Minggu, 04 November 2012

Hajat Sasih di Kampung Naga

Oleh : Yogi Kusnendar dan Abdurrahman


1.    Pengertian Ritual Hajat Sasih
Tidak ada pengertian khusus mengenai Hajat Sasih yang dilaksanakan di Kampung Naga. Akan tetapi jika dilihat secara bahasa, hajat (dalam Bahasa Sunda) berarti perayaan, dan sasih berarti bulan. Hajat Sasih merupakan salah satu perayaan dalam bentuk ritual khusus yang dilaksanakan selama dua bulan sekali oleh masyarakat Kampung Naga. Ritual ini adalah ritual terbesar dan tersakral yang mereka laksanakan dibandingkan ritual-ritual lainnya. Ritual ini dilaksanakan dengan waktu dan tata cara tertentu yang telah ditetapkan oleh leluhur mereka. Hajat Sasih merupakan titik kulminasi dari rasa tunduk dan patuh kepada leluhur mereka. Masyarakat Kampung Naga mengaku berasal dari cikal bakal atau nenek moyang yang sama, yaitu seorang tokoh yang dikenal dengan nama Sembah Dalem Eyang Singaparana. Tokoh inilah yang menurunkan tata kehidupan dan tata kelakuan yang sampai saat ini dianut dan dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat Kampung Naga atau disebut juga Seuweu Putu Naga. Hajat Sasih hanya boleh diikuti oleh kaum pria. Dengan dipimpin oleh Kuncen Kampung Naga, acara ini dimulai sejak pagi hari, tepatnya sejak pukul 09.00 WIB. dan berakhir menjelang shalat dzuhur.
2.    Sejarah Pelaksanaan Ritual
Asal-usul atau sejarah masyarakat Kampung Naga khususnya ritual Hajat Sasih sangat boleh jadi akan terkuak jika sejarah nenek moyang mereka yang tertulis di atas daun lontar dan salah satu piagamnya yang terbuat dari tembaga masih utuh. Lempeng yang terbuat dari tembaga sebenarnya bukan lempeng yang asli. Lempeng asli milik masyarakat Kampung  Naga terbuat dari kuningan. Lempeng tersebut pada tahun 1922 dipinjam  oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) dan tidak dikembalikan. Yang dikembalikan hanya duplikatnya yang terbuat dari tembaga. 
Benda-benda pusaka dan keramat yang merupakan tulisan dan gambaran sejarah dari leluhur dan asal usulnya pada tahun 1956 habis tidak tersisa karena terbakar. Kampung  Naga dibumihaguskan oleh DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Pada saat itu, Tasikmalaya dan beberapa daerah lainnya di Priangan Timur pernah dijadikan basis DI/ TII di daerah JawaBarat. Termasuk yang dibakar oleh DI/TII tersebut adalah Bumi Ageung. Rumah yang notabenenya dipakai sebagai tempat penyimpanan benda- benda pusaka juga ikut musnah. Benda-benda pusaka yang saat ini masihada hanyalah beberapa benda yang tidak dapat terbakar dan beberapa tulisanyang pada waktu Kampung Naga dibumihanguskan disimpan oleh pemangku adat Sa-naga . Oleh karena itulah sangat sukar mengungkap bagaimana sejarah asli Kampung Naga khususnya sejarah pelaksanaan ritual Hajat Sasih
Akan tetapi, secara garis besar ritual Hajat Sasih merupakan titah langsung dari Sembah Dalem Eyang Singaparana. Sembah Dalem menuliskan segala aturan mengenai ritual ini. Hal ini dimaksudkan agar anak cucu keturunannya bisa mengingat dan senantiasa melaksanakan ritual tersebut. Selain itu, tatacara pelaksanaan ritual dituliskan agar tidak terjadi pelanggaran atau penyelewengan ajaran  adat yang diajarkan olehnya. Tidak diketahui sejak kapan ritual ini dilaksanakan akan tetapi masyarakat Kampung Naga meyakini bahwa ritual ini telah berlaku selama ratusan tahun sejak meninggalnya Sembah Dalem Eyang Singaparana.
3.    Waktu Pelaksanaan Ritual
Selain mengatur tatacara pelaksanaan ritual, Sembah Dalem Eyang  Singaparana juga mengatur waktu-waktu khusus pelaksanaan ritual ini. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Kampung Naga dan Sa-naga tidak sembarangan dalam melaksanakanya. Hajat Sasih merupakan upacara ritualyang agenda pelaksanaannya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut berlangsung sebanyak enam  kali dalam setahun, dengan waktu yang sudah ditetapkan dan tidak boleh diubah. Waktu-waktu tersebut antara lain:
1.    Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27 atau 28
2.    Bulan Maulud (Rabi’ul Awwal) pada tanggal 12, 13, atau 14.
3.    Bulan Rewah (Sya’ban) pada tanggal 16, 17 atau 18.
4.    Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, atau 16.
5.    Bulan Rayagung (Dzulhijjah) pada tanggal 10, 11, atau 12. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal. 83)
Dalam satu tahun, enam kali ritual dilaksanakan. Tiga hari dalam setiap bulan di atas dimaksudkan sebagai alternatif. Mereka dapat memilih berdasarkan waktu yang lebih memungkinkan untuk melaksanakannya.
Hajat Sasih tidak boleh dilaksanakan bersamaan dengan ritual Menyepi, pada setiap hari selasa, rabu dan sabtu. Oleh karena itu, disediakan alternatif sehingga masyarakat Kampung Naga melaksanakan salah satu ritual dengan tidak melanggar ritual adat yang lainnya. Dalam kepercayaan masyarakat Kampung Naga, nyepi merupakanwaktu yang tepat untuk melakukan introspeksi diri. Oleh sebab itu, pelaksanaanya tidak boleh terganggu oleh ritual-ritual lain. Hal ini berlaku bahkan untuk pelaksanaan upacara ritual yang secara tetap diselenggarakan,termasuk didalamnya ritual Hajat Sasih.
Jika waktunya bersamaan denganwaktu melaksanakan ritual nyepi, maka pelaksanaan upacara ritual tersebut harus dimajukan atau dimundurkan agar tidak berbenturan. Dengan melakukan ritual ini, masyarakat Kampung Naga berusaha mengembalikan dan memusatkan kekuatan-kekuatan yang hilang dalamdirinya karena jiwa mereka sudah tercemar oleh anasir buruk atau pengaruh luar. Dengan cara ini pula mereka berusaha mengeluarkan isi jiwanya yang kotor dan berusaha mengisinya dengan kekuatan alam semesta yang baik. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal 23)
Berbeda dengan konsep nyepi yang dimiliki oleh kaum Hindu Bali, selama melakukan ritual nyepi, masyarakat Kampung Naga tetap melaksanakan rutinitas keseharian mereka termasuk bekerja. Selama menjalankan nyepi, mereka dilarang melakukan beberapa hal yang dianggap dapat mencemari niat. Salah satu dari pantangan tersebut adalah dilarang menceritakan sesuatu apapun yang berkenaan dengan adat istiadat mereka di waktu itu.
4.    Tatacara Ritual Hajat Sasih
Sebagai tahap awal pelaksanaan ritual Hajat Sasih, secara bergotong-royong masyarakat Kampung Naga membersihkan area perkampungan. Setiap pojok rumah atau belokan yang memungkinkan bertumpuknya sampah, dibuat dan dipasangkan tempat sampah yang terbuatdari bambu. Begitu pula di sepanjang perjalanan menuju perkampungan. Acara pembersihan kawasan perkampungan ini dilakukan sehari atau dua hari menjelang Hajat Sasih dilaksanakan. Selain sebagai bentuk kesadaran masyarakat Kampung Naga dalam menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal mereka, hal ini juga menjadi sebuah bentuk ketaatan mereka kepadaaturan adat yang mengharuskan mereka menjaga lingkungan.
Secara garis besar, upacara ritual Hajat Sasih diawali dengan ritual beberesih’ yang dilakukan dengan mandi bersama di Sungai Ciwulan, kemudian dilanjutkan dengan berziarah ke makam leluhur mereka. Selesai berziarah, acara diakhiri dengan melakukan do’a syukur bersama. Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa yang akan mereka ziarahi merupakan makam leluhur mereka yaitu Sembah Dalem Eyang  Singaparana. Makam tersebut terdapat di Hutan Keramat yang tidak bisa sembarangan dimasuki oleh siapapun, kecuali atas seizin Kuncen. Selain makam Sembah Dalem Eyang Singaparna, di Hutan tersebut masih terdapat dua makam lain yang dipercaya mereka sebagai makam dari pengawal setia Sembah Dalem Eyang Singaparana.Untuk mengunjungi leluhur mereka (dengan melaksanakan Hajat Sasih), para peserta harus memenuhi beberapa ketentuan, diantaranyaadalah:
1.    Pertama, mendapatkan izin terlebih dahulu dari Kuncen sebagai pemangku adat di Kampung Naga (bagi masyarakat luar, yang bukanmasyarakat Naga dan Sanaga). Keputusan boleh atau tidaknya mengikutiritual ini ada di tangan Kuncen.
2.    Kedua, ziarah hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dewasa dan belum pernah melaksanakan Ibadah Haji. Dalam hal ini, masyarakat Kampung Naga memiliki pemahaman bahwa orang yang pernah melaksanakan Ibadah Haji telah melaksanakan ziarah yang lebih utama dari segala ziarah. Oleh karena itu, terlarang melaksanakan ziarah kepada sesuatu yang lebih rendah dari ziarah ke Tanah Suci.
3.    Ketiga, fisik dan hati dari peserta ziarah haruslah bersih. Oleh karenaitu, sebelum melaksanakan ziarah, para peserta diharuskan beberesih terlebih dahulu dengan mandi di Sungai Ciwulan secara bersamaan.
Adapun secara rinci tahapan dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih antara lain:
a.    Bebersih
Beberesih artinya membersihkan diri dengan media mandi. Pengertian ini mengandung makna bukan hanya membersihkan jasmani (fisik) tetapi termasuk didalamnya juga membersihkan rohani (jiwa) dari berbagai anasir yang menempel dan mengotori tubuh dan jiwa peserta ritual. Proses kegiatannya ditandai dengan isyarat melalui bunyi kentongan atau kohkol  di Masjid kampung.
Ritual beberesih diawali oleh Kuncen yang mendahului turun keSungai Ciwulan. Tangannya menggenggam sebuku bambu berisi cairan leuleueur. Pada salah satu sisi bagian atas buku bambu tersebut terdapat lubang kecil, tempat memasukkan dan mengeluarkan cairan leuleueur. Leuleueur secara harfiah berarti pelicin. Cairan leuleueur merupakan ramuan khusus yang terbuat dari akar pohon kapirit dan honje.
Air ramuan tersebut kemudian dibagikan kepada para peserta beberesih sebagai pengganti sabun dan shampo. Jika masih tersisa, air ramuan tersebutkemudian dibasuhkan ke tubuh masing-masing lalu dibilas dengan cara berendam selama beberapa saat di Sungai Ciwulan.
Selesai beberesih, para peserta lalu berwudu dan kembali ke rumahmasing-masing. Tubuh yang masih basah tidak boleh dikeringkan denganhanduk, akan tetapi harus dibiarkan mengering dengan sendirinya.
b.   Memakai pakaian adat
Dalam keadaan fisik dan jiwa yang sudah bersih, para peserta ritual kemudian menggunakan pakaian  khas atau pakaian adat warga Kampung Naga yang juga bersih. Pakaian adat yang ada di Kampung Naga terdiri dari dua, yaitu pakaian adat yang dipakai sehari-hari dan pakaian adat yang khusus dipakai saat ada upacara ritual. Pakaian adat ini memiliki empat unsur yang dapat dibedakan secara jelas dibandingkan dengan masyarakatumumnya. Diantaranya adalah baju kampret (mirip jubah) berwarna putihatau hitam, totopong atau ikat kepala dari kain batik, sarung poleng (pelekat) atau calana komprang (mirip dengan celana kolor panjang), berwarna putih, biru atau hitam. Bentuk pakaian yang dipakai ketika Hajat Sasih menyerupai jubah berlengan panjang. Jubah tersebut mirip dengan jubah yang dipakai oleh masyarakat Arab, hanya saja jubah Kampung Naga tidak memiliki kancing. Untuk merapatkannya, dalam jubah tersebut terdapat seutas tali dari kain. Sebagian besar warna pakaian tersebut adalah putih. Akan tetapi ada pula yang berwarna biru telur asin. Selain itu, mereka juga menggunakan tutup kepala yang disebut totopong, atau iket khas masyarakat Kampung Naga. Mereka juga memakai sarung poleng tanpa celana dalam, tanpa alas kaki dan tanpa perhiasan apapun terutama dari logam.
Setelah lengkap, mereka menuju Masjid dan  menunggu Kuncen. Sebelum masuk Masjid, mereka mencuci kaki terlebih dahulu dan masuk kedalamnya sembari menganggukkan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal ini dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena Masjid merupakan tempat beribadah dan suci. Lalu masing-masing peserta mengambil sapu lidi (nantinya akan digunakan para peserta ritual untuk membersihkan makam) yang telah tersedia di masjid dan duduk sambil memegangnya.
Untuk menjaga kesakralan, sebagian besar peserta berdiam diri tanpa berbicara. Namun jika dianggap perlu, mereka berbicaradengan sangat perlahan.Berbeda dengan Kuncen, Lebe dan Punduh adat. Selesai melakukan beberesih dan memakai pakaian adat, mereka tidak pergi ke Masjid melainkan ke Bumi Ageung. Kuncen amitan (minta restu) kepada penghuni Bumi Ageung. Di sana mereka menyiapkan lamareun (sesajen yang  telah diberi mantra) dan parupuyan (tempat membakar kemenyan) untuk dibawa ke makam. Lamareun terdiri atas kukus (dupa, kemenyan), daun sirih, buah pinang, kapur,  gambir, bako tampang (tembakau), dan daun saga atau daun cae.
Setelah semua siap, mereka kemudian keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parupuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam Masjid keluar dan mengikuti Kuncen, Lebe dan Punduh satu persatu. Mereka berjalan rapi secara beriringan sambil membawa sapu lidi. Sesampainya di pintu gerbang makam (yang ditandai oleh batu besar), masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Sembah Dalem Eyang Singaparana. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya)
c.    “Unjuk-unjuk” dan membersihkan makam
Setibanya di gerbang  makam, selain Kuncen tidak ada yang masuk kedalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parupuyan kepada Kuncen,  mereka lalu keluar dan tinggal bersama para peserta ritual yang lain. Setelah itu, Kuncen lalu membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin) kepada Sembah Dalem Eyang Singaparna. Di depan makam, dengan suara yang halus,  Kuncen melakukan unjuk-unjuk, memberitahu bahwa Seuweu-siwi Naga (anak cucu keturunan Kampung Naga) telah berkumpul dan menyampaikan maksud serta tujuannya menyelenggarakan ritual Hajat Sasih. Unjuk-unjuk dilakukan Kuncen sambil menghadap ke sebelah barat, ke arah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Selain menyampaikan niat ziarah,  Kuncen juga menyampaikan sembah hormat dan permohonan maaf jika seandainya terdapat adat istiadat yang terlupakan atau sudah dilanggar.
Selesai melakukan unjuk-unjuk, selanjutnya Kuncen mempersilahkan para peserta ritual untuk mulai membersihkan makam dan kawasan sekitarnya dengan menggunakan sapu lidi yang dibawa masing-masing peserta. Bukan hanya sampah kering dedaunan yang jatuh, rumput-rumput liar yang tumbuh bebas di kawasan makam juga ikut dibersihkan. Selesai membersihkan makam, Kuncen dan diikuti para peserta kemudian duduk bersila di atas tanah mengelilingi makam. Secara bergiliran, mereka menyampaikan do’a dan niat mereka masing-masing. Do’a disampaikan dalam hati  masing-masing untuk memohon keselamatan,  kesejahteraan,  berkah serta maksud dan kehendak masing-masing peserta.
Setelah para peserta selesai berdo’a dan menyampaikan niat masing-masing, Kuncen lalu mempersilahkan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an dan diakhiri dengan do’a bersama. Selesai berdo’a, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan Kuncen. Mereka menghampiri Kuncen dengan cara berjalan ngengsod atau ngagesor (yakni menggunakan kekuatan tangan sebagai penyangga sebagai pengganti kekuatan kaki untuk bergerak). Setelah bersalaman para peserta keluar dari kawasan makam, diikuti oleh Punduh, Lebe dan terakhir Kuncen. Mereka berjalan rapi dan beriringan kembali ke perkampungan.
Parupuyan dan sapu lidi disimpan di para (langit-langit) Masjid. Sebelum disimpan, sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di Sungai Ciwulan. Sementara lamareun disimpan di Bumi Ageung.
d.   Membersihkan Depok (Tempat Shalat Pertama)
Setelah sebagian anggota masyarakat yang melaksanakan ritual Hajat Sasih selesai berdo’a, secara berangsur mereka menuruni bukit dan kembali ke perkampungan. Mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, akan tetapi mereka langsung menuju sebuah tempat berpagar di kawasan perumahan. Tempat ini diyakini oleh masyarakat Kampung Naga merupakan tempat dimana pertama kali shalat dilaksanakan. Ritual ditempat ini tidak dipimpin langsung oleh Kuncen. Hal ini dikarenakan Kuncen masih melaksanakan ritual di makam keramat. Yang memimpin ritual disini adalah wakil yang dipercaya Kuncen. Karena pagar tinggi yang mengelilingi tempat tersebut tidak memiliki pintu, cara masuk satu-satunya adalah dengan menggunakan tangga. Sikap tenang dan tidak gaduh masih terjaga di tempat ini. Sesampainya di depan batu, perwakilan Kuncen kembali melakukan unjuk-unjuk. Selesai melakukannya, barulah acara pembersihan  tempat tersebut dimulai. Yang bisa masuk ke tempat tersebut hanya sebanyak empat atau lima orang.
Mereka membersihkan bagian dalam tempat tersebut. Sementara masyarakat lain yang tidak masuk,  mereka membersihkan bagian luar baik dari ranting-ranting pohon yang telah kering dan patah, daun-daun kering maupun rumput-rumput kecil yang mulai bertumbuhan. Selesai membersihkan tempat tersebut, semua orang yang masuk kembali keluar melalui tangga yang telah disiapkan. Terakhir, wakil Kuncen kembali melakukan unjuk-unjuk dan berdo’a. Selesai itu, barulah dia keluar. Karena tidak semua peserta ritual mengikuti ritual ini, mereka yang ikut membersihkan tempat tersebut lalu menuju sungai Ciwulan dan membersihkan sapu lidi yang mereka bawa di sana. Barulah mereka menuju Masjid dan menunggu kehadiran Kuncen di sana.
e.    Ritual akhir
Setelah  selesai melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah, para wanita Kampung Naga membawa  nasi  tumpeng  beserta lauk pauknya ke Masjid untuk kemudian dido’akan oleh Kuncen dalam prosesi Hajat Sasih selanjutnya. Prosesi ini diawali dengan kedatangan wanita patunggon. Wanita patunggon adalah wanita yang bertugas menjadi penunggu Bumi Ageung. Mereka berpakaian seperti para penari Bali, separuh tubuhnya mulai dari bagian atas dada dibalut kain. Kedua wanita tersebut mengantarkan air yang tersimpan di dalam kendi. Mereka bergerak dengan cara ngengsod atau ngagesor  menuju ke arah Kuncen. Setibanya di hadapan Kuncen dan Sesepuh masyarakat Kampung Naga, wanita patunggon menyampaikan sembah. Mereka pamit lalu kembali ke tempat semula dengan cara yang sama, seusai melakukan unjuk-unjuk kepada Kuncen.
Setelah kedua wanita tersebut keluar, barulah Kuncen berkumur-kumur dengan air kendi yang dibawa kedua wanita tadi. Setelah itu Kuncen membakar kemenyan, lalu ia mengucapkan ijab Kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya Lebe membacakan do’anya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan do’a diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan surat Al-Fatihah.
f.     Murak Tumpeng
Suasana khidmat yang menyelimuti semua peserta di dalam Masjid berlangsung untuk beberapa saat. Tetapi di luar, puluhan wanita telah bersiap menunggu upacara tersebut usai. Mereka menunggu boboko (tempat menyimpan nasi yang terbuat dari bambu) yang telah mereka simpan di dalam Masjid. Boboko tersebut berisi tumpeng (nasi kuning) beserta lauk  pauknya yang beragam tergantung selera dan kemampuan masing-masing keluarga. Ketika pembacaan do’a selesai, matahari telah tergelincir dari puncaknya. Boboko berisi nasi tumpeng dan lauk pauknya segera dibagikan kepada pemiliknya masing-masing. Setiap perempuan mengambilnya dengan tertib dan teratur, lalu membawanya pulang. Nasi tumpeng tersebut kemudian dijadikan santapan makan siang bersama seisi rumah. Mereka menyebutnya murak tumpeng. Berakhirlah runtutan upacara ritual Hajat Sasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...