Oleh : Ghoniyya Hamida & Medyny Andhira
Baitul
maal berasal dari bahasa Arab (bayt al-mal) yang bermaksud "rumah
harta". Dalam sejarah Islam, baitul maal merupakan institusi keuangan yang
bertanggungjawab mentadbir cukai. Baitul maal berfungsi sebagai perbendaharaan
khalifah dan sultan yang mengurus kewenangan pribadi dan perbelanjaan kerajaan.
Ia juga mengurus pengagihan zakat untuk rakyat awam. Pakar ekonomi Islam moden
menganggap rangka institusi baitul maal merupakan cara yang sesuai untuk
masyarakat Islam sekarang.
Pengertian
Baitul Maal menurut para Ulama ialah “Pihak yang mengelola keuangan Negara,
mulai dari menghimpun, memungut, mengembangkan, memelihara hingga
menyalurkannya”. Definisi tersebut ditegaskan oleh Imam Mawardi dalam kitab
Ahkam Sulthoniyyah dengan mendefinisikannya sebagai “Tempat/wadah untuk memelihara/
menjaga hak-hak keuangan Negara. Baitul Maal juga diartikan petugas yang
berwenang dalam mengatur keuangan Negara tersebut.”
B. Sejarah Baitul Maal
Baitul Maal pertama sekali
dirumuskan dan didirikan oleh Rasulullah SAW dengan sangat simpel, hal tersebut
dibuktikan dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan pendelegasian tugas Baitul
Maal oleh Rasulullah SAW kepada beberapa orang sahabat tertentu, seperti tugas
pencatatan, tugas penghimpunan zakat hasil pertanian, tugas pemeliharaan zakat
hasil ternak dan juga pendistribusian. Hal tersebut menjadi landasan yang kuat
bahwa Baitul Maal sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW sekalipun belum dalam
bentuk institusi yang baku. Selanjutnya dimasa kekhalifahan Abu Bakar tidak
terlalu ada perubahan yang besar berkaitan dengan Baitul Maal.
Perubahan yang besar terjadi pada
masa kekhalifahan umar bin Khattab dengan dioperasikannya system administrasi
pencatatan dengan system “Ad Diwaan”. Selanjutnya Baitul Maal semakin berkembang
dimasa-masa berikutnya sampai Baitul Maal telah terbentuk sebagai lembaga
ekonomi atas usulan seorang ahli fikh Walid bin Hisyam. Sejak masa itu dan
masa-masa selanjutnya (dinasti Abasiyah dan Umayah) Baitul Maal telah menjadi
lembaga penting bagi Negara (mulai dari penarikan zakat (juga pajak), ghonimah,
kharaj, sampai membangun jalan, menggaji tentara dan juga pejabat Negara serta
membangun sarana sosial).
Dilihat dari konteks masa sekarang
Baitul Maal dimasa itu menjalankan fungsi sebagai Departemen Keuangan,
Departemen Sosial dll. Namun pengertian Baitul Maal dalam konteks istilah BMT
kini lebih menyempit maknanya. Baitul Maal dalam konteks BMT hanya menjalankan
fungsi sosial yang lepas dari kaitan politik Negara. Baitul Maal dalam kaitan
BMT mempunyai kegiatan yang menyempit yaitu hanya menerima dan menyalurkan
zakat, infak, shodaqoh (ZIS) yang tidak bersifat komersial. Penyalurannya
difokuskan kepada mustahiknya yaitu delapan asnaf yang telah ditentukan dalam
aturan syariah dengan prioritas utama untuk fakir miskin. Baitul Maal dalam
kaitannya dengan BMT ialah menyalurkan dana Qordhul Hasan yang tidak
berorientasi komersial untuk keperluan kesejahteraan dan pengembangan ekonomi
ummat.
Dalam perkembangannya kedepan
pengelolaan dana ZIS ini telah diakomodir dengan pemberlakuan UU no 38 tahun
1998 tentang pengelolaan zakat. Namun BMT masih signifikan sebagai lembaga yang
bersinggungan langsung dengan akar rumput kaum dhuafa yang dengan demikian
memiliki kesempatan besar sebagai mitra kerja Lembaga Pengelola Zakat, baik
berfungsi sebagai unit penghimpun ZIS maupun sebagai mitra menyalurkan ZIS.
Jadi, baitul maal merupakan lembaga
atau pihak (Arab: al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta
umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara, sejarah keberadaannya
ternyata cukup menarik untuk disimak, berikut ini sejarah ringkas baitul maal
tersebut dari sejak jaman nabi hingga jaman kekhalifaan yang terakhir.
1.
Masa Rasulullah
SAW (1-11 H/622-632 M)
Baitul Mal dalam arti terminologisnya
seperti diuraikan di atas, sesungguhnya sudah ada sejak masa Rasulullah SAW,
yaitu ketika kaum muslimin mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) pada
Perang Badar (Zallum, 1983). Saat itu para shahabat berselisih paham mengenai
cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT yang
menjelaskan hal tersebut:
‘Mereka bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, Harta rampasan perang
itu adalah milik Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan
perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya jika kalian benar-benar orang-orang yang beriman.‘ (QS Al Anfaal : 1)
Dengan ayat ini, Allah menjelaskan
hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak
bagi seluruh kaum muslimin. Selain itu, Allah juga memberikan wewenang kepada
Rasulullah SAW untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai
kemaslahatan kaum muslimin. Dengan demikian, ghanimah Perang Badar ini menjadi
hak bagi Baitul Maal, di mana pengelolaannya dilakukan oleh Waliyyul Amri kaum
muslimin yang pada saat itu adalah Rasulullah SAW sendiri sesuai dengan
pendapatnya untuk merealisasikan kemaslahatan kaum muslimin (Zallum, 1983).
Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul
Maal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap
harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu
Baitul Maal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat
itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang
diperoleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta
dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa
membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya
peperangan, tanpa menunda-nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera
menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
Seorang shahabat bernama Hanzhalah
bin Shaifi yang menjadi penulis (katib) Rasulullah SAW menyatakan : ‘Rasulullah
SAW menugaskan aku dan mengingatkan aku (untuk membagi-bagikan harta) atas
segala sesuatu (harta yang diperoleh) pada hari ketiganya : Tidaklah datang
harta atau makanan kepadaku selama tiga hari, kecuali Rasulullah SAW selalu
mengingatkannya (agar segera didistribusikan). Rasulullah SAW tidak suka
melalui suatu malam sementara ada harta (umat) di sisi beliau. (Zallum, 1983).
Pada umumnya Rasulullah SAW
membagi-bagikan harta pada hari diperolehnya harta itu. Hasan bin Muhammad
menyatakan :‘Rasulullah SAW tidak pernah menyimpan harta baik siang maupun
malamnya…‘
Dengan kata lain, bila harta itu
datang pagi-pagi, akan segera dibagi sebelum tengah hari tiba. Demikian juga
jika harta itu datang siang hari, akan segera dibagi sebelum malam hari tiba.
Oleh karena itu, saat itu belum ada atau belum banyak harta tersimpan yang
mengharuskan adanya tempat atau arsip tertentu bagi pengelolaannya (Zallum,
1983).
2.
Masa Khalifah
Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Keadaan seperti di atas terus
berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah,
keadaan Baitul Maal masih berlangsung seperti itu di tahun pertama
kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah
kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan
membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Untuk urusan
ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Hal
ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al Jarrah saat Abu Bakar dibaiat
sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata kepadanya, ‘Saya akan membantumu
dalam urusan pengelolaan harta umat.’ (Zallum, 1983).
Kemudian pada tahun kedua
kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Maal dalam arti
yang lebih luas. Baitul Maal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang
menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk
menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa
karung atau kantung (ghirarah) untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke
Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah
yang sangat wara (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua
setelah beliau dibaiat sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau
mengambil harta umat dari Baitul Maal untuk keperluan diri dan keluarganya.
Diriwayatkan oleh lbnu Saad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh
muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang, membawa
barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke
pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab.
Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.”
Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang
jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana
aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada
Abu Ubaidah (pengelola Baitul Maal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.”
Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan
(tawidh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang
secara sederhana, yakni 4000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Maal.
Menjelang ajalnya tiba, karena
khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul Maal, Abu Bakar
berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang pernah
diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8000 dirham. Ketika keluarga Abu Bakar
mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar, “Semoga
Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah orang-orang yang
datang setelahnya.” Artinya, sikap Abu Bakar yang mengembalikan uang tersebut
merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan dilaksanakan oleh para Khalifah
generasi sesudahnya (Dahlan, 1999).
3.
Masa Khalifah
Umar bin Khatthab (13-23 H/634-644 M)
Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin
Khatthab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian masuk
ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Maal. Ternyata Umar hanya mendapatkan
satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya.
Akan tetapi setelah
penaklukanpenaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada
masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan
Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh
karena itu, Umar lalu membangun sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta,
membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya,
menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang.
Kadangkadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid dan
segera membagibagikannya. Mengenai mulai banyaknya harta umat ini, Ibnu Abbas
pernah mengisahkan :
‘Umar pernah memanggilku, ternyata
di hadapannya ada setumpuk emas terhampar di hadapannya. Umar lalu berkata :
‘Kemarilah kalian, aku akan membagikan ini kepada kaum muslimin. Sesungguhnya
Allah lebih mengetahui mengapa emas ini ditahan-Nya dari Nabi-Nya dan Abu
Bakar, lalu diberikannya kepadaku. Allah pula yang lebih mengetahui apakah
dengan emas ini Allah menghendaki kebaikan atau keburukan’
Selama memerintah, Umar bin Khatthab
tetap memelihara Baitul Maal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu
yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang
berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir
(700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah
dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah
ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin
serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara
orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum
muslimin.” (Dahlan, 1999).
4.
Masa Khalifah
Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada
masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya,
tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul
Mal. Dalam hal ini, lbnu Saad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123
H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang
menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam
jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia
memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi
Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir
serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman)
menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan
oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Maal
sambil berkata, “Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul
Maal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara
sanak kerabatku.” Itulah sebab rakyat memprotesnya. (Dahlan, 1999).
5.
Masa Khalifah
Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Talib, kondisi Baitul Maal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya.
Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Maal, seperti disebutkan oleh lbnu
Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separuh
kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
Ketika berkobar peperangan antara
Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah),
orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari
Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk
mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali
sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari
kemenangan dengan kezaliman. Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama
matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”(Dahlan, 1999)
6.
Masa
Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di bawah
kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Maal berubah. Al Maududi
menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Maal dikelola dengan penuh
kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa
pemerintahan Bani Umayyah Baitul Maal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah
tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
Keadaan di atas berlangsung sampai
datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah
717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Maal dari pemasukan harta
yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak
menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka
mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Di
samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang waktu
itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Maal. Harta tersebut
diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta itu
terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi SAW
wafat dijadikan rnilik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani
Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik
pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya. (Dahlan, 1999)
Akan tetapi, kondisi Baitul Maal
yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya
itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan
sendi-sendi Baitul Maal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa
Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit kritik yang
datang dan ulama, namun semuanya diabaikan, atau ulama itu sendiri yang
diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi,
mengecam tindakan Abu Jafar Al Mansur (khalifah ke-2 Bani Abbasiyah, memerintah
754-775 M), yang dipandangnya berbuat zalim dalam pemerintahannya dan berlaku
curang dalam pengelolaan Baitul Maal dengan memberikan hadiah kepada banyak
orang yang dekat dengannya.
lmam Abu Hanifah menolak bingkisan dan
Khalifah Al Mansur. Tentang sikapnya itu Imam Abu Hanifah menjelaskan, “Amirul
Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia memberiku dari Baitul Maal,
milik kaum muslimin, sedangkan aku tidak memiliki hak darinya. Oleh sebab itu,
aku menolaknya. Sekiranya Ia memberiku dari hartanya sendiri, niscaya aku akan
menerimanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...