Oleh : Sabila Rasyad
Kondisi dan
Perkembangan Hukum Islam
Keberhasilan pemerintahan Muawiyyah yang paling menonjol adalah
perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai ke Aljazair, Tunisia, dan Maroko,
bahkan Spanyol dan pantai samudera Atlantik di sebelah barat, ke Asia kecil dan
Turki di sebelah utara, dan ke beberapa wilayah yang pernah menjadi Negara
bagian dari Uni Soviet (sekarang Rusia), seperti Uzbekistan, dan Tabristan.
Luasnya wilayah kekuasaan ini menjadi faktor semakin berkembangnya
Hukum Islam, mengingat semakin banyak dan kompleksnya persoalan baru yang
muncul dalam pergulatan interaksi sosial antar bangsa, yang memerlukan jawaban
dari Islam sebagai agama petunjuk kehidupan umat manusia. Semakin luas wilayah
kekuasaan Islam, semakin banyak pula aspek sosiologis (adat istiadat dan
budaya) masing-masing komunitas dalam suatu bangsa yang harus diserap dan
diakomodasi oleh Islam. Pada gilirannya akan semakin terbuka pula peluang bagi
para ulama untuk melakukan ijtihad dalam menentukan ketetapan-ketetapan hukum.
Persoalan yang menonjol pada masa ini diantaranya adalah munculnya
hadits-hadits palsu dari orang-orang yang fanatik sekte dan golongan. Sehingga
muncul dua kelompok ulama yang berbeda pendekatan dalam mensikapinya. Kedua kelompok
ini dikenal dengan kelompok ahl al-Hadits dan ahl al-Ra'yi. Namun demikian,
dalil hukum yang digunakan pada masa ini adalah al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma, dan
Ijtihad atau Qiyas.
Selain perluasan wilayah kekuasaan Islam dan semakin kompleksnya
problem kehidupan umat, beberapa faktor lain diantaranya adalah : pertama,
faktor personal mujtahid, disebabkan oleh potensi intelektual, guru, lingkungan
keluarga, dan kecenderungan subyektivitas yang beraneka ragam. Kedua, faktor
lingkungan sosial, seorang mujtahid yang hidup dalam lingkungan masyarakat
agraris akan menghasilkan pendapat yang berbeda dengan mujtahid lain yang hidup
yang hidup dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat pedagang. Ketiga, faktor
politik atau kehendak penguasa. Sering terdengar sebuah fatwa dan hasil ijtihad
pesanan penguasa, dan dalam faktanya hamper sulit ditemukan ulama dan mujtahid
pada masa dinasti muawiyah yang betul-betul steril dari pengaruh istana.
Pengaruh Ahli
Hadits dan Ahli Nalar terhadap Hukum Islam
Secara
kewilayahan, kelompok ahli hadits kebanyakan adalah para ulama yang ada di
Madinah. Ulama Madinah yang tergabung dalam kelompok ahlul hadits ini tidak
diketahui jumlahnya secara pasti karena tidak pernah ditemukan catatan husus.
Namun diantara mereka ada yang termasuk kepada tujuh ulama Madinah yang disebut
dengan al-Fuqaha al-Sab'ah, yaitu : Sa'id bin Musayyab (w.94 H.), Urwah
bin Zubair (w.94 H.), Abu Bakar bin Abdurrahman al-Makhzumi (w. 94 H.), Ubaidillah
bin Abdullah bin Utbah bin Abdullah bin Mas'ud (w.98 H.), Kharijah bin Zaid bin
Tsabit (w.99 H.), al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w.107 H.), dan Sulaiman
bin Yasar (w.107 H.).
Sementara
ulama-ulama yang tinggal di wilayah Kuffah (Irak) membentuk komunitas yang
disebut ahlurra'yi. Yaitu, komunitas ulama yang lebih banyak menggunakan
nalar dalam upaya menetapkan hokum yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam
al-Qur'an dan al-Sunnah. Diantara mereka adalah : Abdullah bin Mas'ud, Abu Musa
al-Asy'ari, Sa'ad bin Abi Waqash, 'Amar bin Yasir, Khuzaifah bin Yaman, dan
Anas bin Malik. Keenam orang sahabat ini merupakan generasi pertama ulama
Madinah yang tinggal di Kuffah. Jumlah mereka semakin bertambah terutama
setelah terbunuhnya Utsman mencapai 300-an orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...