Senin, 28 Januari 2013

Mengenal Tafsir Al-Azhar

Tafsir Al-Azhar adalah sebuah tafsir yang  pada mulanya merupakan materi yang di sampaikan dalam acara kuliah subuh yang diberikan oleh Haji Amirullah Abdul Karim di masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakarta sejak tahun 1959. Ketika itu masjid tersebut belum dinamakan Masjid Al-Azhar.[1] Dalam waktu yang sama bulan Juli 1959 Hamka bersama KH. Fakih Usman dan HM. Yusuf Ahmad (Menteri Agama dalam kabinet Wilopo 1952, Wafat tahun 1968 ketika menjabat ketua Muhamadiyyah) menerbitkan majalah “Panji  Masyarakat” yang menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan Agama Islam.[2]
Penerbitan ceramah-seramah Hamka terhenti dalam majalah tersebut disebabkan pada hari senin 12 Romadhan 1383 atau 27 Januari 1964, ia ditangkap oleh penguasa Orde lama pada saat setelah memberikan pengajian di masjid al-Azhar dan pada akhirnya beliau dijebloskan dalam penjara. Dalam tahanan, Hamka tidak membuang waktu dengan percuma, beliau isi dengan membuat karya lanjutan dari tafsit al-Azhar.[3] Kondisi kesehatan Hamka dalam tahanan kian lama kian menurun, sehingga membuat ia harus dipindahkan ke Rumah sakit Persahabatan Rawamangun, Jakarta. Dalam suasana perawatan, Hamka melanjutkan kembali penulisan dari tafsir al-Azhar. Tak lama setelah itu Orde Lamapun tumbang digantikan dengan Orde Baru, dan pada akhirnya di bawah pimpinan Suharto Hamka dibebaskan. Dalam suasana bebas, Hamka kembali mengedit ulang tafsir al-Azhar.  
Tafsir al-Azhar pertama kali diterbitan oleh penerbit Pembimbing Masa pimpinan H. Mahmud. Dalam penerbitan ini hanya merampungkan juz pertama sampai juz keempat. Setelah itu diterbitkan juz 30 dan juz 15 sampai juz 29 dengan penerbit yang berbeda yakni Pustaka Islam, Surabaya. Pada akhirnya juz 5 sampai dengan juz 14 diterbitkan dengan penerbit yang berbeda pula yakni Yayasan Nurul Islam, Jakarta.[4]
Dilihat dari metode penafsiran yang dipakai, tafsir ini menggunakan metode tahlili sebagai pisau analisisnya, terbukti ketika menafsirkan surat al-Fatihah ia membutuhkan sekitar 24 halaman untuk mengungkapkan maksud dan kandungan dari surat tersebut. Berbagai macam kaidah-kaidah penafsiran dari mulai penjelasan kosa kata, asbab an-nuzul ayat, munasabat ayat, berbagai macam riwayat hadits, dan yang lainnya  semua itu disajikan oleh Hanka dengan cukup apik, lengkap dan mendetail. Dalam menggunakan metode penafsiran, Hamka sebagaimana diungkapkannya dalam tafsirnya ia merujuk atau “berkiblat” pada metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar yakni metode tahlili (analitis). Berkiblatnya Hamka dalam menggunakan metode penafsiran terhadap tafsir al-Manar, membuat corak yang dikandung oleh tafsir al-Azhar mempunyai kesamaan.
Untuk lebih jelas tentang komentar Hamka terhadap tafsir al-Manar adalah sebagai berikut: Tafsir yang amat menarik hati penafsir buat dijadikan contoh ialah tafsir al-Manar karangan Sayyid Rasyid Ridho, berdasarkan kepada ajaran tafsir gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir beliau ini, selain dari menguraikan ilmu berkenaan dengan agama, mengenai hadits, fikih dan sejarah dan lain-lain, juga menyesuaikan ayat-ayat itu dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir tersebut dikarang.[5]
Adapun dilihat dari corak penafsiran, tafsir al-Azhar mempunyai corak  Adab al-Ijtima’iy. Corak ini menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dengan ungkapan-ungkapan yang teliti, menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik, tafsir ini berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.[6] Hal tersebut bisa dilihat ketika Hamka menafsirkan  QS: al-Syura: 51-52. Hamka dalam menafsirkan ayat tersebut mengkontekstualisasikan dengan berkomentar tentang KB, menurutnya boleh atau tidaknya KB tergantung dengan alasan yang dipakai atau kuantitas dari mudharatnya.[7]
Pada ayat 28 surat yang sama, ia menafsirkan “turunnya hujan setelah masa kekeringan” bukan hanya hujan secara fisik tetapi menurutnya adalah datangnya kelonggaran setelah masa kesusahan atau kesempitan, seperti yang terjadi pada bangsa Indonesia yang sebelumnya dijajah kini telah merdeka dan terbebas dari penjajah. Demikian pula ketika ia menafsirkan QS: Al-Dukhan: 16, ia menafsirkan dengan mengaitkan peristiwa yang terjadi pada waktu itu yaitu tragedi pengeboman yang terjadi di Hirosima dan Nagasaki Jepang.[8] Dan masih banyak penafsiran ayat-ayat lainnya yang beliau kaitkan dengan kondisi yang terjadi ketika tafsir ini disusun oleh penulisnya yakni Hamka.
Unsur kelebihan yang terdapat dalam tafsir al-Azhar karya Hamka diantaranya adalah: Dalam penyajiannya Hamka terkadang membicarakan permasalan, antropologi, sejarah; seperti ketika menafsirkan lafad “Allah” ia mengaitkan dengan sejarah Melayu dengan mengutip sebuah tulisan klasik yang terdapat pada batu kira-kira ditulis pada tahun 1303, atau peristiwa-peristiwa kontemporer. Sebagai contoh ketika ia menafsirkan tentang pengaruh orientalisme terhadap gerakan-gerakan kelompok nasionalis di Asia pada abad ke-20.[9]
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Howard M. Federspiel, tafsir yang ditulis oleh Hamka mempunyai kelebihan yaitu diantaranya, tafsir ini menyajikan pengungkapan kembali teks dan maknanya serta  penjelasan dalam istilah-istilah agama mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari teks. Di samping itu semua, tafsir ini dilengkapi materi pendukung lainnya seperti ringkasan surat, yang membantu pembaca dalam memahami materi apa yang dibicarakan dalam surat-surat tertentu dari al-Qur’an.[10] Dalam tafsir ini juga Hamka berusaha mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya pada hampir semua disiplin bidang-bidang ilmu agama Islam, ditambah juga dengan pengetahuan-pengetahuan non-keagamaannya yang begitu kaya dengan informatif.[11]
Karakteristik tersebut sebagaiman diungkapkan oleh Karel Steenbrink bahwa secara umum, Hamka dalam melakukukan tekhnik penafsirannya “mencontoh” tafsir al-Manar karya rasyid Ridho dan tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari.[12] Dan yang terakhir Hamka lebih banyak menekankan pada pemahaman ayat secara menyeluruh. Oleh karena itu dalam tafsirnya Hamka lebih banyak mengutip pendapat para ulama terdahulu.[13] Sikap tersebut diambil oleh Hamka karena menurutnya menafsirkan al-Qur’an tanpa melihat terlebih dahulu pada pendapat para mufassir dikatakan tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan serampangan.
Adapun di antara kekurangan dari tafsir al-Azhar adalah pada usaha penterjemahan ayat. Nampaknya Hamka dalam melakukan penterjemahan menggunakan penterjemahan harfiah. Terjemhan seperti itu terkadang membuat terjemahan kurang jelas dan sulit ditangkap maksudnya secara langsung. Misalnya ketika Hamka menterjemahkan QS: Al Syura: 42. Artinya: “Ada jalan hanyalah terhadap orang-orang yang menganiaya manusia dan berlaku sewenang-wenang di bumi dengan tidak menurut hak. Bagi mereka itu adzab yang pedih.”
Jika membaca karya tafsir Al-Azhar milik Hamka ini terasa kita sebagai orang Indonesia bangga sebagai umat Islam Indonesia. Meskipun Indonesia dilihat dari sisi geografisnya jauh dari pusat Islam—dengan tidak mengatakan Islam Indonesia sebagai Islam pinggiran, akan tetapi ulama-ulama dan karya-karya yang muncul ternyata tidak kalah kualitasnya dengan karya-karya yang muncul di belahan bumi Timur Tengah. Akan tetapi harus diakui bahwa sampai saat ini mainstream Timur Tengah masih melekat dalam karya-karya tafsir yang muncul di Indonesia, termasuk di dalamnya tafsir Al-Azhar sendiri. Penerapan metodologi penafsiran, corak tafsir, model atau pola penafsiran, ternyata masih mengikuti gaya yang berkembang di Timur Tengah khususnya di Mesir. Meskipun begitu keunikan tafsir Al-Azhar adalah mencoba mendialogkan antara teks al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat tafsir ini ditulis. Dengan pola ini, nampaknya Hamka berkeinginan agar tafsir ini dapat mampu memberikan solusi atau respon terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Dari kelebihan ini-lah maka tafsir Al-Azhar bisa dimasukkan sebagai katagori tafsir modern di Indonesia.
Corak Tafsir Buya Hamka. Agama bersifat netral, tidak memihak, dia hanya menjelaskan pengertian raj’i. Sementara Hamka dalam menjelaskan ayat itu, beliau menggunakan contoh-contoh yang hidup di tengah masyarakat, baik masyarakat kelas atas seperti raja, rakyat biasa, maupun secara individu. Berdasarkan fakta yang demikian, tafsir Hamka dalam menjelaskan ayat itu bercorak sosial kemasyarakatan (adabi ijtima’i).
Karakteristik Tafsir Al-Azhar. Tafsir al-Azhar merupakan karya Hamka yang memperlihatkan keluasan pengetahuan beliau, yang hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber penafsiran yang dipakai oleh Hamka antara lain, al Qur’an, hadits Nabi, pendapat tabi’in, riwayat dari kitab tafsir mu’tabar seperti al-Manar, serta juga dari syair-syair seperti syair Moh. Iqbal. Tafsir ini ditulis dalam bentuk pemikiran dengan metode analitis atau tahlili. Karakteristik yang tampak dari tafsir al-Azhar ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi ijtima’i (social kemasyarakatan) yang dapat disaksikan dengan begitu kentalnya warna setting sosial budaya Minangnya yang ditampilkan oleh Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Tafsir al-Azhar sangatlah berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Mulai dari sudut pemikiran sampai sudut bahasa yang digunakan dalam menafsirkan pun sangatlah berbeda. Oleh karena itu, kami akan membandingkan tafsir al-Azhar ini dengan tafsir al-Misbah. Tafsir al-Misbah memiliki karakteristik sudut pemikirannya mendalam dan dilengkapi oleh data-data kontemporer (modern) sedangkan Tafsir al-Azhar memiliki karakteristik sudut pemikirannya selalu menggiring seseorang kepada tasawuf (karena berangkat dari setting sosial politik pada saat tafsir ini ditulis dan untuk selamat dari kondisi seperti itu, maka seseorang harus terjun ke dalam tasawuf).
Contoh Penafsiran Hamka: Penafsiran Buya Hamka terhadap ayat-ayat Amar Ma’rûf nahî Munkar dalam Tafsir al-Azhar. Menurut Hamka dalam tafsir al-Azhar, kata ma’rûf (معروف) berasal dari kata urf (عــرف) artinya “yang dikenal,”atau“yang dapat dimengerti dan dapat dipahami serta diterima oleh masyarakat.” Dalam pengertian lain, ma’rûf (معروف) berarti perbuatan yang patut, pantas dan sopan yang berlaku secara umum. Lebih lanjut Hamka menjelaskan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan baik (معروف) jika perbuatan itu dapat diterima dan dipahami oleh manusia, dan dipuji. Perbuatan itu patut diterima dan dipahami ma-nusia karena memang perbuatan baik (معروف) itulah yang patut dikerjakan oleh manusia yang berakal. Kebalikan dari kata ma’rûf (معروف) adalah kata mun¬kar (مـنـكـر), berarti yang dibenci, yang tidak disenangi atau ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut, tidak pantas. Tidak selayaknya yang demikian itu dikerjakan oleh manusia berakal; segala gejala-gejala buruk yang tidak diterima oleh masyarakat secara akal sehat. Demikian sekilas penjelasan mengenai pengertian ma’rûf (معروف) dan munkar (مـنـكـر) menurut Hamka.  
Seperti diketahui bahwa ayat amar ma’rûf nahî munkar dituliskan secara bersambung disebutkan dalam al-Qur’ân pada lima surat, yaitu al-‘Araf ayat 157, Luqman ayat 17, Ali Imran ayat104, 110, dan 114, al-Hajj ayat 103, dan 103, serta al-Taubah ayat 67, 71, dan 112. Masing-masing ayat mempunyai konteks dan situasi yang berbeda. Meskipun begitu, semua ayat ini menyerukan agar mengerjakan perbuatan yang ma’rûf dan menjauhi perbuatan keji yang dilarang oleh Allâh SWT. Pada surat al-A’râf ayat 157, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini, konteks amar ma’rûf dan nahî munkar menjelaskan tentang keberadaan Nabi Muhamad saw sebagai seorang rasul Tuhan. Nabi Muhamad saw adalah seorang yang ummî (yang tidak pandai menulis dan membaca) yang telah disebutkan bahwa beliau akan datang sebagai Nabi akhir zaman di dalam Taurat dan Injil. Risalah yang akan dibawa oleh Nabi akhir zaman itu ialah yang menyuruh akan mereka “berbuat yang ma’rûf dan mencegah akan mereka yang munkar”.
Kalimat يامرهـم با لمعـرو ف و يـنـهــهـم عـن المـنكـر   yang terdapat dalam surat al-‘Arâf ayat 157 seperti tersebut di atas, menjelaskan tentang peran yang telah dimainkan oleh para nabi dan rasul, seperti nabi Musa, nabi Isa dan nabi Muhamad saw yang ummi, dalam menjalankan risalah atau nubuwah kepada umat manusia. Sebagai nabi yang ummi, beliau juga mendapat tugas untuk menyebarkan risalah ketuhanan kepada umat manusia, termasuk ke-pada para ahl al-kitab. Dalam konteks ini, Hamka menjelaskan bahwa sebagai nabi yang ummi, tugas berat yang diemban nabi Muhamad saw, akan selalu menghadapi risiko. Tetapi, seberat apapun risiko itu, nabi siap menanggungnya, karena beliau telah mendapatkan amanah untuk melaksanakan yang ma’rûf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر).  
Menurut Hamka, kata ma’rûf (معروف) yang terdapat dalam surat ini, berarti yang dikenal atau patut untuk dilakukan. Dalam konteks amar ma’rûf nahî munkar, ditafsirkan oleh Hamka dengan kalimat sehaja. Apabila suatu perintah datang kepada manusia yang berakal budi, langsung disetujui oleh hatinya, karena hati nurani mengenalnya sebagai suatu yang baik, yang memang patut dikerjakan. Oleh karena itu, segala perintah yang dikerjakan oleh nabi yang ummi, pastilah sesuai dengan jiwa, sebab jiwa mengenalnya sebagai suatu yang baik. Di antara contoh yang diberikan Hamka adalah perintah shalat dan membayar zakat. Nabi Muhamad dan umatnya diperintahkan untuk melaksanakan shalat, karena shalat adalah pekerjaan yang patut dilakukan. Begitu juga pemberian zakat, karena memang masyarakat miskin perlu mendapat bantuan. Dengan kalimat pendek Hamka menyimpulkan bahwa tidak ada suatu perintahpun yang tidak ma’rûf (معروف) kepada jiwa, kecuali jiwa yang sakit.
Selanjutnya ayat–ayat yang menjelaskan amar ma’rûf nahî munkar (الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر secara berurutan ialah surat Âli ‘Imrân ayat 104, 110, dan 114. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung” QS. Ali-Imran: 104.  
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًۭا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. QS Ali-Imran:110.
يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُسَٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَأُو۟لَٰٓئِكَ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu Termasuk orang-orang yang saleh. QS. Ali-Imran: 114.
Pada surat Âl-Imrân ayat 104, menurut Hamka, terdapat hal penting yang menjadi tugas dan kewajiban umat manusia, yaitu melakukan dakwah. Suatu golongan yang terdapat dalam ayat tersebut, yaitu ummat, memiliki tugas dan kewajiban untuk mengajak dan membawa manusia kepada kebaikan, menyuruh berbuat ma’rûf (معروف), yaitu perbuatan yang patut, pan-tas dan sopan, dan mencegah, melarang perbuatan munkar (مـنـكـر), yang dibenci dan yang tidak diterima oleh akal dan jiwa yang sehat. Menurut Hamka, dalam konteks ayat tersebut, terdapat dua kata penting, yaitu menyuruh berbuat ma’rûf (معروف), dan mencegah perbuatan munkar (مـنـكـر). Kata ma’rûf (معروف), diambil dari kata ‘urf (عـرف (yang berarti dikenal atau yang dapat dimengerti, dapat dipahami serta dapat diterima oleh manusia, dan dipuji. Karena begitulah yang patut dikerjakan oleh manusia yang berakal. Sedang yang munkar, (مـنـكـر), artinya yang dibenci, yang tidak dise-nangi, yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak patut dan tidak pantas untuk dikerjakan. Oleh karena itu, menurut Hamka lebih lanjut, kalau ada orang berbuat ma’ruf, seluruh masyarakat, umumnya menyetujui, membenarkan dan memuji. Sebaliknya, kalau ada perbuatan munkar, seluruh masyarakat menolak, membenci dan tidak menyukainya.
Untuk mengatasi masalah ini, Hamka memberikan sebuah tips, yaitu pengetahuan keagamaan dan sikap keberagamaan. Menurutnya, semakin tinggi kecerdasan beragama, bertambah kenal orang akan yang ma’ruf, dan bertambah benci kepada yang munkar. Untuk itu, hendaknya dalam suatu masyarakat, ada sekelompok umat yang bertugas dan bekerja keras untuk menggerakkan masyarakat agar mereka berbuat yang ma’ruf, dan menjauhi yang munkar, supaya masyarakat itu bertambah tinggi nilainya.
Kesimpulan yang disampaikan oleh Hamka dalam penafsirannya pada surat Âli Imrân ayat 104 dalam tafsir al-Azhar adalah bahwa الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر itu adalah menyeru untuk melakukan ke-bajikan dan mencegah kemunkaran. Menyeru atau mengajak merupakan aktivitas dakwah. Dengan dakwah, ada dinamika kehidupan umat Islam, menjadi lebih dinamis dan agama menjadi hidup. Sebaliknya, apabila tidak ada dakwah, maka tidak ada dinamika kehidupan beragama. Karena itu, haruslah ada sekelompok orang yang mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan. Dalam konteks dakwah, Hamka tampaknya membagi bidang garapan dakwah menjadi dua, yaitu; umum, adalah untuk kalangan masyarakat umum, dan khusus, untuk keluarga sendiri. Dakwah yang bersifat umum adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat serta mengajak mereka untuk memahami hikmah ajaran Islam yang benar, serta menangkis tuduhan yang tidak benar yang diarahkan kepada agama Islam. Sedang dakwah yang bersifat khusus, ditujukan kepada keluarga sendiri, agar patuh kepada Tuhan.
Di dalam ayat 104 surat Âl-Imrân ini terdapat 3 (tiga) kewajiban, yaitu menyuruh berbuat ma’ruf (معروف), melarang berbuat munkar(مـنـكـر), dan ketiga mengajak kepada kebaikan (الخـيـر) Menurut Hamka, ketiga kewajiban itu, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkarالامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر, semua berpusat pada yang satu, yaitu يـدعـون الى الـخـيـرmengajak pada ke-baikan. Menurut Hamka, yang dimaksud dengan kata (الخـيـر) yang berarti kebaikan, yang dimaksud di dalam ayat ini adalah Islam, yaitu me¬mupuk kepercayaan dan iman kepada Tuhan, termasuk tauhid dan ma’rifat. Hal itulah, menurut Hamka sebagai hakikat kesadaran beragama yang menimbulkan pengetahuan sehingga dapat membedakan mana yang baik, yang ma’ruf (معروف), dan mana yang tidak baik, yaitu munkar (مـنـكـر). Di sinilah, menurut Hamka pentingnya juru dakwah atau da’i memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam yang sebenarnya, sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran beragama yang tinggi. Dengan kesadaran beragama yang tinggi, maka akan berdampak pada sikap dan perilaku seseorang dalam bermasyarakat, sehingga ia memiliki keberanian untuk melakukan kebaikan dan mencegah keburukan. Sebaliknya, apabila sikap keberagamaan masyarakat belum tumbuh dan masih rendah, maka percuma saja menyebut yang ma’rûf (معروف), dan menentang yang munkar. Sebab, menurut Hamka untuk membedakan yang ma’rûf (معروف), dengan yang munkar (مـنـكـر) tidak ada lain kecuali ajaran Islam.
Kalimat يـدعـون الى الـخـيـر امـة , artinya umat mengajak pada kebaikan yang terdapat pada surat Âl-Imrân ayat 104, menurut Hamka memiliki dua kata penting, yaitu ummatun (امـة ) dan kedua kata yad’ûna يـدعـون . Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dikalangan umat Islam yang besar jumlahnya, hendaklah ada segolongan umat yang menjadi inti, yang kerjanya khusus mengadakan dakwah, atau seluruh umat ini sendiri sadar akan kewajibannya yaitu melaksanakan dakwah. Sebab kehidupan agama, kemajuan dan kemundurannya sangat tergantung pada dakwah. Pelaksanaan dakwah yang dimaksudkan Hamka tidak hanya kegiatan dakwah ke dalam, yaitu dakwah di kalangan umat Islam sendiri, juga dakwah ke masyarakat luar Islam. Tujuannya, bila dakwah ke dalam, diharapkan umat Islam semakin kuat kesadaran beragamanya, sehingga mampu melakukan yang ma’ruf (معروف) dan mencegah yang munkar (مـنـكـر). Sedang dakwah ke luar Islam tujuannya agar masyarakat non-muslim memahami posisi Islam sebagai sebuah agama damai dan memberikan pengertian tentang hakikat kebenaran Islam kepada orang-orang yang belum memeluknya.
Seperti ditegaskan sebelumnya bahwa Hamka mengartikan kata ma’ruf (معروف) dengan suatu perbuatan baik yang diterima oleh masyarakat dan akal sehat. Oleh karena itu, menurutnya, seorang da’i apabila berdakwah hendaklah ia mengeluarkan pendapat umum yang sehat atau public opini yang sehat dan dapat diterima masyarakat umum. Diharapkan dengan adanya kegiatan dakwah, akan terbentuk masyarakat yang sehat. Bila amar ma’ruf nahi munkar الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر, terhenti, sebagai bagian dari aktivitas dakwah, maka hal itu dapat dijadikan sebagai indikator masyarakat yang sedang sakit. Oleh sebab itu, lanjut Hamka, mereka yang melakukan kebaikan (الـخـيـر) dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, adalah mereka yang akan memperoleh kemenangan. Karena mereka telah melakukan amar ma’ruf nahi munkar الامـربـالـمـعـروف وا لنهى عن الـمـنكر , dan mengajak pada kebaikan, sehingga keburukan dapat dihindari atau dikalahkan, sehingga umat menjadi pelopor kebajikan di dalam dunia.
Dalam konteks ini ayat tersebut di atas, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh kaum muslimin. Pertama, mengajak orang kepada al-khair (يـدعـون الى الـخـيـر). Kedua, mengajak orang kepada yang al-ma’rûf (الامـربـالـمـعـروف). Ketiga, mencegah orang dari al-munkar (وا لنهى عن الـمـنكر). Dari terjemahan ayat tersebut, lafal atau kata al-khair (الـخـيـر) dan lafal al-ma’rûf الـمـعـروف menurut harfiahnya sama, yaitu kebaikan. Terdapat dua ka-ta yang berbeda akan tetapi memiliki pengertian sama. Oleh karena itu, ke-simpulan umum yang hendak dijelaskan pada ayat ini adalah suatu kewajiban bagi umat Islam untuk menyampaikan yang ma’ruf (معروف) dan melarang perbuatan yang munkar(مـنكر). Karena perbuatan demikian merupakan ujung tombak dari dakwah Islam, yakni menyampaikan yang baik dan melarang kepada yang munkar.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong Haji Abdul Malik Karim Amrullah untuk menghasilkan karya tafsir tersebut. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah dalam mukadimah kitab tafsirnya. Di antaranya ialah keinginan beliau untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami al-Qur’an tetapi terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai ilmu Bahasa Arab. Kecenderungan beliau terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah serta meningkatkan keberkesanan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil daripada sumber-sumber Bahasa Arab.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah memulai Tafsir al-Azharnya dari surah al-Mukminun karena beranggapan kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di Masjid al-Azhar ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana Masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Haji Abdul Malik Karim Amrullahisme”. Pada tanggal 12 Rabi’ al-Awwal 1383H/27 Januari 1964, Haji Abdul Malik Karim Amrullah ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa berkah bagi Haji Abdul Malik Karim Amrullah karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya.
Tafsir al-Azhar merupakan karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang memperlihatkan keluasan pengetahuan beliau, yang hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber penafsiran yang dipakai oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah antara lain, al-Qur’an, Hadits Nabi, pendapat Tabi’in, riwayat dari kitab tafsir mu’tabar seperti al-Manar dan Mafatih al- Ghayb, serta juga dari syair-syair seperti syair Moh. Ikbal. Tafsir ini ditulis dalam bentuk pemikiran dengan metode analitis atau tahlili. Karakteristik yang tampak dari tafsir al-Azhar ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi ijtima’i (sosial kemasyarakatan tafsir yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh) yang dapat dengan begitu kentalnya warna setting sosial budaya Indonesia yang ditampilkan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an


[1] Hamka, Tafsir Al-Azhar………, hlm. 48
[2] Ensiklopedi Islam ……….., hlm. 77.
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar………, hlm. 50.
[4] Lihat Hamka, “Mensyukuri Tafsir Al-Azhar”, (Majalah Panji Masyarakat,  No.  317),  hlm. 39. Untuk lebih lengkap dalam mengetahu sejarah penulisan tafsir Al-Azhar dapat dilihat dalam karya tafsirnya juz I, hlm. 50-58.
[5] Hamka,Tafsir Al-Azhar……… , Juz I, hlm. 41.
[6] Muhammad Husen al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (juz. III, t.t), hlm. 213.
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar……..., Juz. XXV, hlm. 44.
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar……..., Juz. XXV, hlm. 99
[9] Ibid, juz, VI, hlm. 346.
[10] Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia, Terj. Tajul Arifin, Jakarta: Mizan, 1996, hlm. 143.
[11] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, (melacak Hermeneutika Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar, (Yogyakarta: Qolam, 2002), hlm. 73.
[12] Karel  Steenbrink, Qur’an Interpretations of Hamzah Fansuri (CA. 1600) and Hamka (1908-1982): A Comparison,  (Jurnal Studi Islamika, Vol. 2, No. 2, 1995), hlm. 83.
[13] Muhammad Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad Ke-20, (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, Volume III, No.4, 1992), hlm. 57.

1 komentar:

  1. tafsir al azhar salah satu buku referensi di bidang tafsir alquran..

    BalasHapus

Please Uktub Your Ro'yi Here...