Oleh : Abu Abdussalam
Istilah rabbāniyah memang merupakan bahasa
al-Qur`ān, sehingga untuk memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang
berbicara tentang rabbānī. Kata rabbānī terulang sebanyak 3 kali dalam al-Qur`ān,
dua kali dalam bentuk shīghat (ungkapan kalimat) jama` mudzakkar
sālim marfû` (الربانيون),
yaitu Qs. al-Maidah [5]: 44 & 63 serta satu dalam bentuk shīghat jama`
mudzakkar sālim manshûb (الربانيين), yaitu Qs. Ali `Imran [3]: 79.
Ayat-ayat tersebut adalah:
Pertama, Allah Swt berfirman:
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuÏ?÷sã ª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)t Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #Y$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrß «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhÏY»u $yJÎ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎur óOçFZä. tbqßâôs?
“Tidak wajar
bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia
berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Ali `Imrān [3]:79)
Kedua, Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir”. (QS. Al-Māidah
[5]:44)
Ketiga, Allah swt berfirman:
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang
mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya amat
buruk apa yang telah mereka kerjakan itu”. (QS. Al-Māidah [5]:63)
al-Rāghib al-Ashfahāni menambah penjelasan yang lebih tegas, menurutnya:
“al-Rab menurut etimologinya adalah
al-tarbiyyah (pendidikan). Dalam bahasa Arab dikatakan rabbahu, rabbāhu, dan
rabbabahu. Kata al-rab adalah mashdar yang diambil untuk menunjukkan pelaku.
Sedangkan kata al-rabbānī dihubungkan kepada al-Rab yaitu Allah Ta`ala yang
merupakan mashdar (sumbernya) dan Dialah yang memberikan ilmu”.[1]
Rabbāniyah dalam
bahasa Arab merupakan penisbatan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, sebagaimana
orang menisbatkan dirinya kepada negeri atau marganya, seperti Mishrī
`berkebangsaan Mesir`, Syāmī `berkebangsaan Syam dan sebagainya, ada
juga sekelompok orang yang disebut dengan rabbāniyyūn, yakni mereka yang
telah merealisasikan syarat-syarat untuk menisbatkan dirinya kepada Allah Swt.[2]
Kedua akar kata dari rabbānī, yaitu al-Rab atau al-tarbiyyah
sebenarnya memiliki hubungan antara sumber dan sifat karakter dasarnya. Karena,
di antara sifat karakter dasar dari al-Rab (Tuhan) yaitu tarbiyah
(mendidik).
Dalam etimologi bahasa Arab, kata tarbiyah
memiliki lima makna, yaitu:
Pertama, arti “al-ziyādah wa al-namā” yang berarti
pertambahan dan pertumbuhan.
Kedua, arti “al-nusyū wa al-tara`ra`u” yang
berarti perkembangan dan pembesaran.
Ketiga, arti “al-hifdz wa al-ishlāh” yang berarti
pemeliharaan dan perbaikan.
Keempat, arti “al-tazkiyah wa al-irtifā`” yang
berarti kesucian dan ketinggian.
Kelima, arti bertanggung jawab mengurus, mendukung,
menjaga dan mengarahkan sesuatu untuk semua kemaslahatannya.[3]
Menurut Māzin Ibn `Abd al-Karīm al-Frêh, rabbānī adalah
orang-orang yang memiliki karakter-karakter khusus yang meliputi: 1) Murabbin
hakīm (pendidik yang bijaksana), 2) Dā`iyah mushlih (pembimbing
yang reformis), 3) Mengamalkan ilmu, 4) Taqiyyun halīm (bertaqwa lagi
penyabar), 5) faqīh bi wāqi` ummatih (memahami realita umat). Ini
berarti, Rabbānī adalah orang
yang menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pandangan politik yang bijak.
Diambil dari perkataan orang Arab: rab amr al-nās yarubbuhu, yaitu
ketika dia memperbaiki dan menegakkan urusan umat, maka dialah rabbān
dan rabbānī untuk menunjukkan seringnya. Abu `Ubaidah berkata: Aku
mendengar seorang yang berilmu berkata: rabbānī adalah orang yang
berilmu tentang halal, haram, perintah dan larangan serta mengetahui berbagai
khabar tentang umatnya, baik yang telah berlalu maupun yang sedang
terjadi. [4]
Sedangkan menurut Salmān al-`Audah, karakter rabbāniyah
memiliki 10 sifat, yaitu: 1) Ilmu, 2) Ittibā` (Pengikut setia Rasulullah
saw), 3) Ikhlās (murni tujuan baktinya), 4) Berakhlak dan beradab
keilmuan, 5) Bergaul dengan orang lain dengan baik, 6) Memiliki kebanggaan
terhadap ilmu, 7) Hikmah (bijaksana), 8) Mengetahui derajat diri, 9) Beramal
bakti, dan 10) Belajar.[5]
`Abd al-`Azīz Kuhail menguraikan lebih jauh tentang
jalinan antara karatkter rabbāniyah dan jalan pembentukannya dalam satu
panduan yang utuh. Menurutnya rabbānī adalah seorang muslim yang
memiliki akal yang cerdas, kalbu yang hidup dan anggota tubuh yang produktif,
di mana dengan kepribadiannya yang lengkap itu dia sanggup memikul tanggung
jawab khilafah dan tegar menghadapi berbagai situasi perubahan dan reformasi.
Jika ke-rabbāniyah-an berarti tegak lurusnya akal,
kalbu dan anggota tubuh dalam tatanan dan tuntunan Ilahi, maka pembentukannya
harus terorientasi dalam metode pendidikan sebagai berikut:
1)
Afkār
(Pemikiran).
Memberi
bekal akal dengan wawasan paripurna tentang Allah swt, manusia, alam dan
kehidupan yang diasaskan pada wahyu, ayat-ayat alam semesta dan jiwa manusia.
Inilah langkah pertama dalam pembentukan yang bertolak dari didahulukannya
wahyu “iqra” sebagai asas pendidikan pemikiran orisinil yang dapat memberikan
keyakinan tentang pemahaman valid serta menjauhkan akal dari keruwetan filsafat
dan prasangka.
2)
`Āthifah
(Perasaan)
Mensucikan
jiwa dari berbagai penyakit yang dideritanya, meninggikan cita-cita kalbu,
mengikatnya dengan Allah swt serta memberinya gizi dengan berbagai hakekat azaliah.
Dengan demikian, seluruh perasaannya, kerinduannya dan gejolak jiwanya penuh
dengan kelembutan, kasih sayang, kekuatan, kemuliaan, pengabdian dan seluruh
kehormatan, tidak menampik hal-hal yang baik serta tidak bergelimang di
dalamnya. Dia akan selalu memperlakukan
alam dan makhluk lainnya secara positif, sehingga semuanya menjadi bekal kekal
yang tidak akan lenyap saat dia menempuh perjalanan hidup dan fase-fase dakwah.
3)
Sulûk
(sikap perilaku)
Memenuhi
sikap perilakunya dalam perbuatan-perbuatan yang diridhai Tuhan-nya, melakukan
kebaikan, mempropagandakan reformasi kebenaran dan meluruskan penyimpangan
dalam tatanan hukum alam kehidupan. Dengan demikian, kekuatan tangannya
terbiasa membangun dan memberi, kedua matanya memandang nikmat-nikmat Allah swt
dengan pandangan syukur serta memandang aibnya dengan pandangan mengobati,
telinganya biasa mendengar suara orang-orang yang dizalimi, lisannya biasa
memberikan nasehat, serta kakinya biasa melangkah ke arah produktif.[6]
Dengan ini semua, pendidikan pemikiran, ruhani dan sikap perilaku akan
membentuk para pewaris Nabi yang selalu menapaki jalan keimanan Rasulullah saw
yang ma`sûm:
öä.ø$#ur !$tRy»t7Ïã tLìÏdºtöÎ) t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètur Í<'ré&
Ï÷F{$# Ì»|ÁöF{$#ur
“Dan ingatlah
hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan
yang besar dan ilmu-ilmu yang Tinggi”. (Qs. Shad [38]: 45)
Mereka mata rantai pengikut para Nabi yang mulia, di mana Allah swt memuji
mereka dengan dua ciri dasar, yaitu ûli al-aydī[7]
(pemilik anggota tubuh yang bersemangat tinggi dan melahirkan
perbuatan-perbuatan besar yang produktif) serta ûli al-abshār[8](pemilik
kalbu dan akal, karena inilah tempat penangkapan ilmu, walaupun tidak terbatas
hanya memiliki keduanya seperti alat-alat mekanik saja, tetapi alat-alat yang
hidup bergerak dengan penuh vitalitas).”[9]
Materi dasar dan inti dalam pendidikan rabbāniyah
adalah al-Qur`ān yang merupakan Kalāmullāh (kata-kata Allah Swt) yang
diturunkan kepada Rasulullah, Muhamamd saw dengan seluruh kandungan mu`jizatnya
serta bernilai ibadah dengan membacanya.[10]
Muhammad `Abduh berkata tentang kandungan Qs. Ali `Imran
[3] ayat 79 :
أَفَادَتِ الْآيَةُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَكُوْنُ
رَبَّانِيًّا بِعِلْمِ الْكِتَابِ وَدَرْسِهِ وَبِتَعْلِيْمِهِ لِلنَّاسِ
وَنَشْرِهِ
“Ayat tersebut memberi pengertian bahwa manusia bisa
menjadi rabbāni dengan mengetahui dan mempelajari al-Kitāb serta mengajarkan
dan menyebarkannya kepada umat manusia”. [11]
Sebagai sebuah materi dasar dan inti, Al-Qur`ān dalam
perspektif pendidikan rabbāniyah memiliki banyak keistimewaan yang
begitu tinggi dan mulia, di antaranya:
1. Menghidupkan hati.
(Qs. Asy-Syura [42]: 52)
2. Menyinari mata
hati. (Qs. Al-Maidah [5]: 15-16)
3. Obat Hati. (Qs.
Yunus [10]: 57)
4. Membahagiakan
Pemiliknya. (Qs. Al Hijr [15]: 87-88)
5. Menambah Keimanan
(Qs. Al Anfal [8]: 2)
6. Memperjelas
Pandangan. (Qs. Az- Zumar [39]: 27)
7. Penyampai Kabar
Gembira dan Ancaman. (Qs. Al-Kahfi [18]: 1-2)
8. Sumber Ilmu yang
Paling Penting. (Qs. An-Nahl [16]: 89)
Al-Qur`ān merupakan
nasehat terbaik yang mengembalikan para pendengarnya kepada kesadaran.
Al-Qur`ān juga merupakan sistem teragung.[12]
Al-Qur`ān penuh
dengan berbagai ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, orang yang ingin meneliti
tentang sastra, sejarah, kisah, etika dan sebagainya, niscaya akan mendapatkan
di dalamnya. Akan tetapi, hal ini bukan yang menjadi tujuan utama diturunkannya
al-Qur`ān dan perintah mentadabburi serta memikirkan makna-maknanya. Karena
al-Qur`ān adalah kitab petunjuk. Allah Swt berfirman:
“
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)..”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 185)
Beberapa kandungan materi al-Qur`ān banyak dijabarkan oleh para ulama dan
pakar sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tetapi penulis membaginya ke dalam
beberapa kelompok sudut pandang, di antaranya:
1.
Sudut pandang dari tujuan hakiki kehidupan manusia
sebagai peserta didik, yaitu tauhid, mengesakan Allah Swt dalam semua
pengabdian. Ibn Qayyim adalah tokoh yang dapat kita jadikan salah satu pelopor
sudut pandang ini.
2.
Sudut pandang dari berbagai sisi keagamaan dan sosial
kehidupan manusia yang sedang manjalani kehidupannya.
3.
Sudut pandang dari berbagai hubungan manusia dengan
Pencipta, dirinya sendiri dan alam sekelilingnya.
Salīm bin `īd al-Hilālī menjelaskan bahwa metode utama
dalam pendidikan rabbāniyah adalah metode hikmah yang
digambarkan dalam aktualisasi pengajaran ber-tadarruj (yang bersifat gradual
atau bertahap)[13].
Bukhāri rhm berkata:
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ{
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ }حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي
يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
“Ibn `Abbās berkata (jadilah kalian rabbānī) yaitu
para ahli fiqih yang amat penyabar. Dikatakan bahwa rabbānī adalah orang yang mendidik
manusia dengan ilmu-ilmu yang sederhana sebelum ilmu-ilmu yang pelik”. [14]
Secara etimologi, kata al-hikmah mengandung
empat pengertian, antara lain:
1.
Al-`Ilm wa al-fiqh (Ilmu dan pemahaman) atau al-`ilmu ma`a al-`amal
(ilmu yang disertai amal kebajikan)
2.
Itqān al-Umûr (Keakuratan masalah)
3.
Kata-kata bermanfaat yang dapat mencegah kejahilan dan
kedunguan.
4.
Tercegah dari kerusakan.
Setelah meneliti makna-makna hikmah dalam kamus-kamus
bahasa, Ibn Taimiyah memberikan kesimpulan tentang arti etimologi dari kata
hikmah Sebagai “Pemutus dan pembeda, pemisah dan pembatas yang dapat
menghantarkan terwujud dan tercapainya sesuatu secara akurat”.[15]
Dari uraian para ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengertian hikmah dapat dilihat dari dua sudut pandang:
1.
Dari segi teoritis ilmiah.
Dari
segi ini, hikmah dimengerti sebagai ketelitian terhadap sesuatu yang berada di
balik yang tersurat, mengetahui keterikatan antara sebab akibat, baik yang
berbentuk hukum alam maupun hukum perintah dan larangan, atau yang bersifat
qadar hukum sosial ataupun yang berbentuk hukum syariah.
2.
Dari segi amal
praktis.
Dari
segi ini, hikmah diartikan dengan makna meletakan sesuatu di tempatnya yang
tepat.[16]
Dari segi amal praktis, menurut `Ali Muhammad al-Shallābī, hikmah memiliki tiga
tingkatan, yaitu:
a.
Memberikan sesuatu haknya masing-masing, tidak melampaui
batas, tidak tergesa-gesa dari waktunya dan tidak pula mengakhirkan watunya.
Segala hal memiliki derajat dan hak-hak yang dikandungnya, memiliki batas dan
target yang harus digapai dan tidak boleh dilampaui, memiliki waktu yang tidak
boleh didahului atau ditunda. Di sinilah hikmah berarti menjaga tiga segi hal
tersebut.
b.
Mengenal keadilan Allah dalam ancaman-Nya, kebaikan Allah
dalam janji-Nya serta keadilan-Nya dalam hukum-hukum Allah, baik yang bersifat
syar`i maupun hukum alam yang berlaku kepada makhluk-makhluk-Nya, karena di
dalamnya tak ada kezaliman dan penyelewengan. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan
dari sisi-Nya pahala yang besar.
(Qs. An-Nisa [4]: 40)
Dalam pendidikan rabbāniyah, evaluasi dikenal dengan hisab.
Kata hisab dalam prakteknya dapat dibagi menjadi dua bagian, muhāsabah
(evaluasi ke dalam) dan hisbah (evaluasi ke luar).[18]
Menurut Muhammad Shālih al-Munajjid, muhāsabah berarti meneliti
amal-amal jiwa, memperbaiki berbagai kesalahannya dan menunaikan berbagai
kesalehannya.[19]Dalam
kajiannya tentang muhāsabah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah membagi muhāsabah
kepada dua bagian[20],
yaitu:
1.
Muhāsabah (mengadakan evaluasi) sebelum
beraktifitas, yaitu dengan pertama kali menganalisa tekad dan niat jiwanya,
serta tidak bersegera melakukannya sampai jelas urgensi melaksanakannya
dibandingkan meninggalkannya.
2.
Muhāsabah
(mengadakan evaluasi) setelah beraktifitas. Bagian ini terdiri dari tiga macam:
a.
Mengevaluasi tentang berbagai keteledoran dalam bidang
keta`atan pada hak Allah swt, dimana tidak dijalankan sesuai keharusannya.
b.
Mengevaluasi diri tentang setiap aktifitas yang
meninggalkannya jauh lebih baik daripada mengerjakannya.
c.
Mengevaluasi diri tentang urusan-urusan yang mubah atau
biasa, mengapa harus dilakukan, apakah untuk tujuan keridhaan Allah swt dan
hari akhirat atau sekedar mencari kesenangan dunia.
Sedangkan hisbah dapat diartikan sebagai suatu upaya memerintahkan segala
yang ma`ruf saat ditinggalkan secara nyata serta melarang yang munkar saat
dilakukan dengan terang-terangan.[21]
Bagi al-Munajjid, ada 5 pokok masalah yang harus dijadikan sasaran
evaluasi, yaitu:
1.
Perkara-perkara yang fardhu
2.
Hal-hal yang diharamkan dan dilarang
3.
Kelalaian dari tujuan penciptaan
4.
Evaluasi anggota tubuh
5.
Evaluasi tekad dan niat.[22]
[1] Al-Rāghib al-Ashfahāni, Mu`jam Mufradāt Alfādz
al-Qur`ān, Beirut: Dār al-Fikr, tt, hal: 189
[2] Majdī
al-Hilālī, al-Tharīq Ilā al-Rabbāniyyah Minhājān wa Sulûkān, Mesir: Dār
al-Tauzī` wa al-Nasyr al-Islāmiyyah, 2003, Cet ke-1, hlm. 9
[3] Muhammad
Ibn Mandzûr, Lisān al-`Arab, Juz I, hal. 182 dan Juz. XIV, hal. 197
serta dikutip pula oleh Rasyīd Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj
al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-Rabbāniyah Lī al-Nabi Muhammad saw, cet-1, hal.
38
[4] Māzin bin
`Abd al-Karīm al-Frêh, al-Rāid Durūs Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah,
Jeddah: Dār al-Andalus al-Khadrā, 2006, cet ke-2, jilid. III, hal. 279-280
[5] Salmān
al-`Audah, Wa Lākin Kūnū Rabbāniyīn, Riyad: Dār al-Thayyibah, 2005, cet
ke-1,hal. 3-17
[7] Ûli
al-aydi menurut Ibn `Abbās adalah “kuat dalam ibadah”, menurut Sa`īd bin
Jubair adalah “kuat dalam beramal”, dan menurut Mujāhid adalah “kuat dalam
melaksanakan perintah Allah”. Baca: Jalāl al-Dīn al-Suyûthī, al-Dur
al-Mantsûr , Juz VIII, 419
[8] Ûli
al-abshar menurut Ibn `Abbās adalah “berilmu tentang perintah-perintah
Allah”, menurut Sa`īd Ibn Jubair adalah “berilmu tentang urusan agama mereka”,
dan menurut Mujāhid adalah “akal”. Baca: Ibid
[10] Mannā`
al-Qaththān, Mabāhits Fī `Ulûm al-Qur`ān, Kairo: Maktabah Wahbah, 2004,
cet ke-4, hal. 17
[11] Muhammad
Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Qur`ān al-Hakīm al-Masyhūr bi Tafsīr al-Manār,
Beirut: Dār al-Ma`rifah, 1993, Juz III, hal. 348. Dikutip pula oleh Muhammad
Adīb al-Shālih dalam kitab “Al-Rabbāniyyūn; Qudwah wa `Amal, Qirāat fī
al-Tarbiyah wa al-Sulūk”, Riyād: Dār al-Wathan, 2000, Cet-1, hal:27.
[12] Majdi
al-Hilālī, al-Tharīq Ila al-Rabbāniyyah Minhāj wa Sulūk, Mesir: Maktabah
al-Sayyidah, 2002, cet- 1, hal. 63-66
[14] Muhammad
Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Tauhīd, Beirut: Dār
al-Kitāb al-`Arabi, 2007 M, hal. 30
[15] Ahmad Ibn
`Abd al-Halīm Ibn Taimiyah, Majmû` al-Rasāil al-Kubrā, Beirut: Dār Ihyā
al-Turāts al-`Arabi, tt, Juz. II, hal. 7
[16] Sa`īd Ibn
`Alī Ibn Wahf al-Qahthānī, Muqawwimāt al-Dā`iyah al-Nājih Fi Dhau al-Kitāb
wa al-Sunnah; Mafhūm wa Nadzar wa Tathbīq, Riyād: Maktabah al-Malik Fahd
al-Wathaniyah, 1994, cet ke-1, hal. 42
[17] Ali
Muhammad Muhammad al-Shallābī, al-Wasathiyah Fī al-Qur`ān al-Karīm,
Kairo: Dār Ibn al-Jauzī, 2007, cet ke-1, hal. 152
[18] Khālid Ibn
`Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, London:
al-Muntadā al-Islāmī, 1995, Cet ke-1, hlm. 32-33
[19] Muhammad
Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, Saudi Arabia: Majmû`ah Zād, 2009, Cet
ke- 1, hlm. 8
[20] Ibn Qayyim
al-Jauziyyah, Ighātsat al-Lahfān Min Mashāid al-Syaithān, Juz. I, hlm.
134-135
[21] Khālid Ibn
`Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, hlm. 33
Istilah rabbāniyah memang merupakan bahasa
al-Qur`ān, sehingga untuk memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang
berbicara tentang rabbānī. Kata rabbānī terulang sebanyak 3 kali dalam al-Qur`ān,
dua kali dalam bentuk shīghat (ungkapan kalimat) jama` mudzakkar
sālim marfû` (الربانيون),
yaitu Qs. al-Maidah [5]: 44 & 63 serta satu dalam bentuk shīghat jama`
mudzakkar sālim manshûb (الربانيين), yaitu Qs. Ali `Imran [3]: 79.
Ayat-ayat tersebut adalah:
Pertama, Allah Swt berfirman:
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuÏ?÷sã ª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)t Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #Y$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrß «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhÏY»u $yJÎ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎur óOçFZä. tbqßâôs?
“Tidak wajar
bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia
berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Ali `Imrān [3]:79)
Kedua, Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir”. (QS. Al-Māidah
[5]:44)
Ketiga, Allah swt berfirman:
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang
mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya amat
buruk apa yang telah mereka kerjakan itu”. (QS. Al-Māidah [5]:63)
al-Rāghib al-Ashfahāni menambah penjelasan yang lebih tegas, menurutnya:
“al-Rab menurut etimologinya adalah
al-tarbiyyah (pendidikan). Dalam bahasa Arab dikatakan rabbahu, rabbāhu, dan
rabbabahu. Kata al-rab adalah mashdar yang diambil untuk menunjukkan pelaku.
Sedangkan kata al-rabbānī dihubungkan kepada al-Rab yaitu Allah Ta`ala yang
merupakan mashdar (sumbernya) dan Dialah yang memberikan ilmu”.[1]
Rabbāniyah dalam
bahasa Arab merupakan penisbatan kepada Allah Swt. Oleh karena itu, sebagaimana
orang menisbatkan dirinya kepada negeri atau marganya, seperti Mishrī
`berkebangsaan Mesir`, Syāmī `berkebangsaan Syam dan sebagainya, ada
juga sekelompok orang yang disebut dengan rabbāniyyūn, yakni mereka yang
telah merealisasikan syarat-syarat untuk menisbatkan dirinya kepada Allah Swt.[2]
Kedua akar kata dari rabbānī, yaitu al-Rab atau al-tarbiyyah
sebenarnya memiliki hubungan antara sumber dan sifat karakter dasarnya. Karena,
di antara sifat karakter dasar dari al-Rab (Tuhan) yaitu tarbiyah
(mendidik).
Dalam etimologi bahasa Arab, kata tarbiyah
memiliki lima makna, yaitu:
Pertama, arti “al-ziyādah wa al-namā” yang berarti
pertambahan dan pertumbuhan.
Kedua, arti “al-nusyū wa al-tara`ra`u” yang
berarti perkembangan dan pembesaran.
Ketiga, arti “al-hifdz wa al-ishlāh” yang berarti
pemeliharaan dan perbaikan.
Keempat, arti “al-tazkiyah wa al-irtifā`” yang
berarti kesucian dan ketinggian.
Kelima, arti bertanggung jawab mengurus, mendukung,
menjaga dan mengarahkan sesuatu untuk semua kemaslahatannya.[3]
Menurut Māzin Ibn `Abd al-Karīm al-Frêh, rabbānī adalah
orang-orang yang memiliki karakter-karakter khusus yang meliputi: 1) Murabbin
hakīm (pendidik yang bijaksana), 2) Dā`iyah mushlih (pembimbing
yang reformis), 3) Mengamalkan ilmu, 4) Taqiyyun halīm (bertaqwa lagi
penyabar), 5) faqīh bi wāqi` ummatih (memahami realita umat). Ini
berarti, Rabbānī adalah orang
yang menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pandangan politik yang bijak.
Diambil dari perkataan orang Arab: rab amr al-nās yarubbuhu, yaitu
ketika dia memperbaiki dan menegakkan urusan umat, maka dialah rabbān
dan rabbānī untuk menunjukkan seringnya. Abu `Ubaidah berkata: Aku
mendengar seorang yang berilmu berkata: rabbānī adalah orang yang
berilmu tentang halal, haram, perintah dan larangan serta mengetahui berbagai
khabar tentang umatnya, baik yang telah berlalu maupun yang sedang
terjadi. [4]
Sedangkan menurut Salmān al-`Audah, karakter rabbāniyah
memiliki 10 sifat, yaitu: 1) Ilmu, 2) Ittibā` (Pengikut setia Rasulullah
saw), 3) Ikhlās (murni tujuan baktinya), 4) Berakhlak dan beradab
keilmuan, 5) Bergaul dengan orang lain dengan baik, 6) Memiliki kebanggaan
terhadap ilmu, 7) Hikmah (bijaksana), 8) Mengetahui derajat diri, 9) Beramal
bakti, dan 10) Belajar.[5]
`Abd al-`Azīz Kuhail menguraikan lebih jauh tentang
jalinan antara karatkter rabbāniyah dan jalan pembentukannya dalam satu
panduan yang utuh. Menurutnya rabbānī adalah seorang muslim yang
memiliki akal yang cerdas, kalbu yang hidup dan anggota tubuh yang produktif,
di mana dengan kepribadiannya yang lengkap itu dia sanggup memikul tanggung
jawab khilafah dan tegar menghadapi berbagai situasi perubahan dan reformasi.
Jika ke-rabbāniyah-an berarti tegak lurusnya akal,
kalbu dan anggota tubuh dalam tatanan dan tuntunan Ilahi, maka pembentukannya
harus terorientasi dalam metode pendidikan sebagai berikut:
1)
Afkār
(Pemikiran).
Memberi
bekal akal dengan wawasan paripurna tentang Allah swt, manusia, alam dan
kehidupan yang diasaskan pada wahyu, ayat-ayat alam semesta dan jiwa manusia.
Inilah langkah pertama dalam pembentukan yang bertolak dari didahulukannya
wahyu “iqra” sebagai asas pendidikan pemikiran orisinil yang dapat memberikan
keyakinan tentang pemahaman valid serta menjauhkan akal dari keruwetan filsafat
dan prasangka.
2)
`Āthifah
(Perasaan)
Mensucikan
jiwa dari berbagai penyakit yang dideritanya, meninggikan cita-cita kalbu,
mengikatnya dengan Allah swt serta memberinya gizi dengan berbagai hakekat azaliah.
Dengan demikian, seluruh perasaannya, kerinduannya dan gejolak jiwanya penuh
dengan kelembutan, kasih sayang, kekuatan, kemuliaan, pengabdian dan seluruh
kehormatan, tidak menampik hal-hal yang baik serta tidak bergelimang di
dalamnya. Dia akan selalu memperlakukan
alam dan makhluk lainnya secara positif, sehingga semuanya menjadi bekal kekal
yang tidak akan lenyap saat dia menempuh perjalanan hidup dan fase-fase dakwah.
3)
Sulûk
(sikap perilaku)
Memenuhi
sikap perilakunya dalam perbuatan-perbuatan yang diridhai Tuhan-nya, melakukan
kebaikan, mempropagandakan reformasi kebenaran dan meluruskan penyimpangan
dalam tatanan hukum alam kehidupan. Dengan demikian, kekuatan tangannya
terbiasa membangun dan memberi, kedua matanya memandang nikmat-nikmat Allah swt
dengan pandangan syukur serta memandang aibnya dengan pandangan mengobati,
telinganya biasa mendengar suara orang-orang yang dizalimi, lisannya biasa
memberikan nasehat, serta kakinya biasa melangkah ke arah produktif.[6]
Dengan ini semua, pendidikan pemikiran, ruhani dan sikap perilaku akan
membentuk para pewaris Nabi yang selalu menapaki jalan keimanan Rasulullah saw
yang ma`sûm:
öä.ø$#ur !$tRy»t7Ïã tLìÏdºtöÎ) t,»ysóÎ)ur z>qà)÷ètur Í<'ré&
Ï÷F{$# Ì»|ÁöF{$#ur
“Dan ingatlah
hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan
yang besar dan ilmu-ilmu yang Tinggi”. (Qs. Shad [38]: 45)
Mereka mata rantai pengikut para Nabi yang mulia, di mana Allah swt memuji
mereka dengan dua ciri dasar, yaitu ûli al-aydī[7]
(pemilik anggota tubuh yang bersemangat tinggi dan melahirkan
perbuatan-perbuatan besar yang produktif) serta ûli al-abshār[8](pemilik
kalbu dan akal, karena inilah tempat penangkapan ilmu, walaupun tidak terbatas
hanya memiliki keduanya seperti alat-alat mekanik saja, tetapi alat-alat yang
hidup bergerak dengan penuh vitalitas).”[9]
Materi dasar dan inti dalam pendidikan rabbāniyah
adalah al-Qur`ān yang merupakan Kalāmullāh (kata-kata Allah Swt) yang
diturunkan kepada Rasulullah, Muhamamd saw dengan seluruh kandungan mu`jizatnya
serta bernilai ibadah dengan membacanya.[10]
Muhammad `Abduh berkata tentang kandungan Qs. Ali `Imran
[3] ayat 79 :
أَفَادَتِ الْآيَةُ أَنَّ الْإِنْسَانَ يَكُوْنُ
رَبَّانِيًّا بِعِلْمِ الْكِتَابِ وَدَرْسِهِ وَبِتَعْلِيْمِهِ لِلنَّاسِ
وَنَشْرِهِ
“Ayat tersebut memberi pengertian bahwa manusia bisa
menjadi rabbāni dengan mengetahui dan mempelajari al-Kitāb serta mengajarkan
dan menyebarkannya kepada umat manusia”. [11]
Sebagai sebuah materi dasar dan inti, Al-Qur`ān dalam
perspektif pendidikan rabbāniyah memiliki banyak keistimewaan yang
begitu tinggi dan mulia, di antaranya:
1. Menghidupkan hati.
(Qs. Asy-Syura [42]: 52)
2. Menyinari mata
hati. (Qs. Al-Maidah [5]: 15-16)
3. Obat Hati. (Qs.
Yunus [10]: 57)
4. Membahagiakan
Pemiliknya. (Qs. Al Hijr [15]: 87-88)
5. Menambah Keimanan
(Qs. Al Anfal [8]: 2)
6. Memperjelas
Pandangan. (Qs. Az- Zumar [39]: 27)
7. Penyampai Kabar
Gembira dan Ancaman. (Qs. Al-Kahfi [18]: 1-2)
8. Sumber Ilmu yang
Paling Penting. (Qs. An-Nahl [16]: 89)
Al-Qur`ān merupakan
nasehat terbaik yang mengembalikan para pendengarnya kepada kesadaran.
Al-Qur`ān juga merupakan sistem teragung.[12]
Al-Qur`ān penuh
dengan berbagai ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, orang yang ingin meneliti
tentang sastra, sejarah, kisah, etika dan sebagainya, niscaya akan mendapatkan
di dalamnya. Akan tetapi, hal ini bukan yang menjadi tujuan utama diturunkannya
al-Qur`ān dan perintah mentadabburi serta memikirkan makna-maknanya. Karena
al-Qur`ān adalah kitab petunjuk. Allah Swt berfirman:
“
(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)..”. (Qs.
Al-Baqarah [2]: 185)
Beberapa kandungan materi al-Qur`ān banyak dijabarkan oleh para ulama dan
pakar sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Tetapi penulis membaginya ke dalam
beberapa kelompok sudut pandang, di antaranya:
1.
Sudut pandang dari tujuan hakiki kehidupan manusia
sebagai peserta didik, yaitu tauhid, mengesakan Allah Swt dalam semua
pengabdian. Ibn Qayyim adalah tokoh yang dapat kita jadikan salah satu pelopor
sudut pandang ini.
2.
Sudut pandang dari berbagai sisi keagamaan dan sosial
kehidupan manusia yang sedang manjalani kehidupannya.
3.
Sudut pandang dari berbagai hubungan manusia dengan
Pencipta, dirinya sendiri dan alam sekelilingnya.
Salīm bin `īd al-Hilālī menjelaskan bahwa metode utama
dalam pendidikan rabbāniyah adalah metode hikmah yang
digambarkan dalam aktualisasi pengajaran ber-tadarruj (yang bersifat gradual
atau bertahap)[13].
Bukhāri rhm berkata:
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ{
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ }حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ وَيُقَالُ الرَّبَّانِيُّ الَّذِي
يُرَبِّي النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ
“Ibn `Abbās berkata (jadilah kalian rabbānī) yaitu
para ahli fiqih yang amat penyabar. Dikatakan bahwa rabbānī adalah orang yang mendidik
manusia dengan ilmu-ilmu yang sederhana sebelum ilmu-ilmu yang pelik”. [14]
Secara etimologi, kata al-hikmah mengandung
empat pengertian, antara lain:
1.
Al-`Ilm wa al-fiqh (Ilmu dan pemahaman) atau al-`ilmu ma`a al-`amal
(ilmu yang disertai amal kebajikan)
2.
Itqān al-Umûr (Keakuratan masalah)
3.
Kata-kata bermanfaat yang dapat mencegah kejahilan dan
kedunguan.
4.
Tercegah dari kerusakan.
Setelah meneliti makna-makna hikmah dalam kamus-kamus
bahasa, Ibn Taimiyah memberikan kesimpulan tentang arti etimologi dari kata
hikmah Sebagai “Pemutus dan pembeda, pemisah dan pembatas yang dapat
menghantarkan terwujud dan tercapainya sesuatu secara akurat”.[15]
Dari uraian para ulama tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengertian hikmah dapat dilihat dari dua sudut pandang:
1.
Dari segi teoritis ilmiah.
Dari
segi ini, hikmah dimengerti sebagai ketelitian terhadap sesuatu yang berada di
balik yang tersurat, mengetahui keterikatan antara sebab akibat, baik yang
berbentuk hukum alam maupun hukum perintah dan larangan, atau yang bersifat
qadar hukum sosial ataupun yang berbentuk hukum syariah.
2.
Dari segi amal
praktis.
Dari
segi ini, hikmah diartikan dengan makna meletakan sesuatu di tempatnya yang
tepat.[16]
Dari segi amal praktis, menurut `Ali Muhammad al-Shallābī, hikmah memiliki tiga
tingkatan, yaitu:
a.
Memberikan sesuatu haknya masing-masing, tidak melampaui
batas, tidak tergesa-gesa dari waktunya dan tidak pula mengakhirkan watunya.
Segala hal memiliki derajat dan hak-hak yang dikandungnya, memiliki batas dan
target yang harus digapai dan tidak boleh dilampaui, memiliki waktu yang tidak
boleh didahului atau ditunda. Di sinilah hikmah berarti menjaga tiga segi hal
tersebut.
b.
Mengenal keadilan Allah dalam ancaman-Nya, kebaikan Allah
dalam janji-Nya serta keadilan-Nya dalam hukum-hukum Allah, baik yang bersifat
syar`i maupun hukum alam yang berlaku kepada makhluk-makhluk-Nya, karena di
dalamnya tak ada kezaliman dan penyelewengan. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan
dari sisi-Nya pahala yang besar.
(Qs. An-Nisa [4]: 40)
Dalam pendidikan rabbāniyah, evaluasi dikenal dengan hisab.
Kata hisab dalam prakteknya dapat dibagi menjadi dua bagian, muhāsabah
(evaluasi ke dalam) dan hisbah (evaluasi ke luar).[18]
Menurut Muhammad Shālih al-Munajjid, muhāsabah berarti meneliti
amal-amal jiwa, memperbaiki berbagai kesalahannya dan menunaikan berbagai
kesalehannya.[19]Dalam
kajiannya tentang muhāsabah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah membagi muhāsabah
kepada dua bagian[20],
yaitu:
1.
Muhāsabah (mengadakan evaluasi) sebelum
beraktifitas, yaitu dengan pertama kali menganalisa tekad dan niat jiwanya,
serta tidak bersegera melakukannya sampai jelas urgensi melaksanakannya
dibandingkan meninggalkannya.
2.
Muhāsabah
(mengadakan evaluasi) setelah beraktifitas. Bagian ini terdiri dari tiga macam:
a.
Mengevaluasi tentang berbagai keteledoran dalam bidang
keta`atan pada hak Allah swt, dimana tidak dijalankan sesuai keharusannya.
b.
Mengevaluasi diri tentang setiap aktifitas yang
meninggalkannya jauh lebih baik daripada mengerjakannya.
c.
Mengevaluasi diri tentang urusan-urusan yang mubah atau
biasa, mengapa harus dilakukan, apakah untuk tujuan keridhaan Allah swt dan
hari akhirat atau sekedar mencari kesenangan dunia.
Sedangkan hisbah dapat diartikan sebagai suatu upaya memerintahkan segala
yang ma`ruf saat ditinggalkan secara nyata serta melarang yang munkar saat
dilakukan dengan terang-terangan.[21]
Bagi al-Munajjid, ada 5 pokok masalah yang harus dijadikan sasaran
evaluasi, yaitu:
1.
Perkara-perkara yang fardhu
2.
Hal-hal yang diharamkan dan dilarang
3.
Kelalaian dari tujuan penciptaan
4.
Evaluasi anggota tubuh
5.
Evaluasi tekad dan niat.[22]
[1] Al-Rāghib al-Ashfahāni, Mu`jam Mufradāt Alfādz
al-Qur`ān, Beirut: Dār al-Fikr, tt, hal: 189
[2] Majdī
al-Hilālī, al-Tharīq Ilā al-Rabbāniyyah Minhājān wa Sulûkān, Mesir: Dār
al-Tauzī` wa al-Nasyr al-Islāmiyyah, 2003, Cet ke-1, hlm. 9
[3] Muhammad
Ibn Mandzûr, Lisān al-`Arab, Juz I, hal. 182 dan Juz. XIV, hal. 197
serta dikutip pula oleh Rasyīd Manshûr Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj
al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-Rabbāniyah Lī al-Nabi Muhammad saw, cet-1, hal.
38
[4] Māzin bin
`Abd al-Karīm al-Frêh, al-Rāid Durūs Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah,
Jeddah: Dār al-Andalus al-Khadrā, 2006, cet ke-2, jilid. III, hal. 279-280
[5] Salmān
al-`Audah, Wa Lākin Kūnū Rabbāniyīn, Riyad: Dār al-Thayyibah, 2005, cet
ke-1,hal. 3-17
[7] Ûli
al-aydi menurut Ibn `Abbās adalah “kuat dalam ibadah”, menurut Sa`īd bin
Jubair adalah “kuat dalam beramal”, dan menurut Mujāhid adalah “kuat dalam
melaksanakan perintah Allah”. Baca: Jalāl al-Dīn al-Suyûthī, al-Dur
al-Mantsûr , Juz VIII, 419
[8] Ûli
al-abshar menurut Ibn `Abbās adalah “berilmu tentang perintah-perintah
Allah”, menurut Sa`īd Ibn Jubair adalah “berilmu tentang urusan agama mereka”,
dan menurut Mujāhid adalah “akal”. Baca: Ibid
[10] Mannā`
al-Qaththān, Mabāhits Fī `Ulûm al-Qur`ān, Kairo: Maktabah Wahbah, 2004,
cet ke-4, hal. 17
[11] Muhammad
Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Qur`ān al-Hakīm al-Masyhūr bi Tafsīr al-Manār,
Beirut: Dār al-Ma`rifah, 1993, Juz III, hal. 348. Dikutip pula oleh Muhammad
Adīb al-Shālih dalam kitab “Al-Rabbāniyyūn; Qudwah wa `Amal, Qirāat fī
al-Tarbiyah wa al-Sulūk”, Riyād: Dār al-Wathan, 2000, Cet-1, hal:27.
[12] Majdi
al-Hilālī, al-Tharīq Ila al-Rabbāniyyah Minhāj wa Sulūk, Mesir: Maktabah
al-Sayyidah, 2002, cet- 1, hal. 63-66
[14] Muhammad
Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Tauhīd, Beirut: Dār
al-Kitāb al-`Arabi, 2007 M, hal. 30
[15] Ahmad Ibn
`Abd al-Halīm Ibn Taimiyah, Majmû` al-Rasāil al-Kubrā, Beirut: Dār Ihyā
al-Turāts al-`Arabi, tt, Juz. II, hal. 7
[16] Sa`īd Ibn
`Alī Ibn Wahf al-Qahthānī, Muqawwimāt al-Dā`iyah al-Nājih Fi Dhau al-Kitāb
wa al-Sunnah; Mafhūm wa Nadzar wa Tathbīq, Riyād: Maktabah al-Malik Fahd
al-Wathaniyah, 1994, cet ke-1, hal. 42
[17] Ali
Muhammad Muhammad al-Shallābī, al-Wasathiyah Fī al-Qur`ān al-Karīm,
Kairo: Dār Ibn al-Jauzī, 2007, cet ke-1, hal. 152
[18] Khālid Ibn
`Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, London:
al-Muntadā al-Islāmī, 1995, Cet ke-1, hlm. 32-33
[19] Muhammad
Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, Saudi Arabia: Majmû`ah Zād, 2009, Cet
ke- 1, hlm. 8
[20] Ibn Qayyim
al-Jauziyyah, Ighātsat al-Lahfān Min Mashāid al-Syaithān, Juz. I, hlm.
134-135
[21] Khālid Ibn
`Utsmān al-Sabt, al-Amr bi al-Ma`rûf wa al-Nahy `an al-Munkar, hlm. 33
[22] Muhammad
Shālih al-Munajjid, al-Muhāsabah, hlm. 44-45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...