Piagam Madinah atau
dalam bahasa aslinya Ash-Shahifah Al-Madinah adalah sebuah perjanjian
yang telah dirumuskan oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam untuk
mengatur hubungan antara warga masyarakat di Madinah yaitu dari kalangan
Muslim, Nasrani dan Yahudi. Riwayat tentang piagam ini dicatat oleh Ibnu Ishaq
dalam kitabnya, ia menyebutkan mengenai Piagam Madinah: “Utusan Tuhan (Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam) telah menuliskan suatu
‘piagam’ di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor, yang memuat juga akan
perjanjian dengan kaum Yahudi, mengakui dan melindungi akan agama mereka dan
harta benda mereka.”
Mengenai kronologi
pembuatan Piagam Madinah disebutkan oleh Dr. Muhammad Jamaludin Sarur dalam
bukunya “Qiamud Daulah Al Arabiyah Al Islamiyah”, ia menyebutkan:
“Sesudah pasti tempat kediaman Nabi di Madinah, maka beliau lalu berfikir
membuat suatu peraturan (nizham) untuk kehidupan umum. Piagam ini
diharapkan akan menjadi sendi bagi pembentukan persatuan bagi segenap warganya
(penduduk).
Dilihat dari sejarah, terbentuknya
Piagam Madinah bermula pada pertemuan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
Wasalam dengan enam orang dari suku Khajraj, Yatsrib di Aqabah, Mina yang
datang ke Mekah untuk menunaikan haji. Selanjutnya, keenam tamu dari Yatsrib
itu masuk Islam; bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah. Kepada Nabi mereka menceritakan keadaan Yatsrib, bahwa kehidupan
di sana selalu diresahkan dengan permusuhan antargolongan dan antar suku,
khususnya suku Khajraj dan suku Aus, dan mereka mengharapkan semoga Allah
mempersatukan golongan-golongan dan suku-suku yang selalu bertikai itu melalui
perantaraan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Kemudian mereka
berjanji untuk mengajak penduduk Yatsrib lainnya masuk Islam.
Kemudian pada musim
haji tahun kedua belas kenabian datang dua belas orang laki-laki penduduk
Yatsrib menemui Nabi di Aqabah. Mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan muhammad adalah utusan Allah. Selain itu mereka juga berjanji kepada Nabi
bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, berbuat zina,
tidak akan berbohong dan tidak akan mengkhianati Nabi. Bai’at ini selanjutnya
disebut dengan Bai’at Aqabah Pertama.
Pada tahun selanjutnya
tujuh puluh orang Yatsrib yang telah masuk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka
mengundang Nabi untuk berhijrah ke Yatsrib dan mereka menyatakan bahwa Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam adalah nabi mereka dan pemimpin
mereka. Pertemuan ini juga dilaksanakan di Aqabah. Di tempat itu mereka
mengucapkan baiat bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah, dan akan membela
Nabi sebagaimana mereka membela anak dan isteri mereka. Dalam pada itu, Nabi
juga akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan bersahabat dengan
sahabat-sahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Baiat ini dikenal dengan
Bai’at Aqabah Kedua. Oleh kebanyakan pemikir politik Islam, dua bai’at itu,
Bai’at Aqabah Pertama dan Bai’at Aqabah Kedua, disebut sebagai batu-batu
pertama dari bangunan negara Islam. Berdasarkan dua baiat itu maka Nabi
menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk hijrah ke Yatsrib pada akhir tahun itu
juga, dan beberapa bulan kemudian nabi hijrah menyusul mereka.
Ada tiga hal yang
mendasar yang menjadi pokok pemikiran Nabi sehingga muncul Piagam Madinah, Pertama:
Ketika Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam datang ke Madinah, beliau
mengetahui bahwa pihak Quraisy tidak akan membiarkan hidup dengan tenang di
sana dan akan melakukan apa pun
menghancurkannya beserta pengikutnya. Oleh karena itu beliau
meningkatkan kewaspadaan untuk memperkuat sistem pertahanan Yatsrib, Madinah, sehingga
siapapun yang memeluk agama Islam akan merasa aman dan selamat di kota
tersebut. Pertimbangan ini memperoleh prioritas tinggi dan merupakan dasar
kebijaksanaan pertahanan pada tahun-tahun berikutnya. Kesiapan Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wasalam ini didasarkan pada kenyataan yang terbukti benar.
Nabi Muhammad dan para
sahabat belum bisa tenang di Madinah ketika kaum Quraisy memulai suatu gangguan
dan perampokan dan mengancam sama sekali untuk menghancurkan mereka. Mereka
juga berkomplot dengan orang Yahudi dan orang Munafik dan menuntut pengusiran
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam dari kota mereka. Abu Jahal
bahkan menulis surat kepada Abdullah bin Ubay pemimpin kaum munafik di Madinah,
untuk membunuh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam dan mengusirnya
dari kota tersebut, atau mereka datang dan menghancurkan Abdullah bin Ubay
sekalian dengan Nabi Muhammad. Karena itu, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
Wasalam melakukan tindakan pengamanan dan pertahanan Madinah melawan musuh
dari luar dan dalam. Nabi Muhammad membuat rencana pertahanan yang efektif bagi
Madinah, baik untuk menghadapi serangan dari luar maupun menghadapi subversi
dari dalam.
Kedua:
Sebagai pendatang, kaum Muhajirin datang ke Madinah dan meninggalkan harta
bendanya di Mekah. Mereka tidak memiliki sumber pendapatan dan hidup amat
miskin serta kelaparan. Oleh karena itu, Nabi mendirikan suatu pakta
persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshor, dan menurut kesepakatan tersebut
mereka menjadi saudara dalam kepercayaan. Kesepakatan ini akhirnya mengubah
ikatan timbal balik menjadi suatu ikatan darah dan persaudaraan yang
sebenarnya. Dengan demikian timbullah persaudaraan yang murni antara kaum
Anshar dan Muhajirin yang mengikat semua orang Muslim menjadi satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dan kuat.
Ketiga:
Kota Madinah mempunyai penduduk Yahudi yang besar jumlahnya, yang tinggal di
dalam kota di berbagai benteng suku yang terpencar dan terlindung. Dari sudut
pandang militer perlu dicapai suatu bentuk perjanjian dengan mereka untuk mempertahankan
kota bersama-sama. Menyadari hal ini, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
Wasalam merundingkan suatu persetujuan dengan Yahudi, dan ini dianggap
sebagai satu dokumen politik terbesar dalam sejarah. Perjanjian tersebut juga
dapat dianggap sebagai sumbangannya yang terbaik dan termulia pada konsep
kebebasana manusia. Perjanjian tersebut benar-benar satu piagam kebebasan bagi
Yahudi dan warga Madinah lainnya. Piagam Madinah mencakup perjanjian tiga pihak
yaitu Muhajirin, Anshar dan orang-orang Yahudi pada pihak
lainnya. Piagam ini menjamin hak sosial maupun hak beragama orang Yahudi dan
Muslimin dan menetapkan tugas mereka.
Piagam ini sesungguhnya mengukuhkan status keagamaan, sosial dan politik
orang Yahudi dalam masyarakat.
Teks Piagam Madinah
dapat kita rujuk dalam buku-buku sirah dan tarikh karya para ulama terdahulu.
Piagam ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Hisyam (w. 213 H) dan Ibn Ishaq
(w. 151 H), dua penulis muslim yang mempunyai nama besar dalam bidangnya.
Menurut penelitian Ahmad Ibrahim al-Syarif, tidak ada periwayat lain sebelumnya
selain kedua penulis di atas yang meriwayatkan dan menuliskannya secara
sistematis dan lengkap. Meskipun demikian, tidak diragukan lagi kebenaran dan
keotentikan piagam tersebut, mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang
digunakan dalam Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang
dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat piagam tersebut
sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu. Keotentikan Piagam
Madinah ini diakui pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa
dokumen piagam tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin
dipalsukan dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbasiyah yang dalam kandungannya
memasukkan orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.
Menurut Muhammad
Hamidullah yang telah melakukan penelitian terhadap beberapa karya tulis yang
memuat Piagam Madinah, bahwa ada sebanyak 294 penulis dari berbagai bahasa.
Yang terbanyak adalah dalam bahasa Arab, kemudian bahasa-bahasa Eropa. Hal ini
menunjukkan betapa antusiasnya mereka dalam mengkaji dan melakukan studi
terhadap piagam peninggalan Nabi. Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula
tidak terdapat pasal-pasal. Pemberian pasal-pasal sebanyak 47 itu baru kemudian
dilakukan oleh A.J. Winsick dalam karyanya Mohammed en de joden te Madina,
tahun 1928 M yang ditulis untuk mencapai gelar doktornya dalam sastra semit.
Melalui karyanya itu, Winsick mempunyai andil besar dalam memasyarakatkan
Piagam Madinah ke kalangan sarjana Barat yang menekuni studi Islam. Sedangkan
pemberian bab-bab dari 47 pasal itu dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad yang
membaginya menjadi 10 bab.
Disebut piagam karena
isinya mengakui hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan
berpendapat, dan kehendak umum warga madinah supaya keadilan terwujud dalam
kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan dan kesatuan
semua warga dan prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum dan dasar-dasar
sosial politik yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan
sebagai wadah persatuan penduduk madinah yang majemuk tersebut. Baik disebut
sebagai “perjanjian” ataupun “piagam “ dan kontittusi bentuk dan muatan shahifat
dapat mencakup semua pengertian ketiga istilah tersebut. Artinya kandungan
shahifat itu dapat mencakup semua pengertian ketiga istilah tersebut, sebab ia
adalah dokumen perjanjian persahabatan antara Muhajirin, Anshor dan Yahudi dan
sekutunya bersama Nabi yang menjamin hak-hak mereka, menetapkan kewajiban-kewajiban
mereka dan memuat prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental yang
bersifat mengikat untuk mengatur pemerintahan dim bawah pimpinan Nabi.
Piagam Madinah disebut
sebagai konstitusi karena merupakan aturan dasar dalam sebuah kehidupan
bermasyarakat. Konstitusi menurut Budiarjo adalah suatu piagam menyatakan
cita-cita bangsa dan merupakan dasa organisasi kenegaraan suatu bangsa, di dalamnya
terdapat berbagai aturan pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, pembagian
kekuasaan, lembaga-lembaga Negara, cita-cita dan ideology Negara, masalah
ekonomi dan sebagainya. Namun mengenai unsur ketetapannya tidak ada
keseapakatan di kalangan para ahli. Unsur-unsur yang lebih luas dikemukakan
oleh Budiardjo yaitu ketentuan tentang organisasi Negara, misalnya pembagian
kekuasaan antara badan legislative, eksekutif, yudikatif, tentang hak asasi
manusia, tentang prosedur mengubah undang-undang dasar, tentang cita-cita
rakyat dan asas ideology Negara.
Dari keterangan
tersebut maka suatu konstitusi adalah himpunan peraturan-peraturan pokok
mengenai penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu masyarakat yang berkaitan
dengan organisasi Negara, kedaulatan Negara dan pembagian kekuasaan antara
bidang-legislatif eksekutif dan yudikatif, hak-hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah dan di bidang
sosial, politik, ekonomi, dan budaya, cita-cita dan ideology Negara.
Berdasarkan hal tersebut, maka harus diakui bahwa Piagam Madinah tidak dapat
memenuhinya secara sempurna, karena di dalamnya tidak dapat ditemui penjelasan
tentang pembagian kekuasaan antara badan legislative, eksekutif dan yudikatif.
Tetapi ia menetapkan adanya pemegang hukum tertinggi. Tetapi ia dapat disebut
sebagian konstitusi , karena cita-cita lain dapat ia penuhi yaitu ia dalam
bentuk tertulis, mengenai dasar organisasi pemerintahan masyarakat madinah
sebagai suatu umat, adanya kedaulatan Negara yang dipegang oleh Nabi dan adanya
ketetapan prindsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental, yaitu
mengakui kebisaan-kebisaaan masyarakat madinah. Mengakui hak-hak mereka dan
menetapkan kewajiban-kewajiban madinah. Ia bercita-cita mewujudkan persatuan
dan kesatuan semua golongan menjadi satu umat yang bermoral, menjunjung tinggi
hukum dan keadilan atas dasar iman dan taqwa. Jadi shahifat atau Piagam Madinah tersebut berkedudukan sebagai
kontitusi yang mengatur seluruh kehidupan masyarakat madinah yang majemuk
sehingga dapat dikatakan sebagian sebuah Negara dengan Nabi Muhammad Shalallahu
Alaihi Wasalam sebagai pemimpinnya.
Penggolongan Piagam Madinah sebagai konstitusi baru lahir setelah ilmu
yang mempelajari tentang hukum mulai lebih berkembang sejak masa Renaissance di
Eropa sampai masa kini. Berikut ini adalah beberapa definisi konstitusi dari
berbagai sumber.
1.
Constitution: law
determining the fundamental political principles of a government
‘Konstitusi: hukum yang menetapkan prinsip-prinsip politik fundamental dari
sebuah pemerintahan’. (http://www.thefreedictionary.com/constitution)
2.
Kostitusi adalah
segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (undang-undang dasar).
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998)
3.
“Konstitusi”
(“Dustur”): undang-undang yang menentukan bentuk negara, mengatur sistem
pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan wewenang badan-badan pemerintahan.
“Undang-undang” (“i]Qanun[/i]”): ketetapan-ketetapan dan peraturan-peraturan
yang dibuat oleh pemerintah dan mempunyai kekuatan yang mengikat dalam mengatur
hubungan sosial masyarakat.
Dengan mengacu pada
definisi “konstitusi” yang telah dituliskan dan dibandingkan dengan isi dari
Piagam Madinah, dapat disimpulkan bahwa Piagam Madinah adalah sebuah konstitusi
yang mendasari penyelenggaraan sebuah negara-kota yang bernama Madinah.
Komponen bentuk negara terlihat pasal 2 (didasarkan pada pembagian pasal oleh
A.Guillaume dalam bukunya The Life of Muhammad) yang menjelaskan Madinah
adalah negara di suatu wilayah unik dan spesifik. Dalam pasal-pasal berikutnya
maupun berdasarkan pada dokumen-dokumen tertulis tentang praktek Piagam
Madinah, dapat dianalisis bahwa Madinah adalah negara berstruktur federal
dengan otoritas terpusat. Praktek bentuk federasi mini ini adalah membagi
Madinah dalam 20 distrik yang masing dipimpin oleh seorang naqib, kepala
distrik, dan ‘arif, wakilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...