Oleh : Sayed Muhammad Husen
Pada umumnya muslimin Aceh menunaikan zakat fitrah pada penghujung bulan
suci ramadhan. Mereka menyerahkan kepada panitia yang ada di masjid, meunasah,
bahkan ada juga yang membayar zakat fitrah kepada guru pengajian. Hanya sedikit
yang menyerahkan masing-masing kepada mustahik atau melalui organisasi
keagamaan, Perti dan Muhammadiyah, misalnya.
Biasanya, sebuah kampung, sejak malam 27 ramadhan secara otomatis terbentuk
panitia penerima zakat fitrah yang dikomandoi oleh imam masjid/meunasah.
Dibantu oleh beberapa anggota dari unsur aparatur gampong dan kepemudaan.
Mereka berkerja dua hingga tiga malam untuk menerima dan mendisribusikan zakat
ini. Bahkan, bagi gampong yang penduduknya relatif sedikit, mereka mampu
menyelesaikannya dalam satu malam.
Pada umumnya di Aceh, zakat fitrah dibayar dalam bentuk beras atau uang tunai.
Diterima dan dicatat oleh panitia (amil). Bahkan, ada yang disertai dengan
bacaan, bahwa zakat telah diserahkan dan panitia pun menerimanya untuk
disalurkan kepada yang berhak menerimanya. Terjadilah ijab kabul.
Hal menarik dari prosesi penerimaan dan penyaluran zakat fitrah di gampong,
semuanya terjadi dalam suasana terbuka dan penuh persaudaraan. Masyarakat dapat
menyaksikan dari dekat siapa saja yang menyerahkan dan siapa pula yang menerima
zakat fitrah. Dapat pula mengakses pencatatan dan pelaporan zakat yang dibuat
oleh panitia. Sungguh transparan. Sungguh pengelolaan zakat fitrah di gampong
berlangsung dalam semangat silaturrahim antar warga gampong.
Celaknya memang, kita masih menjumpai gampong tertentu yang mendistribusikan
zakat fitrah kepada 100% warga. Dengan semangat kebersamaan pula, mereka telah
memutuskan, bahwa 100% warga gampong itu terdiri dari fakir miskin. Tak ada
upaya untuk memilah mana yang sudah dianggap “mampu” (tak pantas menerima
zakat) dan siapa pula yang masih miskin.
Seharusnya, pihak berwenang, dalam hal ini Dinas Syariat Islam dan Departemen
Agama perlu lebih gencar lagi melakukan sosialisasi, bahwa zakat fitrah hanya
diperuntukkan bagi fakir dan miskin. Kemudian pihak kantor statistik, juga
dapat melakukan hal serupa dan menjelaskan berapa persen sebenarnya fakir dan
miskin pada setiap gampong di Aceh.
Dengan demikian, kita harapkan, zakat fitrah akan lebih mendekati sasaran yang
ingin dicapai yaitu “memberdayakan” fakir miskin. Andai saja zakat fitrah
benar-benar didistribusikan untuk fakir miskin, maka sebagian dari zakat fitrah
itu dapat digunakan untuk pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan. Sehingga
pemberdayaan tidak hanya berlangsung selama tiga atau empat hari, hanya selama
idul fitri saja.
Sumber: Gema Baiturrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...