Oleh : Abdurrahman MBP, MEI
Usaha produktif
adalah setiap usaha yang dapat menghasilkan keuntungan ( profitable ),
mempunyai market yang potensial serta mempunyai managemen yang bagus, selain
itu bahwa usaha-usaha tersebut adalah milik para fakir miskin yang menjadi mustahiq
zakat dan bergerak di bidang yang halal. Usaha-usaha seperti inilah yang
menjadi sasaran zakat produktif.
Dalam
pendistribusiannya diperlukan adanya lembaga amil zakat yang amanah dan
kredibel yang mampu untuk me-manage distribusi ini. Sifat amanah berarti
berani bertanggung jawab terhadap segala aktifitas yang dilaksanakannya
terkandung didalamnya sifat jujur. Sedangkan professional adalah sifat mampu
untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan modal keilmuan yang
ada.[1]
Pola pendistribusian
zakat produktif haruslah diatur sedemikian rupa sehingga jangan sampai sasaran
dari program ini tidak tercapai. Beberapa langkah berikut menjadi acuan dalam
pendistribusian zakat produktif :
1. Forecasting yaitu meramalkan, memproyeksikan dan
mengadakan taksiran sebelum pemberian zakat tersebut.
2. Planning, yaitu merumuskan dan merencanakan suatu
tindakan tentang apa saja yang akan dilaksanakan untuk tercapainya program,
seperti penentuan orang-orang yang akan mendapat zakat produktif, menentukan
tujuan yang ingin dicapai, dan lain-lain.
3. Organizing dan Leading, yaitu mengumpulkan berbagai
element yang akan membawa kesuksesan program termasuk di dalamnya membuat
peraturan yang baku
yang harus di taati.
4. Controling yaitu pengawasan terhadap jalannya program
sehingga jika ada sesuatu yang tidak beres atau menyimpang dari prosedur akan
segera terdeteksi.[2]
Selain
langkah-langkah tersebut di atas bahwa dalam penyaluran zakat produktif
haruslah diperhatikan orang-orang yang akan menerimanya, apakah dia benar-benar
termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat dari golongan fakir miskin,
demikian juga mereka adalah orang-orang yang berkeinginan kuat untuk bekerja
dan berusaha. Masjfuk Zuhdi menyebutkan bahwa seleksi bagi para penerima zakat
produktif haruslah dilakukan secara ketat, sebab banyak orang fakir miskin yang
masih sehat jasmani dan rohaninya tetapi mereka malas bekerja. Mereka lebih
suka menjadi gelandangan daripada menjadi buruh atau karyawan. Mereka itu tidak
boleh diberi zakat, tetapi cukup diberi sedekah ala kadarnya, karena mereka
telah merusak citra Islam. Karena itu para fakir miskin tersebut harus
diseleksi terlebih dahulu, kemudian diberi latihan-latihan keterampilan yang
sesuai dengan bakatnya, kemudian baru diberi modal kerja yang memadai.[3]
Setelah mustahiq
penerima zakat produktif ditetapkan selanjutnya adalah Amil zakat harus cermat
dan selektif dalam memilih usaha yang akan dijalankan, pemahaman mengenai
bagaiamana mengelola usaha sangat penting terutama bagi Amil mengingat dalam
keadaan tertentu kedudukannya sebagai konsultan / pendamping usaha produktif
tersebut. Di antara syarat-syarat usaha produktif dapat dibiayai oleh dana
zakat adalah :
- Usaha tersebut harus bergerak dibidang usaha-usaha yang halal. Tidak diperbolehkan menjual belikan barang-barang haram seperti minuman keras, daging babi, darah, symbol-symbol kesyirikan dan lain-lain. Demikian juga tidak boleh menjual belikan barang-barang subhat seperti rokok, kartu remi dan lain sebagainya.
- Pemilik dari usaha tersebut adalah mustahiq zakat dari kalangan fakir miskin yang memerlukan modal usaha ataupun tambahan modal.
- Jika usaha tersebut adalah perusahaan besar maka diusahakan mengambil tenaga kerja dari golongan mustahiq zakat baik kaum fakir ataupun miskin.
Setelah usaha yang
akan dijadikan obyek zakat produktif ditentukan maka langkah berikutnya yaitu
cara penyalurannya. Mengenai penyalurannya dapat dilakukan dengan model
pinjaman yang “harus” dikembalikan, kata harus di sini sebenarnya bukanlah
wajib, akan tetapi sebagai bukti kesungguhan mereka dalam melakukan usaha.
Yusuf Qaradhawi
menawarkan sebuah alternatif bagaimana cara menyalurkan zakat kepada fakir
miskin, beliau mengatakan seperti dikutip oleh Masjfuk Zuhdi bahwa orang yang
masih mampu bekerja / berusaha dan dapat diharapkan bisa mencukupi kebutuhan
hidupnya dan keluarganya secara mandiri, seperti pedagang, petani, pengrajin,
tetapi mereka kekurangan modal dan alat-alat yang diperlukan, maka mereka itu
wajib diberi zakat secukupnya sehingga mereka mampu mandiri seterusnya. Dan
mereka bisa juga ditempatkan di berbagai lapangan kerja yang produktif yang
didirikan dengan dana zakat.[4]
Setelah proses
penyaluran selesai, maka yang tidak kalah penting adalah pengawasan terhadap mustahiq
yang mendapatkan zakat produktif tersebut, jangan sampai dana tersebut disalah
gunakan atau tidak dijadikan sebagai modal usaha. Pengontrolan ini sangat
penting mengingat program ini bisa dikatakan sukses ketika usaha mustahiq
tersebut maju dan dapat mengembalikan dana zakat tersebut. Karena hal inilah
yang diharapkan, yaitu mustahiq tersebut dengan usahanya akan maju dan
berkembang menjadi mustahiq zakat.
Model pengawasan
terhadap bergulirnya dana zakat produktif dapat pula berupa pendampingan usaha,
semacam konsultan yang akan mengarahkan para mustahiq dalam menjalankan
usahanya. Model pendampingan ini juga hendaknya tidak hanya terfokus kepada
usaha yang dikelolanya, melainkan juga dapat mendampingi dan memberikan input
dalam hal spiritual mustahiq. Diadakannya kelompok-kelompok pertemuan antar mustahiq
penerima zakat produktif dengan pengelola zakat dapat dijadikan momen untuk
memberikan tausiah keagamaan, jadi selain untuk mengentaskan kemiskinan
keduniaan sekaligus mengentaskan mereka dari kemiskinan spiritual.
Bagaimana aplikasi
penyaluran dana zakat produktif pada
masyarakat yang telah dilakukan oleh Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil zakat di
Indonesia? Berikut beberapa contoh nya :
Di antara contoh
pendistribusian zakat yang bersifat produktif adalah yang telah dilaksanakan
oleh BAZKAF PT. Telkom Indonesia
dimana mereka memasukan dua unsur produktif dalam penyaluran zakatnya :
a. Investasi dalam bentuk pinjaman tanpa bunga dan bentuk
pemberdayaan SDM yaitu berupa pelatihan keterampilan, bimbingan usaha dan
beasiswa.
b. Modal kerja usaha.[5]
Sementara BAZ Kabupaten Sukabumi menyalurkan dana zakat yang bersifat
produktif kepada para fakir miskin yang lemah kondisi ekonominya dalam bentuk
modal usaha yang dengan beberapa variasi program yaitu :
1.
Pemberdayaan Perempuan Kepala
Keluarga (PEKKA) Zakat
2.
Bantuan Modal usaha Kecil (BMUK)
3.
Bantuan Modal Pertanian dan
Peternakan
4.
Qordul Hasan untuk PNS yang
kesulitan pinjaman
5.
Penguatan BMT
Program ini
ditujukan bagi pengembangan ekonomi produktif di kalangan keluarga miskin.
Bentuknya dalam bentuk bantuan permodalan bergulir dan bimbingan usaha,
sehingga diharapkan dengan bantuan tersebut sasaran dapat melakukan usaha
sendiri secara mandiri dan berpenghasilan tetap untuk keluar dari jerat
kemiskinan. Kalau bisa menjadikan usaha ekonomi lemah ini menjadi seorang muzzaki.
Program ini juga bisa berbentuk pelatihan usaha, Enterpreuneur School dll.
Adapun prosedurnya adalah bagi para penerima Dana Zakat harus memenuhi
syarat yang telah ditetapkan dan mengisi formulir permohonan serta akta
perjanjian, hal ini diambil sebagai tanda kesungguhan bagi penerima dana
mengingat pengalaman tahun-tahun sebelumnya sekitar 30 % dana tidak kembali.
Mengenai Enterpreuneur School bisa dalam bentuk Short Course (Kursus
singkat) wirausaha bagi siapa saja yang berminat namun diutamakan dari golongan
dhuafa dan fakir miskin yang mempunyai keinginan untuk maju dan berkembang.
Program ini akan terus berlanjut hingga usaha tersebut benar-benar berdiri dan
tugas BAZ adalah mendampingi dan membantu dalam hal manajerial dan pengembangannya.
BAZ DKI Jakarta juga melakukan terobosan baru dalam penyaluran zakat
produktif ini, dengan menyalurkan modal usaha, langkah pertama yang dilakukan
adalah modal usaha yang diberikan itu harus dikembalikan dalam waktu tertentu
untuk disalurkan lagi kepada mustahiq berikutnya, yaitu merupakan pinjaman
modal tanpa bunga selama satu tahun, sebagai pendidikan untuk meningkatkan
kehidupan yang layak, demikian seperti dikutip oleh Sjechul Hadi Permono.[6]
[1]
Lihat Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern hal. 129
[2] Anton Ath-Thoilah, Managemen,
Fakultas Syari’ah IAIN, Bandung 1994, hal. 43-46
[3]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, hal. 247
[5] Anonimus, Pedoman Manajemen Zakat,
op.cit hal. 57.
[6] Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...