Selasa, 27 November 2012

Peran Ulama dalam Pemerintahan

Oleh : Abdurrahman Muhammad

Ulama adalah pewaris para nabi, mereka menjadi pelanjut tugas kenabian yaitu menyampaikan wahyu Tuhan kepada seluruh insan. Dalam ruang lingkup yang lebih spesifik para ulama adalah penerus tugas Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam yaitu sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira bagi seluruh umat manusia. Setelah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam wafat, maka tidak ada lagi rasul dan nabi, karena Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam adalah nabi dan rasul terakhir. Dari sinilah makalah ini berawal, yaitu posisi dan peran para ulama di tengah masyarakat.  
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam dalam prakteknya memiliki fungsi ganda, selain sebagai seorang Nabi dan rasul yang bertugas menyampaikan wahyu Tuhan, beliau juga berperan sebagai seorang kepala negara di Madinah (city-state/negara-kota). Dalam posisi beliau sebagai kepala negara tentu saja beliau harus mengayomi seluruh warga negaranya, tidak hanya dari komunitas muslim tapi juga komunitas Yahudi, Nashrani, Zoroaster dan golongan lainnya. Dari dwi-fungsi inilah beliau memiliki kedudukan yang tidak bisa ditandingi oleh generasi sesudahnya. Para khalifah setelah beliau pun yang berusaha untuk sedekat mungkin menggantikan beliau tidak mampu memerankan fungsi ganda ini, sehingga sebagian besar khalifah lebih memerankan diri sebagai seorang kepala negara.
Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq menyebutkan posisi beliau adalah khalifati rasul yaitu pengganti Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Walaupun beliau berusaha semaksimal mungkin untuk mencontoh dwi-fungsi Rasul namun dalam prakteknya beliau tidak bisa menggantikan secara total peran dan posisi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Demikian pula tiga khalifah setelahnya, mereka lebih memerankan diri sebagai pemimpin negara, adapun peran sebagai ulama tetap disandang dengan bantuan dari orang-orang shaleh yang berada di sekitarnya. Dalam hal ini posisi nabi sebagai seorang alim digantikan oleh majelis syura yang berusaha untuk menapaki dan melaksanakan jejak-jejak keagamaan beliau. Para pemimpin Islam pada periode berikutnya bahkan telah memosisikan ulama sebagai penasehat negara, walaupun dalam beberapa kasus seorang kepala negara Islam juga adalah seorang yang alim dalam masalah agama.
Pemisahan antara agama dan negara pada periode setelah kepemimpinan khulafa ar-rasyidin semakin jelas dengan diposisikannya ulama sebagai penasehat raja (Qadhi), ia bertugas sebagai hakim dalam setiap penyelesaian sengketa khususnya yang berkaitan dengan agama. Keputusan-keputusan hakim tersebut menjadi fatwa yang dijadikan acuan dalam proses pemerintahan yang dipimpin oleh seorang khalifah. Hal ini berlangsng terus-menerus hingga masa kekhalifahan Islam berakhir.
Selanjutnya setelah keruntuhan kekhalifahan Islam, dunia Islam berada dalam cengkeraman kolonialis Eropa sehingga mau tidak mau umat Islam semakin dijauhkan dari para ulama. Walaupun usaha-usaha untuk memosisikan ulama sebagai patner pemimpin negara terus dilakukan namun kondisi umat Islam yang masih terjajah memaksa umat Islam semakin menyempitkan peran dan posisi ulama. Kemudian yang terjadi adalah ulama hanya sebatas pemberi fatwa dalam masalah-masalah rumah tangga, waris dan masalah perdata. Sementara permasalahan yang lebih luas yang berkaitan dengan kenegaraan hampir tidak bisa mengakses-nya lagi.
Keadaan inilah yang mejadi latar belakang bagi beberapa ulama di India untuk berusaha memperjuangkan kembali eksistensi ulama, selain juga berusaha untuk melindungi umat Islam dari berbagai tekanan dari musuh-musuh internal maupun eksternal. Maka pada tahun 1947 Ali Jinnah seorang ulama dari India mendirikan Negara Republik Islam Pakistan. Upaya ini didasarkan kepada prinsip awal bahwa peran dan posisi ulama seharusnya tidak bisa lepas dari pemerintahan, dalam hal ini pemerintah Islam sudah selayaknya menjadikan para ulama sebagai pedoman dalam setiap pelaksanaan kebijakannya.
Setelah itu menyusul kelompok Syiah yang dipelopori oleh Ayatullah Khumaini dengan perjuangan utamanya membangun pemerintah Islam yang kaafah yaitu menjadikan peran ulama sebagai tokoh sentral dalam seiap kebijakan kenegaraan. Revolusi Islam yang digerakannya pada tahun 1979 menghasilkan dibentuknya Negara Republik Islam Iran. Wilayatul faqih sebagai majelis ulama menjadi posisi sentral dalam pemerintahan Iran.
Dari fenomena dua model pemerintahan Islam ini muncul beberapa pendapat di kalangan ulama modernis muslim mengenai posisi dan peran ulama, ada dua pendapat mengenai hal; ini., apakah ia hanya sebagai penasehat kepala negara? Atau juga menjadi eksekutor dalam kebijakan kenegaraan? Pendapat pertama menyatakan bahwa ulama cukup menjadi ustadz, buya atau mubaligh yang datang ke jamaah atau jamaah yang datang belajar atau minta fatwa. Soal kehidupannya, serahkan kepada inisiatifnya yang lain, atau profesi sampingannya atau profesi utamanya yang lain. Bagi pemahaman yang satu ini, ulama bukan profesi tetapi fungsi pengabdian non-ekonomik. Bahkan ada anggapan bahwa ulama tidak pantas dibayar kalau datang memberikan pengajian. Pengajian hanyalah tugas sucinya.
Pendapat lain, fungsi, tugas dan peranan ulama harus dilakukan reinterpretasi ulang dan bersesuaian dengan tuntutan kehidupan modern. Ulama pada dasarnya sesuai makna generik adalah orang berilmu. Karena itu tugasnya ialah mengamalkan ilmunya dan mengajarkan ilmu itu kepada ummat. Tetapi peranan itu dalam kenyataan dalam sejarah komunitas Islam, amatlah transformatif, komplek dan berubah-ubah.
Sejak wafatnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam masa sahabat Khulafa al-Rasyidun, masa dinasti Umayah, Abbasiyiah, Fathimiyah, dinasti Turki Usmani, dinasti Shafawiyah di Persia, Dinasti Mughal di anak benua India, ulama dituntut lebih luas dari hanya berilmu dan pengajar atau tempat bertanya ummatnya.
Kalau di masa Khalifah Rasyidin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, khalifah masih mendekati fungsi, tugas dan peranan kenabian. Transformasi terjadi setelah itu. Era pasca Khulafa al-Rasyidun ini, mulai dari daulat-dinasti tadi sampai bubarnya dinasti Khalifah Turki Usmani 1924.
Ada persepsi bahwa ulama menjadi partner khalifah, Amir dan sultan di masa dinasti-dinasti tadi. Sebaliknya ada persepsi bahwa ulama menjadi topeng khalifah atau pemerintahan untuk melegalisasikan kebijakan dalam bentuk fatwa-fatwa ulama. Pada era dan masa lain, pada pelbagai negara dunia Islam setelah kemerdekaan yang direbut dari kaum penjajah barat, sejak awal sampai pertengahan abad-20, ulama mengubah posisi dalam segala versinya.
Ada ulama yang di belakang atau bahkan di samping pemerintah, ada pula masanya ulama berhadap-hadapan dengan pemerintah alias ‘lawan’ pemerintah.
Dari sinilah muncul berbagai teori tentang posisi dan peran ulama di dalam masyarakat, apakah ia hanya sebagai penyampai saja atau ia berfungsi ganda seperti yang diperankan oleh Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam? Dalam ruang yang lebih spesifik bagaimana sebenarnya posisi dan peran ulama dalam pemerintahan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...