PEMBARUAN
HUKUM ISLAM
SEBUAH KENISCAYAAN SEJARAH
Ide hukum Islam perlu
diperbaharui untuk pertama kalinya digulirkan oleh Ibn Taimiyyah (1262-1328
H.), menyusul gerakan anti taklid dan perlunya menghidupkan kembali ijtihad. Stagnasi
pemikiran hukum Islam telah membawa kemunduran Islam, karenanya seruan untuk
kembali ijtihad telah membawa dampak yang signifikan. Di India gerakan ini
direspon dan dipelopori oleh Syah Waliyullah al-Dahlawi (1703-1762), dan di
Arab Saudi dipelopori oleh Muhammad bin Abd Al-Wahhab.
Pembaruan hukum Islam merupakan
bagian dari pembaruan pemikiran Islam. Ide ini memengaruhi dunia Islam termasuk
Indonesia setelah muncul tokoh-tokoh yang melanjutkan Ibn Taimiyyah, seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Yang
dikenal sebagai tokoh-tokoh Islam modernis.
Ibn Taimiyyah prihatin atas
kondisi umat yang terjangkit taklid dengan fanatisme mazhab. Di pihak lain,
ijtihad benar-benar terhenti. Sehingga timbul kejumudan. Sementara di Barat, ia
melihat kemajuan pengetahuan dan teknologi. Menurut Ibn Taimiyyah hanya dengan
membuka pintu ijtihad semua masalah terjawab.
Yang dimaksud pembaruan hukum
Islam adalah pembaruan fiqih. Pembaruan hukum Islam adalah gerakan ijtihad
untuk menetapkan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru
yang ditimbulkan oleh kemajuan zaman, baik menetapkan hukum yang belum ada
ketentuan hukumnya, seperti cloning manusia, bayi tabung, dan lain-lain, atau
menetapkan hukum baru untuk mengganti hukum lama yang dianggap sudah tidak
sesuai lagi dengan kemaslahatan zaman sekarang, seperti bunga bank, wanita
menjadi presiden, zakat profesi, dan lain-lain. Jadi yang diperbaharui bukan
dalam konteks syari’ah.
Inti pembaruan adalah untuk
memberikan pemahaman yang lebih rasional, metodologis dan aktual sesuai dengan
pola-pola pemikiran masyarakat modern. Lahirnya pemikiran neomodernisme Islam
Fazlur Rahman merupakan upaya untuk mensistematiskan pemahaman hukum Islam agar
lebih rasional, komprehensif dan relevan, serta diharapkan lebih mampu
mewujudkan keadilan bagi umat.
Pasca Rahman muncul gagasan
seperti fiqih kontemporer, reaktualisasi dan revitalisasi hukum Islam. Intinya
adalah menghendaki adanya pemahaman kontekstual terutama bila dikaitkan dengan
kearifan lokal dan situasi zaman yang temporal. Di Mesir terdapat Yusuf
Al-Qaradhawi yang memandang ijtihad kontemporer merupakan kebutuhan sangat
mendesak. Untuk itu, Yusuf Al-Qaradhawi menawarkan konsep metodologi yakni
ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i. Upaya serupa juga dilakukan di Indonesia.
Pada era awal 40-an, Hasbi Al-Shiddiqi menawarkan konsep fiqih Indonesia, yaitu
fiqih yang diformulasikan dengan memerhatikan keadaan dan hanya dapat
menggunakan unsur-unsur hukum Islam yang sesuai dengan konteks keindonesiaan
modern. Gagasan serupa dilontarkan oleh Hazairin, ahli hukum UI dan pakar adat,
mengajak untuk mengkontruksi fiqih mazhab Indonesia.
Wacana reaktualisasi hukum Islam
makin gencar di Indonesia ketika Munawir Sadzali (menteri agama RI tahun 1985)
mengangkat kasus pembagian waris yang sama antara anak laki-laki dan perempuan
dan halal bunga bank. Dari situ tumbuh kajian-kajian perlu tidaknya pembaruan
hukum Islam. Selain itu, gagasan pribumisasi hukum Islam Gus Dur yang
diantaranya mengubah assalamu’alaikum dengan selamat pagi. Gus Dur melihat bahwa
eksistensi hukum Islam di Indonesia telah mengalami proses legal-formalistik
dan tidak memerhatikan kontekstualisasi.
Perlu tidak pembaruan disebabkan
kekaburan pengertian istilah-istilah seperti kata syari’ah dan fiqih. Kata syariat adalah bentuk isim mashdar dari
kata syarra’a yang berarti meciptakan dan menetapkan syari’at. Dalam Al-Qur’an
ditemukan satu kali pada Al-Jatsiah ayat 18 yang berati jalan lurus. Menurut
Syekh Mahmud Syaltut, syari’at mengandung arti hukum-hukum dan tata aturan yang
Allah syari’atkan bagi hamba-hamba-Nya untuk diikuti. Menurut Faruq Nabhan,
syari’at berarti segala sesuatu yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Menurut Manna Al-Qathan, syari’at berarti segala ketentuan Allah yang
disyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya menyakut akidah, ibadah dan ahlak serta
muamalah. Maka syari’at itu identik dengan agama. Syari’at adalah ajaran yang
tidak dicampuri oleh nalar manusia. Syari’ah adalah wahyu Allah secara murni
yang bersifat tetap tidak bisa berubah. Arti inilah yang dimaksud dalam
Al-Qur’an tadi. Jadi fiqih atau Hukum Islam adalah bagian kecil dari syari’ah.
Fiqih menurut Abu Zahrah adalah
mengetahui hukum-hukum syara yang bersifat amaliah yang dikaji dari
dail-dalilnya yang terperinci. Menurut Al-Amidi, fiqih berarti ilmu tentang
seperangkat hukum syara yang bersifat furu’iyyah yang didapatkan melalui
penalaran dan istidlal. Jadi fiqih berarti daya upaya manusia dalam memahami
wahyu atau hukum syara. Karena fiqih merupakan pemahaman yang zhanniy, maka
kebenarannya relatif. Fiqih terikat oleh situasi yang meliputinya sehingga
senantiasa berubah seiring waktu dan tempat.
Kekaburan sering terjadi dalam
literatur barat, misalnya istilah islamic law sering diartikan syari’ah dan
fiqih. Dan hukum Islam dalam bahasa Indonesia. Kata hukum islam tidak ditemukan
dalam Al-Qur’an. Yang ada adalah syariah, fiqh dan hukum Allah. Sedang dalam
literatur Islam ialah syariat Islam, fiqih Islam dan hukum syara. Istilah Hukum
Islam merupakan khas Indonesia yang diterjemahkan dari islamic law. Jadi hukum
Islam bukan terjemahan dari syariah, baik filosofis, sumber pengambilan, tujuan
dan sebagainya.
Definisi Hukum Islam sendiri ada
dua pendapat. Hasbi Ash-shiddieqy dalam bukunya Falsafah Hukum Islam
mendefinisakan sebagai “koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at
Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pengertian ini mendekati makna fiqih.
Menurut Amir Syarifudin, bila
kata hukum dihubungkan dengan Islam maka hukum Islam berarti “seperangkat
peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang
beragama Islam. Secara sederhana hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan
wahyu Allah.” Arti ini mencakup hukum syari’ah dan hukum fiqih.
Berdasarkan hal itu, hukum Islam
yang tidak bisa dirubah adalah syariah atau hukum syara, yakni ajaran Allah
yang mutlak, lengkap dan sempurna. Hukum Islam yang berubah berarti fiqih,
sebagai hasil ijtihad dan interpretasi terhadap syariah.
Fiqih Islam (Islamic
Jurisprudence) membicarakan subjeknya bersumber pada kaidah-kaidah fiqih. Karena
itu, ahli fiqih adalah ulama dan ahli hukum. Disebut ulama karena bidang studi
mereka mencakup segala macam cabang pengetahuan. Melalui fiqih maka berkembang
hukum Islam. Tapi bila fiqih dipahami sebagai dogma yang sudah final maka fiqih
juga dapat menjadi penyebab terjadinya kejumudan.
Fiqih Islam didasarkan sumber
(hukum) yang primer dan sekunder (ijma dan qiyas). Dan sumber lain yang diakui beberapa
aliran (mazhab) tetapi ditolak oleh aliran lain. Sumber ini didasarkan
keperluan yang tidak dapat ditinggalkan (dharury), ‘urf dan keadilan; seperti
istihsan dalam mazhab Hanafi, mashalih mursalah dalam mazhab Maliki, dan
lain-lain.
Para fuqaha memperbincangkan
sumber-sumber ini yang dikenal dengan konsep al-adillat atau alasan-alasan
hukum, dalam suatu cabang ilmu khusus yang disebut ilmu ushul fiqh, yaitu ilmu
yang membahas sumber-sumber pokok (dan metode-metode pengambilan kesimpulan
atau istinbath hukum Islam). Mereka (para mujtahid) berusaha mencari pemecahan
dari sumber-sumber dan dalil-dalil seperti di atas. Kegiatan ini disebut
ijtihad.
Ketika Baghdad jatuh pada
pertengahan abad ke-7 Hijriyah, peradaban Islam merosot. Peristiwa ini terjadi
setelah para fuqaha dari kalangan sunni menyetujui ditutupnya pintu ijtihad. Akibatnya,
pemikiran Islam mati sama sekali.
Jika pintu ijtihad tertutup maka
Islam akan menjadi agama masa lalu yang ketinggalan zaman. Fiqih tidak boleh
berhenti. Fiqih harus terus berkembang menghadapi pluralitas dan globalisasi
untuk memberikan solusi-solusi alternatif pemecahan. Bukan hanya fiqih lintas
agama yang diperlukan, tetapi fiqih lintas bangsa, lintas etnis, lintas budaya
dan lintas negara. Kompilasi Hukum Islam, yang menjadi buku pintar para
praktisi hukum di Pengadilan Agama, diharapkan menjadi embrio lahirnya fiqih
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...