PERAN DEWAN SYARIAH NASIONAL-MUI DAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA LEMBAGA BISNIS
SYARIAH/LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH[1]
(Anggota BPH DSN-MUI)
A. Pendahuluan
Ilmu syariah dapat dikerangkakan
menjadi tiga domain: 1) domain pembuatan hukum (aspek normatif syariah “diterjemhkan”
ke dalam fikih, fatwa, dan qanun); 2) domain penerapan hukum (bagaimana hukum
dijalankan); dan 3) domain penegakan hukum (bagaimana hukum ditegakan).[3]
Menjelaskan peran[4]
DSN-MUI pada prinsipnya harus menjelaskan perjuangan panjang umat Islam (baca:
ormas Islam yang bernama MUI) dalam mengupayakan terjadinya sosialisasi dan
internalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat muslim di Indonesia.
MUI memiliki peran yang sangat penting dan sangat strategis dalam
menumbuhkembangkan nilai-nilai muamalah (bagian dari nilai-nilai Islam secara
umum) dalam berbisnis. Peran penting dan strategis MUI dimaksud adalah fakta
yang menunjukkan bahwa MUI menjadi pelopor dalam sosialisasi, internalisasi,
dan memicu pertumbuhan lembaga bisnis syariah, baik lembaga keuangan syariah
(bank dan nonbank) maupun lembaga bisnis lainnya.
Peran MUI dalam kontek
pengembangan bisnis secara syariah
adalah: 1) membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) guna melakukan
kajian-kajian fikih mualamah dan menetapkannya menjadi fatwa agar masyarakat
dan industri/lembaga bisnis memilki panduan dalam melakukan bisnis secara
syariah; dari segi kerangka ilmu hukum, DSN-MUI merupakan institusi yang
bertugas menjaga dan mengharmoniskan nilai-nilai
muamalah dengan nilai-nilai serta praktek bisnis (domain pembuatan hokum); 2)
membentuk Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan bekerjasama dengan Ikatan
cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI); dari segi kerangka ilmu hukum,
institusi ini merupakan penerapan hukum bisnis syariah pertama yang diharapkan
memicu lahirnya institusi-institusi bisnis lainnya yang relatif sama; dan 3) membentuk
Badan Arbitrase Muamalat yang kemudian diubah namanya menjadi Badan Arbitrase
Syariah Nasional (baca: Basyarnas); dari segi kerangka ilmu hukum, institusi
ini merupakan institusi penegakan hukum bisnis syariah yang bersifat
nonlitigasi.
Dalam paper ini sejatinya diulas
mengenai peran dinamis MUI secara historis dan aktual dalam menumbuhkembangkan
ekonomi syariah di Indonesia; akan tetapi, paper ini dibuat atas dasar
kebutuhan panitia yang meminta penjelasan mengenai tiga hal: 1) peran DSN dan
DPS dalam menjawab permasalahan hukum pada produk-produk LKS; 2) tantangan dan
problematika penerapan fatwa-fatwa DSN di LKS; dan 3) peluang dan tantangan
sarjana muamalah (?) untuk dapat berkiprah sebagai anggota DSN dan DPS. Oleh
karena itu, substansi paper ini menc kup tiga hal tersebut. Dengan demikian,
yang diulas dalam paper ini adalah hanya dua domain mualamah: 1) domain muamalah secara normatif; dan 2) domain
muamalah dari segi penerapannya. Sementara domain muamalah dari segi
penegakannya diabaikan.
B. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI
Kedudukan Dewan Syariah Nasional (DSN)
dari sudut anggota-anggota Dewan Pengawas Syariah adalah institusi konsorsium; Para
anggota DPS dari masing-masing perusahaan dapat disatukan dengan suatu
konsorsium DPS di bawah naungan MUI dengan bekerjasama dengan pihak terkait;
konsorsium tersebut dinamai adalah DSN
untuk tingkat nasional; sedangkan konsorsium taraf internasional telah dibentuk
The Higher Shariah Supervisory Council oleh International Association
Islamic Banks, yang berkedudukan di Kairo.[5]
Visi DSN-MUI adalah memasyarakatkan
ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi masyarakat; dan misinya adalah
menumbuhkembangkan keuangan/bisnis syariah untuk kesejahteraan umat dan bangsa. [6]
Dewan Syariah Nasional (DSN)
dibentuk oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam rangka efesiensi koordinasi ulama guna
menanggapi isu-isu yang berhububungan dengan masalah ekonomi atau keuangan. Di
samping itu, DSN diharapkan berfungsi sebagai pendorong terwujudnya penerapan
ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, DSN berperan serta
secara proaktif dalam menanggapi dan mengantisipasi perkembangan ekonomi dan
keuangan syariah.[7]
Susunan pengurus DSN-MUI yang paling
mutakhir tertuang dalam Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Nomor: Kep-487/MUI/IX/2010 tentang Penetapan Pengurus Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia Periode 2010-2015, tetanggal 24 September 2010. Dalam
lampirannya tergambar bahwa Pengurus DSN-MUI terdiri atas: 1) Pengurus Pleno
DSN-MUI; dan 2) Badan Pelaksana Harian (BPH) DSN-MUI.
Pengurus Pleno DSN-MUI terdiri atas:
1) Ketua (KH M.A. Sahal Mahfudh), 2)
Ketua Pelaksana (KH Ma’ruf Amin), 3) wakil ketua (HM Din Syamsuddin, Umar
Shihab, Muhammad Amin Suma, dan. H. Didin Hafiduddin); 4) sekretaris (HM Ichwan
Sam), 5) wakil sekretaris (H. Zainut Tauhid Sa’adi dan H. Hasanudin); dan 6)
anggota (sebanyak 36 orang).
Badan Pelaksana Harian DSN-MUI
terdiri atas: 1) ketua (KH Ma’ruf Amin), 2) wakil ketua (HM Anwar Ibrahim, H.
Fatrhurrahman Djamil, dan Adiwarman A. Karim), 3) sekretaris (HM Ichwan Sam),
4) wakil sekretaris (Zainut Tauhid Sa’adi, H. Hasanudin, dan Kanny Hidaya), 5)
bendahara (H. Nadratuzzaman Hosen), dan 6) tiga bidang atau kelompok kerja: a) Pokja
Perbankan (Cecep Maskanul Hakim, Ikhwan A. Basri, Setiawan Budi Utomo, Ony
Syahroni, dan M. Nahar Nahraowi), b) Pokja Asuransi dan Bisnis (Endy M.
Astiwara, Aminudin Yakub, Agus Haryadi,
Amin Musa, dan Mohamad Hidayat), dan c) Pokja Pasar Modal dan Program (M. Gunawan
Yasni, Muhammad Touriq, Iggi H. Achsien, Jaih Mubarok, dan Yulizar D. Sanrego).[8]
Dalam Keputusan DSN-MUI Nomor: 01
Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar DSN-MUI (PD DSN-MUI) dijelaskan bahwa
kedudukan DSN adalah: 1) sebagai bagian dari MUI. Dengan kata lain, ia
merupakan perpanjangan tangan MUI dalam rangka turut serta mengembangkan
lembaga keuangan syariah; dan 2) sebagai pembantu pihak-pihak terkait
dengan lembaga keuangan syariah, seperti Kementerian Keuangan dan Bank
Indonesia.
Unsur anggota DSN terdiri atas: 1)
unsure ulama, 2) unsur pakar (ekonomi dan bisnis syariah), dan 3) praktisi bisnis
syariah. Keanggotaan ulama, pakar, dan praktisi bisnis syariah dalam DSN,
ditunjuk dan diangkat oleh MUI dengan masa bakti yang sama dengan periode masa bakti
4 tahun;[9] ditegaskan bahwa dalam Petunjuk
Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syari`ah, yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia, masa bakti pengurus DSN-MUI adalah 4 tahun.[10]
Tugas-tugas DSN adalah: 1)
menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian
pada umumnya dan keuangan pada khususnya; 2) mengeluarkan fatwa mengenai
jenis-jenis kegiatan keuangan syariah; 3) mengeluarkan fatwa mengenai produk
dan jasa keuangan syariah; dan 4) mengawasi penerapan fatwa yang telah
dikeluarkan. [11]
Kewenangan-kewenangan DSN adalah: 1)
mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing LBS/LKS
dan menjadi dasar tindakan hukum pihak-pihak terkait; 2) mengeluarkan fatwa
yang menjadi landasan bagi ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang; 3) memberikan dan mencabut rekomendasi nama-nama yang
akan duduk sebagai DPS pada LBS/LKS; 4) mengundang para ahli untuk menjelaskan
suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas
moneter; 5) memberikan peringatan kepada LBS/LKS untuk memberhentikan
penyimpangan dari fatwa yang dikeluarkan oleh DSN; dan 6) mengusulkan kepada pihak
otoritas yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan DSN
diabaikan. [12]
Mekasnisme kerja yang terdapat dalam
keputusan MUI mengenai susunan pengurus DSN pada dasarnya merupakan lanjutan
dari tugas dan wewenang DSN yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam mekanisme
kerja DSN terdapat tiga unsur yang diperhatikan: Pleno DSN, BPH-DSN, dan DPS.
Mekanisme kerja yang berkaitan
dengan pleno DSN adalah: 1) mengesahkan rancangan fatwa yang disusun oleh Badan
Pelaksana Harian DSN; 2) melakukan rapat pleno--paling tidak--satu kali dalam
tiga bulan atau apabila diperlukan; dan 3) membuat laporan tahunan yang berisi pernyataan
yang dimuat dalam annual report (laporan tahunan) mengenai LBS/LKS yang
telah atau tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN.[13]
Mekanisme kerja yang berkaitan
dengan Badan Pelaksana Harian DSN adalah: 1) menerima usulan atau pertanyaan
hukum mengenai suatu produk Lembaga Keuangan Syariah; 2) sekretariat yang
dipimpin oleh sekretaris paling lambat satu hari kerja setelah menerima usulan
atau pertanyaan, menyampaikan permaslahan tersebut kepada ketua; 3) ketua Badan
Pelaksana Harian bersama anggota serta ahli selambat-lambatnya 20 hari kerja
setelah usulan atau pertanyaan itu ada, membuat memorandum khusus yang berisi
telaah dan pembahasan pertanyaan atau usulan yang ada; 4) ketua Badan Pelaksana
Harian membawa hasil pembahasan tersebut ke dalam rapat pleno DSN untuk
mendapat pengesahan; dan 5) fatwa DSN
ditandatangani oleh ketua dan sekretaris DSN.[14]
Pokja-pokja BPH DSN dalam prakteknya
sering difungsikan sebagai Tim yang
melakukan kajian terhadap berbagai dalil dalam berbagai kitab sebagai tahap
awal penyusunan draft fatwa. Apabila permasalahan yang diajukan/dimintakan
fatwa menyangkut lintas Pokja, maka Tim
kecil dibentuk yang berasal dari pokja-pokja yang ada untuk melakukan kajian.
Apabila kajian terhadap dalil dan aqwal ulama dinilai sudah cukup, maka Tim
yang bersangkutan merumuskan fatwa dengan mempertimbangkan konsistensi
substansi (terutama disinkronkan dengan fatwa-fatwa yang sudah
diputus/dietatpkan DSN). Hasil kajian disampaikan oleh Tim kepada BPH DSN untuk
mendapatkan masukan (dilakukan sesuai kebutuhan); Tim melanjutkan kerjanya
membuat draft fatwa dengan mengakomodir masukan-masukan dari BPH DSN (yang
kemudian hasil perbaikan draft fatwa disampaikan lagi kepada BPH DSN); apabila
sudah diyakini oleh BPH bahwa draft tersebut sudah layak dan dinilai memadai,
maka BPH DSN mengambil alih hasil kerja Tim; yaitu BPH DSN mengundang Pengurus
pleno untuk membahas dan mengesahkan draft fatwa menjadi fatwa.
Peserta rapat pleno DSN-MUI
memberikan masukan baik dari segi dalil, aqwal ulama, maupun pertimbangan
manfaat-madharat apabila fatwa tersebut disetujui atau ditolak; mustafti dan
pihak terkait (pihak BI atau Kementerian Keuangan) juga diundang untuk hadir
guna memberikan kontribusi terhadap draft fatwa; draft fatwa yang dipandang
layak kemudiah disahkan menjadi fatwa dengan catatan harus diperbaiki dengan
memperhatikan masukan-masukan dari pleno dan pihak-pihak terkait. Fatwa yang
sudah disahkan dikembalikan lagi kepada BPH untuk dilengkapi dengan
mengakomodir masukan-masukan peserta rapat pleno, yang kemudian dibahas kembali
di dalam rapat BPH sampai akhirnya disepakati bahwa fatwa tersebut dinilai
legkap; kemudian dilengkapi dengan atribut lainnya (seperti penomoran) dan ditandatangani
oleh Ketua dan sekretaris; pihak sekretariat kemudian diamanahi untuk menyebarluaskannnya
kepada khalayak melalui media, termasuk media elektronik.[15]
Fatwa-fatwa DSN-MUI merupakan respon yang berupa titik-temu
antara nilai-nilai muamalah Islami
dengan pranata bisnis; ketentuan-ketentuan fatwa merupakan hasil ijtihad
mufti secara kolektif yang didukung oleh
pakar ilmu lain yang relevan guna menjelaskan
dan memastikan agar para mufti menerima dan memahami/mengerti informasi
mengenai obyek yang akan ditetapkan hukumnya dari segi syariah secara akurat
dan benar. Oleh karena itu, proses penyusunan fatwa dilakukan dengan proses
pengkajian secara berulang-ulang dan didiskusikan secara konstruktif dengan
meminta informasi dari pihak regulator, pelaku usaha/pebisnis, pihak asosiasi,
dan pihak-pihak terkait lainnya.[16]
Mekanisme kerja yang
berkaitan dengan DPS adalah: 1) DPS melakukan pengawasan secara periodik pada
lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya; 2) DPS
berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan Lembaga Keuangan Syariah kepada
pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN; 3) DPS melaporkan
perkembangan produk dan operasional Lembaga Keuangan Syariah yang diawasinya
kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali
dalam satu tahun anggaran; dan 4) DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang
memerlukan pembahasan DSN.[17]
Bagian terakhir dari
Pedoman DSN-MUI adalah pembiayaan DSN. Dalam bagian tersebut dikatakan bahwa: 1)
DSN memperoleh dana opersional dari bantuan pemerintah (Kementerian Keuangan),
Bank Indonesia, dan sumbangan masyarakat; 2) DSN menerima dana iuran bulanan
dari setiap Lembaga Keuangan Syariah yang ada; dan 3) DSN
mempertanggungjawabkan keuangan atau sumbangan kepada MUI.[18]
Dalam Keputusan DSN-MUI
Nomor: 02 Tahun 2000 tentang Pedoman Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN–MUI) ditetapkan mengenai: 1) kedudukan dan status
DSN-MUI; 2) keanggotaan, hak dan kewajiban DSN-MUI; 3) tata tertib kerja DSN-MUI;
4) fungsi dan tugas DPS; dan 5) keuangan DSN-MUI.
Pertama, kedudukan;
DSN-MUI berkedudukan di ibu kota Negara Republik Indonesia dan merupakan bagian
integral (tidak terpisahkan) dari Majelis Ulama Indonesia; dan satusnya adalah
bahwa DSN merupakan satu-satunya institusi yang berwenang dan mempunyai tugas
utama untuk mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa LBS/LKS
serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga bisnis syariah di
Indonesia.
Kedua, keanggotaan,
hak dan kewenangan DSN: 1) anggota DSN terdiri dari ulama, pakar dan praktisi
yang terkait dengan perkonomian dan muamalah serta memiliki akhlak karimah; 2) anggota
DSN ditunjuk dan dianggakt oleh MUI untuk masa bakti 4 tahun; 3) setelah jangka
waktunya habis anggota tersebut dapat dipertimbangkan untuk diangkat kembali
pada periode berikutnya; 4) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, DSN
dioperasionalkan oleh BPH DSN; 5) anggota DSN berhak mendapatkan bantuan
transport rapat; dan 6) anggota BPH DSN berhak mendapat bantuan transport
bulanan.
Ketiga, kewengan
DSN-MUI adalah: 1) mengeluarkan dan mencabut rekomendasi nama-nama yang akan
duduk sebagai DPS pada suatu lembaga bisnis syariah dengan memperhatikan
pertimbangan dari BPH DSN; 2) mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS dan
dijadikan dasar tindakan hokum pihak terkait; 3) mengeluarkan fatwa yang
menjadikan landasan bagi pihak regulator (antara lain Bank Indonesia dan
Bapepam LK); dan 4) memberikan peringatan kepada lembaga Bisnis Syariah untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa DSN-MUI.
Keempat, tata
tertib kerja DSN; 1) DSN menyelenggarakan rapat pleno sekurang-kurangnya 1
(satu) kali dalam tiga bulan atau pada waktu yang dianggap perlu; 2) materi,
waktu, dan tempat rapat ditentukan oleh BPH DSN dengan persetujuan ketua dan
sekretaris DSN; 3) surat undangan rapat disampaikan kepada anggota DSN
sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum rapat dilaksanakan; dan 4) surat
undangan rapat ditandatangani oleh ketua dan sekretaris DSN.
Rapat pleno yang
diselenggarakan oleh DSN dimaksudkan untuk: 1) menetapkan, mengubah, dan
mencabut berbagai fatwa dan pedoman kegiatan LKS; 2) mensahkan atau
mengklarifikasi hasil kajian terhadap usulan atau pertanyaan mengenai suatu
produk atau jasa LKS; dan 3) materi rapat pleno disiapkan dan diajukan oleh
BPH-DSN.
Kegiatan-kegiatan DSN
lainnya antara lain adalah: 1) menerbitkan laporan tahunan secara reguler
disertai pernyataan secara resmi bahwa LBS/LKS yang bersangkutan telah/tidak
memenuhi ketentuan syariah/fatwa DSN; 2) memberikan saran-saran pengembangan
LBS/LKS kepada direksi dan/atau komisaris mengenai operasional LBS/LKS yang
bersangkutan; 3) menerima usulan dan pertanyaan mengenai status hukum suatu
produk/jasa LBS/LKS yang ditujukan langsung kepada sekretariat DSN untuk
diteruskan/disampaikan kepada ketua BPH-DSN; 4) ketua BPH-DSN bersama dengan
para ahli membuat memorandum yang berisi hasil penelaahan dan pembahasan suatu
usul/pertanyaan yang kemudian menjadi materi utama dalam rapat pleno DSN guna
dijadikan fatwa; dan 5) membentuk DPS sebagai wakil DSN pada LBS/LKS yang
bersangkutan dengan ketentuan bahwa DPS dibolehkan merangkap jabatan
sebanyak-banyaknya 2 (dua) LKS pada lokasi yang sama dengan alamat yang
berbeda.
[1] Paper disaampaikan
dalam acara Seminar dan Workshop Review Kurikulum Program Studi Muamalah (HUkum
Bisnis Islam) yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel
Surabaya, tanggal 29-31 Maret 2012 di Surabaya.
[2]Jaih Mubarok lahir
di Bogor, 17 September 1967; Guru Besar Hukum Islam Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung; nyantri di Pesantren
Darussalam Ciamis; S1 Fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN) SGD Bandung; S1
Fakultas Ekonomi Universitas Ars Internasional (sekarang Universitas BSI) Bandung;
S2 Pascasarjana IAIN (sekarang UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta; S2 Ilmu Hukum (PK Hukum Bisnis) Universitas
Djuanda Bogor; dan S3 Pascasarjana IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta; telah riset di bidang syariah dan hukum
bisnis, sebagian telah dipublikasi sekitar dua puluh buku; di antaranya tentang
Fatwa DSN-MUI; sekarang aktif mejadi anggota BPH DSN-MUI.
[3]Satjipto Rahardjo, Ilmu
Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2000), hlm. 175-185; pada buku ini
dijelaskan mengenai proses hukum yang terdiri atas: 1) pembuatan hukum; dan 2)
penegakan hukum. Dalam Naskah Akademis: Money Laundering (Jakarta: Mahkamah
Agung RI. 2006) digambarkan mengenai tiga domain: 1) domain pengaturan mengenai
tindak pidana pencucian uang; 2) domain penerapan undang-undang tentang anti
pencucian uang; dan 3) domain penegakan undang-undang tentang anti pencucian
uang. Meskipun tidak sepenuhnya sama, kerangka berpikir ilmu syariah ini
dikenalkan sebagai upaya pengembangan ilmu syariah; sebab fikih, fatwa, dan
qanun dapat dimasukkan pada domain pembuatan hukum; kontrak-kontrak syariah di
LBS/LKS dapat dimasukkan ke dalam domain penerapan hukum; dan penyelesaian
sengketa bisnis secara syariah baik melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi
termasuk dalam domanin penegakan hukum. Jimly Asshiddiqie (Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi) dalam kuliah umum yang disampaikan dalam acara Dies
Natalis ke-39 UIN Sunan Gunung Djati, mengungkapkan hal-hal berikut: Pertama,
hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri
atas elemen: 1) kelembagaan (institutional), 2) kaidah aturan (instrumental),
dan 3) perilaku subyek hukum yang menjalankan hak dan kewajiban yang ditentukan
oleh norma aturan (elemen subyektif dan kultural). Kedua, ketiga elemen
sistem hukum tersebut mencakup: 1) kegiatan pembuatan hukum (law making),
2) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating), 3)
kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjucating) atau
penegakan hukum dalam artian sempit (law enforcement), 4) pemasyarakatan
dan pendidikan hukum (law socialization and law education), dan 5)
pengelolaan informasi hukum (law information management). Lima kegiatan
tersebut dibagi ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara: 1) fungsi
regulasi dan legislasi, 2) fungsi eksekutif
dan administratif, dan 3) fungsi yudikatif dan yudisial. Lihat Jimly Asshiddiqie, "Pembangunan
Sistem Hukum Nasional: Hukum Islam dan Integrasi Pendidikan Hukum," Orasi
Ilmiah Dies Natalis ke-39 UIN Sunan Gunung Djati Bandung, pada tanggal 9 April
2007, hlm. 1-2. Dengan demikian, proses hukum muamalah yang mencakup:
pembuatan, penerapan dan penegakan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
lima proses hukum seperti yang dijelaskan Jimly Asshiddiqie. Peraturan
Mahakamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
adalah salah satu domain law making dalam konteks penegakan hukum Islam.
[4]peran (role) merupakan aspek
dinamis dari kedudukan (status). Peran paling sedikit mencakup tiga hal: 1)
peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
individu dalam masyarakat; peranan dalam arti ini meupakan rangkaian peraturan
yang membimbing individu dalam kehidupan kemasyarakatan; 2) peran adalah suatu
konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai
organisasi; dan 3) peranan juga dapat diartikan sebagai perikelaku individu yang penting bagi struktur sosial
masyarakat. Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 1987), cet. ke-3, hlm. 221; dan Henry Pandapotan
Panggabean, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan (Bandung:
PT Alumni. 2008), cet. ke-1, hlm. 31-32.
[5]Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad
Syafi‘i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1992),
hlm. 14.
[7]
Konsideran (bagian b)
Surat Keputusan MUI Nomor Kep-98/MUI/III/ 2001 tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah
Nasional Masa Bakti 2000-2005.
[8]Lampiran Surat Keputusan Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-487/MUI/IX/2010 tentang Penetapan
Pengurus Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Periode 2010-2015,
tetanggal 24 September 2010.
[9]
Lampiran Keputusan MUI
No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun
2000-2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin III).
[11]Dalam Keputusan DSN-MUI Nomor: 01
Tahun 2000 tentang Pedoman Dasar DSN-MUI (PD DSN-MUI), III, ditetapkan bahwa
masa bakti kepengurusan DSN MUI adalah 4 tahun; akan tetapi, dalam surat
keputusan MUI tergambar bahwa masa bakti pengurus DSN-MUi adalah 5 tahun; lihat
antara lain Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor:
Kep-487/MUI/IX/2010 tentang Penetapan Pengurus Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia Periode 2010-2015, tetanggal 24 September 2010.
[13]
Lampiran Keputusan MUI
No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun
2000-2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin V, A).
[14]
Lampiran Keputusan MUI
No. Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun
2000-2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin V, B).
[15]Langkah-langkah penerbitan fatwa
DSN-MUI dirincikan sebagai berikut: pertama, masalah yang diajukan oleh
industri/regulator/ masyarakat ke BPH
DSN-MUI dilakukan kajian oleh Kelompok Kerja/Pokja yang relevan dengan
melakukan langkah-langkah: 1) case hearing dengan pemohon, 2) klarfikasi dengan
pihak terkait, 3) draft formulasi masalah, 4) konfirmasi para pihak, dan 5)
formulasi masalah; kedua, formulasi masalah disampaikan oleh Pokja
kepada BPH DSN-MUI yang selanjutnya dilakukan: 1) kajian hokum yang berupa: a)
analisis dalil/adillah, dan b) analisis terhadap aqwal ulama, 2) industry and
regulatory hearing, 3) draft formulasi solusi, 4) konfirmasi kepada regulator,
5) formulasi solusi/draft fatwa; dan ketiga, draft fatwa dari BPH
DSN-MUI disampaikan kepada Pleno DSN-MUI
untuk diadakan sidang pleno dengan rangkaian kegiatan: 1) presentasi draft
fatwa oleh BPH DSN-MUI, 2) tanggapan pleono (umum dan khusus), 3) penyempurnaan
draft fatwa, 4) harmonisasi dengan fatwa dan regulasi lain, dan 5) persetujuan
fatwa. Lihat H.M. Ichwan Sam dkk (Tim Penyunting), Tanya Jawab Seputar Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: DSN-MUI. 2011), hlm.
19-20.
[16]Unsur-unsur fatwa adalah: 1)
Mustafti (peminta/pemohon fatwa), 2) Mufti/pihak otoritatif yang memiliki
kewenangan untuk menyampaikan opini/fatwa, 3) as’ilah/pertanyaan atau
permasalahan yang diajukan agar mendapkan fatwa; dan 4) ajwibah/fatwa/ketetapan
yang berupa pendapat mufti yang merupakan solusi atas hal-hal yang
dipertanyakan.
[17]Keputusan DSN-MUI Nomor: 01 Tahun
2000 tentang Pedoman Dasar DSN-MUI (PD DSN-MUI).
[18]Lampiran Keputusan MUI No.
Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI masa bakti Tahun
2000-2005, tentang Pedoman DSN-MUI (bagin VI). Surat tersebut ditandatangani
oleh Ketua Umum MUI (K.H.M. Sahal Mahfudh) dan Sekretaris Umum (H.M. Din
Syamsuddin) tertanggal 30 Maret 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...