Sabtu, 12 Januari 2013

Urgensi Tauhid Bagi Pelaku Ekonomi Syariah

Oleh : Abu Fahmi dan Abu Aisyah


Perkembangan ekonomi syariah harus terus diperjuangkan, tidak hanya segi isi dan obyeknya saja melainkan juga pada sisi subyek pelakunya. Para pelaku ekonomi syariah haruslah setiap muslim yang memahami apa hakekat dari system ekonomi ini, ia adalah pribadi yang secara lahir-batin berjuang untuk menegakan hukum-hukum Allah khususnya di bidang ekonomi. Perjuangan lahir meliputi komitmennya kepada ekonomi syariah, sementara perjuangan batin adalah senantiasa meningkatkan kualitas keimannnya agar semakin dekat kepada Allah ta’ala. Di antara saran untuk semakin mendekatkan diri kepadaNya bagi para pelaku ekonomi syariah adalah dengan senantiasa meningkatkan nilai-nilai keyakinan atau aqidahnya.  
Aqidah merupakan “rakizah asasiyah” di dalam agama, ia merupakan fondasi yang kokoh, yang di atasnya dibangun semua cabang-cabang agama, sekaligus sebagai tiket untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Lurus dan benarnya suatu  Aqidah menentukan lurusnya semua bangunan yang berdiri di atasnya,  baik berupa tuntutan-tuntutan maupun perintah-perintah. Lurusnya aqidah merupakan satu-satunya jalan untuk menegakkan masyarakat muslim yang terikat dan bersatu. Tidak ada jalan menuju persatuan ummat Islam, termasuk kesatuan barisannya maupun kejayaannya di dunia dan di akhirat, kecuali kembali secara benar kepada Islam yang murni lagi bersih dari cacat, dan terlepas total dari cela-cela syirik, bid’ah dan pengaruh hawa nafsu.
Hal ini dituntut bagi setiap muslim agar ia menjauhkan dari madzhab-madzhab dan manhaj-manhaj yang baru (hasil rekaan manusia) yang bertentangan dengan yang dipegangi oleh salafushalih. Hendaknya setiap muslim benar-benar memperhatikan madzhab Salafushalih, baik aqidah mereka maupun manhaj mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Jika orang-orang yang memiliki kecerdasan dan kelebihan memperhatikan dengan seksama tentang perkara-perkara ini maka akan jelas baginya bahwa madzhab Salafushalih dan para Imam benar-benar teruji lurus dalam ketepatannya, kebenaran dan keteraturannya. Hal itu itu sesuai dengan tuntutan akal yang sharih dan naql yang shahih. Bagi siapa saja yang menyelisihi, ia akan menyertainya dengan perkataannya yang saling berlawanan, yang dusta oleh orang yang lemah akal, yang keluar dari tuntutan akal dan pendengaran (dalil wahyu), dan bertentangan dengan fitrah dan pendengaran” (Majmu’ Fatawa : 5/212-213).
Dr. Mustafa Hilmi menyatakan: “Jika kaum muslimin benar-benar ingin bangkit, maka tak ada jalan lain bagi mereka kecuali melalui kesatuan jama’ah mereka, dan kesatuan jama’ah tidak bisa melalui jalan lain kecuali kembali kepada Islam yang shahih, dan Islam yang shahih itu adalah yang bersandarkan kepada Kitabullah dan Sunnah Nabawiyah, dan inilah sasaran inti kaum yang diridhai Allah dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka, (Qowai’id al Manhaj as Salafy: 13). Dr. Shalih bin Sa’ad As Sahimy juga menyatakan bahwa kebersamaan (jama’ah) adalah filter penting dalam segi aqidah dan ketegasannya dalam peranannya di dalam masyarakat muslim: adalah yang harus dilakukan pertama sekali, dan sebagai central esensial yang di atasnya berdiri bangunan yang berdiri “Masyarakat Islami”, yang mana barisan kaum muslimin berlindung di bawah benderanya. Dari sinilah para pendahulu umat ini mengilhami jalan persatuan mereka, dan di atas sorotan cahaya-Nya menyinari jalan mereka menuju puncak ketinggiannya dan kemuliannya. dengan petunjuk dan prinsip-prinsip nilai yang ditegakkannya mereka membuka hati mereka lebih dahulu sebelum membuka kawasan dan penjuru bumi. (Manhajus Salaf fil Aqidah wa Atsaruhu fi Wihdatil Muslimin : 4).
Perintah-perintah syariat datang dari sisi Allah ta’ala, sementara amal perbuatan datang dari sisi hamba, mak dalam hal ini Allah sebagai yang memerintah dan hamba sebagai yang diperintah. Kebahagiaan hamba terjadi ketika keduanya yaitu perintah Allah dan amal perbuatan hamba berhimpun menjadi satu pada dirinya. Itulah “as sa`adah” (kebahagiaan), yang haqiqi. Ketika antara keduanya -perintah Allah dan amal perbuatan hamba- tidak berhimpun pada diri hamba, yang terjadi adalah “asy-syaqawah” (kesengsaraan, kegundahan, kegelisahan, kesedihan dan kesempitan). Perhatikan firman Allah ta’ala berikut :
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. QS. Al-Hajj: 32
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَخْشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ
Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. QS. An-Nur : 52
Dua ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa takwa kepada Allah ta’ala adalah kunci bagi kebahagiaan dan kemenangan. Tidak saja kebahagiaan di dunia namun juga kebahagiaan di akhirat kelak. Dalam ayat yang lainnya disebutkan:
مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًۭا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌۭ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةًۭ طَيِّبَةًۭ ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. QS. An-Nahl: 97.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةًۭ ضَنكًۭا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِىٓ أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًۭا
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?". QS. Thaha: 124-125.
Buah dari ketakwaan adalah amal shaleh, maka ketika seseorang bertakwa dan beramal shaleh Allah ta’ala akan berikan padanya kehidupan yang baik dan penuh berkah. Sebaliknya jika ia menyelisihi dengan melakukan amal-amal yang tidak baik maka baginya kehidupan yang sempit, susah dan akan mendatangkan penyesalan di akhirat kelak. Membahas tentang amal shaleh maka tidak lepas dari keadaan manusia yang terdiri dari jasad dan ruh, jasad berarti badan yang digunakan untuk melakukan amal yang bersifat dhahir. Sementara ruh berkaitan dengan hati yang melakukan amalan-amalan yang batin.
Baik amalan hati (a`mallul qulub) maupun amalan anggota badan (a`malul jawarih) memiliki keistimewaan masing-masing dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Amalan hati merupakan fondasi iman dan pilar dari agama (min uhsulil iman wa qawa`idil dien). Di antara bentuk amalan hati adalah iman, tauhid, mahabbatullah dan rasulNya, tawakkal pada Allah, ikhlas dalam beragama kepada Allah, yakin terhadap Dzat Allah, Asma’ dan sifat Nya, khauf dari Nya, raja’ pada Nya, khasyyah dariNya, khusyu` kepada Nya, merendahkan diri dan tunduk di hadapan Nya, bersabar atas hukum-Nya dan Isti`anah kepadaNya. Amalan hati ini merupakan seutama-utama amalan, ialah yang membedakan antara seorang mukmin atau seorang munafiq. Oleh karena itu hendaklah setiap pelaku ekonomi syariah untuk memperhatikan hal ini.
Adapun amalan anggota badan adalah setiap amal shaleh yang dilakukan oleh anggota badan manusia sebagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala. Tangan digunakan untuk memberikan zakat, infaq dan shadaqah, kaki digunakan untuk melangkah di jalanNya, lisan digunakan untuk membaca kalamNya dan lain sebagainya. Intinya adalah bahwa amalan anggota badan menjadi cermin bagi keshalehan seseorang, shalat misalnya ia adalah pembeda antara seorang muslim yang taat dan seorang kafir. Rasulullah bersabda tentang hal ini :
إنَّ الفرق بيننا وبينهم الصّلاة فمَنْ تركها فقدْ كفر
Sesungguhnya pembeda antara kami (umat Islam) dan mereka (Musyrikin) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir. HR. Al-Hakim.
Setiap pelaku ekonomi syariah sudah selayaknya untuk memperhatikan dua jenis amalan tersebut, tidak hanya amalan anggota badan naumn juga amalan hati harus senantiasa dijalankan. Dengan amalan yang berlandaskan aqidah inilah ia akan mampu untuk mengawasi setiap aktifitasnya khususnya di bidang ekonomi yang dijalankannya. Selain itu, setiap praktisi ekonomi syariah tidaklah sekadar mengandalkan aspek profesionalisme yang sifatnya keduniaan saja, namun juga harus lebih memperhatikan suprastruktur yaitu segi aqidah, tsaqafah, fikrah, tradisi dan kultus Islamnya. Sehingga dengan ini diharapkan setiap pelaku ekonomi syariah akan memahami bahwa aktifitas yang dilakukannya tidak hanya bernilai secara duniawi namun juga bernilai ukhrawi.  
Kesalahan fatal yang terjadi sekarang di dunia pegiat ekonomi syariah adalah keringnya aqidah mereka, terbukti dengan banyaknya perbankan syariat dan BPR syariah dadakan, yang hanya bermodalkan training dan rekrutmen, lebih pada aspek-aspek teknis keprofesian dan bukan pada pembinaan fondasinya, yaitu amal-amal hati yang menggerakkan seluruh amal-amal anggota badannya, apalagi di bank-bank konvensional yang membuka layanan Bank Syariah yang hanya memanfaatkan trend umat Islam yang mayoritas. Mereka yang keropos fondasi tauhidnya, tsaqafah Islamiyahnya, fikrah dan pemahaman ubudiyahnya, adab dan akhlaknya. Kekeringan ini menjadikan ruh dari Islam seolah-olah hilang dari para pelaku ekonomi syariah. Padahal ini akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan ekonomi syariah, tentunya harus ada perbaikan dari dalam diri umat Islam sendiri yaitu perbaikan dari para pelaku ekonomi syariah tersebut.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...