorikan perbuatan maksiat, sesuai
dengan kaidah berikut:
تعاقب علي الشروع
في كل جريمة اذا كون الفعل غير التام معصية
Percobaan
melakukan jarimah akan mendapat hukuman, jika perbuatan percobaan itu merupakan
perbuatan maksiat.
Kaidah
ketiga tentang kebolehan memberikan hukuman kepada pelaku percobaan pada
jarimah ta‟zir:
تعاقب علي الشروع
في كل جريمة اذا كون الفعل غير التام معصية
Jarimah yang
seselai berbeda sanksinya dengan jarimah yang belum selesai kecuali pada jarimah-jarimah
ta’zir.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa hukuman bagi pelaku percobaan melakukan jarimah hudud
atau qisash tidak sama dengan hukuman bagi pelaku tersebut yang telah selesai
dengan sempurna. Sedangkan pada jarimah ta’zir, boleh memberikan hukuman bagi
pelaku percobaan. Sebab, pemberian sanksi ta’zir menjadi hak imam sesuai dengan
tuntutan kemaslahatan.
Kaidah
keempat tentang pengurungan maksud berbuat jarimah:
اذا عدل الجاني
عن اتمام الجريمة لأي سبب غير التوبة فهو مسءول عن الفعل كلما اعتبر الفعل المعصية
Apabila pelaku
jarimah tidak menyelesaikan perbuatan jarimahnya karena alasan-alasan selain
taubat, maka dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya selama perbuatan
tersebut merupakan perbuatan maksiat.
Kaidah ini
merupakan kelanjutan dari kaidah di atas yang mengandung arti bahwa pengurungan
diri dari perbuatan jarimah dapat menggugurkan hukuman dengan syarat dilakukan
karena kesadaran diri atau taubat, bukan karena pengaruh dari luar seperti
tertangkap basah. Jarimah yang dilakukan pun harus berkenaan dengan hak Allah
atau jama’ah. Kaidah ini dipegang oleh sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah.
Mereka menyatakan:
التوبة تسقط العقوبة
مما يتعلق بحق الله
Taubat dapat
menggugurkan hukuman pada jarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah.
Berbeda dengan
Malik, Abu Hanifah, sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah lainnya menyatakan bahwa:
ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻻﺗﺴﻘﻄ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ
ﺇﻻ ﻓﻲ ﺟﺮﻳﻤﺔ ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ
Taubat tidak
dapat menggugurkan hukuman kecuali pada jarimah hirabah (perampokan).
Daftar Pustaka
:
Abdul Aziz Dahlan…(Et Al.)., Ensiklopedia
Hukum Islam, Pt Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2001
Abdul Mujib, Al-Qawa’idul Fiqhiyyah,
Nur Cahaya, Yogyakarta, 1980
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia, Pondok Pesantren Al-Munawwir, Yogyakarta, Edisi Lux,
1984
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana
Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Asjmuni Abdul Rahman, Qoidah-Qoidah
Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1976
Asy-Syuyuthi, Al-Jam’us Shagir Fi
Ahaditsil Basyirin Nadzir, Juz I, Mustafa Al-Babi Al-Halabi, Cairo, 1954
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam
(Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia, 2000
Jalal Syamsudin Al-Mahalli, Syarh
‘Ala Matn Jam’ul Jawami’, Musthafa Al-Babi Al- Halabi, Mesir, 1998
Juhaya S Praja, Filsafat Hukum
Islam, Yayasan Piara, Bandung, 1993
Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum
Syari’ah, Cv Haji Masagung, Jakarta, 1990
Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar
Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh,
Pustaka Setia, Bandung, 1999
Tajuddin Abdul Wahab Al-Subki, Al-Asybah
Wan Nazhair, Markaz Buhutsul ‘Ilmi, Mesir, Tt
Totok Jumantoro., Samsul Munir
Amin., Kamus Ushul Fiqh, Amzah, 2005
Wardi Mukhlis, Ahmad. Hukum
Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005
Wardi Mukhlis, Ahmad. Pengantar
Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, Jakarta : Sinar Grafika, 2004