Beliau bernama Majid ‘Irsan al-Kilani, dilahirkan di Irbid Yordania pada
tahun 1356 H/1937. Pada tahun 1383 H/1963 memperoleh gelar Sarjana S-1 (Lc) dalam Sejarah dari Universitas Kairo, juga
berhasil menyelesaikan jenjang Diploma di bidang Pendidikan dari
Universitas Yordania pada tahun 1389 H/1969. Kemudian pada 1393 H/1986 berhasil
merampungkan pendidikannya pada
jenjang S-2 bidang Sejarah Islam di Universitas Amerika cabang Beirut. Pada tahun yang sama, ia pun berhasil meraih Magister
dalam Filsafat Pendidikan dari Universitas Yordania.
Tidak puas dengan
kemampuan intelektual yang telah diperolehnya, ia kemudian melanjutkan jenjang S-3 pada Fakultas Pendidikan di
Universitas Pittsburg negara bagian Pensilvania Amerika Serikat pada
tahun 1401 H/1981.
Di antara jabatan akademik
yang pernah diembannya adalah:
·
Dosen Sejarah Pendidikan di Fakultas Khusus
Perempuan, Saudi Arabia.
·
Direktur Pusat Studi Bahasa
Arab di Departemen Bahasa Asing, Universitas Pittsburg Amerika Serikat.
·
Direktur Pusat Pengkajian Pendidikan di
Kementerian Pendidikan Yordania.
·
Dosen dan Guru Besar Pendidikan Islam dan Filsafat
Pendidikan di Fakultas
Pendidikan Universitas King ‘Abdul ‘Aziz dan Universitas Ummul Qura, Saudi
Arabia.[1]
Kiprah Pendidikan al-Kilani
Untuk mengetahui pemikiran al-Kilani tentang pendidikan Islam, maka unsur terpenting
yang dijadikan acuan dan landasan utama untuk dapat mengungkap konsep, kualitas dan bobot pemikirannya adalah melalui karya-karya ilmiah yang telah dihasilkan dan
dipublikasikannya.
Berdasarkan persfektif tersebut, maka al-Kilani tergolong tokoh yang concern
dalam mengkaji dinamika pendidikan Islam, terbukti dengan cukup banyak “karya
khususnya” tentang pendidikan Islam, antara lain:
1. Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah fī Tarbiyah al-Fard wa Ikhrāj al-Ummah wa Tan-miyah al-Ukhuwwah al-Insāniyyah (Visi-Misi Pendidikan Islam dalam Mendidik Pribadi,
Mengkader Umat dan Menumbuhkembangkan
Persaudaraan Insani), (Virginia:
The International Institute of Islamic Thought, 1998, cet. ke-2).
Buku ini memaparkan visi-misi pendidikan Islam, yang dianggap al-Kilani sebagai
salah satu penyebab kemunduran pendidikan[2], karena lemahnya pendidikan Islam dalam pencapaian empat visi-misi
utamanya, yaitu “melahirkan”: (1) individu yang
baik (al-fard al-shālih); (2) keluarga Islami (al-usrah al-muslimah); (3) umat pengemban risalah kenabian (ummah al-risālah); dan (4)
“menciptakan” persaudaraan insani (al-ukhuwwah al-insāniyyah).[3]
2. Falsafah
al-Tarbiyah al-Islāmiyyah: Dirāsah Muqāranah baina
Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah wa
al-Falsafāt al-Tarbawiyyah al-Mu’āshirah (Filsafat Pendidikan Islam: Studi Komparatif Filsafat
Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Kontemporer), (Mekkah: Maktabah al-Manārah, 1987, cet. ke-1).
Buku ini dapat dikategorikan sebagai bukti otentik yang mengurai “ide asli” (genuine) tentang pemikiran
pendidikan Majid ‘Irsan al-Kilani.
Menurutnya, diskur-sus Filsafat Pendidikan (Islam) merupakan kajian yang
sangat urgen (hāmmun) dan sangat mendesak (dharūrī) untuk dikaji karena
empat faktor, yaitu:
a. Kedudukan
filsafat pendidikan yang urgen dalam semua proses pendidikan (‘amaliyyāt tarbawiyyah);
b. Rancunya
terminologi (mafhūm) filsafat pendidikan dalam studi pemikiran Barat dan diskursus kontemporer saat ini;
c. Menemukan filsafat
pendidikan “baru” yang dapat menyelesaikan krisis kema-nusiaan yang akut; dan
d. Hajat kebutuhan
terhadap aturan manajemen dan studi kependidikan di dunia Arab dan Islam
terhadap model Filsafat Pendidikan Islam.[4]
3. al-Fikr al-Tarbawī
‘inda Ibn Taimiyyah (Pemikiran Pendidikan
Islam Persfektif Ibnu
Taimiyyah ), (Madinah: Maktabah Dār
al-Turāts, 1986, cet. ke-2).
Buku ini merupakan kajian kritis analitik terhadap pemikiran pendidikan Islam Syekh al-Islam Ibnu
Taimiyyah tentang pendidikan aqidah dan sosial kemasyara-katan (mabhats
fī ushūl al-tarbiyah al-‘aqadiyyah wa
al-ijtimā’iyyah al-Islāmiyyah kamā
fassarahā Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah: dirāsah tahlīliyyah
nāqidah)[5].
Salah satu kajian menarik tentang pendidikan yang dikaji dalam buku ini –selain pemikiran
pendidikan Ibnu Taimiyyah – adalah kritik (intiqād) Ibnu Taimiyyah terhadap lima
model pendidikan yang ada, yaitu madrasah ahli fikih (fuqahā’),
ma-drasah kalangan Sufi, madrasah para
filosof, madrasah ahli kalam atau teolog, dan madrasah sekte Syi’ah, yang banyak mempengaruhi model pemikiran pendidikan Islam dan bahkan
masih banyak dianut oleh tokoh pendidikan kontemporer.[6]
4. Hakadzā Zhahara Jīl Shalāh al-Dīn wa Hakadzā ‘Ādat al-Quds (Kemunculan Generasi Shalahudin
dan Kembalinya al-Aqsa Palestina), (Uni Emirat Arab: Dār al-Qalam, 2002,
cet. ke-3)[7].
Buku ini berisi
kajian sejarah analitik (dirāsah tahlīliyyah
li al-tārīkh) tentang masa
Shalahudin al-Ayyubi dengan meruntut berbagai peristiwa sejarah
yang melatarbelakangi proses pembaharuannya
(ishlāh), termasuk dalam bidang pendidikan (tarbiyah)
dan kependidikan (madrasah), serta kontribusi positif yang dapat diambil
sebagai “pencerahan”, baik dalam ranah pemikiran, politik, sosial maupun
pendidikan.[8]
Walaupun buku ini tidak secara khusus mengkaji tentang pendidikan Islam, namun ada satu pasal yang sangat penting untuk
dicermati –termasuk dalam bidang pendidikan–, tepatnya bab kelima dan terakhir,
yaitu tentang rambu-rambu sejarah dan
implementasi kontemporernya (qawānīn tārīkhiyyah wa tathbīqāt mu’āshirah).[9]
5. Tathawwur Mafhūm al-Nazhariyyāt al-Tarbawiyyah al-Islāmiyyah (Sejarah Konsepsi Epistemologi Pendidikan Islam), (Madinah:
Dār al-Turāts, 1985, cet. ke-3).
Menurut Dr. Mahmud Arif, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, buku ini banyak
memberi informasi tentang dinamika
konsepsi pendidikan Islam hingga kurun modern.
Buku ini mengungkap pula polarisasi pemikiran pendidikan Islam yang ter-jadi, beberapa faktor penyebabnya, dan
pemikiran para tokohnya. Namun buku ini tidak
secara spesifik memaparkan konstruksi epistemologis dan implikasi kependi-dikannya.[10]
Sedangkan menurut pendapat Dr. H. Maksum, Dosen STAIN Cirebon, salah satu paparan menarik yang disajikan al-Kilani
dalam buku ini adalah pandangannya tentang sasaran pendidikan Islam (mayādīn al-tarbiyah al-Islāmiyyah) berdasarkan
sebuah ayat yang ternyata diulang secara
hampir serupa sebanyak empat kali.[11] Yaitu mencakup
aspek akidah, pembersihan atau pelurusan tingkah laku, penyiapan tata
pikir dan pemberian pengetahuan yang Islami, serta aspek penyiapan keterampilan
kerja.[12]
Dalam buku ini juga, al-Kilani membagi pola-pola pendidikan Islam menjadi
empat, dengan berdasar pada aliran pemikiran yang timbul dalam Islam. Pola-pola
itu adalah madrasah al-fuqahā’ wa al-muhadditsīn, madrasah Shūfiyyah,
madrasah al-Falāsifah wa al-‘Ulūm al-Thabī’iyyah, dan madrasah al-Ushūliyyūn
wa ‘Ilm al-Kalām.[13] [14]
Pemikiran al-Kilani tentang Pendidikan
Dalam pendidikan –termasuk pendidikan Islam–, gagasan dan pemikiran
pendidikan seorang tokoh, bisa dikaji dalam “Filsafat
Pendidikan” yang digagas dan dipraktekkannya, yang biasanya meliputi; (1) visi, misi dan sifat; (2) dasar dan asas;
(3) tujuan; (4) pendidik; (5) anak didik; (6) metode; (7) lingkungan;
(8) kurikulum; dan (9) evaluasi pendidikan.[15] Dalam
pernyataan yang hampir serupa, ada pula yang mengungkapkan bahwa ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam
secara garis besar mencakup kajian dan pembahasan mengenai: (1) dasar dan tujuan pendidikan; (2)
pendidik; (3) peserta pendidikan; (4) pro-ses; (5) strategi; (6) pendekatan dan metode; (7) kurikulum; (8)
lingkungan; (9) sumber dan media; (10) sistem evaluasi; dan (11) sarana
dan prasarana pendidikan Islam.[16]
Yang lain
menyatakan bahwa ruang lingkup Filsafat Pendidikan Islam yang dapat dipergunakan
untuk “membedah” pemikiran dan gagasan seorang tokoh, juga termasuk dalam salah satu ruang lingkup “Ilmu Pendidikan
Islam” yang meliputi; pembahasan teoritis,
akademis, dan prinsip tentang konsep pendidikan Islam dengan berbagai
aspek-nya, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, dan
sebagainya.[17]
Aspek filosofis
(Filsafat Pendidikan Islam) tersebut kemudian dikembangkan pula dalam diskursus “Pemikiran Pendidikan Islam” yang
biasanya meliputi tiga prinsip, yaitu: (1) prinsip ontologis, bahwa pendidikan yang menjadi objek
kajian pemikiran tidak se-lamanya bersifat
realistis, akan tetapi ada kalanya yang bersifat fenomena dan abstrak; (2) prinsip epistemologis, tentang bagaimana
proses internalisasi yang efektif dalam mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan sebagai sebuah kebenaran yang
hakiki; dan (3) prinsip aksiologis,
bahwa objek kajian dan rangkaian proses yang dilakukan harus memiliki nilai dan
tidak merusak nilai-nilai yang ada, baik nilai kemanusiaan (moral),
maupun nilai ketuhanan (agama).[18]
Atau secara praktis sesuai dengan “paradigma pendidikan bermutu”, yaitu
memiliki kejelasan visi, misi, orientasi, tujuan dan strategi mencapai cita-cita pendidikan
yang diselenggarakan.[19]
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pemikiran pendidikan Islam Majid
‘Irsan al-Kilani dapat
ditelusuri dari karya-karya tulis genuinenya, khususnya magnum opus-nya yang berjudul Falsafah al-Tarbiyah
al-Islāmiyyah: Dirāsah Muqāranah baina Falsafah al-Tarbiyah
al-Islāmiyyah wa al-Falsafāt al-Tarbawiyyah al-Mu’āshirah (Filsafat Pendi-dikan Islam: Studi Komparatif Filsafat Pendidikan
Islam dan Filsafat Pendidikan Kon-temporer), dan juga dari berbagai
aktivitas akademik dan kiprah kependidikannya seba-gaimana tersebut di atas.
Oleh karena itu, aspek-aspek pendidikan yang menjadi gagasan pemikiran dan filsafat pendidikan Islam Majid ‘Irsan
al-Kilani dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Pertama, tentang terma atau istilah pendidikan.
Dari tujuh karya
kependidikannya, yaitu: (1) Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah; (2) Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah; (3) al-Fikr
al-Tarbawī ‘inda Ibn Taimiyyah; (4) Ta-thawwur
Mafhūm al-Nazhariyyāt; (5) al-Tarbiyah
wa al-Wa’y wa al-Tajdīd; (6) Ittijāhāt
Mu’āshirah fī al-Tarbiyah al-Akhlāqiyyah;
dan (7) al-Tarbiyah al-Islāmiyyah
baina al-Fiqh wa al-‘Urfī wa al-Sunanī, serta terma-terma yang digunakannya, al-Kilani
termasuk intelektual Muslim dan pakar
pendidikan yang memilih tarbiyah sebagai terma bagi pendidikan
Islam.
Kedua, tentang filsafat pendidikan.
al-Kilani termasuk
tokoh pendidikan yang sangat memperhatikan “eksistensi” dan kedudukan filsafat
pendidikan dalam proses pendidikan atau kegiatan belajar-mengajar (‘amaliyyah
tarbawiyyah), bukan hanya bagi pendidikan Islam, tetapi bagi model dan
bentuk pendidikan lainnya yang berlangsung.
Selain karena filsafat
pendidikan merupakan kajian yang sangat urgen
(hāmmun) dan sangat mendesak (dharūrī)
untuk dikaji karena empat faktor utama yang melatar-belakanginya sebagaimana yang telah dipaparkan, juga karena filsafat pendidikan tersebut dikategorikan sebagai starting point atau
titik tolak (al-murakkaz al-awwal) bagi seluruh proses
pendidikan yang akan berlangsung, yaitu mencakup dan menyentuh semua
aspek pendidikan yang menyertainya.[20]
Ketiga, visi-misi pendidikan.
Visi-misi
pendidikan Islam dalam persfektif al-Kilani adalah mengantarkan peserta didik
mencapai kemajuan insaninya, yaitu sampai ke derajat “bentuk yang
sebaik-baiknya” seperti yang
diistilahkan al-Qur’an (bulūgh al-muta’allim darajah al-raqī al-insānī au
darajah ahsan taqwīm hasba al-ta’bīr al-Qur’ānī).
Yaitu
terciptanya relasi harmonis (‘alāqah) antara peserta didik dan Allah (al-Khāliq), antara peserta didik dan alam
semesta (kaun), antara peserta didik dan orang lain (insān), antara peserta didik dan kehidupan
dunia (hayāh) dan antara peserta didik dengan kehidupan akhirat (ākhirah). Sedangkan secara agak
mendetail, visi-misi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
·
Relasi antara Sang Khaliq dan
peserta didik, yaitu terciptanya relasi ibadah atau relasi penghambaan (‘alāqah ‘ubūdiyyah);
·
Relasi antara peserta didik
dan alam semesta, yaitu terciptanya relasi eksplorasi (‘alāqah taskhīr);
·
Relasi antara peserta didik dan orang lain, yaitu terciptanya relasi keadilan
dan kebaikan (‘alāqah ‘adl wa ihsān);
·
Relasi antara peserta didik
dan kehidupan duniawi, yaitu terjalinnya relasi ujian (‘alāqah ibtilā’); dan
·
Relasi antara peserta didik
dengan kehidupan akhirat,
yaitu terjalinnya relasi tanggung jawab dan pemberian balasan (‘alāqah
mas’ūliyyah wa jazā’).[21]
Relasi ibadah atau relasi penghambaan (‘alāqah
‘ubūdiyyah); antara Sang Khaliq dan peserta didik merupakan relasi yang paling utama dan fundamen, bahkan menjadi lan-dasan bagi relasi yang lainnya. Dalam
pengertian generiknya, yaitu dalam cakupan Fil-safat Pendidikan Islam, konsep
ibadah mencakup tri-tunggal dimensi: (1) dimensi “aga-mawi” (al-mazhhar
al-dīnī), yaitu terjalinnya relasi antara seorang Muslim dengan Pen-ciptanya, Allah ; (2) dimensi “sosial-kemasyarakatan”
(al-mazhhar al-ijtimā’ī), yaitu terjalinnya relasi antara seorang
Muslim dengan individu lain atau dengan berbagai ko-munal masyarakat; dan (3)
dimensi “kealaman” (al-mazhhar al-kaunī), yaitu terjalinnya relasi
antara seorang Muslim dengan alam sekitarnya.[22]
Bila kelima relasi
yang menjadi visi-misi
pendidikan Islam tersebut di atas diilus-trasikan, maka terlihat sebagai
berikut[23]:
Dan kelima relasi tersebut
di atas dapat terjalin harmonis bila keempat unsur atau komponen penunjangnya
dapat terealisasi yaitu:
1. Komponen akidah (‘āmil ‘aqādī), yaitu dengan menentukan relasi
antara Allah sebagai Dzat Yang Maha mendidik (al-Murabbī)
dan objek pendidikan, yaitu manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya;
2. Komponen
sosial (‘āmil ijtimā’ī), yaitu teraktualisasinya relasi antar manusia, bahkan di antara seluruh
individu yang menjadi peserta didik (muta’allim);
3. Komponen setting tempat (‘āmil makānī), yaitu metode yang
digunakan peserta didik untuk mengelola sarana kehidupan demi
mencapai kemajuan umat ma-nusia di dunia; dan
4. Komponen latar waktu (‘āmil zamānī), yaitu memperhatikan aspek waktu
yang sedang dialami, semenjak
peserta didik lahir di dunia hingga kelak memasuki kehidupan akhirat.[24]
Keempat, dasar dan asas pendidikan.
Dalam pandangan dan
persfektif al-Kilani, dasar pendidikan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga yang menjadi objek pendidikan
Islam adalah manusia yang telah tergambar
dan terangkum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Berbeda dengan manusia
dalam pendidikan sekuler yang penggambarannya diserahkan pada mayoritas
pendapat, atau pada orang-orang tertentu
dalam masyarakat, atau pada seorang individu karena kekuasaannya, yang
berarti diserahkan kepada angan-angan seseorang atau sekelompok orang semata.[25]
Sedangkan asas pendidikan yang menjadi titik tolak (starting point)
dari gagasan dan langkah al-Kilani adalah pengamatannya terhadap penyebab utama kemunduran
umat Islam, yaitu karena krisis pendidikan.
Dalam hal ini berawal dari kemunduran psi-kologis (nafsiyyah) dan intelektual (fikriyyah) umat[26], yang bermuara dari kelemahan filsafat
pendidikan Islam[27], khususnya karena kebimbangan (confuse) dari
visi-misi pen-didikannya (al-ahdāf al-tarbawiyyah) yang meliputi: (1) ketidakjelasan batasan
visi-misi umum pendidikan; (2) ketidakjelasan visi-misi pendidikan bagi
pribadi atau individual; (3) adanya
kontradiktif antara visi-misi pendidikan bagi pribadi dengan visi misi
sosial masyarakat dan ekonomis; dan (4) terjadinya kontradiksi antara visi-misi pendidikan bagi pribadi dengan visi-misi yang berkaitan dengan
keluhuran akhlak (al-fadhā’il al-akhlāqiyyah).[28]
Kelima, tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan Islam
secara umum menurut al-Kilani adalah: (1) “melahirkan”
individu yang baik (al-fard al-shālih);
(2) “mencetak” keluarga Islami (al-usrah
al-mus-limah); (3) “mengeluarkan”
umat pengemban risalah kenabian (ummah
al-risālah); dan (4) “menciptakan” persaudaraan insani (al-ukhuwwah
al-insāniyyah).[29]
Sedangkan tujuan
khususnya adalah melahirkan insan paripurna dan berdedikasi (al-insān
al-kāmil al-rāqī), yang mampu
merealisasikan visi-misi pendidikan
Islam, yaitu terjalinnya relasi (‘alāqah)
antara peserta didik dan Allah (al-Khāliq), antara peserta didik dan alam
semesta (kaun), antara peserta didik dan orang lain (insān), dan relasi antara
peserta didik dan kehidupan dunia (hayāh) dengan akhirat (ākhirah).[30]
Keenam, strategi pendidikan.
Dalam penilaian al-Kilani, hal pertama yang harus ada dan telah
dipikirkan terlebih dahulu dalam
proses pendidikan (‘amaliyyah tarbawiyyah)
adalah tentang filsafat pen-didikan, yang akan memikul visi-misi
pendidikan, untuk kemudian merealisasikannya dengan optimal, yaitu menggapai
kebaikan dan kebahagiaan bagi umat manusia (tahqīq al-khair wa al-sa’ādah li al-insān). Filsafat pendidikan tersebut kemudian melahirkan
tujuan umum (ahdāf ‘āmmah) berupa perincian upaya untuk mengaktualisasikan filsafat pendidikan dalam seluruh
aspek kehidupan melalui andil dunia pendidikan.
Tujuan umum pendidikan tersebut harus senantiasa dievaluasi sesuai yang dica-nangkan umumnya (mu’ādalah ‘amaliyyah mathlūbah) berkaitan
dengan cara pandang yang muncul dalam upaya merealisasikan
tujuan umum tersebut, baik berdasarkan feno-mena yang muncul maupun disesuaikan dengan realisasinya dalam menumbuhkembangkan kepribadian (syakshiyyah)
para peserta didik.
Proses dan hal-hal tersebut di atas kemudian digulirkan dalam kegiatan
belajar me-ngajar (‘amal
madrasī) yang dituangkan dalam metode (asālīb), kurikulum (manhaj)
dan sarana (wasā’il), yang akan
menghasilkan berbagai ilmu dan pengalaman (‘ulūm wa khibrāt),
dan dari waktu ke waktu harus senantiasa dievaluasi dan diarahkan (qiyās wa
taqwīm), hingga tergapainya kebaikan dan kebahagiaan umat manusia.[31]
Ketujuh, kurikulum pendidikan.
Tentang kurikulum pendidikan,
al-Kilani menekankan
keharusan terjalinnya inte-grasi (takāmul) antara “ilmu keagamaan” (‘ulūm
dīniyyah) dan “ilmu kealaman” (‘ulūm kauniyyah), dimana keduanya sama-sama berfungsi sebagai
komponen pembangun pilar-pilar keimanan (ghars ushūl al-īmān) dan
pembentuk peradaban (qiyām al-hadhārāt).[33]
Ketujuh, institusi pendidikan.
al-Kilani menyatakan, bahwa institusi yang mengelola dunia pendidikan
semestinya tidak hanya
terwakili oleh satu macam institusi pendidikan
(misal yayasan) yang bersifat homogen, bahkan harus bersifat heterogen,
dalam arti terdiri dari banyak institusi yang memiliki
bidang spesialisasi yang berbeda, agar pendidikan yang diselenggarakan
“bermutu”. Dalam proses pendidikan, institusi tersebut terdiri dari
empat institusi khusus, yaitu:
·
Yayasan Pengembang Model Pendidikan Ideal bagi
Umat Islam (mu’assasah tathwīr al-matsal al-a’lā li al-ummah al-Islāmiyyah);
·
Yayasan Pengarah Kebijakan dan Strategi (mu’assasah
rasm al-khuthath wa al-istirātījiyyāt);
·
Yayasan Pelaksana Akademik
dan Manajerial (mu’assasah
al-tanfīzh al-tarbawī wa al-tanzhīmī); dan
Bila keempat institusi
tersebut dan relasi prosesnya diilustrasikan dalam bagan, maka terlihat sebagai berikut[35]:
Dan keempat institusi tersebut harus bekerja sama dalam mainstream usaha
kolektif (‘amal jamā’ī)
dan dalam rangka merealisasikan sabda Rasulullah , “Tangan Allah ber-sama
jama’ah (yang berjuang secara kolektifitas)”.[36]
Kedelapan, evaluasi pendidikan.
Dalam
persfektif al-Kilani, evaluasi pendidikan merupakan sebuah keniscayaan, dimana
ia menyatakan, bahwa manakala
eksperimen ishlāh untuk mengentaskan kemun-duran umat
mengalami kegagalan, maka yang semestinya dilakukan
adalah melakukan evaluasi (murāja’ah)
terhadap aspek pendidikan secara integral (syāmilah), parsialistik
atau spesialisasi (juz’iyyah), transparan (sharīhah) dan
efektif (fā’ilah), sehingga diharap-kan
akan membuahkan adanya sebuah evaluasi ulang (i’ādah al-nazhar)
untuk mengkri-tisi seluruh warisan pemikiran
dan budaya, selain teks-teks al-Qur’an dan hadits yang shahih. Juga dengan mengevaluasi ulang seluruh
proses pendidikan, dimulai dari falsafah pendidikan, kemudian dengan mencermati sasaran (ahdāf), kurikulum (manhaj), metode (tharīqah),
institusi (mu’assasah), manajemen (idārah) dan guru (murabbī)
yang berperan aktif di dalamnya,
hingga realisasi dan aktualisasinya nyatanya dalam ranah politik, sosial
dan pemerintahan.[37]
[1] Termaktub di cover judul bagian dalam dari kitab Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah, data hingga
tahun 1997.
[2] al-Kīlānī, Ahdāf al-Tarbiyah al-Islāmiyyah fī Tarbiyah al-Fard wa Ikhrāj
al-Ummah wa Tanmiyah al-Ukhuwwah al-Insāniyyah, Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1998, hlm. 25.
[4] Lihat: al-Kīlānī, Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyyah: Dirāsah Muqāranah baina Falsafah
al-Tarbiyah al-Islāmiyyah wa al-Falsafāt
al-Tarbawiyyah al-Mu’āshirah, Mekkah: Maktabah al-Manārah, 1987, hlm. 13.
[6] Lihat: al-Kīlānī,
al-Fikr al-Tarbawī ‘inda Ibn Taimiyyah, Madinah: Maktabah Dār al-Turāts,
1986, hlm. 229-245.
[7] Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Misteri
Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib:
Refleksi 50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk Membang-kitkan Umat dan Merebut Palestina”, diterjemahkan oleh Asep Sobari, Lc. dan
Amaluddin, Lc., M.A., Bekasi: Kalam Aulia Mediatama, 2007.
[10] Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta:
PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008, hlm. 13.
[12] Lihat: Maksum, Madrasah Sejarah dan
Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 46-48.
[14] Karya lain al-Kilani tentang
pendidikan yang sebenarnya “cukup penting”, namun belum sempat penulis telusuri keberadaannya dan
elaborasi isi kajiannya adalah:
·
al-Tarbiyah wa al-Wa’y wa al-Tajdīd (Pendidikan, Kesadaran dan Pembaruan).
·
Ittijāhāt Mu’āshirah fī al-Tarbiyah al-Akhlāqiyyah (Aliran Pendidikan Moral Kontemporer).
· al-Tarbiyah al-Islāmiyyah baina al-Fiqh wa al-‘Urfī wa
al-Sunanī (Pendidikan Islam dalam Konsep Fikih, Tradisionalis dan
Fenomenologis).
[17] Lihat: Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner,
Jakarta: Rajawali Press, 2009, hlm. 24.
[18] Lihat: Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 32-34; dan A. Susanto, Pemikiran
Pendidikan Islam, Jakarta: Penerbit Amzah, 2009, hlm. 7-9.
[19] Lihat: Mastuhu, Menata
Ulang Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Jakarta: Safiria Insania Press, 2003, hlm. 66.
kalau beli buku-bukunya kailani tempatnya dimana ya?
BalasHapus