Oleh : Abdurrahman MBP*
Gonjang-ganjing
pemilihan gubernur Jawa Barat semakin terasa di berbagai tempat di penjuru Jawa
Barat, dari mulai wilayah Banjar di timur hingga wilayah Sukabumi di barat,
dari mulai wilayah perkotaan hingga pedesaan, bahkan telah juga sampai ke
kawasan-kawasan perkampungan adat dan budaya. Berbagai poster bakal calon
gubernur menyebar bak cendawan di musim hujan, tidak hanya di tiang-tiang
listrik kota-kota besar namun juga di pohon-pohon pinggir jalan di seluruh
pelosok Jawa Barat. Demikian juga ia ada di wilayah-wilayah yang menjadi tempat
tinggal komunitas adat. Jika poster tersebut tidak boleh masuk ke kampung adat,
maka tim sukses dari berbagai calon pasangan akan melobi setiap kepala adat (kuncen)
agar sang bakal calon gubernur bisa masuk dan sowan ke kampung adat.
Tradisi
mendatangi kampung adat menjadi ritual baru bagi para calon pasangan gubernur,
tentu saja kita harus ber-husnudzan bahwa kehadiran mereka adalah untuk
mengenalkan diri dan menyerap aspirasi masyarakat adat. Namun apa jadinya jika
ternyata kehadiran mereka hanya sebatas kampanye dan mendekat untuk dikenal?
Masyarakat adat saat ini bukanlah masyarakat yang dengan mudah bisa dibohongi
dengan janji-janji politik, apalagi mudah didekati dengan hanya memakai iket
atau baju kampret. Seharusnya memang setiap bakal calon gubernur
yang mendatangi kampung adat benar-benar berusaha untuk menyerap aspirasi dari
masyarakat adat, namun kenyataannya adalah justru hingga saat ini kampung adat
hanya menjadi “barang dagangan” yang dijual tanpa memperhatikan apa sebenarnya
yang mereka inginkan.
Masyarakat adat
adalah masyarakat sederhana yang tidak ambil pusing dengan hiruk-pikuk-nya
pemilihan gubernur. Mereka hanya mengharapkan agar para pemimpin tersebut bisa
memperhatikan keadaan mereka. Tentu saja bukan hanya ketika menjelang masa
pemilihan tiba, namun juga setelah mereka menjabat menjadi seorang gubernur.
Realitas yang ada adalah bahwa saat ini kampung adat di Jawa Barat, hanya
menjadi obyek yang menjadi sumber penghasilan pemerintah daerah. Sementara
kesejahteraan dan keberlangsungan kehidupan mereka seringkali tidak
diperhatikan.
Sebagai contoh,
masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya, betapa kesejahteraan yang mereka
dambakan tidak pernah menjadi kenyataan. Padahal sudah berapa banyak para bakal
calon yang sebelum menjabat mendatangi mereka dan memberikan janji-janji namun
ternyata hingga saat ini tidak pernah terealisasi. Tetap saja kehidupan ekonomi
mereka tidak berubah, yang lebih menyakitkan lagi adalah mereka menjadi sapi
perah bagi pemerintah daerah dalam hal ini mereka menjadi tontonan bagi para
pengunjung. Satu hal yang sangat menyakitkan, tidak jauh berbeda dengan
program-program TV yang menjual sebuah “kemiskinan”. Hal ini juga terjadi di
Kampung Pulo, Leles, Garut, bagaimana ternyata warga Kampung Pulo sangat
sedikit sekali memperoleh manfaat dari kampung mereka sendiri yang menjadi
“tontonan” para pengunjung. Di Kampung urug Bogor-pun setali tiga uang, kampung
mereka yang dijadikan sebagai obyek wisata ternyata tidak memberikan
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan mereka, yang terjadi adalah keuntungan
yang hanya diperoleh pemerintah setempat. Bagaimana dengan kampung adat lainnya
di Jawa Barat? Lihatlah bagaimana masyarakat Kampung Dukuh, masyarakat Kampung
Kuta, masyarakat Kampung Mahmud, masyarakat Kasepuhan Cipta Gelar dan
masyarakat adat lainnya juga menginginkan satu hal yang sama. Mereka
menginginkan agar calon-calon gubernur itu mengujungi mereka dan menyerap
aspirasi dari mereka bukan hanya ketika mereka mencalonkan diri, namun akan
sangat elegan ketika kehadiran mereka adalah sebagai bentuk perhatian dan
pemenuhan terhadap masyarakat adat.
Jika memang
bakal calon gubernur Jawa Barat mau berkunjung ke kampung adat, maka sudah
selayaknya kehadiran mereka bukan sekadar “mencari restu” dari para sesepuh kampung
adat tersebut, melainkan lebih mulia dari semua itu yaitu benar-benar menyerap
aspirasi dari masyarakat adat. Sehingga kehadiran mereka bukan hanya ketika
mereka akan menjadi gubernur, melainkan menjadi satu kesadaran bahwa kampung
adat adalah bagian dari anak bangsa yang juga memiliki hak untuk mendapatkan
kehidupan yang layak, baik dari segi ekonomi ataupun dari segi perlindungan
terhadap kebudayaan mereka. Semoga gubernur Jawa barat ke depan bisa
memperhatikan dan memenuhi aspirasi masyarakat kampung adat ini...
*
Mahasiswa S3 Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
dan Peminat Kebudayaan Sunda dan Kampung Adat Jawa barat.
Makalah ini dimuat di koran Pikiran Rakyat Kamis (manis) 13 Desember 2012 kolom Opini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...