Oleh: Rizanti
Khairunisa
Kesultanan Banten terletak pada Provinsi Banten,
Indonesia. Ibu Kotanya bernama Surosowan, Pulau Intan. Penduduk di daerah ini
biasa menggunakan bahasa kesehariannya Jawa, Melayu, Arab dan Sunda.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten
Girang merupakan bagian dari Kerajaan
Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan
Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddi[1]n
ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam.
Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama
Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap
dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal
dari Melaka
tahun 1513.
Atas perintah Trenggana,
bersama dengan Fatahillah melakukan
penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun
1527, yang
waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[1]
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana
Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung.
Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga
telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan
Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh
raja tersebut.[2]
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya
Trenggana,[3]
Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan
menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari
Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[4]
melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan
Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba
menguasai Palembang
tahun 1596
sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara,
namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[5]
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama
di Pulau
Jawa yang mengambil gelar "Sultan"
pada tahun 1638
dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud
Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif
melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu,
salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja
Inggris, James I tahun 1605 dan tahun
1629 kepada Charles
I.[6]
Kesultanan Banten salah satu kerajaan maritim di Indonesia,
yang mengandalkan perdagangan dalam memenuhi
perekonomiannya. Letak geografisnya yang strategis menjadikan Kesultanan Banten
ini menjadi jalur perdagangan yang ramai, bukan Nusantara saja cakupannya tapi
ke Internasional juga.
Banten memiliki pelabuhan niaga internasional di Asia. Transaksi
perdagangannya terjadi pada pagi dan malam hari. Terdapat tiga pasar yaitu
pasar karangantu di timur kota, pasar
alun-alun, dan pasar di Pecinan. Negara atau Bangsa lain yang memasuki wilayah
Banten dan melakukan perdagangan akan dikenakan pajak masuk yang memberikan
keuntungan bagi Kesultanan Banten. Dengan demikian Kesultanan Banten mengalami
kemajuan yang sangat cepat dan dapat memberikan kesejahteraaan bagi rakyatnya.
Sumber perekonomiannya tak hanya dari perdagangan dan
perlayanan saja, tetapi juga ada bercocok tanam di sawah dan kebun. Hal ini
menyebabkan Kerajaan Banten[2]
[3]memperluas
wilayahnya. Salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Banten adalah Lampung yang
kemudian dijadikan sebagai tempat perkebunan lada. Semua yang dilakukan
Kerajaan Banten bertujuan untuk memajukan kegiatan perekonomian sekaligus meningkatkan
kemakmuran.
Sudah barang tentu, karena pada saat itu sistem pemerintahan
dipusatkan di Masjid Agung Banten, maka hasilnya pun sebagian dikumpulkan di
masjid tersebut, dari kesemuanya ini, peran Masjid Agung Banten sudah mempunyai
tahap yang sangat penting sekali dalam hal pemberdayaan masyarakat Banten.
Keganjilan menyenafaskan masjid dan ekonomi segera terasa
apabila kita memahami bahwa salah satu sifat masjid yang menojol dalam
tanggapan muslim dewasa ini umumhya adalah kesucian, sedangkan ekonomi demikian
duniawinya, sehingga kita tidak heran kalau mendengar bahwa dalam perdagangan
orang berbohong dalam persaingan orang melakukan kezaliman, dalam perburuhan
orang melakukan penindasan, dalam dunia perusahan orang melakukan intrik, dan
melakukan lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Dalam kapitalisme
manusia memperalat manusia dan bangsa menjajah bangsa. Dalam situaisi beginilah
nabi berkata : “Bagian yang paling dicntai oleh Allah
dari sesuatu kota ialah masjid-masjid dan yang paling dibenci-Nya adalah
pasar-pasarnya,”
Peranan masjid dalam bidang ekonomi memang bukan dalam wujud
tindakan riil ekonomi, misalnya dalam produksi, distribusi, dan konsumsi.
Peranannya terletak dalam bidang idiil atau konsep ekonomi, misalnya hubungan
modal dan kerja majikan dan buruh, hutang piutang dan kontrak, jasa kapital dan
tenaga, pembagian kekayaan, cara berjual-beli, ukuran dan takaran kegiatan
serta bermacam-macam usaha yang lain.
Dasar dan prinsip-prisnip ekonomi telah digariskan dalam
Al-Qur’an dan Hadis. Tetapi bermacam-macam kegiatan dan wujudnya tidak terdapat
di dalamnya. Kenyataan dan wujud penghidupan selalu terus berubah, seirama
dengan perubahan kebudayaan, karena bidang ekonomi itu adalah bidang utama
kebudayaan. Sebab itu wujud dan kenyataan ekonomi selalu berubah dari zaman ke
zaman dan dapat berbeda dari ruang ke ruang.
Dalam masyarakat lama dan terbelakang kehidupan ekonomi itu
berpusat di pasar-pasar, tempat bertemunya produsen, distributor dan konsumen,
ramailah dilakukan jual-beli. Supaya dalam jual-beli itu orang mengusahakan
keuntungan dengan jalan halal, jadi berpokok pada takwa, maka didirikanlah
masjid yang tidak jauh dari pasar. Pasar dan masjid berpandang-pandangan. Semua
orang yang berusaha, dalam melakukan kegiatannya ia terpandang kepada masjid,
yang mengingatkan takwa kepada mereka, sebagai awal dari amalan. Bila datang
waktu shalat, mereka meninggalkan jual-beli untuk berhubungan dengan Tuhan
menyegarkan takwa dalam diri.
Selalu mereka diuji, apakah mereka lebih mementingkan pasar
daripada masjid. Mereka lalu diingatkan akan hadis, bahwa Tuhan mencintai
masjid dan membenci pasar. Apabila muslim itu memberikan makna bahwa masjid
telah kehilangan fungsi dan peranannya dalam kehidupan ekonomi maka berakhirlah
kontrol dan tuntunan masjid dalam kegiatan masyarakat muslim.
Karena itu masjid tetap memainkan perannya dalam kehidupan
ekonomi, dengan terwujudnya peranan masjid dalam bidang ekonomi, maka
pernyataan dan wujud kehidupannya dapat berubah-ubah dan beragam sekali tetapi
selama masjid memainkan peranannya, selama itu pula ia luangkan asas dan
prinsip-ptinsip itu kepada Islam.
Peran masjid dalam bidang ekonomi, ekonomi yang dimaksud
dalam hal ini bukan praktek tetapi ide ekonomi. Yang di bina dan dipelihara
oleh masjid ialah pola cita dan konsep-konsep ekonomi, melalui khotbah Jum’at,
tabligh, musayawarah, penerangan, dan penghayatan, masjid memberi petunjuk
kepada masyarakat supaya mengasakan kehidupan dan praktek ekonomi pada
Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang di ulas dan di tafsirkan oleh ijtihad. Segi-segi
ekonomi itu misalnya : hubungan modal dan kerja, hutang piutang, makna riba
dalam tingkat-tingkat dan bentuk-bentuk ekonomi.
Dengan dijalinnya Ukhuwah Islamiyah antara jama’ah ekonomi
masjid, masing-masing membersihkan niat mereka, sebab seorang saudar tidak akan
merugikan saudranya, bahkan berusaha supaya sama-sama senang.
Sebagaimana Masjid Agung Banten pada masa pemerintahan Sultan
Maulana Yusuf, telah menjalankan perannya dalam bidang ekonomi dengan sangat
baik. Karena dengan adanya Masjid Agung Banten, para
pedagang baik yang berasal dari dalam maupun luar Banten, memahami dengan benar
arti masjid dan kaitannya dengan ekonomi. Setiap pedagang yang ingin melakukan
penipuan, pengurangan dan lain sebagainya yang akan merugikan konsumen, mereka
terpandang oleh takwa, karena dihadapan mereka adalah masjid, oleh karenanya
Masjid Agung Banten yang oleh Sultan Maulana Yusuf dijadikan sebagai pusat
peribadatan umat Islam, selalu menyampaikan dalam tiap khutbahnya, agar di
antara sesama umat Islam tidak saling merugikan, dengan kata lain masjid dengan
ekonomi adalah salah satu pendukung terjalinnya ukhuwah islmiyah di antara
sesama.
Dengan jelasnya peran Masjid Agung Banten dalam bidang
ekonomi yaitu satu sama lain memberikan ide ekonominya untuk memperbaiki
perekonomian ke arah yang lebih maju lagi. Konsep ini berlaku sampai kepada
ekonomi dunia, karena para pedagang-pedagang asing yang datang ke Banten untuk
berdagang selalu diingatkan oleh prinsip ekonomi yang dijalankan di Banten, sebagai
salah satu pusat perekonomian yang pada saat itu berkembang.
Demikianlah hubungan masjid dengan kehidupan ekonomi, ia
adalah pusat dari Addin, bukan hanya pusat dari agama saja. Ekonomi adalah
bagian dari Islam, jelasnya bagian dari kebudayaan sekalipun ekonomi bersifat
duniawi, kehidupan ekonomi muslim bertaut dengan masjid.
Perekonomian Kerajaan Banten sudah mengalami kemajuan sejak
zaman Sultan Maulana Yusuf dan Sultan Hasanudin. Puncak kejayaan perekonomian
makin berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Abulfath’ atau yang lebih
dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Hal tersebut karena Sultan Ageng
Tirtayasa merupakan pemimpin yang cerdas, pandai berdiplomatik, dan menguasai
bisnis sehingga beliau mampu menarik perhatian bangsa Eropa dan bangsa lainnya
untuk melakukan hubungan dagang dengan Kerajaan Banten. Negara-negara tersebut
antara lain, Turki, Arab, India, Cina, Spanyol, Portugis, Melayu, Gujarat, dan
sebagainya. Hingga pada tanggal 22 Juni 1956 Belanda merasa terpanggil untuk singgah
di Banten, dari persinggahan itulah akhirnya Belanda tertarik untuk menguasai
perekonomian Banten yang merupakan penghasil rempah dan lada. Belanda melakukan
monopoli perdagangan sekaligus memblokade pelabuhan niaga yang dimiliki Banten,
hal tersebut tentunya menimbulkan kesengsaraan rakyat di bidang perekonomian
hingga akhirnya menuntut Sultan Ageng Tirtayasa dan rakyatnya untuk melakukan
perlawanan demi mendapatkan kesejahteraan Banten seperti semula. Sumber utama www.wikipedia.com
2 Sejarah Cirebon, PT. Balai Pustaka.
[2] Titik
Pudjiastuti, (2000), Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai
tinjauan aksara dan amanat.
3Fernão Mendes Pinto, Rebecca Catz, (1989), The
travels of Mendes Pinto, University of Chicago Press, ISBN 0-226-66951-3.
4
Hasan Muarif Ambary, Jacques Dumarçay, (1990), The Sultanate of Banten,
Gramedia Book Pub. Division, ISBN 979-403-922-5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...