Kamis, 31 Januari 2013

Ketika Kekuasaan Mencengkeram Ranjang

SALAH satu pasal dalam RUU KUHP yang mendapat banyak sorotan adalah menyangkut urusan kesusilaan. Kesusilaan, menurut Saleh Djindang dalam buku Pengantar dalam Hukum Indonesia, diartikan sebagai keseluruhan kaidah yang ada dalam pergaulan di masyarakat dan tidak merupakan hukum kebiasaan atau adat-istiadat dan agama.

Tentu saja pasal mengenai kesusilaan menjadi begitu sensitif untuk dibahas, apalagi diatur, karena sudah menyangkut urusan pribadi. Setiap orang harus melalui satu pintu perkawinan agar wilayah pribadinya (baca: urusan seks) tidak dianggap bersalah.

Padahal wilayah ini oleh sebagian kalangan dipandang sebagai kekuasaan agama yang mengatur ini dosa atau tidak. jadilah Kekuasaan hukum ini mencengkeram sampai ke wilayah tempat tidur. Wilayah pribadi yang sangat sensitif karena juga menyangkut hak asasi manusia.

Pasal-pasal dalam RUU KUHP yang berkenaan dengan kesusilaan itu cukup banyak -mengatur perilaku atas perbuatan yang menyangkut susila. Di antaranya, pasal -yang mengatur hukum atas perzinaan, kumpul kebo, sodomi, oral seks, homoseks, pornografi, dan sebangsanya.

Dulu, makna perzinaan menyangkut hubungan seksual yang melibatkan orang-orang yang terikat perkawinan. Namun pada Pasal 419 RUU KUHP (mengenai perzinaan), makna perzinaan kini telah mengalami perluasan. Ia tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang terikat perkawinan, tetapi juga mereka yang tak terikat oleh lembaga perkawinan. Artinya siapa pun yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, maka dimasukkan dalam kategori perzinaan.

Menurut perumusnya, munculnya pasal perzinaan tersebut semata-mata menyaring aspirasi masyarakat. Mereka menghendaki adanya hukuman terhadap para pelaku perzinaan, namun seringtidak berdaya untuk membawanya ke pihak berwajib karena -memang tidak ada pasal yang mengaturnya.

Akibatnya, masyarakat memberlakukan ''hukum sosial''. Misalnya, pasangan bukan suami-istri yang kepergok sekingkuh di ranjang akan diarak keliling kampung, bahkan terkadang dalam kondisi bugil. Ini merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat tidak menghendaki perzinaan mengotori lingkungannya. Selain itu, moral relijius menyatakan bahwa perzinaan merupakan tindakan tercela.

Tetapi, masalah perzinahan ini cukup sensitif, apalagi ketika dibuatkan pasal-pasal di dalam KUHP. -Sebab, kesusilaan memiliki konteks pemahaman yang tidak selalu sama untuk kelompok masyarakat yang berlainan.

Pakar hukum Andi Hamzah dan JE Sahetapy menyatakan, sebuah peraturan mengenai kesusilaan memang tidak bisa diterapkan untuk semua daerah. Hamzah berpendapat bahwa delik kesusilaan memiliki pengertian berbeda antara suku bangsa yang satu dan suku bangsa lainnya di Indonesia.

''Untuk itu, kendati secara aturan sama, pelaksanaannya tidak mungkin sama. Kumpul kebo yang di Jawa dianggap melanggar susila, tapi oleh masyarakat Bali, Minahasa, dan Mentawai dianggap sebagai hal biasa,'' jelasnya.

Sebagai jalan tengah, para penyusun RUU KUHP sepakat memasukkan perkara kumpul -kebo sebagai tindak pidana, sepanjang masuk dalam delik aduan. Pihak pengadu selain suami atau istri, antara lain tetangga dekat, kepala adat, serta kepala desa.

Bagaimana dengan pelacuran? Ini pun tergolong dalam pasal perzinaan. Konteks pelacuran dalam KUHP revisi juga mengalami perluasan dibandingkan dengan KUHP yang ada sekarang. Kelak, Pasal perzinaan tidak hanya menjerat para mucikari / germo saja, tetapi juga para pelaku seks yanga tanpa ikatan perkawinan. Mereka semua dianggap melakukan kejahatan. Ini berarti kalau ada orang ''jajan'' bisa ditangkap polisi.

Ada juga pasal yang mengatur hukuman pada kejahatan seks jenis baru, misalnya sodomi dan oral seks. Tidak tanggung-tanggung, ancaman hukumannya tiga tahun sampai 12 tahun. Sebab, perbuatan kotor ini dikategorikan sebagai perkosaan. Perkara homosex juga diatur dalam RUU KUHP ini, yang disebut sebagai perbuatan cabul sesama jenis (PCSJ). pelakunya diancam hukuman satu sampai tujuh tahun penjara.

Pro-kontra

Adanya landasan hukum baru untuk mengganjar pelaku zina jelas disambut gembira oleh kaum moralis atau sebagian masyarakat yang peduli terhadap kesucian norma kesulilaan. Apalagi di tengah masyarakat yang kini makin longgar sanksi moral, serta kontrol sosial yang kendur.

Upaya ini diharapkan dapat menghentikan atau setidaknya menghambat deret ukur kebobrokan moral. Diharapkan, dengan adanya pasal-pasal ini, mereka yang gemar melakukan tindak asusila bisa berpikir lebih jernih sebelum melakukan tindakan maksiat, kalau tidak ingin diganjar kurungan penjara atau denda."

Sementara pihak yang menolak juga berargumen tidak kalah sengit. Kata kelompok ini, masalah perzinaan dan PCSJ adalah urusan masing-masing orang dengan Sang Pencipta. Berdosa atau tidak adalah tugas nurani masing-masing untuk menilai, dan menjadi wewenang Tuhan untuk menghukumnya.

Kelompok ini juga menilai pemerintah sudah terlampau jauh mencampuri urusan yang teramat pribadi para warganya. Pemerintah kini mulai usil dengan urusan tempat tidur atau ranjang orang.

Mengenai fenomena PCSJ, semua agama memang sudah jelas menolak tanpa kompromi. Bagaimana pun, fenomena PCSJ sesungguhnya cukup rumit, mulai dari penyimpangan bioseksual bawaan, trauma psikis di masa kecil, hingga akumulasi kekecewaan ketika membina hubungan dengan lawan jenisnya. Hal ini memang menjadi rumit, terutama kalau dikaitkan dengan hak asasi seseorang.

Namun kesan bahwa RUU KUHP sebagai upaya intervensi negara terhadap kehidupan pribadi warga negaranya disangkal tegas oleh Menkeh HAM, Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, sampai sekarang RUU KUHP baru ini masih bersifat akademis, bahkan belum sampai ke pembahasan di tingkat politik.

Aroma Islam

Aroma hukum Islam yang amat mewarnai pasal-pasal kesusilaan ini memang diakui Yusril, meski penyerapannya tidak dilakukan secara total. ''Selain menyerap -hukum Islam, RUU ini juga menyerap hukum adat maupun konvensi internasional. Bahkan, hukum Belanda yang melandasi KUHP ini tidak sepenuhnya ditinggalkan,'' kata Yusril, yang juga ketua umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) itu.

Menanggapi dominasi hukum Islam dalam RUU ini, pakar hukum Prof Dr Achmad Ali mengatakan, KUHP menganjurkan agar ada satu aturan saja yang dapat diterima oleh semua agama. Untuk itu, tambahnya, menyangkut masalah susila ini, pembuat undang-undang harus pandai-pandai merumuskan perundang-undangan yang tidak merugikan kepentingan umat beragama lain. Diharapkan, aturannya berlaku secara nasional dan cocok dengan nilai-nilai pada semua agama.

Memang, hukum mestinya dapat memberi rasa keadilan yang sesuai dengan kondisi masyarakat, agar kehidupan ranjang tidak terancam, tetapi perzinaan juga tidak bebas melenggang. (Mohamad Syaefudin-48)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...