Oleh : Abdurrahman MBP
Ijtihad
bukanlah kata yang asing bagi umat Islam, ia menjadi satu term dan metode dalam
menggali hukum Islam. Sejak generasi awal umat Islam ijtihad telah dikenal dan
dijadikan satu cara dalam menghasilkan satu hukum dalam syariat Islam. Hanya
saja ijtihad yang dilakukan pada setiap generasi akan memiliki
perbedaan-perbedaan sesuai dengan kondisi sosial di mana seorang muhtahid itu
berada. Misalnya saja ijtihad yang dilakukan oleh cendekiawan di abad ini akan
berbeda jauh dengan ijtihad yang dilakukan oleh para Imam Madzhab, demikian
juga akan berbeda dengan ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat Nabi.
Sesungguhnya
ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat Nabi memiliki kekhususan yang tidak
dimiliki oleh para mujtahid sesudahnya. Hal ini bisa dipahami mengingat bahwa
mereka hidup bersama dengan nabi dan hidup di bawah lindungan wahyu. Dalam hal
ini ijtihad yang mereka lakukan seringkali mendapatkan justifikasi langsung
dari Nabi atau bahkan dari Allah ta’ala.
Pemahaman
shahabat terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits
Pada
dasarnya ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat Nabi adalah karena pemahaman
mereka yang berbeda-beda terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadits. Perbedaan
ini muncul karena beberapa sebab, misalnya pemaknaan bahasa teks yang memiliki
makna ganda contohnya kata-kata quru’ dalam Al-Qur’an. Selain itu juga
pemahaman mereka terhadap penafsiran dalam Al-Qur’an dengan menggunakan
syair-syair Arab juga menjadi satu metode yang digunakan oleh para shahabat.
Perbedaan-perbedaan
pemahaman dan pemaknaan para shahabat muncul pada beberapa ayat Al-Qur’an dan
Al-Hadits yang memiliki kata-kata khusus. Hal ini terjadi pada teks Al-Qur’an
yang tidak memiliki penafsiran dari ayat lainnya atau sebuah hadits yang
memiliki makna yang tidak diketahui oleh para shahabat, sehingga mereka mencari
pada beberapa syair-syair Pra-Islam dan pendekatan bahasa serta sosial budaya
pada waktu itu. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an para shahabat menafsirkan dengan ayat yang lainnya.
Abdullah bin Abbas misalnya menafsirkan ayat “Dua kematian dan dua kehidupan”
dalam QS Ar-Rum : 40 dengan merujuk QS Al-Baqarah : 28. Dalam perkembangan
berikutnya metode ini dikenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur yaitu
menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lainnya atau dengan riwayat dari Nabi.
Adapun
pemahaman shahabat terhadap hadits-hadits Nabi juga berbeda-beda sesuai dengan
ukuran pemahaman mereka masing-masing. Dari sinilah muncul ijtihad yang
bersumber dari pemahaman mereka terhadap hadits Nabi. Di antara peristiwa yang
masyhur adalah tentang sabda nabi “Jangan ada yang shalat kecuali di
perkampungan Bani Quraidzah”mendengar sabda ini sebagian shahabat menunda
shalat mereka hingga sampai ke perkampungan bani Quraidzah, sementara sebagian
yang lain melaksanakan shalat ketika masuk waktu walaupun belum sampai ke
tempat yang disebutkan oleh Nabi tersebut.
Walaupun
para shahabat Nabi melakukan ijtihad, namun ijtihad mereka akan senantiasa
dikoreksi langsung oleh Nabi. Hal ini terjadi ketika beliau masih hidup, adapun
ketika beliau wafat maka para shahabat melakukan ijtihad sesuai dengan tingkat
keilmuan mereka masing-masing. Ranah ijtihad yang dilakukan para shahabat
terjadi pada hal-hal yang bersifat hukum-hukum taklifi, adapun pada masalah I’tiqadi
maka sudah dijelaskan oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam secara
sempurna.
Metode Ijtihad
Shahabat
Ijtihad
yang dilakukan oleh para shahabat didasarkan kepada beberapa konsep yang telah
dicontohkan secara eksplisit dan implisit oleh Nabi, diantaranya adalah
penggunaan Ra’yu, Istishlah, Qiyas dan ijma’ (Kesepakatan
bersama). Penggunaan ra’yu atau akal pada masa shahabat terjadi pada
peristiwa-peristiwa yang belum terjadi sebelumnya. Demikian juga pada
permasalahan yang mengalami perkembangan sehingga diperlukan adanya satu hokum
baru sebagai jawaban dari permasalahan yang berkembang tersebut. Ra’yu atau
pendapat para shahabat seringkali didasarkan pula pada kondisi social yang
terjadi di masyarakat, misalnya ijtihad Umr bin Khattab yang tidak memberikan
harta zakat kepada Mualaf, sebelumnya juga Abu bakr menafsirkan kata kalalah
dengan seseorang yang meninggal tanpa memiliki ahli waris baik anak ataupun
orang tua. Pendapat Abu Bakar ini didasarkan pada pemahamannya terhadap ayat
tersebut, tentu ini adalah hasil dari ijtihadnya sendiri.
Penggunaan
metode mashlahah digunakan oleh para shahabat pada hal-hal yang tidak ada nash
yang mengatur hal tersebut. Maksud dari mashlahah adalah kebaikan yang
ada pada suatu masalah yang tidak dissebutkan dalam teks wahyu. Metode ini
sering juga disebut dengan istilah istishlah. Ciri dari metode ini
adalah kemashlahatan yang harus ditegakkan untuk kepentingan seluruh umat
Islam. Sebagai contoh tindakan yang dilakukan oleh Abu Bakar untuk mengumpulkan
lembaran-lembaran Al-Qur’an karena beliau menganggap ini sebagai tindakan yang
mendatangkan kemashlahatan bagi seluruh umat Islam. Demikian pula beliau
menunjuk Umar bin Khattab sebagi pengganti kekhalifahan beliau, walaupn hal ini
belum pernah dilakukan oleh Nabi. Peristiwa besar yang sangat fenomenal dan
didasarkan kepada mashlahat umat adalah kebijakan dari Utsman bin Affan
membakar mushaf yang tidak sesuai dengan mushaf ini, tindakan ini dilakukan
agar umat Islam tidak berpecah belah dan berbeda-beda dalam kitab sucinya.
Penggunaan
Qiyas dalam ijtihad para shahabat dilakukan atas dasar persamaan peristiwa yang
terdapat teks-nya dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits dengan membandingkan antara
dua peristiwa tersebut. Penggunaan Qiyas oleh para shahabat didasarkan pada
jawaban Nabi atas pertanyaan Umar bin Khattab mengenai seseorang yang mencium
istrinya dalam keadaan berpuasa. Maka nabi menyatakan dengan “bagaimana jika
engkau berkumur-kumur dalam keadaan berpuasa?” dari hadits ini sebagian besar
shahabat memahami bahwa penggunaan analogi (qiyas) dibenarkan oleh Islam.
Selanjutnya
metode pendekatan dalam berijtihad yang dilakukan oleh para shahabat adalah
dengan ijma’ yaitu kesepakatan yang terjadi di antara sebagian besar mereka.
Pendekatan ini didasarkan pada firman Allah ta’ala dalam QS An-Nisaa : 59 yang
bermakna bahwa setiap kesepakatan umat Islam maka menjadi satu hukum
tersendiri. Para ulama menempatkan ijma menjadi sumber hukum Islam ketiga
setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits dan menempatkannya di atas Qiyas dan Istishlah.
Di antara syarat penting dalam suatu ijma’ adalah kesepakatan yang terjadi di
antara shahabat, misalnya kesepakatan mereka mengangkat Abu bakar sebagai
khalifah pengganti Nabi. Demikian juga kesepakatan umat untuk tidak membagikan
tanah dari penaklukan.
Antara Tekstual
dan kontekstual
Jika
kita menelisik karakteristik ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat maka tanpak
bahwa ada dua madzhab yang digunakan dalam proses ijtihad mereka, yaitu ijtihad
dengan menggunakan pendekatan naqli dan ijtihad dengan pendekatan aqli.
Pendekatan naqli yaitu lebih mengutamakan riwayat dari pada logika,
sementara pendekatan aqli lebih mengedepankan logika (akal) daripada wahyu. Kedua metode ini memiliki pengaruh yang
sangat kuat pada masa-masa sesudahnya. Para shahabat yang lebih
mengutamakan naqli diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Ubay bin ka’ab dan beberapa shahabat
lainnya. Masa-masa berikutnya para pengikut metode ini dikenal dengan istilah
ahli hadits yang dimotori oleh Imam Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal.
Sementara Umar bin khattab, Abdullah bin Mas;ud dan Muadz bin jabbal lebih
dikenal dengan pendekatan logikanya, sehingga pada masa berikutnya muncul
istilah ahli ra’yu yang dipelo;ori oleh Abu Hanifah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...