Hartono Ahmad Jaiz
Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits
dalam teori terbagi dua, qoth’i
(pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah
dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu
sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.
Yang dimaksud kalamiyyah ialah
naqliyah semata, dan dalam hal ini yang
benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini,
ia berdosa. Nash jenis ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan
wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka
dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya.
Kemudian apabila kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada
Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir, kalau tidak maka ia
berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.
Adapun ushuliyyah adalah
seperti keadaan ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka
masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya
adalah berdosa.
Mengenai masalah fiqhiyyah
yang termasuk qoth’i yaitu shalat 5
waktu, zakat, puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/
arak dan semua yang diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar
dari masalah-masalah itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang
yang menyalahinya adalah berdosa.[2]
Setelah kita mengetahui yang qoth’i seperti tersebut, maka
bisa ditarik garis sebagai berikut:
-
Apabila seseorang
menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud al-Syari’ (hal-hal yang setiap
Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena pengingkarannya tidak timbul
kecuali dari orang yang mendustakan syara’.
(Misalnya orang mengingkari keesaan Allah, mengingkari wajibnya shalat 5
waktu, wajib puasa Ramadhan dsb, maka
pengingkarnya itu adalah kafir).
-
Apabila
masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan,
seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir,
tetapi ia bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya
perempuan mengimami shalat lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).
-
Adapun masalah
fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah
ini jadi tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu
menurut orang yang berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak
(berdosa) pula menurut orang yang mengatakan setiap mujtahid adalah tepat.
Dalam masalah terakhir ini
Syekh Hudhori Biek berpendapat bahwa pendapat yang rajih/ kuat adalah bahwa
Allah mempunyai hukum tertentu dalam setiap perkara dan terdapat dalil
atasnya. Maka barangsiapa berhasil
mendapatkannya, ia pun telah bertindak tepat. Dan barangsiapa yang melakukan
kesalahan sesudah mencurahkan tenaga, maka iapun dianggap salah, hanya saja ia
diberi pahala untuk ijtihadnya, dan dibebaskan darinya dosa dan kesalahannya
(itu).
Oleh karena itu mujtahid yang
tepat dalam syari’at adalah satu, dan hal itu karena dalil-dalil syari’at bisa
berupa nash-nash dan bisa berupa qiyas yang berasal dari nash-nash itu; dan
perbedaan yang terjadi adalah karena
pentakwilannya.
Adapun pentakwilan dan
perbedaan di dalamnya, maka kita mengetahui dengan spontan bahwa As-Syari’
(Allah) tidak menetapkan suatu nash/ teks kecuali Ia menginginkan suatu makna
tertentu. Hal ini kadang-kadang berhasil didapatkan oleh sebagian mujtahidin,
maka ia dianggap tepat. Sedang yang menyimpang berarti ia berbuat kesalahan.[3]
Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa adalah
berasal dari kata jahada (جهد) yang artinya: mencurahkan
segala kemampuan, atau menanggung beban kesulitan. Jadi arti ijtihad menurut
bahasa adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.
Kata ijtihad ini tidak
dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan
banyak tenaga. Seperti dalam kalimat:
“Dia bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga untuk
mengangkat batu penggilingan.”
Kata ijtihad ini tidak
boleh dipergunakan seperti pada kalimat:
“Dia mencurahkan tenaga
untuk mengangkat sebuah biji sawi.” [4]
Ijtihad menurut istilah ushul
fiqh sebagaimana dikemukakan Imam As-Syaukani adalah:
“Mencurahkan kemampuan
untuk memperoleh hukum syara’ yang bersifat ‘amali/ praktis dengan jalan
istinbath (mengeluarkan/ menyimpulkan hukum).” [5]
Definisi itu kemudian
dijelaskan oleh As-Syaukani:
- Badzlul wus’i (mencurahkan kemampuan), ini
mengecualikan hukum-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan.
Sedangkan arti badzlul wus’i adalah sampai dirinya merasa sudah
tidak mampu lagi untuk menambah usahanya.
- Hukum syara’ itu
mengecualikan hukum bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karenanya orang
yang mencurahkan kemampuannya dalam bidang hukum (bahasa, akal, dan indera)
tadi tidak disebut mujtahid menurut istilah ushul fiqh.
- Demikian
pula pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah tidak disebut
ijtihad menurut fuqoha’, walaupun menurut mutakallimin dinamakan ijtihad.
- Dengan jalan istinbath
itu mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang dhahir atau menghafal
masalah-masalah, atau menanyakan kepada mufti atau dengan cara menyingkap
masalah-masalahnya dari buku-buku ilmu. Karena hal-hal tersebut walaupun
benar mencurahkan kemampuan menurut segi bahasa, namun tidak benar
berijtihad menurut istilah.
Sebagian ahli ushul menambah
definisi itu dengan kata-kata faqih (seorang ahli fiqh), maka jadinya
“pencurahan kemampuan oleh seorang faqih”. Itu mesti dalam hal ini, karena
pencurahan kemampuan oleh yang bukan faqih (ahli fiqh) itu bukan dinamakan
ijtihad menurut istilah.[6]
Ijtihad Istinbathi dan Ijtihad Tathbiqi
Al-Imam Abu Zuhroh
mengemukakan bahwa sebagian ulama menta’rifkan: Ijtihad dalam istilah
ushuliyyin (ahli ushul fiqh) adalah mencurahkan upaya keras (juhd) dan
mengorbankan kemampuan maksimal, baik dalam istinbath (mengeluarkan/
menyimpulkan) hukum-hukum syar’i maupun tathbiq/ penerapannya.
Ijtihad dengan ta’rif ini maka
terbagi dua:
1.
Khusus istinbath
hukum dan menjelaskannya.
2.
Khusus tathbiq/
penerapannya.[7]
Bagian pertama, Ijtihad
Istinbathi yaitu ijtihad yang sempurna, dan itu khusus bagi golongan ulama’
yang mengarah pada pengenalan hukum-hukum furu’ (cabang) yang ‘amali (praktis/
operasional) dari dalil-dalilnya yang terinci. Sebagian ulama mengatakan,
ijtihad (isthinbathi) ini termasuk ijtihad khusus, kadang terputus pada suatu
masa. Hal itu menurut pendapat Jumhur (mayoritas ulama), atau paling kurang
sebagian banyak dari ulama. Sedangkan ulama Hanabilah (ulama Hanbali)
berpendapat bahwa jenis ini (Ijtihad Isthinbathi) harus tidak pernah lowong
pada setiap masa, mesti harus ada mujtahid yang mencapai tingkatan ini.
Bagian kedua, (Ijtihad
Tathbiqi), para ulama bersepakat bahwa tidak boleh kosong suatu masa pun dari
adanya (mujtahid tathbiqi). Mereka itu adalah ulama takhrij dan taathbiq (mengeluarkan
dan menerapkan) ‘illat-illat yang diistinbatkan atas perbuatan-perbuatan
juz’iyah. Maka pelaksanaan mereka atas hal ini adalah penerapan apa yang telah
diistinbatkan para ulama yang dulu. Dan dengan tathbiq/ penerapan ini
terjelaskanlah hukum-hukum permasalahan yang belum dikenalkan oleh ulama-ulama
terdahulu yang memiliki derajat ijtihad mengenai hal itu. Dan sesungguhnya
upaya yang dilakukan pemilik derajat kedua (mujtahid tathbiqi) adalah apa yang
dinamakan tahqiqul manath (mengeluarkan ‘illat-illat, sebab-sebab
terjadinya hukum).[8]
Lapangan Ijtihad
Secara ringkas lapangan
ijtihad ada dua:
1.
Perkara syari’ah
yang tidak ada nashnya sama sekali.
2.
Perkara syari’ah
yang ada nashnya tetapi tidak qath’i wurud ataupun dalalahnya (tidak pasti
penunjukan maknanya).
Kalau di dalam lapangan
ijtihad itu kemudian ada ijtihad dalam suatu perkara, lantas hasil ijtihad itu
menjadi undang-undang, kalau dikaitkan dengan wewenang qodhi/ hakim, maka
wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian keputusan berdasarkan
undang-undang, bukan untuk mengadili undang-undang itu sendiri.
Qodhi tidak berhak menghakimi undang-undang,
karena wewenangnya hanya menerapkan undang-undang atau memutuskan perkara
berdasarkan undang-undang. Hal itu sebagaimana mujtahid pun tidak berhak untuk
mengijtihadi perkara-perkara yang sudah ada nashnya yang qoth’i (teksnya yang
sudah pasti penunjukan maknanya)..
Bila ada yang nekat melakukan “ijtihad”
terhadap yang sudah ada nash qoth’inya, dan hasil “ijtihadnya” itu menyelisihi
nash, maka bukan sekadar ijtihadnya itu tidak berlaku, tetapi berarti menentang
nash. Sebagaimana hakim memutuskan perkara dengan sengaja menyelisihi
undang-undang, maka bukan hanya batal keputusannya itu, namun bahkan sengaja
melanggar undang-undang.
Ijtihad terhadap hukum yang sudah ada nash qoth’inya itu dilarang
Contohnya, tidak bolehnya
berijtihad tentang kewajiban puasa atas umat Islam, larangan khamr, larangan
makan daging babi, larangan makan riba, kewajiban memotong tangan pencuri –bila
tidak ada keraguan dan telah memenuhi syarat untuk dipotong--. Juga tentang
hukum pembagian harta waris mayit di antara anak-anaknya, di mana bagian
seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, dan hukum-hukum
lainnya yang telah ditetapkan dalil Al-Qur’an yang pasti atau dalil hadits yang
pasti, yang telah disepakati umat Islam dan telah diketahui dari ajaran agama
dengan pasti sehingga telah menjadi sendi pemikiran dan perilaku umat Islam.[9]
Hendaknya kita jangan sampai
terbawa arus orang-orang yang hendak mempermainkan agama, yang ingin mengubah
nash-nash muhkamat menjadi mutasyabihat dan hukum-hukum qath’i dianggap sebagai
hukum-hukum yang dzanni, yang bisa digunakan dan bisa juga ditolak atau bisa
dilepas atau bisa diikat. Karena pada pokoknya nash yang muhkam merupakan
tempat kembalinya nash yang mutasyabihat, dan hukum-hukum yang qath’i merupakan
tempat rujukan hukum-hukum yang dzanni. Sehingga hukum qath’ilah yang menjadi
pegangan hukum dan ukuran ketika terdapat suatu pertentangan. Maka apabila
hukum-hukum qath’i ini dijadikan hukum yang tidak qath’i dan masih dianggap
sebagai letak perselisihan dan pertentangan, berarti sudah tidak ada lagi di
sana hukum yang dijadikan tempat rujukan dan dijadikan sandaran, serta tidak
ada pula ukuran yang dijadikan landasan hukum.[10]
Syarat-syarat Ijtihad
Untuk melakukan ijtihad
diperlukan syarat-syarat. Syarat kecakapan berijtihad itu menurut Abdul Wahab
Khalaf ada 4:
1.
Hendaknya
seseorang mempunyai pengetahuan bahasa Arab, dari segi sintaksis dan
filologinya. Mempunyai rasa bahasa dalam memahami gaya bahasa yang ia peroleh
dari upaya mempelajari ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Mempunyai
cakrawala luas dalam ilmu sastra dan unsur-unsur yang mempengaruhi
kefasihannya, puisi maupun prosanya, dan lain-lainnya. Karena orientasi pertama
seorang mujtahid adalah nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berupaya
memahaminya. Seperti orang Arab karena kondisi bahasanya yang Arab, maka mereka
mampu memahami nash-nash yang datang
dengan bahasa mereka. Dan mampu menerapkan kaidah-kaidah pokok bahasa
untuk menyimpulkan arti dan ungkapan atau phrase dan sinonim-sinonimnya.
2.
Hendaknya
seseorang mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur’an. Yang dimaksud ialah
seseorang itu mengerti hukum-hukum syara’ yang dikandung oleh Al-Qur’an,
ayat-ayat yang menjadi nash hukum dan metoda menemukan hukum-hukum itu dari
ayat-ayat tertentu. Sekiranya ia dapat, dengan mudah menghadirkan semua ayat
hukum Al-Qur’an yang berhubungan dengan topik peristiwa, serta sebab-sebab
turun setiap ayat secara benar, juga atsar sebagai tafsir atau ta’wil
ayat-ayat itu.Dari pengetahuan semua itu dapat ditemukan hukum suatu
peristiwa. Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an
tidaklah banyak. Sebagian ulama tafsir telah mengelompokkan ayat-ayat dalam
kitab tafsir yang khusus, sehingga memungkinkan jika ayat-ayat yang berhubungan
satu topik, satu dengan yang lainnya dihimpun. Maka seseorang dengan mudah
mengecek kembali ayat Al-Qur’an yang mengandung hukum-hukum mengenai thalaq,
perkawinan, pewarisan, harta pusaka, pidana, mu’amalah dan macam-macam hukum
Al-Qur’an lainnya. Terlebih lagi jika setiap ayat disebutkan keterangan yang
benar tentang sebab-sebab turun ayat, hadits-hadits yang menjelaskan
keglobalannya, dan hadits-hadits yang menafsirinya. Dengan demikian, himpunan
undang-undang dalam Al-Qur’an itu menjadi mudah untuk dikembalikan sebagai
reference ketika ada keperluan, dan mudah membandingkan pasal-pasal atau topik
yang satu dengan yang lainnya. Setiap pasal dapat dipahami menurut keterangan
topok-topiknya, karena Al-Qur’an itu sebagiannya menafsiri kepada sebagian yang
lain. Suatu kesalahan jika ayat dari topik itu dipahami bahwa ia adalah
kesatuan yang terpisah yang berdiri sendiri.
3.
Hendaknya
seseorang mempunyai pengetahuan Al-Sunnah. Artinya mengerti hukum-hukum syara’
yang ada dalam Al-Sunnah Nabawiyah, sehingga ia mampu menghadirkan hukum-hukum
setiap bagian dari bagian-bagian perbuatan mukallaf yang ada dalam Al-Sunnah,
dan mengerti tingkatan sanad sunnah itu dari segi keshahihan atau kelemahan
riwayatnya. Para ulama telah mempunyai andil besar dalam penyusunan Sunnah
Nabawiyah. Mereka mencurahkan perhatiannya untuk meneliti sanad-sanad dan para
rawi setiap hadits Al-Sunnah itu. Sehingga ulama’ sesudah mereka, cukup
mengadakan penelitian tentang sanad-sanadnya, sampai setiap hadits itu dikenal
sebagai hadits mutawatir, masyhur, shahih, hasan, atau dho’if. Para ulama’ juga menaruh perhatian untuk menghimpun
hadits-hadits hukum dan menyusunnya menurut bab-bab fiqh dan perbuatan
mukallaf, sehingga manusia mudah kembali kepada keterangan yang ada dalam
hadits shahih yang berupa hukum-hukum jual beli, thalaq, perkawinan, pidana dan
lain-lainnya. Juga dapat kembali kepada ayat-ayat dan hadits-hadits yang
membicarakan satu topik di antara topik-topik hukum. Dari penjelasan ayat-ayat
dan hadits-hadits itu, diharapkan dapatlah dipahami hukum syara’. Di antara
kitab-kitab yang paling baik untuk dijadikan marja’ (reference) dalam
masalah ini, ialah kitab “Nailul Authar” karangan imam Asy Syaukani.
4.
Hendaknya ia
mengerti segi-segi qiyas. Yaitu mengerti ’illat dan hikmah pembentukan syari’at
yang dengan itu disyari’atkan beberapa hukum. Mengerti hikmah syari’ah yang
dibuat oleh Syari’ untuk mengetahui
‘illat-’illat hukum, dan memahami peristiwa kemanusiaan mu’amalah, sehingga
orang itu mengerti sesuatu yang menjadi realisasi ‘illat hukum yang berupa
peristiwa yang tidak ada nash, memahami kepentingan dan kebiasaan manusia, dan
hal-hal yang menjadi sarana kebaikan juga kejahatan baginya. Sehingga apabila
melalui qias seorang mujtahid tidak menemukan jalan untuk mengetahui hukum
suatu peristiwa, dia mampu menempuh jalan lain yang telah dirintis oleh
syari’at Islam, supaya dapat menemukan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash
(dalil ayat atau haditsnya) itu.[11]
Jenis-jenis Ijtihad dilihat dari tingkatannya
Untuk mengemukakan mana yang
ijtihad istinbathi dan mana yang ijtihad tathbiqi, Al-Imam Muhammad Abu Zahroh
mengemukakan martabat atau tingkatan mujtahid, sebagai berikut:
1.
Al-Mujtahidun
fis syar’i, yaitu mujtahid mutlak.
Ini tingkatan pertama (tertinggi). Mereka itu memenuhi persyaratan-persyaratan
ijtihad. Mereka mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
menjalani seluruh jalan untuk mencari dalil tanpa mengikut orang lain, dan
mereka menentukan manhaj (pola) untuk diri mereka sendiri, dan menentukan
furu’nya/ cabang-cabangnya. Mereka itu adalah para fuqoha’ sahabat semuanya,
fuqoha’ tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, dan Ibrahim An-Nakha’i; para
fuqoha’ Mujtahidin seperti: Ja’far Shodiq dan ayahnya (Muhammad Al-Baqir), Abu
Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’id, Sufyan
Ats-Tsauri, Abu Tsaur dan banyak lagi yang lainnya. Walaupun pendapat-pendapat
mereka tidak sampai kepada kita secara kumpulan yang dibukukan, tetapi dalam pujian-pujian
kitab-kitab berbagai fuqoha’ terdapat pendapat-pendapat mereka yang dinukil/
dikutip dengan riwayat yang tidak ada bukti kebohongannya dan bisa dipercaya
kebenarannya.
2.
Mujtahid
Muntasib yaitu mujtahid pada
tingkatan kedua. Mereka adalah mujtahid yang memilih perkataan-perkataan
imamnya mengenai perkara yang pokok-pokok (ushul), dan mereka menyelisihi
imamnya dalam perkara yang furu’ (cabang-cabang). Tingkatan yang kedua ini
jelas terikat dengan manhaj, dan berijtihad dalam hal yang telah diijtihadi
imam, baik menyepakatinya atau menyelisihinya. Yaitu berijtihad terhadap
hal-hal (baru) yang belum dikemukakan.
3.
Mujtahid dalam
Madzhab. Mereka ini pada tingkatan ketiga. Mereka mengikuti imam baik mengenai
ushul maupun furu’ dalam keadaan berhenti padanya. Pekerjaan mereka hanyalah
dalam mengistinbathkan hukum-hukum masalah-masalah yang tidak ada riwayat
(pengeluaran hukumnya) dari imam. Dan mereka itulah yang menurut pengikut
Maliki bahwa tidak ada masa yang kosong dari keberadaan mujtahid jenis ini.
Yaitu orang-orang yang mengatakan bahwa upaya mereka dalam ijtihad adalah tahqiqul
manath, artinya tathbiqul ‘ilal fiqhiyyah (menerapkan illat fiqih) yang
telah dikeluarkan oleh (mujtahid) pendahulu-pendahu mereka dalam
masalah-masalah yang belum dibentangkan para pendahulu. Dan mereka tidak
berijtihad dalam masalah-masalah yang telah dinashkan dalam madzhabnya kecuali
dalam skup tertentu. Istinbath pendahulu mereka itu terbina dalam materi-materi
ungkapan yang belum mencakup adanya kebiasaan di masa belakangan. Sekiranya
para pendahulu itu melihat apa yang dilihat orang sekarang maka mereka pasti
mengemukakan apa yang mereka katakan. Upaya mereka pada hakekatnya ada dua
unsur: Pertama, mencari kesimpulan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan
imam-imam terdahulu, dan seluruh penerapan/ ketetapan fiqh umum yang terdiri
dari illat-illat yang dikeluarkan oleh para imam yang kenamaan. Kedua,
mengistinbathkan hukum-hukum yang belum dinashkan dengan membangunnya di atas
kaidah-kaidah. Tingkatan ini adalah yang membebaskan fiqh madzhab, meletakkan
dasar-dasar untuk pertumbuhan madzhab-madzhab, mentakhrijnya dan membinanya,
dan meletakkan dasar-dasar tarjih, perbandingan antar pendapat-pendapat untuk
menshahihkan sebagian dan melemahkan sebagian lainnya. Dan tingkatan inilah
yang memberi ciri keberadaan fiqh setiap madzhab.
4.
Mujtahidun dan
Murjihun. Ini tingkatan keempat yaitu
mereka tidak mengistinbathkan hukum furu’ yang belum diijtihadi para pendahulu
dan belum diketahui hukumnya. Dan juga mereka tidak mengistinbathkan hukum
masalah-masalah yang belum diketahui hukumnya, tetapi mereka mentarjih antara
pendapat-pendapat yang diriwayatkan, dengan sarana tarjih yang telah diterapkan
oleh para pendahulu terhadap mereka. Maka mereka menetapkan tarjih sebagian pendapat
atas sebagian lainnya dengan (berdasarkan) kuatnya dalil atau kemaslahatan,
untuk diterapkan sesuai keadaan masa dan semacamnya yang tidak termasuk
istinbath baru secara mutlak ataupun mengikuti (yang lalu). Imam Nawawi dalam
muqaddimah kitab Majmu’nya menyamakan tingkatan mujtahid keempat ini
dengan tingkatan yang ketiga dalam satu tingkat.
5.
Tingkatan muhafidhin,
mereka tidak mentarjih tetapi mengetahui apa yang rajih/ kuat, dan menyusun
derajat tarjih sesuai dengan yang telah ditarjih oleh para pentarjih. Mereka
ini berhak berfatwa sebagaimana para pendahulu, tetapi skupnya sempit.
Abu Zuhrah mengemukakan,
tingkatan satu sampai 4 itu adalah mujtahid, sedang tingkatan selanjutnya
adalah muqollid dan tidak bisa naik ke tingkat ijtihad.
Pada tingkatan yang lalu itu,
walaupun satu sampai 4 itu adalah tingkatan mujtahid, tetapi penjelasannya
sebagai berikut:
Pertama: Tingkatan pertama
itu adalah yang memiliki tingkatan ijtihad al-kamil almaufur/ sempurna
lagi mumpuni.
Kedua; tingkatan ijtihad
dalam masalah furu’ mutlaq (hanya masalah-masalah cabang), tidak ada
baginya ijtihad dalam masalah ushul (pokok).
Ketiga: tingkat ketiga dan
termasuk pula yang keempat yaitu yang berhak ijtihad dalam hal mengeluarkan
Illat (sebab) dan manath hukum, dan menyatakan manath itu dalam masalah-masalah
yang timbul padanya.[12]
Ijtihad Tathbiqi
Setelah diketahui adanya
tingkatan-tingkatan mujtahid, maka bisa disimpulkan, ijtihad isthinbathi
adalah yang dilakukan oleh mujtahid muthlaq dan mujtahid muntasib. Yaitu memang
mereka mengeluarkan hukum dengan istinbath (penyimpulan), tanpa ada yang
mengistinbathkannya sebelumnya.
Berbeda dengan itu adalah ijtihad
tathbiqi, yaitu mengeluarkan hukum sejenis dari yang telah dikeluarkan oleh
para pendahulu, hanya saja kasusnya belum ada di masa pendahulu.
Di samping ijtihad tathbiqi itu
bermakna seperti itu, masih pula ada yang berkaitan dengan tugas, misalnya
sebagai khalifah ataupun qadhi, maka di antara tugasnya adalah menentukan
peraturan perundang-undangan atau memutuskan perkara.
Kita lihat tugas khalifah, dalam
hal ini kita jadikan acuan bahwa mereka bertugas menentukan hal-hal yang
sifatnya ijtihadi dan mengikat. Ijtihadi dan sifatnya mengikat itulah
tathbiqi. Sedang ijtihad istinbathi sifatnya tidak mengikat, boleh
dilaksanakan boleh tidak.
Al-Mawardi mengemukakan
tugas-tugas khalifah, dan ia menjadikan tugas nomor satu khalifah adalah:
Melindungi keutuhan agama
sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang telah ditetapkan, dan hal-hal yang
disepakati oleh salaful ummah (generasi awal Islam). Apabila muncul pembuat bid’ah, atau orang sesat yang
membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan
yang benar kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang
berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan, dan ummat
terlindungi dari usaha penyesatan.
Di samping tugas utama seperti
itu masih ada 9 tugas lagi bagi imam/ khalifah yaitu:
1.
Menerapkan hukum
kepada dua pihak yang berperkara.
2.
Melindungi
wilayah negara dan tempat-tempat suci.
3.
Menegakkan hukum.
4.
Melindungi
daerah-daerah perbatasan.
5.
Memerangi orang
yang menentang Islam.
6.
Mengambil fai’
dan sedekah (termasuk zakat).
7.
Menentukan gaji
dan keperluan baitul mal.
8.
Mengangkat
orang-orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur
untuk mengurusi keuangan, agar tugas-tugas dikerjakan oleh orang-orang ahli,
sedang keuangan oleh orang-orang yang jujur.
9.
Terjun langsung
menangani aneka persoalan, memeriksa keadaan, agar ia sendiri yang memimpin
umat dan melindungi agama.[13]
Dari 10 tugas itu ada beberapa
tugas yang memerlukan ijtihad yang sifatnya adalah tathbiqi (penerapan). Di
antaranya menghukum orang yang sesat. Penentuan hukum dari khalifah tidak
cukup hanya ditentukan, namun harus diterapkan; maka penerapan itulah namanya
tathbiqi. Kalau hukumnya itu belum ada dan kemudian ia berijtihad, maka
ijtihad di sini adalah istinbathi. Kemudian hasil ijtihadnya itu diterapkan
ataupun jadi undang-undang maka itu tathbiqi.
Menentukan dan menghukumi
pendapat orang sebagai pendapat yang sesat itu adalah ijtihad istinbathi bila
belum pernah ada mujtahid yang mengistinbathkan sebelumnya. Kalau sudah pernah
ada, hanya saja kasusnya berbeda tetapi ‘illatnya sama, lalu dikemukakan ‘illat
itu untuk menentukan hukumnya, maka itu adalah ijtihad tathbiqi. Dan juga
penerapan hukumnya itu adalah tathbiqi.
Contoh ijtihad istinbathi dan
langsung tathbiqi/ diterapkan sebagai berikut:
Ada dua orang yang sedang
berselisih. Lalu kedua orang tadi pergi menghadap Rasulullah saw meminta
pengadilan. Rasulullah saw pun menyelesaikan perselisihan kedua orang tadi. Namun salah seorang
dari mereka merasa kurang puas terhadap
keputusan Rasulullah, kemudian ia mengatakan kepada lawannya: “Kalau begitu kita
adukan ke Umar.”
Kedua orang tadi menghadap ke
Umar dan menceritakan permasalahannya. Seusai mendengarkan masalahnya, Umar
bangkit dari tempat duduknya sambil mengatakan:
“Diamlah kalian di tempat.” Umar masuk untuk mengambil pedangnya,
kemudian keluar dan langsung mengayunkannya ke arah orang yang tidak puas tadi
hingga akhirnya orang itu mati.
Kemudian peristiwa itu
diberitahukan kepada Rasulullah saw. Beliau pun bersabda: “Saya kira tidak
mungkin Umar memberanikan diri untuk membunuh seorang mukmin.”
Kemudian menurunkan ayat dalam
surat An-Nisaa’ ayat 65 sebagai pernyataan untuk mengokohkan kebenaran pendapat
Umar:
“Maka demi Tuhanmu mereka pada
hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS An-Nisa’: 65).[14]
Rasulullah pun menghalalkan
darah orang yang terbunuh itu dan Umar terbebas dari segala sanksi hukum.
Dalam hal ini Umar beranggapan
bahwa perbuatan orang yang dibunuhnya menyebabkannya halal dibunuh.[15]
Kesimpulan
1.
Ijtihad
Istinbathi adalah ijtihad untuk
mengeluarkan hukum mengenai masalah yang tidak ada nashnya atau ada nashnya
tetapi dhanni (tidak bermakna pasti), dan hal yang diijtihadi itu belum
ada pendahulu yang mengijtihadinya.
2.
Ijtihad
tathbiqi adalah ijtihad mengenai hal
yang sudah tercakup dalam ijtihad pendahulu, namun kasusnya belum disebut oleh
pendahulu sebab belum ada. Seandainya ada maka disebut pula. Maka ijtihad
tathbiqi itu hanyalah mengeluarkan illat-illat atau tahqiqul manath disesuaikan
dengan ijtihad pendahulu.
3.
Ijtihad
tathbiqi secara bahasa adalah
menerapkan hasil ijtihad yang sudah ada, sehingga hasil ijtihad yang sifatnya
tidak mengikat kalau dijadikan undang-undang maka sifatnya jadi mengikat.
Pembuatan undang-undang ataupun penetapan keputusan untuk diekskusikan itu bisa
disebut tathbiq. Dalam hal ini kalau baru berupa fatwa (sifatnya tidak
mengikat) maka masih berupa istinbathi, tetapi kalau sudah jadi
undang-undang atau dipakai oleh hakim untuk memutuskan perkara maka sifatnya
mengikat untuk diterapkan, di sinilah bisa disebut tathbiqi.
[1]
Pembahasan tentang fiqih adalah pembahasan mengenai hasil-hasil ijtihad ulama.
Buku ini membahas jurus-jurus Islam Liberal dan fiqihnya yang mereka sebut
Fiqih Lintas Agama, maka perlu dibahas pula masalah ijtihad, agar bisa
tergambar sebenarnya fiqih yang diciptakan orang liberal itu kedudukannya dalam
hal ijtihad seperti apa. Apakah tim 9
penulis Paramadina itu berstatus mujtahid? Dari pembahasan tentang ijtihad ini
bisa disimak, apakah orang liberal itu memenuhi syarat sebagai mujtahid.
[2]
Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqh (terjemahan Zaid Al-Hamid),
Raja Murah, Pekalongan, jilid 1-2, tt,
jilid 2 hal 229.
[3]
Ibid, hal 231.
[4]
Al-Ghazali, al-Musytasyfa, juz 2, hal 350.
[5]
As-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haqq min ‘Ilmil Ushul, Darul
Fikr, Beirut, tt, hal 250.
[6]
Ibid.
[7]
Imam Abu Zuhroh, Ushul Fiqh, Darul Fkr Al-‘Araby, tt, hal 379.
[8]
Ibid.
[9]
Yusuf Qaradhawi, Ijtihad dalam Masyarakat Islam, terjemahan Drs Achmad
Syatori, Bulan Bintang Jakarta, hal 262.
[10]
Ibid, hal 262-263.
[11]
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulil Fiqh, Darul Qalam, Kuwait, cetakan 14, 1401H/
1981M, hal 218-220.
[12]
Lihat Imam Abu Zuhrah, Ushul Fiqh, darul Fikril Arabi, 389-398.
[13]
Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal 15-16.
[14]
Dr Ruway’i Ar-Ruhaily, Fikih Umar, terjemahan Abbas MB, Pustaka
Al-Kautsar, Jakarta, cetakan 1, 1994, jilid 1, hal 32.
[15]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...