Oleh : Eko Risanto
Sosok Eyang Arif Muhammad dan kampung Pulo-nya
terkuak secara luas berkat buku yang ditulis seorang Belanda bernama Vorderman
tahun 1893. Berdasarkan buku itu, ilmuwan Sunda Uka Tjandrasasmita, pada 9
Desember 1966 menelusurinya dan menemukan sebuah patung dewa Syiwa, makam kuna
bertuliskan Arif Muhammad dan reruntuhan candi. Sejak itu, kompleks bernilai
histori inipun terkenal ke mana-mana.
Tak ada keterangan rinci soal hubungan Arif Muhammad
yang dimakamkan di kaki candi Cangkuang serta arca Dewa Syiwa. Dan siapa pula
bisa mengartikan makna penyatuan dua peradaban bersekat agama --Islam dan Hindu
tersebut. Namun setidaknya, hal ini dapat dijelaskan dengan menilik
perkembangan syiar Islam di masa silam, terutama ketika disebarkan walisanga.
Sunan Kalijaga, misalnya, konon menggunakan
symbol-simbol Hindu dan animisme untuk bisa masuk ke dalam struktur masyarakat
saat menyebarkan agama Islam. Dan hal itu pula yang menjelaskan mengapa hanya
berjarak 3 meter sebelah barat situs candi Cangkuang, Eyang Arif Muhammad
dipusarakan.
Candi Cangkuang
Keberadaan Candi Cangkuang masih dalam silang
pendapat di kalangan pakar. Tak heran, tulisan maupun sejarah candi ini nyaris
tidak ada. Mengapa? Karena tak ada prasasti yang menjelaskan keberadaan candi
ini. Yang ada hanya cerita rakyat yang berkembang secara turun temurun. Namun,
melihat adanya arca Syiwa pada candi ini, jelas bila Candi Cangkuang merupakan
peninggalan jaman Hindu.
Berbeda halnya dengan kondisi di Jawa Tengah dan
Timur. Di sana, tidak sedikit candi-candi peninggalan Hindu yang tersebar di
berbagai tempat. Ditambah berbagai prasasti dan tulisan-tulisan kuno yang
menjadi petunjuk. Tak heran, para pakar melihat itu sebagai keunikan tanah
Pasundan. Menurut mereka, raja-raja Sunda pada masa itu punya falsafah hidup
yang lain. Nampaknya bukan kemegahan lahiriyah yang hendak dicapai, tapi
hakekat dari perilaku, termasuk urusan hubungan dengan Sang Pencipta.
Karena kondisi itulah, di tanah Pasundan hanya
ditemukan sebuah candi sebagai tempat suci umat Hindu pada masa lampau, yakni
Candi Cangkuang. Nama Cangkuang diambil dari nama desa dimana candi ini pertama
kali ditemukan. Istilah Cangkuang sendiri berasal dari nama sebuah tanaman
(pohon Cangkuang) yang banyak tumbuh di sekitar daerah ini.
Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Team Sejarah
Leles dan sekitarnya pada tanggal 9 Desember 1966. Team ini disponsori oleh
Bapak Idji Hatadji ( Direktur CV. Haruman ). Team Sejarah Leles diketuai oleh
Prof. Harsoyo, serta sebagai ketua penelitian sejarah dan kepurbakalaan adalah
drs. Uka Tjandrasasmita, seorang ahli purbakala Islam pada lembaga purbakala.
Uka Tjandrasasmita mula-mula melihat adanya batu yang
merupakan fragmen dari sebuah bangunan candi. Di sampingnya terdapat pula makam
kuno berikut sebuah arca (patung) Siwa yang sudah rusak. Tempat penemuan ini
merupakan sebuah bukit di Kampung Pulo Desa Cangkuang. Penelitian tersebut
berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genootschap
terbitan tahun 1893 yang menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno
bertuliskan Arif Muhammad dan sebuah arca yang sudah rusak.
Selama penelitian selanjutnya disekitar tempat
tersebut ditemukan pula peninggalan-peninggalan kehidupan pada zaman pra
sejarah yaitu berupa alat-alat dari batu obsidian (batu kendan),
pecahan-pecahan tembikar yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman
Neolithicum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan
Megaliticum.
Rekonstruksi 1970
Bangunan Candi Cangkuang yang kini dapat disaksikan
adalah bangunan hasil rekonstruksi tahun 1970-an. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan tahun 1967/1968 jumlah batu candi yang ditemukan hanya 35%.
Jumlah itu sebetulnya kurang memadai untuk membangun kembali sebuah bangunan
yang telah runtuh. Bangunan ini didirikan pada puncak bukit kecil (670 meter
dpl.) di tengah pulau yang oleh penduduk setempat disebut dengan nama Pulau
Panjang.
Bukit kecil yang merupakan pulau itu tingginya
sekitar 10 meter dari permukaan air danau. Bangunan candi berdiri pada sebuah
lapik bujursangkar dengan ukuran 4,70 x 4,70 meter dan tinggi 30 cm. Kaki
bangunan yang berprofil dengan nama-nama pelipit padma, pelipit kumuda, dan
pelipit persegi mempunyai denah berbentuk bujursangkar dengan ukuran 4,50 x
4,50 meter dan tinggi 1,37 meter. Di sisi utara kaki bangunan terdapat penampil
tempat tangga naik yang berukuran panjang (menjorok ke timur) 1,50 meter dan
lebar 1,26 meter.
Badan bangunan denahnya berbentuk bujursangkar dengan
ukuran 4,22 x 4,22 meter dan tinggi 2,49 meter. Di sisi utara badan bangunan
terdapat penampil pintu masuk dengan ukuran panjang (menjorok ke timur) 0,52
meter dan lebar 1,10 meter. Pada penampil ini terdapat pintu masuk yang
berukuran tinggi 1,56 meter dan lebar 0,60 meter.
Atap bangunan terdiri dari dua tingkatan. Tingkatan
pertama berdenah bujursangkar dengan ukuran 3,80 x 3,80 meter dan tinggi 1,56
meter. Di sisi-sisinya terdapat hiasan kemuncak yang jumlahnya 8 buah, dan di
bagian atas atap tingkat pertama juga terdapat 8 buah hiasan kemuncak. Pada
atap tingkat kedua yang denahnya berukuran 2,74 x 2,74 meter dan tinggi 1,10
meter, juga terdapat 8 buah hiasan kemuncak. Hiasan kemuncak pada atap kedua
ini berukuran tinggi 0,58 meter. Hiasan kemuncak utama yang terletak di tengah
dan puncak atap berukuran tinggi 1,33 meter. Keseluruhan bangunan mulai dari
lapik hingga puncak atap mempunyai ukuran tinggi 8,5 meter.
Bagian dalam bangunan terdapat ruangan yang berukuran
2,18 x 2,24 meter dan tinggi 2,55 meter. Di lantai bagian tengah terdapat
lubang yang berdenah bujursangkar dengan ukuran 0,40 x 0,40 meter. sedalam
lebih dari 5 meter dan diisi dengan pasir yang berfungsi sebagai stabilisator.
Di atas lubang ditempatkan sebuah arca hindu yang keadaannya sudah rusak.
Arca yang ditemukan pada tahun 1800-an digambarkan
duduk bersila di atas bantalan teratai. Kaki kirinya ditekuk mendatar dengan
telapak kakinya diarahkan ke paha kanan bagian dalam. Kaki kanannya ke arah
bawah dengan telapak kakinya terletak pada lapik. Di bagian depan kaki kiri
terdapat kepala seekor sapi (nandi) dengan dua telinganya mengarah ke depan.
Arca dengan ciri yang demikian merupakan arca Syiwa. ***
Sumber : http://ekorisanto.blogspot.com/2009/07/candi-cangkuang-arca-syiwa-arif.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...