Rabu, 28 November 2012

Eksistensi Ulama di Iran dan Pakistan

Oleh : AM. Bambang Prawiro

Ulama adalah pewaris para nabi, mereka menjadi pelanjut tugas kenabian yaitu menyampaikan wahyu Tuhan kepada seluruh insan. Proses melanjutkan ajaran-ajaran Tuhan tercermin dalam bentuk mengajak umat manusia kepada yang ma’ruf dan mencegah segala bentuk kemungkaran. Dalam konteks melanjutkan tugas Nabi, maka para ulama adalah pewaris dalam hal-hal yang bersifat keagamaan. Adapun dalam masalah pemerintahan maka kepemimpinan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam digantikan oleh para khalifah dan raja-raja Islam sesudahnya. Dari sini tampak adanya pemisahan kepemimpinan yang terjadi, yaitu antara kepemimpina agama dan kepemimpinan negara. Satu permasalahan besar yang hingga saat ini belum terpecahkan.
Sebagaimana tercatat dalam literatur sejarah bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam memiliki fungsi ganda (dwi fungsi), selain sebagai seorang Nabi dan rasul yang bertugas menyampaikan wahyu Tuhan, beliau juga berperan sebagai seorang kepala negara di Madinah (city-state/negara-kota). Sebagai seorang Nabi dan Rasul beliau memiliki amanah untuk mengajak manusia ke jalan kebenaran Islam. Sementara dalam posisi sebagai kepala negara beliau harus mengayomi seluruh warga negara yang tidak hanya berasal dari komunitas muslim tapi juga komunitas Yahudi, Nashrani, Zoroaster dan golongan lainnya. Dwi-fungsi yang diperankan oleh beliau tidak bisa diwariskan oleh generasi sesudahnya, sehingga realitas umat Islam saat menempatkan dua posisi kepemimpinan yang berbeda, yaitu antara pemimpin keagamaan dan pemimpin kenegaraan. Dua jenis kepemimpinan yang tidak bisa dihindari setelah wafatnya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam.
Para khalifah dan raja-raja Islam setelah beliau pun yang berusaha untuk sedekat mungkin menggantikan beliau dalam dwi-fungsi ini, namun tidak ada satu orangpun yang mampu memerankannya, sehingga sebagian besar khalifah dan raja-raja Islam lebih memposisikan diri sebagai seorang kepala negara, sementara kepemimpinan agama diserahkan kepada para ulama.  
Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq menyebutkan posisi beliau adalah khalifati rasul yaitu pengganti Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Walaupun beliau berusaha semaksimal mungkin untuk mencontoh dwi-fungsi Rasulullah namun dalam prakteknya beliau tidak bisa menggantikan secara total peran dan posisi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Demikian pula tiga khalifah setelahnya, mereka lebih memerankan diri sebagai pemimpin negara, adapun peran sebagai ulama tetap disandang dengan bantuan dari orang-orang shaleh yang berada di sekitarnya. Dalam hal ini posisi nabi sebagai seorang alim digantikan oleh majelis syura yang berusaha untuk menapaki dan melaksanakan jejak-jejak keagamaan beliau. Para pemimpin Islam pada periode berikutnya bahkan telah memosisikan ulama sebagai penasehat negara, walaupun dalam beberapa kasus seorang kepala negara Islam juga adalah seorang yang alim dalam masalah agama.
Pada masa-masa berikutnya pemisahan antara kepemimpinan agama dan negara semakin jelas dengan diposisikannya ulama sebagai penasehat raja (Qadhi), ia bertugas sebagai hakim dalam setiap penyelesaian sengketa khususnya yang berkaitan dengan agama. Keputusan-keputusan hakim tersebut menjadi fatwa yang dijadikan acuan dalam proses pemerintahan yang dipimpin oleh seorang khalifah atau raja. Hal ini berlangsung terus-menerus hingga masa kekhalifahan Islam berakhir.
Selanjutnya setelah keruntuhan kekhalifahan Islam, dunia Islam berada dalam cengkeraman kolonialis Eropa sehingga mau tidak mau umat Islam semakin dijauhkan dari para ulama. Walaupun usaha-usaha untuk memosisikan ulama sebagai patner pemimpin negara terus dilakukan namun kondisi umat Islam yang masih terjajah memaksa umat Islam semakin menyempitkan peran dan posisi ulama. Kemudian yang terjadi adalah ulama hanya sebatas pemberi fatwa dalam masalah-masalah rumah tangga, waris dan masalah perdata. Sementara permasalahan yang lebih luas yang berkaitan dengan kenegaraan hampir tidak bisa diakses-nya lagi.
Keadaan inilah yang mejadi latar belakang bagi beberapa ulama di India dan Persia untuk berusaha memperjuangkan kembali eksistensi ulama, selain juga berusaha untuk melindungi umat Islam dari berbagai tekanan musuh-musuh internal maupun eksternal. Maka pada tahun 1947 Ali Jinnah seorang ulama dari India mendirikan Negara Republik Islam Pakistan. Upaya ini didasarkan kepada prinsip awal bahwa peran dan posisi ulama seharusnya tidak bisa lepas dari pemerintahan, dalam hal ini pemerintah Islam sudah selayaknya menjadikan para ulama sebagai pedoman dalam setiap pelaksanaan kebijakannya.
Setelah itu menyusul kelompok Syiah yang dipelopori oleh Ayatullah Khumaini dengan perjuangan utamanya membangun pemerintah Islam yang “kaafah” yaitu menjadikan peran ulama sebagai tokoh sentral dalam setiap kebijakan kenegaraannya. Revolusi Islam yang digerakannya pada tahun 1979 menghasilkan dibentuknya Negara Republik Islam Iran. Wilayatul faqih sebagai majelis ulama menjadi posisi sentral dalam pemerintahan Iran.
Dari fenomena dua model pemerintahan Islam ini muncul beberapa pendapat di kalangan ulama modernis muslim mengenai posisi dan peran ulama, ada dua pendapat mengenai hal; ini., apakah ia hanya sebagai penasehat kepala negara? Atau juga menjadi eksekutor dalam kebijakan kenegaraan? Pendapat pertama menyatakan bahwa ulama cukup menjadi ustadz, buya atau mubaligh yang datang ke jamaah atau jamaah yang datang belajar atau minta fatwa. Soal kehidupannya, serahkan kepada inisiatifnya yang lain, atau profesi sampingannya atau profesi utamanya yang lain. Bagi pemahaman yang satu ini, ulama bukan profesi tetapi fungsi pengabdian non-ekonomik. Bahkan ada anggapan bahwa ulama tidak pantas dibayar kalau datang memberikan pengajian. Pengajian hanyalah tugas sucinya.
Pendapat lain menyatakan bahwa fungsi, tugas dan peranan ulama harus dilakukan reinterpretasi ulang dan bersesuaian dengan tuntutan kehidupan modern. Ulama pada dasarnya sesuai makna generik adalah orang berilmu. Karena itu tugasnya ialah mengamalkan ilmunya dan mengajarkan ilmu itu kepada ummat. Tetapi peranan itu dalam kenyataan dalam sejarah komunitas Islam, amatlah transformatif, komplek dan berubah-ubah. Sejak wafatnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam masa sahabat Khulafa al-Rasyidun, masa dinasti Umayah, Abbasiyiah, Fathimiyah, dinasti Turki Usmani, dinasti Shafawiyah di Persia, Dinasti Mughal di anak benua India, ulama dituntut lebih luas dari hanya berilmu dan pengajar atau tempat bertanya ummatnya. Kalau di masa Khalifah Rasyidin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, khalifah masih mendekati fungsi, tugas dan peranan kenabian. Transformasi terjadi setelah itu. Era pasca Khulafa al-Rasyidun ini, mulai dari daulat-dinasti tadi sampai bubarnya dinasti Khalifah Turki Usmani 1924. Ada persepsi bahwa ulama menjadi patner khalifah, amir dan sultan di masa dinasti-dinasti tadi. Sebaliknya ada persepsi bahwa ulama menjadi topeng khalifah atau pemerintahan untuk melegalisasikan kebijakan dalam bentuk fatwa-fatwa ulama.
Dari sinilah muncul berbagai permasalahan tentang posisi dan peran ulama di dalam masyarakat, apakah ia hanya sebagai penyampai (mubaligh) saja atau ia berfungsi ganda seperti yang diperankan oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam? Dalam ruang yang lebih spesifik bagaimana sebenarnya posisi dan peran ulama dalam pemerintahan? Dengan mengambil dua contoh pemerintahan Islam yang memiliki basis theologi yang berbeda diharapkan kita akan mengetahui bagaimana posisi dan peran mereka bagi kemajuan suatu bangsa dan negara. Oleh akrena itu makalah ini akan mengkaji mengenai posisi dan peran ulama dan proses legislasi di Republik Islam Iran (RII) dan Republik Islam Pakistan (RIP).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...