Oleh : Abdurrahman
Retribusi menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "Pungutan uang oleh pemerintah (kota
praja dsb) sebagai balas jasa" dengan kata lain bahwa retribusi adalah
pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar. Contohnya :
retribusi parkir, retribusi jasa pelabuhan, retribusi pasar, retribusi jalan tol
dan retribusi pemakaman. Retribusi tidak termasuk dalam pengertian pajak karena
pihak yang membayar tersebut menggunakan langsung fasilitas yang dikenakan
retribusi tersebut.
Permasalahan retribusi dan pungutan terhadap
layanan pemakaman tidak ditemukan dalam literatur Islam klasik. Sejak masa Nabi
Muhammad SAW pemakaman seorang muslim dilakukan pada komplek pemakaman yang telah
disediakan oleh pemerintah pada waktu itu. Bahkan anjuran-anjuran Nabi untuk
memfasilitasi dan memberikan bantuan kepada para ahli waris mayit sangat banyak
sekali. Misalnya perintah untuk memberikan makanan kepada ahli waris, mengurus
jenazah, memandikan, membawa dan memasukannya ke liang lahad adalah memiliki
keutamaan dan pahala yang sangat besar. Sehingga pengurusan jenazah dilakukan
secara bersama-sama dengan semangat mendapatkan pahala dari Allah ta’ala.
Kebiasaan ini terus berlanjut hingga ratusan tahun
kemudian dan hingga saat ini di mana di beberapa daerah pedesaan dan pedalaman
urusan pemakaman jenazah dilakukan secara bersama dan menjadi tanggung jawab
bersama masyarakat. Tidak ada retribusi pemakaman dan biaya sewa makam. Namun dengan
perubahan system social, terutama di perkotaan maka pengurusan jenazah tidak
bisa lagi dilakukan secara bersama-sama dengan berbagai sebab. Termasuk
berkembangnya berbagai ideology materialisme dan kapitalisme yang menjadikan
masyarakat sangat menentukan segala sesuatu dengan uang.
Dari sinilah muncul berbagai pergeseran nilai yang
terjadi di masyarakat, sebagai contoh, jika dahulu seseorang yang menjadi imam
shalat berjama’ah atau muadzin dengan ikhlas melaksanakan ibadah tersebut
dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan dan gaji, maka saat ini bisa saja
seorang imam dan muadzin mendapatkan gaji dari amalannya tersebut. Hal ini
berlaku juga dalam prosesi pemakaman, para penggali kubur saat ini tidak akan
bekerja jika tidak dibayar, demikian pula kuburan tidak akan dirawat dan
diperhatikan jika tidak membayar retribusi pemakaman. Pada beberapa kasus yang
terjadi di kota besar, jika suatu makam tidak membayar retribusi maka akan
dilakukan penumpangan mayat pada makam tersebut.
Demikian pula pemerintah akan mengenakan berbagai
bentuk pungutan sebagai salah satu sumber pendapatannya. Hal ini bisa dipahami
karena pemerintah akan terus menggali berbagai bentuk pajak dan derivasinya
sebagai sumber pendapatan daerahnya, walaupun terkadang tidak lagi memperhatikan
kemampuan warganya. Alih-alih mengurusi makam justru seringkali menyusahkan
masyarakat yang memiliki kekurangan dari segi ekonomi. Dari sini seharusnya
pemerintah daerah bisa mengambil sikap bijak dalam menerapkan retribusi
pemakaman.
Bila ditinjau dari segi hukum Islam maka, retribusi
adalah salah satu bentuk dari pungutan yang dikenakan oleh pemerintah kepada
warganya. Pada dasarnya hukumnya diperbolehkan (jaiz) selama mendatangkan
kemashlahatan bagi masyarakat. Hal ini didasarkan kepada nash-nash yang bersifat
umum dan khusus, misalnya firman Allah ta'ala untuk mentaati ulil
amri (Pemerintah) :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
QS An-Nisaa : 59.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa setiap masyarakat
wajib untuk mentaati aturan-aturan yang diputuskan oleh pemerintah selama tidak
bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam beberpa haditsnya Rasulullah
juga memerintahkan agar senantiasa taat kepada pemerintah :
فقال العرباض : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
ذات يوم ، ثم أقبل علينا ، فوعظنا موعظة بليغة ، ذرفت منها العيون ، ووجلت منها القلوب
. فقال قائل : يا رسول الله ! كأن هذه موعظة مودع ، فما تعهد إليها ؟ فقال : أوصيكم
بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا
Dari Abu Najih
’Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam pernah menasihati kami dengan nasihat yang menggetarkan hati
dan mencucurkan air mata. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti ini adalah
nasihat perpisahan, karena itu berilah kami nasihat”. Beliau bersabda, “Aku
wasiatkan kepada kalian untuk tetap menjaga ketakwaan kepada Allah ‘azza wa
jalla, tunduk taat (kepada pemimpin) meskipun kalian dipimpin oleh seorang
budak Habsyi. HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan
shahih”.
Dalam Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata: Ayat
ini turun: Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah
kamu kepada rasul dan kepada ulil amri (pemimpin) di antara kamu berkenaan
dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi As-Sahmi, yang diutus Nabi saw.
dalam suatu pasukan perang. HR Muslim. Hadis
lainnya diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.: Dari Nabi saw. beliau bersabda:
Barang siapa yang mentaatiku berarti ia telah mentaati Allah, dan barang siapa
yang mendurhakai perintahku, maka berarti ia telah mendurhakai Allah. Barang
siapa yang mematuhi pemimpin berarti ia telah mematuhiku dan barang siapa yang
mendurhakai pemimpin berarti ia telah mendurhakaiku. HR Muslim
Merupakan kewajiban bagi warga Negara untuk
mentaati pemerintah selama tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam, walaupun
hal tersebut tidak disukainya. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar ra.: Dari Nabi saw. beliau bersabda: Kewajiban seorang muslim
adalah mendengar dan taat dalam melakukan perintah yang disukai atau pun tidak
disukai, kecuali bila diperintahkan melakukan maksiat. Bila dia diperintah
melakukan maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar serta taat. HR Muslim.
Kewajiban taat hanya pada sesuatu yang baik,
adapaun dalam hal-hal yang bersifat kemaksiatan maka tidak ada ketaatan di
sana. Walaupun demikian ketika pemerintah menetapkan satu peraturan yang tidak
kita sukai maka bukan berarti kita menentangnya. Jika kita mampu maka
nasehatilah pemerintah dengan cara yang baik. Sebagaiaman Hadis riwayat
Abdullah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya akan muncul
sepeninggalku sifat egois (pemimpin yang mengutamakan kepentingan diri sendiri)
dan beberapa perkara yang tidak kamu sukai. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah,
apakah yang engkau perintahkan kepada seorang dari kami yang mengalami zaman
itu? Beliau menjawab: Laksanakanlah kewajiban kamu dan mohonlah kepada Allah
yang menjadi hakmu. HR Muslim.
Maka setiap warga Negara wajib untuk mentaati
setiap peraturan yang dibuat oleh pemrintah, termasuk dalam masalah retribusi.
Beberapa kaidah fiqhiyyah juga membahas tentang hak dari pemerintah untuk memungut
retribusi secara umum kepada warga negaranya karena adanya kebutuhan. Jika
tidak ada kebutuhan maka dilarang, sebagaimana kaidah fiqhiyyah yang menegaskan
“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”. Pengambilan
harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau
perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka
diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari
muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
Sementara dalam makna khusus maka retribusi yang diambil
dari layanan pemakaman adalah salah satu bentuk dari kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintahan untuk kemashalahatan warganya :
تصرف الإمام منوط بالمصلحة
Kebijakan seorang
pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus
beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya
atau keluarganya maupun golongannya. Maka sudah selayaknya ketika retribusi
pemakaman itu diterapkan harus ada kompensasi dari pemerintah untuk pengguna
layanan tersebut. Sebagai contoh perawatan makam betul-betul diperhatikan, tidak
adanya pungutann liar selain yang telah ditetapkan serta jaminan kenyamanan
ketika melakukan ziarah.
Jika ditinjau dari
perspektif fiqh Islam, maka selain bentuk ketaatan kepada pemerintah dalam
kasus retribusi pemakaman juga terjadi akad ijarah yaitu sewa menyewa
antara ahli waris mayit dan pemerintah daerah. Dalam hukum Islam telah
ditentukan bahwa praktek sewa menyewa (baca:ijarah) mendapatkan legitimasi yang
jelas. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala :
وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ
ۚ وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍۢ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم
بِمَعْرُوفٍۢ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ
Tempatkanlah mereka
(para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah
kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. QS.
Ath-Thalaq: 6.
قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ
خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ
Salah seorang dari
kedua wanita itu berkata, Ya Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), karena sesungguhnya orang yang peling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” QS.
Al-Qashash: 26.
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَيَآ أَهْلَ قَرْيَةٍ
ٱسْتَطْعَمَآ أَهْلَهَا فَأَبَوْا۟ أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًۭا
يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُۥ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًۭا
Kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidr
menegakkan dinding itu, Musa berkata, Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil
upah untuk itu.” QS. Al-Kahfi: 77.
وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ
كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌۭ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى
ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍۢ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍۢ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟
ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌۭ
Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. QS Al-Baqarah :
233.
Dari ayat di atas
dapat dipahami bahwa tidaklah menjadi halangan sama sekali kalau memberikan
upah kepada perempuan lain yang telah menyusukan anak yang bukan ibunya.
Menurut Qatadah dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu kepada perempuan
lain yang disukai ibunya atau ayahnya atau dengan melalui jalan musyawarah.
Jika telah diserahkan kepada perempuan lain maka biayanya yang pantas menurut
kebiasaan yang berlaku, hendaklah ditunaikan.
Adapun dalil dari
Al-hadits adalah sebuah riwayat dari Aisyah :
عن عائشة رضي الله عنها: واستأجرالنبى صلى الله عليه وسلم
وأبو بكر رجلا من بني الديل، ثم من بنى عبد بن عدي، هاديا خريتا الخريت: الماهر بالهداية
قد غمس يمين حلف فى آل العاص بن وائل، وهو على دين كفار قريش، فأمناه، فدفعا إليه راحلتيهما،
ووعداه غار ثور بعد ثلاث ليال، فأتهما براحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتحلا، وانطلق
معهما عامربن فهيرة، والدليل الديلي، فأخذ بهم أسفل مكة، وهو طريق الساحل (رواه البخاري)[15
Artinya: “Dari
Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang
pintar sebagai penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi
bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash
bin Wail dan dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi
jaminan keamanan kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan
miliknya, seraya menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia
pun mendatangi keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada hari di malam ketiga, kemudian keduanya
berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan
dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur
pantai” H.R. Bukhari.
Dalam hadits ini dijelaskan
bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat darurat atau ketika tidak ditemukan orang
Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari.
Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang
memusuhi Islam (harbi) maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali
kondisi mendesak seperti tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat
melakukan perbuatan itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli
fiqih membolehkan menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab
ini dapat merendahkan martabat mereka.
Kemudian hadist yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:
حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال:
احتجم النبى صل الله عليه وسلم واعطى الحجام اجره (رواه البخاري )[17]
”Hadist dari Ibnu
Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas r.a
dia berkata bahwa Nabi Saw pernah
mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. H.R.Bukhari
Dari hadits di atas
dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap orang yang
telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan
untuk melakukan transaksi upah mengupah.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
(رواه ابن ماجه)[18]
”Dari Abdillah bin
Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum
keringatnya kering” H.R Ibnu Majah.
Hadits di atas
menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan,
yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum
keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.
Mengenai kebolehan
ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada
diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak ditanggapi.
Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk
kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
Demikian pula, Hukum
Islam mengatur tentang beberapa hal yang harus dipenuhi sebelum dilaksanakannya
suatu akad ijarah. Syarat dan rukun ijarah adalah:
1. Aqidain (dua orang/pihak
yang melakukan akad sewa menyewa)
2. Sighat (lafadz dari akad
ijarah tersebut)
3. Ma'qud Alaih (benda atau barang
dan jasa yang dijadikan obyek akad)
Dua pihak yang
berakad dalam hal ini adalah pemerintah daerah yang diwakili oleh para petugas
pemungut retribusi dan ahli waris atau pihak yang bertanggungjawab terhadap
mayit yang dikubur di pemakaman tersebut. Sementara sighat atau ucapan akad
ijarah bisa diucapkan secara lisan, dalam bentuk tulisan atau kesepakatan yang
telah diketahui oleh pihak-pihak yang berakad tersebut. Sedangkan obyek akad
atau transaksi adalah luas tanah yang digunakan untuk pemakaman sesuai dengan
luas dan waktu yang ditentukan ketika akad berlangsung.
Rumusan Fiqh
tersebut menjadi satu bentuk penekanan dasar bahwa Ijarah berdasarkan ketentuan
hukum dalam nash, hadis dan ijtihad para ulama, dapat dikatakan sebagai
pemanfaatan jasa sesuatu yang dikontrak. Jika dikontekskan dalam praktek
retribusi pemakaman di Sukabumi, maka sebenarnya kandungan praktik ijarah dalam
pelaksanaan retribusi ini adalah diperbolehkan dengan catatan melalui jalur
yang resmi atau berdasarkan kententuan yang berlaku, yakni Perda No. 5 tahun
2012.
Sehingga retribusi pemakaman dalam hal ini
diperbolehkan sebagai bentuk ketaatan kepada pemerintah. Adapun jika dilihat
dari akadnya maka dalam bentuk ijarah (sewa-menyewa) antara pemerintah daerah
dan pengguna layanan pemakaman. Walaupun demikian pemerintah tetap memiliki
kewajiban untuk menyandarkan segala kebijakannya kepada kemashalahatan bagi
warganya. Jangan sampai retribusi yang dibuat justru memberatkan warga
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...