Oleh : Abu Aisyah
Ada perasaan puas dan bangga ketika kita bisa memberikan sesuatu kepada
orang lain, bisa jadi ini adalah tabiat dan fitrah manusia. Apalagi jika
pemberian tersebut ditujukan kepada orang-orang yang dekat dengan kita, serta
orang-orang yang kita cintai. Sudah sewajarnya dan sepantasnya memang ketika
kita memberikan sesuatu entah itu hadiah, hibah atau sekadar bingkisan kecil
kepada orang-orang yang kita cintai. Ada beberapa motif seseorang memberikan
hadiah kepada orang lain, tentu saja ini di luar unsur keikhlasan yang hanya
Allah ta’ala yang mengetahuinya. Beberapa unsur tersebut adalah :
1.
Kewajiban sebagai kepala keluarga
bagi seorang suami
2.
Perhatian dari seorang
istri kepada suaminya
3.
Perhatian dari pasangan
yang belum menikah
4.
Rasa suka kepada orang lain
5.
Rasa ingin mendapatkan
perhatian
6.
Rasa hormat kepada atasan
atau orang lain yang memiliki posisi di atas kita
Dari beberapa motif tersebut terdapat satu kesamaan yaitu bahwa sesuatu
yang diberikan oleh kita kepada orang lain adalah dikarenakan ada sesuatu yang
kita harapkan dari mereka. Menurut hemat saya hal ini tidak ada hubungannya
langsung dengan keikhlasan, namun jika dibiarkan terus-menerus bisa jadi
keikhlasan itu akan terkikis. Maksud saya adalah bahwa sering sekali kita
memberikan sesuatu entah itu hadiah atau bingkisan tertentu kepada orang-orang
yang kita cintai atau kita sukai. Saya sendiri sering kali berfikir kenapa saya
selalu memberikan sesuatu kepada orang-orang yang saya sukai? Ini di luar
kewajiban saya sebagai seorang suami. Saya berfikir ulang, jangan-jangan
pemberian saya tersebut tidak ikhlas karena Allah ta’ala, jangan-jangan
pemberian saya tersebut adalah karena saya suka dengan orang tersebut?
Astaghfirullah... bisa jadi demikian.
Bisa jadi saya akan mengungkapkan alasan lain, misalnya “Saya memberikan
hadiah kepada seseorang bukan hanya karena saya “suka” tetapi saya senang
dengan perilaku dan nilai keimanannya sehingga saya akan memberikan hadiah
kepadanya”, benar demikian? Jujur saja, saya sendiri sering memberikan sesuatu
(walaupun terkadang sangat sederhana) kepada orang-orang yang saya cintai, alasannya?
Tentu saja memberikan sesuatu kepada mereka akan lebih mendekatkan saya dengan
dia, tentunya dalam hal positif. Apakah ini
salah? Nurani saya menyatakan ada salahnya dan ada benarnya, salah ketika hanya
memberikan hadiah kepada orang-orang tertentu yang saya sukai padahal bisa jadi
ada orang lain yang lebih membutuhkannya, benar jika unsur keikhlasan menjadi
pertimbangan dalam pemberian tersebut. Misalnya diberikan kepada orang-orang
shaleh dan mengamalkan agamanya.
Bagaimana kalau dari sekarang kita
memulai sesuatu yang berbeda yaitu memberikan sesuatu itu kepada orang-orang
yang kita benci? Bisa jadi mudah diucapkan tetapi akan sulit untuk
dilaksanakan. Bayangkan saja misalnya seseorang yang selalu menyakiti kita dan
selalu mengganggu kehidupan kita harus kita berikan hadiah? Bisa tidak kira-kira
kita memberikan hadiah kepada orang yang kita benci? Beberapa kali saya
mempraktekannya, saya memberikan sesuatu (sekali lagi walaupun sangat
sederhana) kepada seeorang yang selalu membuat saya kesal atau dengan kata lain
seseorang yang saya “benci”, tanda kutip di sini bukan berarti saya benci
dengan seseorang itu, tapi lebih kepada tidak suka dengan tingkah laku dan
perilakunya. Hasilnya? Bisa jadi ego
diri saya mulai bisa menerima, dan saya juga berfikir inilah cara untuk menguji
keikhlasan. Walaupun dalam hati tetap saja ada rasa tidak suka dengan pemberian
hadiah tersebut. Namun sepertinya cukup efektif untuk menguji keikhlasan kita.
Dari sini mudah-mudahan kita bisa senantiasa kembali melakukannya, memberikan
hadiah kepada orang yang kita “benci”.... berani? Kita buktikan nanti...
subhanallah,, sangat bermanfaat jazakumullah khair artikelnya..
BalasHapus