Oleh : Imam Yazid, MA
Mashlahat yang
ingin dicapai itu bisa terbagi kepada beberapa macam berdasarkan sudut pandang
yang berbeda. Amir Syarifuddin menguraikannya sebagai berikut:[1]
1.
Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum, mashlahah ada tiga macam:
a) Mashlahah Dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya
sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia tidak memiliki
arti bila lenyap salah satu saja dari lima pokok yang mesti dipelihara itu.
Segala usaha yang menjamin terpeliharanya lima pokok itu adalah mashlahat dalam
tingkat dharuri, karena itu Allah memerintahkan pelaksanaan usaha itu.
Setiap hal yang menyebabkan kemusnahan atau kerusakannya adalah keburukan,
karena itu Allah melarangnya. Dengan demikian Allah melarang murtad untuk
memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang zina untuk
memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b) Mashlahah Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang tingkat kebutuhan
manusia padanya tidak berada pada tingkat dharuri. Ia tidak secara
langsung memenuhi kebutuhan dasar lima pokok yang lima tetapi secara tidak
langsung menuju ke arah sana, seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Misalnya dalam bidang ibadah diberi
keringanan qashar shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang
musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan
yang baik-baik, di bolehkan jual beli pesanan (bay’ al-salam), kerjasama
dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semua ini
disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar diatas.
c) Mashlahah Tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang kebutuhan hidup
manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai
tingkat haji namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi
kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Mashlahah dalam bentuk tahsini
tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia. Misalnya
dianjurkan memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan
ibadah-ibadah sunat sebagai amal tambahan, dan berbagai jenis cara
menghilangkan najis dari badan manusia.
Ketiga
kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan
prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyah
harus lebih didahulukan dari kemaslahatan hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyah
lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah.
2.
Dari segi keserasian dan kesejalanan ( المناسب ) anggapan baik oleh
akal itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, mashlahah terbagi
kepada tiga macam:
a) Mashlahah Mu’tabarah ( المصلحة المعتبرة ), yaitu kemaslahatan
yang diperhitungkan oleh Syari’. Maksudnya ada petunjuk dari Syari’,
baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan petunjuk pada adanya
kemaslahatan yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Dari langsung-tidak
lansungnya petunjuk terhadap kemaslahatan tersebut, mashlahah terbagi
dua:
1) Munasib Muatstsir ( المناسب المؤثر ), yaitu ada petunjuk langsung dari
Syari’ yang memperhatikan kemaslahatan itu.
2) Munasib Mulaim ( المناسب الملائم ),
yaitu tidak ada petunjuk langsung dari Syari’ baik dalam bentuk
nash atau Ijma’ tentang perhatian syara’ terhadap kemaslahatan tersebut,
namun secara tidak langsung petunjuk itu ada.
b) Mashlahah Mulghah ( المصلحة الملغاة ), yaitu kemaslahatan yang ditolak.
Kemaslahatan ini dianggap baik oleh akal tetapi tidak diperhatikan oleh syara’
dan ada petunjuk syara’ yang menolaknya. Hal ini berarti akal
menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara’, namun
ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut
oleh kemaslahatan itu. Misalnya syara’ menentukan bahwa orang yang
melakukan hubungan seksual pada siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman
dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberikan
makan 60 orang fakir miskin (Muttafaq Alaih). Yahya ibn Yahya Al-Laits (Ahli
fiqh Maliki di Andalusia), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut
bagi seorang penguasa Spayol yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di
siang hari Ramadhan. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits
Rasul diatas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus ditetapkan secara berurut.
Kemaslahatan seperti ini disebut mashlahah mulghah.[2]
c) Mashlahah Mursalah ( المصلحة المرسلة ), yaitu sesuatu yang dipandang
baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun
tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula
petunjuk syara’ yang menolaknya.
Jumhur ulama sepakat untuk menggunakan mashlahah
mu’tabarah, sebagaimana mereka juga sepakat dalam menolak mashlahah
mulghah. Adapun penggunaan metode mashlahah mursalah dalam
berijtihad ini menjadi perbincangan yang berkepanjangan di kalangan ulama.
Wahbah al-Zuhaili mengemukakan beberapa syarat
yang harus dipenuhi untuk bisa menggunakan mashalih mursalah, berikut
syarat-syarat tersebut:[3]
1. Maslahat tersebut harus
sesuai dengan tujuan syariah, tidak bertentangan dengan pokok-pokok syariah dan
tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qath’i.
2. Maslahat tersebut harus bisa
diterima oleh akal bahwa ia memang mengandung maslahat secara pasti, bukan
hanya berupa dugaan apalagi sangkaan yang lemah. Artinya penerapan maslahat
tersebut benar-benar harus menghasilkan manfaat dan menghindarkan dari bahaya.
3. Maslahat yang dihasilkan
harus berlaku umum untuk seluruh manusia, bukan hanya dirasakan oleh individu
atau kelompok tertentu. Hal ini karena hukum syara’ diterapkan untuk seluruh
umat manusia. Dari sini, tidak sah penerapan kemaslahatan yang hanya berlaku
bagi pemimpin, keluaga dan orang dekatnya saja.
Banyak sekali contoh penggunaan mashlahah mursalah,
terutama dalam melayani dan mengurus masyarakat. Misalnya adalah peraturan lalu
lintas, keberadaan lembaga peradilan, adanya surat nikah, dan lain sebagainya.[4]
Adanya cara berijtihad dengan mashlahah mursalah ini menyebabkan hukum
Islam bisa menampung permasalahan baru namun tidak kehilangan identitasnya.
Dengan kata lain, hukum Islam akan mengarahkan kehidupan masyarakat kepada
prnsip-prinsip umumnya di satu sisi dan di sisi lain akan menyerap
kenyataan-kenyataan dan perubahan-perubahan yang sifatnya kondisional yang
terus terjadi sepanjang masa.
[1] Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, hh. 348-354.
[2] Abd al-Wahhab Khallaf,
Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 87.
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul
al-Fiqh al-islami, juz ii (Damaskus: Dar al-Fikri, 1986), h. 799-800.
[4] A. Djazuli, Ilmu
Fiqh; Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana,
2010), h. 87.
Dharuriyah al-Sittah, agama, jiwa, harta, keturunan, akal, dan kehormatan. Bagaimana menurut akhi...
BalasHapusnanti ada daruriyatus-sab'ah
Hapus