Oleh: Cipto Sembodo, M.A
Akhir kekuasaan VOC awal abad ke-19 M. menandai suatu titik
balik hukum Islam di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda mulai
mempertanyakan dan berangsur-angsur memperlemah eksistensi dan akhirnya
men-delegitimasi hukum Islam. Seperti dijelaskan pada paragraf di bawah ini,
dalam konteks inilah lahir debat-debat teoretis mengenai keberlakuan hukum
Islam. Dan, dalam rangkain ini pula politik hukum pemerintah Belanda melahirkan
berbagai aturan dan ketetapan baru yang mendelegitimasi hukum Islam.
Debat Teoretis dan Upaya Delegitimasi
Meski begitu, sepanjang abad ke-19 M. sebenarya masih kuat
dianut pendapat dikalangan ilmuwan dan pemerintah Belanda bahwa di Indonesia
berlaku hukum Islam bagi masyarakat Islam. Pendapat ini antara lain dikemukakan
oleh Salomon Keyzer (1823-1868) dan Lodewijk Willem Cristian van den Berg
(1845-1927). Lebih jauh, van den Berg, yang tinggal di Indonesia tahun
1870-1887, kemudian merumuskan berlakunya hukum Islam tersebut dalam teori
receptio in complexu.
Sepanjang abad 19 M juga lahir berbagai Stb.dan resolusi
gubernur jenderal yang berisi pengakuan
terhadap eksistensi hukum Islam. Dapat dicatat secara berturut-turut
diantaranya Stb. November 1808, Stb. No. 22 tahun 1820, Resolusi gubernur
jenderal 3 Juni 1923 dan Resolusi gubernur jenderal 7 Desember 1935. Puncaknya
adalah dibentuknya Pengadilan Agama (Priesterrad-pengadilan pendeta) pada 1882
di setiap wilayah Landraad (Pengadilan Umum), memalui Stb No. 152.
Memasuki abad 20 sejalan dengan makin seringnya
pemberontakan, kecurigaan pemerintah kolonial-pun makin meningkat kepada
masyarakat Muslim. Teori receptio in complexu makin dikritik. Hal itu didorong
sebelumnya oleh nasehat Van Vollen Hoeven (diabadikan menjadi nama perpustakaan
di Belanda), kemudian dilanjutkan oleh Snouck Hurgronje dan murid-muridnya yang
berpendapat bahwa hukum Islam sebenarnya tidak berlaku di tengah-tengah
masyarakat Nusantara.
Berdasarkan penelitiannya di Aceh tahun 1893-1894, Snouck
Hurgronje berkesimpulan bahwa yang berlaku hanyalah unsur-unsur tertentu dari
hukum Islam yang sudah menjadi bagian dari adat kebiasaan di beberapa daerah
tertentu. Pemikiran Snouck Hurgronje inilah yang dikenal sebagai teori
receptie. Karena itu pula, pasal 132 (2) IS yang menyatakan bahwa hukum Islam
akan berlaku jika telah diterima (gerecepted) oleh hukum adat seringkali
disebut pasal receptie.
Dicabutlah Compedium Freijer dengan Stb No. 55 tanggal 3
AGUSTUS 1928. Sejak saat itu, maka berakhirlah berlakunya Hukum perkawinan
Islam yang tertulis. Begitu pula hukum waris Islam, dicabut keberlakuannya pada
17 Februari 1913 dengan STB 354. Akibat dicabutnya Compedium Freijer itu maka
berarti tidak ada lagi ketetapan yang secara khusus mengatur hukum perkawinan
Islam dan hukum waris Islam bagi orang-orang Indonesia maupun bagi umat Muslim.
Sejak saat itu hingga lahirnya UU No. 2 tahun 1946,
perkawinan diatur menurut golongannya. (1)Bagi orang Eropa berlaku KUHP (BW).
(2)Bagi orang Arab dan Timur Asing (yang bukan Tionghoa) berlaku adat mereka.
(3)Bagi orang Tionghoa berlaku secara umum KUHP, kecuali pencatatan dan prosesi
pra-nikah. (4)Bagi pribumi berlaku adat mereka, plus bagi orang kristen berlaku
undang-undang perkawinan kristen jawa, minahasa dan ambon. (5)Bagi orang selain
itu, berlaku perkawinan campuran.
Selain membagi-bagi menjadi beberapa golongan atas dasar ras,
seperti disebut di paragraf di atas, tampak kentara sekali upaya mengadu-domba
antar sesama anak negeri dan mempertentangkan sistem hukumnya. Teori receptie
inilah sesungguhnya yang mengawali pendekatan konflik antara sistem hukum di
Indonesia. Perbedaan antara Islam dan adat dipertegas oleh pemerintah kolonial
dalam politik hukum dan kebijakan legislatifnya. Hukum Islam kemudian
dipertentangkan sedemikan rupa vis a vis adat menjadi hubungan konflik yang
seolah-olah tak terselesaikan.
Untuk memperkuat argumen ilmiah dan melegitimasi teori
receptie Snouck Hurgronje ini, lantas dikembangkan terminologi “adatrecht”.
Dibuatlah disiplin baru bernama “adatrecht” --kini menjadi “hukum adat”-- untuk
menonjolkan secara sistematis dan ilmiah isu adat versus hukum Islam. Disiplin
baru inilah yang dikembangkan lebih jauh oleh Ter Haar. Selain itu, kedudukan
hukum Islam secara hirarkis ditempatkan di posisi ke tiga setelah hukum Hindia
Belanda dan adat. Metode devide et
impera seperti inilah yang secara efektif diterapkan pemerintah kolonial untuk
melemahkan hukum Islam.
Sumber : http://publik-syariah.blogspot.com/2011/03/belanda-delegitimasi-hukum-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...