Oleh : Ahmad Zaki
Sebenarnya jika dilihat
watak politik dinasti Abbasiyah, tidak jauh berbeda dengan dinasti Umayyah,
yaitu absolutisme atau pemerintahan yang mutlak di tangan khalifah dan bersifat
tidak terbatas.[1]
Pengambil alihan tradisi ini berlangsung sejak masa awal pembentukan dan
perkembangan dinasti Abbasiyah. Salah satu simbol absolutisme itu adalah
kehadiran “tukang jagal” dan pengawal para penguasa yang selalu siap dengan
pedangnya untuk mengeksekusi orang-orang yang menolak perintah dan kemauan
khalifah. Selain itu “pembersihan etnis” umayyah juga semakin menegaskan citra
absolutisme ini. Namun yang paling jelas adalah prinsip suksesi atau pergantian
kepemimpinan yang bersipat monarki. Secara praktis, pemimpin yang berkuasa akan
menunjuk sebagai penggantinya seorang anak anak saudara yang dia anggap cakap
dan tepat. Sistem monarki ini di praktikan pertama kali dalam Islam oleh
Muawiyah yang menurut para sejarawan di adopsi dari tradisi Persia dan Byzantium .
Namun tentunya hal ini
bukanlah indikator kemajuan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan. Namun yang
menjadi indikator kemajuan dalam bidang administrasi dan politik adalah adanya
peran atau sosok Wazir (perdana menteri) yang tugasnya banyak
dipengaruhi oleh tradisi Persia .[2]
Kewenangan seorang Wazir sangatlah luas. Ia mengordinasi dan mengawasi semua
departemen-departemen yang ada dalam pemerintahan. Wazir dalam hal ini adalah
tangan kanan khalifah. Ketika keluarga Barmak menguasai jabatan ini, ia berhak
mengangkat dan memecat pegawai pemerintahan, kepala daerah dan hakim, tentunya
atas persetujuan khalifah.[3]
Jabatan Wazir pada masa
awal dipercayakan kepada keluarga Barmak yang dalam pemerintahan Abbasiyah
memegang peranan penting. Selain wazir, jabatan penasihat khalifah serta
sebagai pendidik keluarga istana pernah dipegang oleh keluarga ini. Namun pada
masa Harun al-Rasyid hubungan istana dengan keluarga Barmak ini berubah tragis.
Mereka menjalani hukuman yang berat yaitu hukuman mati. Kebijakan Harun
melenyapkan keluarga Barmak ini dilatarbelakagi oleh[4] :
1.
persaingan merebut popularitas
politis di mata rakyat
2.
dominasi keluarga Barmak terhadap
unsur-unsur ekonomi dan pendapatan daerah serta ada indikasi penyimpangan
(korupsi).
3.
keberpihakan mereka terhadap
kelompok Syi’ah
4.
persaingan antar etnis Arab dan Persia
5.
campur tangan mereka dalam tiap
wewenang khalifah, sehingga khalifah meresa kebijakannya dilangkahi.
Secara teknis urusan
pemerintahan dalam Dinasti Abbasiyah terbagi menjadi beberapa departemen : 1)
Diwan al-Rasa’il (Kearsipan) 2) Diwan al-Kharaj (perpajakan), 3) Biro Keuaangan
(untuk menggaji PNS, Militer dan Pensiunan) 4) Diwan al- Jaysh (militer).
Kemudian untuk mengordinasi tugas depertemen, wazir mengangkat sekretaris
masing-masing depertemen. Untuk mengontrol departemen, al-Mahdi mulai memperkenalkan
lembaga-lembaga pengawas. Diantaranya adalah 1) Diwan al-Zimam yang mengawasi
keuangan, 2) Diwan al-Tauqi yang mengawasi kearsipan, 3) Diwan al-Nazhar fi
al-Mazhalim yang mengawasi pengadilan, atau sebanding dengan pengadilan tingkat
banding. Selain itu juga ada Biro Pos yang pada masa Umayyah telah ada, namun
atas saran penasihat dari keluarga Barmak, Yahya, layanan pos didasarkan atas
pola baru. Selain itu juga ada Kepolisian (Diwan al-Syurthah).[5]
Bila ditelusuri dengan
seksama kemajuan administrasi pemerintahan Dinasti Abbasiyah didukung oleh
minimal 2 faktor. Pertama, tingkat ekonomi yang mapan, kedua pengaruh
orang-orang Persi yang terlibat dalam jabatan-jabatan penting. Kedua faktor
tersebut mempunyai kekuatan yang sama dalam mempengaruhi kemajuan sistem
administrasinya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, peran orang-orang keturunan bangsa Persia tersebut
semakin mendominasi hampir sebagian besar jabatan penting Dinasti Abbasiyah.
Sehingga masa Dinasti Abbasiyah sering disebut dengan masa “Persianisasi” atau
“masa lenyapnya supremasi bangsa arab”[6].
Sedangkan
bisa dilihat dari bentuk administrasinya, pada Dinasti Abbasiyah ini mempunyai
2 corak. Satu sisi, merupakan kelanjutan dari sistem administrasi yang sudah
ada pada masa Umayyah. Sisi yang lain merupakan penyempurnaan sistemnya. Maka
muncullah istilah wazir --sebagaimana yang telah disebutkan diatas-- yang
diadopsi dari sistem pemerintahan imperium sasanid (Persi Kuno).
Faktor-Faktor
yang mempengaruhi Lamanya Durasi Waktu Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Sebagaimana dikemukakan diatas,
masa kejayaan klan atau dinasti Abbasiyah adalah pada periode pertama.[7] Yaitu
pada masa Abu al-Abbas, Abu Ja'far al-Manshur,
al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M),
al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan
al-Mutawakkil (847-861 M). Dalam catatan
sejarah diinformasikan bahwa setelah masa al-Mutawakkil, para khalifah
Abbasiyah adalah khalifah-khalifah yang lemah dan berkuasa secara de jure
dan simbolik sebagai pemersatu umat (pemimpin spiritual) saja, sedangkan yang
berkuasa secara de facto adalah tentara-tentara yang berasal dari Persia
(bani Buwaihiyah) dan Turki (bani Saljuk). Merekalah yang mengangkat,
memberhentikan, menyiksa dan bahkan membunuh khalifah.
Namun ada satu ganjalan
pertanyaan besar, jika yang berkuasa secara de facto atau secara penuh
mengendalikan pemerintahan adalah dua dinasti yang pernah menganeksasi
abbasiyah, kenapa mereka tidak memproklamirkan diri sebagai khalifah, atau menunjuk
keturunan mereka (bani Buwaih atau bani Seljuk) sebagai khalifah, padahal mereka
mempunyai kuasa penuh secara politis sampai-sampai merekalah yang mengangkat,
memberhentikan, menyiksa dan bahkan membunuh khalifah dari bani Abbas?
Hal ini nampaknya dipengaruhi
oleh faktor keyakinan yang dianut masyarakat pada waktu itu yang didasarkan
pada teks hadis yang terjemahnya kurang lebih berbunyi :”dalam urusan
(beragama, bermasyarakat dan bernegara) ini orang Quraish selalu (menjadi
pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang saja” (Hadis
riwayat Bukhari). Atau yang
tentang keharusan seorang pemimpin dari suku Quraisy (al-A’imatu min
Quraisy-Hadis riwayat Ahmad).[8] Pengaruh
keyakinan yang berdasar pada pemahaman tekstual terhadap hadis inilah yang
nampaknya mereka (bani Buwaih dan bani Seljuk) tidak berani memproklamirkan
diri sebagai khalifah, karena bertentangan dengan keyakinan. Selain itu juga
dapat menimbulkan konfrontasi atau resepsi yang negatif dari masyarakat.
Selain itu ada juga faktor yang
nampaknya mempengaruhi panjang masa Daulah Abbasiyah. Menurut Philip K. Hitty,
adalah karena adanya dinasti-dinasti kecil yang “loyal” di sekeliling Bagdad
yang berfungsi sebagai “Negara Penyangga”, dimana ketika ada serangan dari
pihak luar, maka sebelum penyerang tersebut masuk Bagdad, harus berhadapan
dengan dinasti-dinasti kecil tersebut, sehingga Bagdad sebagai pusat
pemerintahan relatif aman.
Ada juga faktor lain yang dapat
diajukan disini, yaitu bahwa pemerintahan dapat meredam atau meminimalisir atau
bahkan melenyapkan usaha-usaha yang mengarah pada “kudeta” atau pemberontakan
dari dalam atau masyarakat Bagdad, dengan cara mengayomi
kepentingan-kepentingan masyarakat. Namun faktor terakhir ini masih harus
dibuktikan validitasnya.
[1]
Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Conscience and History in A
World Civilization, (Chicago: t.p., 1974), hlm. 281
[2]
Hitti, History…, hlm. 397
[3] Ibid
[4]
lihat latar belakang penumpasan keluarga Barmak oleh Harun al-Rasyid dalam Ibn
Khaldun, Muqadimah…., hlm. 23-25
[5] Ibid.,
hlm. 401-403
[6]
Jurjy Zaidan, History of Islamic Civilization, (New Delhi: Kitab Bhavan,
1978), h. 142.
[7]
Lihat Diagram 2 tentang masa keemasan Dinasti Abbasiyah dalam lampiran di
makalah ini.
[8]
Lihat analisis mengenai kedua hadis ini dalam Nizal Ali, Memahami Hadis Nabi
: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta : CeSAD
YPI al-Rahmah, 2001), hlm. 85-91; menurut Nizal Ali hadis ini lebih tepat
dipahami secara kontekstual dengan pendekatan sosiologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...