Oleh : Abu Abdissalam
Rasulullah saw adalah guru dan pendidik seluruh manusia,
bahkan guru dan pendidik terbaik seumur zaman. Rasulullah saw mendeklarasikan
dirinya sebagai seorang mu`allim atau seorang guru yang merupakan tugas
yang diembannya dari Allah Swt.[1]
Rasulullah saw bersabda:
`Abdullāh Ibn 'Amr ia berkata; Pada suatu hari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam keluar dari salah satu kamarnya dan masuk ke dalam
masjid. Lalu beliau menjumpai dua halaqah, salah satunya sedang membaca Al
Qur`an dan berdo'a kepada Allah, sedang yang lainnya melakukan proses belajar
mengajar. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda:
\"Masing-masing berada di atas kebaikan, mereka membaca Al Qur`an dan
berdo`a kepada Allah, jika Allah menghendaki maka akan memberinya dan jika
tidak menghendakinya maka tidak akan memberinya. Dan mereka sedang belajar,
sementara diriku diutus sebagai pengajar, \" lalu beliau duduk bersama
mereka. (Hr. Ibn Majah)[2]
Sebagai seorang murabbī bagi manusia, Rasulullah
saw dibekali Allah swt dengan beberapa kompetensi, yang merupakan keharusan
untuk dimiliki agar berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi-kompetensi
ini dapat dibagi menjadi 5 jenis[3]:
1.
Kompetensi Nama
Rasulullah
saw memiliki beberapa nama yang bukan hanya berfungsi sebagai tanda pengenal,
tetapi di dalamnya terkandung sifat-sifat yang menunjukkan terpuji dan
sempurnanya Rasulullah saw.[4]
Rasulullah
saw bersabda:
"Sesungguhnya
aku memiliki beberapa nama. Aku adalah Muhammad, Ahmad, al-Māhi yang maknanya
dengankulah Allah menghilangkan kekafiran. Aku juga adalah al-Hāsyir, yang
maknanya manusia dibangkitkan di atas telapak kakiku. Dan aku juga al
'Āqib.\" (Hr. Bukhari)[5]
Dalam
sebuah hadis disebutkan:
"Hai
Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira
dan pemberi peringatan.., \" (Al Fath: 8). Sama dengan ayat yang ada di
dalam Taurat berbunyi: \"Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi
saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan dan pelindung bagi
orang-orang `Arab, kamu adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku, dan Aku menamaimu Al
Mutawakkil (orang yang bertawakkal tinggi). Engkau bukan orang yang berperangai
buruk, juga bukan berwatak keras dan bukan sakhkhob (orang yang cerewet,
berteriak keras-keras) di pasar.\" Dan beliau tidak membalas kejahatan
dengan kejahatan serupa akan tetapi beliau mema'afkan dan mengampuninya, dan
Allah tidak akan mewafatkan beliau sampai beliau meluruskan Millah (dien) Nya
yang bengkok, hingga manusia mengucapkan Lā Ilāha IllAllāh, sehingga dengannya
beliau dapat membukakan mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang lalai.\" (Hr. Bukhari)[6]
Nama
lainnya adalah Ahmad, seperti diceritakan oleh Nabi `Isa as kepada kaumnya. Dia
juga bernama al-`Āqib (yang datang belakangan), al-Hāsyir (yang menumpulkan)
dan al-Māhi (yang menghapus). Nama al-Māhi, al-Hāsyir, al-Muqaffī,
dan al-`Āqib telah ditafsirkan di dalam hadis Jubair Ibn Muth`īm.[7]
2. Kompetensi Nasab
Kehormatan
dan kebersihan nasab atau garis keturunan Rasulullah saw yang dilahirkan dari
kabilah terhormat di Bangsa Arab dijelaskan langsung oleh Rasulullah saw dalam
sabdanya:
“Sesungguhnya Allah swt memilih Kinānah dari keturunan
Ismail, memilih Quraisy dari keturunan Kinānah, memilih Banī Quraisy dari
keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Banī Hāsyim”. (Hr. Muslim)[8]
Nama Rasulullah saw secara lengkap keturunannya adalah
Muhammad Ibn `Abdullāh Ibn `Abd al-Muththalib Ibn Hāsyim Ibn `Abd al-Manāf Ibn
al-Qushai Ibn Kilāb Ibn Murrah Ibn Ka`ab Ibn Luay Ibn Ghālib Ibn Fihr Ibn Mālik
Ibn al-Nadhar Ibn Kinānah Ibn Khuzaimah Ibn Mudrikah Ibn Ilyās Ibn Mudhar Ibn
Nizār Ibn Ma`ād Ibn `Adnān.[9]
Abû Sufyān mengakui di hadapan Heraklius tentang
ketinggian dan kemuliaan nasab Rasulullah saw, ketika ditanya: “Bagaimana
nasabnya di kalangan kalian?”, Abû Sufyān menjawab: “Dia di kalangan kami
memiliki nasab (yang baik)”, Heraklius berkata: “Begitulah para Rasul diutus
pada nasab kaumnya”.[10]
3. Kompetensi Khalq
Maksud
dari arti khalqiyah adalah bentuk lahir atau fisik yang Allah Swt
ciptakan dalam diri Rasulullah saw[11].
Dalam bentuk fisik dan lahir ini, kepribadian Rasulullah saw memiliki dua
kesempurnaan dan kematangan, yaitu:
a.
Panca indera yang baik, anggota tubuh yang sempurna dan
akal yang cerdas
b.
Bahasa yang lugas dan tegas serta wajah yang memikat[12]
4.
Kompetensi Khuluq
Kata
al-Khalqu, al-Khulqu dan al-Khuluqu pada dasarnya satu
arti, akan tetapi kata al-khalqu lebih spesial pada gaya, bentuk dan
gambar yang dapat terlihat oleh mata kepala, sedangkan al-Khuluq lebih
spesial pada kekuatan dan karakter yang terlihat oleh mata hati.[13]
5. Kompetensi Adab
Rasulullah
saw diberikan anugerah besar oleh Allah swt dengan adab-adab yang amat tinggi.
Semua kehidupan beliau dipenuhi dengan adab, yaitu menggunakan semua perkataan
dan perbuatan yang terpuji serta memelihara diri dari semua jenis kesalahan.[14]
Rasulullah saw amat beradab kepada Allah swt, Pencipta,
Pemilik dan Pengatur urusan semua alam semesta, juga dengan kalam-Nya atau
kalimat-kalimat wahyu yang disampaikan kepada nya. Rasulullah saw amat beradab
terhadap dirinya sendiri sebagai utusan Allah Swt. Rasulullah saw pun amat
beradab kepada semua manusia dan seluruh alam semesta.[15]Sehingga,
dalam semua perkataan dan perilaku Rasulullah saw ditemukan semua adab dan
tata-krama.
Seluruh ilmuwan (al-`ulamā) bersepakat bahwa
materi pendidikan rabbāniyah di masa Rasulullah saw berasal dari wahyu
yang berbentuk Kalāmullāh (kata-kata Allah Swt), yaitu al-Qur`ān serta
tafsir dan penerapan Rasulullah saw terhadapnya yang dikenal dengan sunnah.[16]
Dalam
diskursus ilmu metodologi hukum (Ushūl al-Fiqh), materi-materi yang
diajarkan Allah Swt sebagai al-Rab dijabarkan oleh Rasulullah saw dalam
bentuk tiga hal: 1) memberikan penekanan dan penguat materi-materi wahyu yang
terdapat dalam al-Qur`ān, seperti kewajiban shalat dan lain-lain, 2) memberikan
penjelasan dan penafsiran materi-materi global wahyu yang terdapat dalam
al-Qur`ān, seperti jumlah bilangan shalat, zakat dan lain-lain, serta 3)
memberikan materi-materi tambahan yang tidak terdapat dalam wahyu al-Qur`ān
yang sama kedudukannya sebagai wahyu.[17]
Seluruh
materi rabbāniyah ini diajarkan oleh Rasulullah saw dalam dua periode
kehidupannya, yaitu periode Mekah (selama kurang lebih 13 tahun) dan periode
Madinah (selama kurang lebih 10 tahun). [18]
Jika
dilihat dari tugas kenabian dan kerasulan yang tercantum dalam ayat-ayat
al-Qur`ān [19],
materi-materi pendidikan di masa Rasulullah saw terbagi dalam tiga rumpun
berdasarkan tujuan materi masing-masing:
1.
Materi membaca ayat-ayat Allah Swt (tilāwah al-ayāt)
Pengajaran
al-Qur`ān al-Karīm dalam sejarah telah dimulai sangat awal sekali, yaitu
setelah Bai`at al-`Aqabah pertama saat Mush`ab Ibn `Umair rda diutus
oleh Rasulullah saw sebagai seorang duta guru ngaji al-Qur`ān untuk masyarakat
Madinah serta mengajarkan pula hukum-hukum syari`ah. Karena itu pula, Mush`ab
Ibn`Umair dikenal dengan julukan “al-Muqrī”.[20]
Ibn
Syaibah dan al-Wāqidī meriwayatkan dalam hadits-hadis yang dikumpulkan oleh
keduanya tentang hijrah Ibn Ummi Maktûm bahwa saat dia menuju Madinah untuk
berhijrah setelah perang Badar, dia sempat singgah di sebuah rumah yang dikenal
dengan nama “Dār al-Qurra”, yaitu rumahnya Makhramah Ibn Naufal.[21]
Sejarah
jejak pengajaran al-Qur`ān di masa Rasulullah saw dapat ditunjukkan dalam dua
bukti:
Pertama,
para ahli membaca al-Qur`ān –sejak mula sejarah- telah menjadi sekte sosial
yang cukup dikenal.
Kedua,
para ahli membaca al-Qur`ān ini memiliki rumah-rumah khusus tempat mereka
mempelajarinya.[22]
Bahkan,
dengan bahasa yang sangat jelas, Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk
mengambil ilmu membaca al-Qur`ān dari empat orang sahabat yang dikenal, yaitu:
“Ambillah oleh kalian al-Qur`ān dari
empat orang: `Abdullāh Ibn Mas`ûd, Sālim, Mu`ādz dan Ubay Ibn Ka`ab”. (Hr.
Bukhāri)[23]
2.
Materi penyucian hati (tazkiyah al-nafs)
Sedangkan artikulasi al-tazkiyah dari dimensi
istilah syar`i (terminologis agama), menurut Ahmad Farīd
(seorang ulama kontemporer yang sangat konsern dengan pendidikan jiwa) adalah:
“Maksud
tazkiyah al-nufûs adalah mensucikan dan mengharumkannya, sehingga jiwa selalu
siap memperkenankan Tuhannya serta beruntung di dunia dan akhiratnya,
sebagaimana Allah Swt berfirman [Sungguh beruntung orang yang mensucikan
(mentazkiyah) jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya] (Qs. Al-Syams
[91]: 9-10)”.[24]
Materi-materi yang
diajarkan Rasulullah saw untuk mentazkiyah jiwa-jiwa sahabatnya menurut hasil
kajian para ulama adalah:
a. Materi Tauhid dan
Akidah Keimanan
1)
Seluruh ulama sīrah nabawiyyah –berdasarkan hasil
penelitian Muhammad Amhazûn- bersepakat bahwa sejak di Makkah, Rasulullah saw
menanamkan materi-materi tauhid dan akidah keimanan kepada manusia. Materi-materi
tersebut meliputi: Men-tauhid-kan Allah swt dalam rubûbiyah-Nya,
Men-tauhid-kan Allah swt dalam ulûhiyah-Nya, Dua pondasi dasar
dibangunnya keta`atan pengabdian kepada Allah swt, yaitu: a) tidak beribadah
kecuali kepada Allah swt, dan b) tidak beribadah kecuali dengan syari`atNya
yang disampaikan melalui lisan rasulNya. Tauhid mencakup perkataan dan
perbuatan, Men-tauhid-kan Allah dalam nama-nama dan sifat-sifatNya. serta
Beriman kepada al-yaum al-akhīr (hari akhirat)[25]
b. Materi Ibadah
Rasulullah
saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang terkait dengan masalah
shalat. Bahkan shalat menjadi pencegah perbuatan keji dan munkar. (Hr. Al-Nasāi)[26]
Rasulullah
saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang berkaitan dengan masalah
shaum. (Hr. Muslim)[27]
Rasulullah
saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang berkaitan dengan masalah
zakat. (Hr. Muslim)[28]
Rasulullah
saw mengajarkan kepada para sahabatnya semua hal yang berkaitan dengan masalah
haji. (Hr. Muslim)[29]
c. Materi Akhlak dan
Adab
Materi akhlak di masa Rasulullah saw berisi pada dua
bahasan utama yaitu: (a) menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji (al-akhlāq
al-mahmûdah), dan (b) membuang akhlak-akhlak tercela (al-akhlāq
al-madzmûmah).
Pada akhlak-akhlak terpuji, Rasulullah saw mengajarkan
akhlak-akhlak sebagai berikut[30]:
Sabar, Tawakkal, Adil, Kasih sayang, Malu, Jujur, Derma, Rendah hati
Pada akhlak-akhlak tercela Rasulullah saw melarang
akhlak-akhlak sebagai berikut:Dzalim, Hasad, Menipu, Ujub dan Tertipu, Lemah
dan Malas.
d. Materi Doa dan
Zikir
Dalam Pendidikan rabbaniyah di masa Rasulullah saw,
materi-materi dalam rumpun tazkiyah adalah materi-materi yang tidak terpisah
satu dengan lainnya, karena di rumpun inilah materi-materi pembentukan karakter
rabbāniyah berpusat dan berputar. Rasulullah saw mengajarkan aqidah keimanan
melalui ibadah, akhlak atau adab dan do`a, mengajarkan ibadah melalui aqidah
keimanan, akhlak atau adab dan doa, mengajarkan akhlak atau adab melalui aqidah
keimanan, ibadah dan doa, serta mengajarkan doa melalui aqidah keimanan,
ibadah, akhlak atau adab.[31]
Rasulullah saw mengajarkan bahwa salah satu syarat
diterimanya doa seorang hamba adalah memakan makanan yang halal, karena Allah
swt adalah Zat Yang Maha Thayyib (baik), sehingga tidak menerima satu doa yang dipanjatkan
kepada-Nya kecuali dari orang yang thayyib dan yang memiliki perilaku yang
thayyib.[32]
3.
Materi ta`līm al-Kitāb dan al-hikmah
Rasulullah
saw mengaitkan semua peristiwa sejarah, alam dan sosial kemasyarakatan dengan
dasar-dasar keimanan kepada yang gaib, ibadah dan akhlak yang mulia. Rasulullah
saw mengajarkan bahwa peristiwa kusuf (gerhana matahari) dan khusuf (gerhana bulan) terkait dengan keagungan dan
kekuasaan Allah swt, bukan karena takhayyul kematian seseorang atau mistik
karena ada peristiwa bencana dan lain-lain..\"[33]
Metode Rasulullah saw dalam mendidik umatnya diajarkan langsung oleh Allah
swt dalam firman-Nya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al-Nahl [16]:125)
Metode Rasulullah saw dalam mendidik umatnya diajarkan langsung oleh Allah
swt dalam firman-Nya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al-Nahl [16]:125)
1.
Pendekatan Hikmah (Kebijaksanaan).
Dalam
pendekatan hikmah, Rasulullah saw menerapkan metode pendidikan yang sangat
memperhatikan unsur-unsur dasar antara lain:
a.
Memperhatikan tadarruj (tahapan) pembelajaran.[34]
b.
Menjaga etika berkomunikasi dan mengajak berbicara setiap
orang sesuai dengan kadar pemikiran mereka..[35]
c.
Menjaga maslahat dan menolak mudarat..[36]
d.
Menjaga Aulawiyāt (prioritas).[37]
e.
Menjaga waktu. Rasulullah saw sangat memperhatikan waktu
mengajar dan belajar agar tidak membosankan para sahabatnya.[38]
f.
Menjaga Perencanaan dan Manajemen pendidikan.[39]
2.
Pendekatan Mau`idzah Hasanah (Nasehat yang Baik)
a.
Metode Kisah
b.
Metode Dharb al-Amtsāl
c.
Metode Targhīb dan Tarhīb
d.
Metode Uswah atau Qudwah
e.
Metode Tafakkur dan Tadabbur atau Tadzakkur.
f.
Metode Soal-Jawab
g.
Metode Amr Ma`rûf dan Nahi Munkar
h.
Metode Ta`wīd (Pembiasaan)
i.
Pendekatan Jidal Bi al-Lati Hiya Ahsan (Diskusi
Terbaik)
Dalam menjalankan misi pendidikan, untuk melihat tingkat atau kadar penguasaan
sahabat terhadap materi pelajaran, Rasulullah saw juga mengevaluasi
sahabat-sahabatnya. Dengan mengevaluasi sahabat-sahabat, Rasulullah saw
mengetahui kemampuan para sahabat dalam memahami ajaran agama atau dalam
menjalankan tugas.[40]
Unsur-unsur muhasabah yang dijalankan oleh Rasulullah saw berada di seputar
indikator iman dan kufur, di mana dengan indikator-indikator iman seseorang
dapat meraih derajat kemuliaan dan dengan indikator kufur seseorang mendapatkan
derajat kehinaan.
[1] Muhammad
Ibn `Abdullāh al-Duwesy, al-Mudarris wa Mahārāt al-Taujīh, Riyād: Dār
al-Wathan, 2000, Cet ke-4, hlm. 22
[2] Muhammad
Ibn Yazīd al-Qazwīnī, Sunan Ibn Mājah, Bāb Fadhl al-`Ulamā wa al-Hats
`alā Thalab al-`Ilm, Juz. I, hlm. 88, Nomor: 229
[3] Disarikan
dari beberapa sumber, antara lain: 1) Rasyīd Manshûr Muhammad al-Subbāhī, `Ard
Manhaj al-Qur`ān fi al-Tarbiyyah al-Rabbāniyyah li al-Nabi Muhammad saw,
Iskandariah: Dār al-Imān, 2008, Cet ke-1, hlm. 63-78, 2) Muhammad Ibn `Īsā
al-Tirmidzī, al-Syamāil al-Muhammadiyah wa al-Khashāish al-Mushthafawiyah,
Beirut, Dar al-Fikr, 1994. 3) Shālih Ibn `Abdullāh Ibn Humaid dan `Abd
al-Rahmān Ibn Muhammad Ibn `Abd al-Rahmān Ibn Mallûh, Mausû`ah Nadhrah
al-Na`īm Fī Makārim Akhlāk al-Rasûl al-Karīm, Jeddah: Dār al-Wasīlah, 2004,
Cet ke-3, Juz. I, hlm. 415-447, 4) Aidh al-Qarni dan Manshur Ibn Nashir
al-`Awaji, Edisi Indonesia: Muhammad Sang Idola Dilengkapi Dengan Penjelasan
Tentang Mukjizat-Mukjizat Nabi saw, Penerjemah: Najib Junaedi, Surabaya:
eLBA, 2006, Cet ke-1, 5) Shafiy al-Rahmān al-Mubārakfûrī, al-Rahīq
al-Makhtûm, Riyād: Dār al-Muayyid, 1995, dan 6) `Alī al-Hasanī al-Nadwī, al-Sīrah
al-Nabawiyyah, Damaskus: Dār al-Qalam, 2004, Cet ke-2
[4] Muhammad
Ibn Abû Bakr Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma`ād Fī Hadyi Khair al-`Ibād,
Beirut: Muassasah al-Risālah, 1994, Cet ke-27, Juz. I, hlm. 86
[5] Muhammad
Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Kitāb al-Tafsīr, Bāb Ya`tī
Min Ba`dī Ismuhu Ahmad, hlm. 1023, Nomor: 4896
[6] Ibid,
Kitāb al-Tafsīr, Bāb Inna Arsalnāka Syāhidan wa Mubasysyiran wa Nadzīran, hlm.
1008, Nomor: 4838
[7] Ibid
[8] Muslim
Ibn al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisābûrī, Shahīh Muslim, Beirut: Dār Ibn
Hazm, 1998, cet ke-1, hal. 1249 Nomor Hadis: 2276
[9] Muhammad
Ibn Ismāīl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Kitāb al-Arabi,
2007, Kitab Manāqib al-Anshār; Bāb Mab`ats al-Nabi saw, hal. 777
[10] Yahyā bin
Ibrāhim al-Yahyā, Madkhal Li Fahm al-Sīrah, Madinah: Dār al-Khudairī,
1420, cet ke-1, hal. 71
[11] `Iyādh Ibn
Mûsā Ibn `Iyādh al-Yahshabi, al-Syifā Bi Ta`rīf Huqūq al-Mushthafā,
Beirut: Dār al-Kitāb al-`Arabi, 1984, Juz. I, hal. 81
[12] Manshûr
Muhammad al-Shubbāhī, `Ardh Manhaj al-Qur`ān Fī al-Tarbiyah al-Rabbāniyah Li
al-Nabi Muhammad saw, Iskandaria, Dār al-Imān, 2008, cet ke-1, hal. 65
[13] Ahmad
al-Thûkhī dan Ahmad Mushthafā, al-Silsilah al-Dzahabiah Fī al-Akhlāq
al-Islāmiyah, Kairo: Maktabah al-Sunnah, 2000, Cet ke-1, Juz I, hal. 19
[14] Ahmad
al-Thukhi dan Ahmad Mushthafa, al-Silsilah al-Dzahabiah Fi al-Akhlak
al-Islamiyyah, hlm. 114
[15] Ibid,
115-116
[16] Ahmad
Salam, Mā Anā `Alaihi wa Ashhābī; Dirāsat Fī Asbāb Iftirāq al-Ummah wa
Muqawwimāt Wihdatiha al-Syar`iyyah wa al-Kauniyyah Min Khilāl Hadīts al-Iftirāq,
Beirut: Dār Ibn Hazm, 1995, cet ke-1, hal. 84
[17] Muhammad
Ibn Husen Ibn Hasan al-Jīzāni, Ma`ālim Ushûl al-Fiqh `Inda Ahl al-Sunnah wa
al-Jamā`ah, Dammām, Dār Ibnu al-Jauzī, 1428, Cet ke-6, hal: 119
[18] Lihat:
Akram Dhiyā al-`Umurī, al-Sīrah al-Nabawiyyah Muhāwalah Li Tathbīq Qawā`id
al-Muhadditsīn Fi Naqd al-Riwāyat al-Sīrah al-Nabawiyyah, Juz. I hal. 129
[19] Lihat: Qs.
Al-Jumua`ah [62]:2
[20] `Abd
al-Malik Ibn Hisyām al-Mu`āfirī, al-Sīrah al-Nabawiyyah, Saudi Arabia:
Dār al-Bayān al-Hadītsah, 2001, cet ke-1, Juz II, hal. 52
[21] Yûsuf Ibn
Umar al-Numairī Ibn `Abd al-Bar al-Qurthubī, al-Istī`āb Fī Ma`rifah
al-Ashhāb, Beirut: Dār al-Kitāb al-`Arabī, 2000, cet ke-2, Juz II, hal.
250-251
[22] Muhammad
Amhazûn, Manhaj al-Nabi saw Fī al-Da`wah Min Khilāl al-Sīrah al-Shahīhah,
Mesir: Dār al-Salām, 2002, cet ke-1, hal. 181
[24] Ahmad
Farīd, Tazkiyah al-Nufûs, Iskandaria: al-Maktabah al-`Ashriyah, 2005,
cet ke-1, hal. 4
[25] Muhammad
Amhazûn, Manhaj al-Nabi saw Fī al-Da`wah Min Khilāl al-Sīrah al-Shahīhah,
hal. 21-34
[26] Ahmad bin
Syu`aib al-Nasāī al-Khurāsānī, Sunan al-Nasāī, Kitāb al-Shalāt, Bāb
al-Muhāsabah `ala al-Shalāt, Beirut: Maktabah al-Mathbû`at al-Islāmiyyah, 1986,
Juz. I, hal. 250, No Hadis: 461
[27] Muslim Ibn
al-Hajjāj al-Qusyairī al-Naisāburī, Shahīh Muslim, Kitāb al-Shiyām, Bāb
Fadhl al-Shiyām, hal. 580, No Hadis: 1151
[28] Ibid,
Kitāb al-Zakāt, Bāb Qabûl al-Shadaqah Min al-Kasb al-Tahyyib wa Tarbiyyatuhā,
hal. 506, No Hadis: 1014
[29] Ibid,
Kitāb al-Haj, Bāb Fī Fadl al-Haj wa al-`Umrah wa Yaum `Arafah, hal. 704, No
Hadis: 1350
[30] Ahmad
Mu`ādz Haqqī, al-Arba`ûn Hadītsan Fī al-Akhlāk Ma`a Syarhihā, Riyād: Dār
Thuwaiq, 1993, hal. 14-104
[31] Sayyid
Sa`īd `Abd al-Ghanī, Haqīqat al-Walā wa al-Barā Fi Mu`taqad Ahl al-Sunnah wa
al-Jamā`ah, Iskandaria: Dār al-Īmān, 2006, hlm. 136
[32] Rāsyid Ibn
Husain al-`Abd al-Karīm, Al-Durūs al-Yaumiyah Min al-Sunan wa al-Ahkām
al-Syar`iyyah, Riyād: Dār al-Shumay`ī, 2002, Cet ke-2, hlm. 79
[33] Muhammad
Ibn Ismā`īl al-Bukhāri, Shahīh al-Bukhāri, Kitāb al-Kusūf, Bāb al-Shalāt
Fī Kusūf al-Syams, hlm. 212, Nomor: 1042
[34] `Ali Ibn
Nafī` al-`Ulyāni, Ahammiyah al-Jihād Fī Nasyr al-Da`wah al-Islāmiyyah Wa
al-Rad `Alā al-Thawāif al-Dhāllah Fīh, Riyād: Dār Thayyibah, 2003, Cet
ke-4, hlm. 136-144
[35] Muhammad
Ibn Ismā`īl al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhārī, Kitāb al-`Ilm Bāb Man
Hakshsha Bi al-`Ilm Qauman Duna Qaumin Karāhiyah an Lā Yafhamû, Hal : 42
[36] Ibid, Bāb
Man Taraka Ba`dha al-Ikhtiyār Makhāfah An Yaqshur Fahm Ba`dhi al-Nās `Anhu
Fayaqa`û Fī Asyad Minhu, Nomor: 126
[37] Ibid,
Kitāb al-Zakāt, Bab Wujûb al-Zakāt, hlm. 283, Nomor: 1395
[38] Ibid,
Kitab al-`Ilm, Bab Ma Kana al-Nabi saw Yatakhawwaluhum Bi al-Mau`idzah wa
al-`Ilm Kay La Yanfiru, hlm. 30,Nomor: 68
[39] Mazin Ibn
`Abd al-Karim al-Freh, al-Raid Durus Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah, Juz. III,
hlm. 59-62
[40] Samsul
Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, Hadis Tarbawi Membangun Kerangka
Pendidikan Ideal Perspektif Rasulullah, hlm. 179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...