Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa
pada saat ini terdapat dua sistem ekonomi yang menguasai dunia, yaitu sistem
ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosilaisme. Sebagai akibat dari penjajahan
Barat terhadap dunia Islam baik di bidang ekonomi, politik maupun sosial budaya,
maka kedua sistem ekonomi itu telah dipakai oleh sebagian negara-negara Islam.
Kedua sistem itu masing-masing memiliki konsep yang bertolak belakang.
Sosialisme memiliki konsep ekonomi kolektif, sedangkan kapitalis memiliki konsep
kebebasan individu (liberal). Di samping perbedaan yang bertolak belakang,
keduanya mempunyai persamaan, yaitu aktivitas perekonomiannya memiliki watak
materialisme murni.27
Berbeda dengan kedua sistem ekonomi di
atas, sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berketuhanan. Karena itu
aktivitas perekonomian masyarakat muslim, di samping bersifat material, namun di
dalamnya tidak mengabaikan aspek spiritual (ibadah). Sendi dari aspek spiritual
adalah kesadaran individu muslim akan keta’atan kepada Allah SWT. Dengan kata
lain, manusia itu di samping berhubungan dengan sesamanya dan alam sekitar, juga
ia berhubungan dengan Allah SWT. A.M. Saefuddin28 menggambarkan hubungan yang demikian
itu sebagai hubungan “triangle” antara Allah SWT, manusia dan alam sekitarnya.
Allah dalam hal ini berada pada puncak triangle tersebut, sedangkan manusia dan
alam sekitarnya berada pada kedua sudut triangle tersebut.
Dengan menempatkan Allah pada puncak atas,
maka segala aktivitas ekonomi dalam Islam tidak akan terlepas dari pengawasan
dan petunjuk yang diberikan di dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW, baik
yang menyangkut dengan masalah produksi, distribusi maupun konsumsi.
Allah SWT melarang terhadap cara
memperoleh barang produksi, dalam mendistribuskannya atau mengkonsumsinya dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan aktivitas yang sah dan sehat berdasarkan
kebebasan berkehendak serta dibarengi dengan kesukarelaan masing-masing pihak,
tidak berbuat curang dan tidak ada unsur paksaan atau tekanan. Dengan demikian
terlihatlah bahwa Islam telah menyelesaikan masalah bagaimana agar manusia dapat
memanfaatkan (mengelola) kekayaan yang ada, dan inilah yang sebenarnya dianggap
sebagai masalah ekonomi bagi suatu masyarakat.
Karena itu dalam membahas masalah ekonomi,
Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh kekayaan, mengelola dan
mendistribusikannya. Dengan demikian hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi
dibangun di atas tiga kaidah, kepemilikan (property), pengelolaan kepemilikan
dan mendistribusikan kekayaan di tengah-tengah manusia.29
Hak milik merupakan masalah pokok dalam
dunia ekonomi, dari mana ia memperoleh hak milik tersebut dan sejauh mana hak
pemilikan itu berada pada manusia serta konsekuensinya yang timbul dari
kepemilikan tersebut. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, kepemilikan seseorang
terhadap suatu benda bersifat absolut, sedangkan dalam sistem sosialis hak milik
hanya untuk kaum proletar yang diwakili oleh kepemimpinan diktator. Karena itu
dalam sistem ekonomi sosialis kepemilikan itu diatur oleh negara dan secara
individual tidak ada hak kepemilikan.
Berbeda dengan kedua sistem ekonomi di
atas, prinsip-prinsip kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam adalah :
a.
Pemilik mutlak adalah Allah SWT
Semua sumber ekonomi adalah milik Allah
SWT, hal ini dinyatakan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al Baqarah, ayat
29 :
هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى اْلأَرْضِ جَمِيْعًا
(البقرة: 29).
“Dia lah Allah, yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk
kamu …”
dan ayat 284 :
لِلَّهِ مَا فِى السَّمَوَتِ وَمَا فِى اْلأَرْضِ ... (البقرة: 284).
“Kepunyaan Allah lah segala apa yang ada di langit dan di bumi …
yang diberikan kepada manusia untuk dikelola. Dengan demikian
kepemilikan bukan berarti penguasaan secara mutlak terhadap sumber-sumber
ekonomi, tetapi hanya terbatas pada kemampuan untuk memanfaatkannya. Kepemilikan
terhadap sumber-sumber ekonomi dibagi menjadi tiga macam, yaitu kepemilikan
individu (private property), kepemilikan umum (collective
property) dan kepemilikan negara (state property).
Salah satu contoh kepemilikan individu
telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam suatu hadits yang telah diriwayatkan
oleh Yahya Ibn ‘Urwah R.A.
“Barang siapa yang memakmurkan tanah kosong yang bukan menjadi
milik seseorang, maka ia lebih berhak atas tanah tersebut”
Sedangkan kepemilikan umum dan dikelola
oleh negara untuk kepentingan masyarakat. Hal ini dijelaskan oleh hadits
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Khaddasy R.A. dari seorang shahabat
Muhajirin sebagai berikut :
“Semua yang berserikat dalam tiga sumber ekonomi, yaitu rumput,
air dan api” Hadits telah diriwayatkan oleh Abu
Dawud.
Termasuk ke dalam harta milik umum
(negara) ini adalah baitul mal (kas negara) yang bersumber dari pajak
usaha (kharaj), jizyah (pajak jiwa), ghanimah dan
fa’i (rampasan perang) dan lain sebagainya.
b. Kepemilikan itu terbatas.
Kepemilikan manusia terhadap sumber
ekonomi itu terbatas hanya selama hidupnya. Jika telah meninggal, maka harta itu
harus didistribusikan kepada ahli warisnya berdasarkan ketentuan yang ditetapkan
oleh Allah SWT dan Rasulnya.
Menurut An Nabhani32 pembatasan kepemilikan itu dengan
menggunakan mekanisme tertentu, terlihat pada beberapa hal sebagai berikut
:
1) Dengan cara membatasi
kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan hak
milik, bukan dengan merampas harta kekayaan yang telah menjadi milik orang
lain.
2) Dengan cara menentukan
mekanisme pengelolaannya.
3) Dengan cara menyerahkan
tanah kharajiyah sebagai milik negara, bukan sebagai milik individu.
4) Dengan cara menjadikan
hak milik individu sebagai milik umum secara paksa dalam kondisi tertentu
(hak syuf’ah)
5) Dengan cara mensuplai
orang yang memiliki keterbatasan faktor produksi, sehingga bisa memenuhi
kebutuhannya sesuai dengan ketentuan syara’ (zakat).
c. Sebab-sebab timbulnya
kepemilikan.
Kepemilikan atas suatu harta mempunyai
sebab-sebab syari’ah yang telah ditentukan Allah SWT dan RasulNya. Sebab-sebab
itu, secara garis besarnya, terjadi lima sebab, yaitu :
1) Harta yang diperoleh
sebab bekerja atau usaha, seperti jual-beli, broker / makelar (samsarah),
kontrak tenaga kerja (ijarah) dan sebagainya.
2) Harta yang didapat
karena kematian pemilik harta, seperti warisan.
3) Harta yang diperoleh
dengan jalan adanya ketentuan syara’ bagi orang yang tidak mampu atau tidak
dapat memenuhi hajatnya secara minimal, seperti zakat, infaq dan shadaqah.
4) Harta yang diperoleh
dari pemberian negara, seperti pembagian hasil ghanimah.
5) Harta yang diperoleh
tanpa kompensasi harta atau jasa, seperti hibah dan hadiah.
d. Prinsip Dasar Sistem Ekonomi
Islam.
1) Kebebasan
perorangan
Seseorang mempunyai hak kebebasan yang sepenuhnya untuk membuat
suatu keputusan dan berpendapay yang dianggap penting dalam suatu negara Islam.
Sebab dengan adanya kebebasan tersebut individu muslim akan dapat melaksanakan
kewajiban mendasar dan penting dalam menikmati kesejahteraan dan tidak akan
terjadi kekacauan dalam masyarakat.
2) Hak terhadap harta
kekayaan
Islam mengakui hak perseorangan untuk memiliki harta kekayaan.
Sekalipun demikian Islam memberikan batasan tertentu agar kebebasan itu tidak
merugikan kepentingan orang lain dan masyarakat pada umumnya.
3) Perbedaan ekonomi
dalam batas yang wajar
Islam mengakui adanya perbedaan ekonomi di antara
individu-individu, tetapi Islam tidak membiarkan perbedaan itu menjadi meluas,
ia mencoba menjadikan ketidaksamaan itu dalam batas-batas yang wajar, adil dan
tidak berlebihan.
4) Jaminan sosial
Setiap perorangan mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah negara
Islam dan untuk memperoleh kebutuhannya masing-masing, setiap warga negara
mendapat jaminan. Hal demikian itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawab utama
bagi sebuah negara Islam untuk menjamin setiap warga negara, dalam memenuhi
hajatnya sesuai dengan prinsip “hak untuk hidup”. Apabila kebutuhan pokok setiap
warga negara telah terpenuhi, maka akan terdapat persamaan yang sepenuhnya.
5) Larangan menumpuk
kekayaan
Sistem ekonomi Islam melarang perorangan menumpuk kekayaan secara
berlebihan dan perlu diambil langkah-langkah untuk melarang perbuatan yang tidak
baik itu supaya tidak terjadi dalam sebuah negara.
6) Larangan terhadap
organisasi anti sosial
Sistem ekonomi Islam melarang seluruh praktek yang merusak dan
anti sosial yang terdapat di masyarakat seperti berjudi, minum arak, riba,
menimbun harta, pasar gelap dan sebagainya.
7) Kesejahteraan
perorangan dan masyarakat
Islam mengakui kesejahteraan perorangan dan sosial masyarakat yang saling membantu satu sama
lainnya, bukannya yang saling berkompetisi dan bertentangan antar mereka. Dengan
demikian sistem ekonomi Islam berusaha meredakan konflik tersebut sehingga
terwujud kemanfaatan bersama.33
Dari uraian di atas penulis berpendapat
bahwa Islam mendukung dan menggalakkan kesamaan kehidupan sosial, walaupun tidak
menganjurkan kesamaan dalam ekonomi, sehingga sampai tahap bahwa kekayaan negara
yang dimiliki, tidak hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu masyarakat saja.
Bahkan sangat penting sekali bagi setiap individu dalam sebuah negara (Islam)
mempunyai peluang yang sama untuk berusaha mendapatkan pekerjaan dan menjalankan
berbagai aktivitas ekonomi. Sehingga terjadinya kehidupan masyarakat yang
sejahtera dan baik. Dengan demikian sistem ekonomi Islam berusaha meredakan
konflik perbedaan dalam ekonomi sehingga terwujud kemanfaatan
bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...