Oleh : Sholikha
Oktavi
Dilihat dari kacamata ekonomi,
sepintas zakat merupakan pengeluaran (konsumsi) bagi pemilik harta sehingga
kemampuan ekonomis yang dimilikinya berkurang. Namun logika tersebut dibantah
oleh Allah swt., melalui kitab suci Al-Quran yang menyatakan bahwa segala macam
bentuk pengeluaran yang ditujukan untuk mencapai keridhaan Allah, akan
digantikan dengan pahala (harta sejenis maupun kebaikan yang lain) yang
berlipat (QS. Al-Baqarah [2]:251 dan QS. Ar-Ruum [30]:39).
Kaitannya dalam ekonomi Islam, zakat
merupakan sistem dan instrumen orisinil dari sistem ekonomi Islam sebagai salah
satu sumber pendapatan tetap institusi ekonomi Islam (baitul maal).
Dalam literatur sejarah peradaban Islam, zakat bersama berbagai instrumen
ekonomi yang lain seperti wakaf, infak/sedekah, kharaj (pajak), ushur
dan sebagainya senantiasa secara rutin mengisi kas Negara untuk kemudian
didistribusikan kepada masyarakat. Kedudukan zakat yakni menjamin tercukupinya
kebutuhan minimal kaum lemah (mustadh’afiin) sehingga tetap mampu
mengakses perekonomian. Melalui akses ekonomi tersebut, zakat secara langsung
telah menjamin keberlangsungan pasar. Dengan sendirinya, produksi bahan-bahan
kebutuhan tetap berjalan dan terus membukukan keuntungan. Dan perlu dicatat
bahwa produsen tersebut pada umumnya adalah mereka yang memiliki status sebagai
muzakki.
Dari mekanisme ekonomi seperti di
atas-lah, maka kemudian secara filosofis zakat diartikan sebagai berkembang.
Belum lagi, zakat juga memiliki potensi yang besar untuk merangsang mustahik
untuk keluar dari keterpurukan menuju kemandirian. Dengan kata lain, zakat,
jika dikelola dengan baik dan professional oleh lembaga-lembaga (amil) yang
amanah, memiliki potensi mengubah mustahik menjadi muzakki atau
bermental muzakki atau minimal tidak menjadi mustahik lagi. Dalam
konteks Indonesia, implementasi zakat dalam perekonomian sangat relevan
terutama jika dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan (yang juga
merupakan golongan yang berhak menerima zakat) yang terus-menerus diupayakan
oleh pemerintah.
Dilihat dari aspek ibadah, zakat
memiliki posisi yang sangat vital karena merupakan salah satu dari rukun Islam
yaitu merupakan rukun islam yang ketiga. Konsekuensi logis dari posisi ini
adalah zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang jika ditinggalkan menyebabkan
pelakunya akan menanggung beban dosa. Dari penjelasan yang terdapat dalam
sumber-sumber hukum agama Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits mengisyaratkan
secara tegas bahwa orang-orang yang menahan hartanya dari membayar zakat akan
mendapat balasan yang berat. Sejarah mencatat, pada masa khalifah Abu Bakar
as-Shidiq ra., orang-orang yang tidak membayar zakat dihukum berat dengan cara
diperangi.
3.2.Peran Zakat Bagi Kehidupan
Bermasyarakat
Potensi zakat di Indonesia mencapai
Rp 9,1 triliun per tahun. Tetapi yang berhasil dihimpun tak sampai dari 1
trilliun. Mengarah pada revisi UU Pengelolaan Zakat, campur tangan pemerintah
sangat diperlukan untuk bisa merealisasikan perolehan zakat yang monumental.
(Riyadi, 2009). Apalagi supaya peran zakat dalam penanggulangan kemiskinan
dapat dioptimalkan. Hafidhuddin (2009) menegaskan bahwa zakat sebagai
instrument pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan umat memiliki banyak
keunggulan dibandingkan instrument fisik lainnya.
Sebelum berbicara tentang bagaimana
mengotimalisasi peran zakat bagi ummat, disini akan dijelaskan lebih lanjut
peran zakat bagi kehidupan bermasyarakat diantaranya :
1. Zakat sebagai alat distribusi
pendapatan
Zakat merupakan kewajiban bagi
setiap individu untuk mendistribusikan kelebihan kekayaan yang dimilikinya
kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Mekanisme distribusi pendapatan dalam
Islam dilekatkan kepada kewajiban orang kaya (muzakki) dengan insentif
yang sangat besar, baik di dunia maupun di akhirat. Allah menjamin bahwa dengan
membayar zakat (sedekah) tidak akan membuat orang miskin, bahkan hartanya di
sisi Allah akan di lipat gandakan (QS 2: 276). Kepahaman masyarakat terhadap
ajaran Islam akan mendorong pada mekanisme pembayaran zakat ini meskipun peran
pemerintah sangatlah kecil. (Suseno, 2009)
Oleh karena itu, dengan adanya
sistem ekonomi islam ini tidak akan ada yang namanya ‘yang kaya makin kaya dan
yang miskin makin miskin’. Zakat akan membuat seorang yang kaya makin kaya dan
yang miskin berubah menjadi kaya. Begitulah pemahaman yang seharusnya dipahami
oleh setiap muslim.
Kehadiran Organisasi Pengelola Zakat
(OPZ) baik di pusat maupun di daerah telah menjadi salah satu pendorong
terciptanya distribusi pendapatan yang merata antara muzakki dan mustahik.
Adanya OPZ ini juga mendorong perubahan paradigma penyaluran zakat yang semula
terbatas pada pemenuhan kebutuhan hidup yang cenderung konsumtif, bergeser
sebagian menjadi pemberdayaan ekonomi yang sifatnya produktif. (Laela dan Baga,
2011)
Kajian yang dilakukan oleh Laela dan
Baga (2009) terhadap responden masyarakat miskin yang telah mengikuti program
pemberdayaan ekonomi (PE) selama enam bulan dan mengalami peningkatan
pendapatan perbulannya. Dari 5.594 orang populasi peserta PE, diambil 385
sampel secara purposive (sengaja), dan sebanyak 255 sampel dijumpai meningkat
pendapatannya, yang kemudian dijadikan sebagai responden kajian PE. Kesimpulan
dari kajian penelitian PE ini didapatkan bahwa adanya zakat dapat menjadi salah
satu alat distribusi pendapatan, selain itu karena pendapatan para responden
juga meningkat, zakat disini juga berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan
ummat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...