Sabtu, 03 Desember 2011

Metode Pemahaman (Syarh) Dan Kritik (Naqd) Atas Hadits



Oleh : M. Hidayat

A.     Pendahuluan
Hadits merupakan salah satu sumber pokok ajaran Islam. Sebab ia merupakan bayân (penjelas), terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global), ‘âm (umum) dan yang mut}laq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadits dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Qur’an.[1]
Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam ini, tampaknya selalu menarik untuk dikaji, baik yang menyangkut tentang kritik otentitas atau validitas (sanad dan matan) maupun metodologi pemahaman (syarh}) hadis itu sendiri.
Ulama dahulu telah banyak mencoba melakukan pensyarahan atau pemahaman hadits yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, yakni dengan menulis kitab syarah terhadap kitab tersebut.
Meskipun demikian, upaya untuk menemukan metode yang digunakan ulama dalam penyusunan kitab syarah hadits tersebut hampir-hampir tidak pernah tersentuh. Namun dari beberapa metode yang dipergunakan oleh para ulama dalam menyusun kitab syarh hadits, dapat diklasifikasikan beberapa metode pemahaman hadits, yakni metode tahlîlî, metode ijmâlî,   metode muqârin dan metode maudhû’ii.[2]
Sementara dalam hal validitas hadits karena jaraknya yang cukup lama dari wafat Rasulullah ke pentadwinan, maka banyak kalangan yang mempertanyakan tentang otentitas, originalitas, keakuratan, dan kebenaran hadits. Oleh karena itu, muncullah muncullah ilmu-ilmu yang berfungsi untuk menyelidiki atau mengkritik  validitas rawi,  sanad, dan  matan hadits.
Tulisan ini akan menyajikan dan membahas kedua hal tersebut, yaitu metode pamahaman (syarh) dan kritik(naqd) atas hadits

B.           Tinjauan Historis  Pemahaman(syarh) Hadits dan pengertiannya
1.      Tinjauan Historis Syarh Hadits
Penyarahan (syarh) atas hadits dimulai pada abad ke IV Hijriyah. Masa ini disebut dengan ’ashr al-syarh wa al-jam’i wa al-takhrîj wa al-bahts, yakni masa penyarahan, pengumpulan, pentakhrijan dan pembahasan hadits.[3].Ulama muhadditsin masa ini concern mempelajari, menghapal, memeriksa, menyelidiki, mengumpulkan dan memberi komentar atau penjelasan terhadap hadits. Upaya ini dilakukan untuk memelihara isi kandungan hadits dari maksud yang sebenarnya. Dalam konteks yang terakhir inilah penulisan syarah hadits dilakukan. Di antara kitab- kitab syarah hadits yaitu:
a.       Syarh Shahih al-Bukhari: Fath al-barri karya al-Asqalani; al-’Umdah al-Qarii karya al-’Aini; Jami’ al-ushul karya al-Jazairi, dan sebagainya.
b.      Syarh Shahih Muslim: Minhaj al-Muhadditsin karya al-Nawawi; al-Mufhim karya al-Qurthubi, al- Ikmal karya al-Qadhi ’Iyadh, dan sebagainya.
2.      Pengertian  Metode,  Metodologi, dan Syarh
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.[4] Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengn tharîqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[5] Sedangkan metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam Kamus Besar Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang metode; uraian tentang metode.[6]
3.      Pemahaman (Syarh)
Kata syarah (Syarh} ) berasal dari bahasa Arab, Syaraha-Yasyrahu-Syarhan yang artinya menerangkan, membukakan, melapangkan.[7] Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadits, sedangkan tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata lain, secara substansial keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti atau pesan); tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsîr  spesifik bagi Al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat Al-Qur’an), sedangkan istilah Syarh  meliputi hadits (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadits) dan disiplin ilmu lain.[8]
Jadi maksud dari metodologi pemahaman (syarh) hadits  ialah ilmu tentang metode memahami hadits. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara dua istilah, yakni metode syarh: cara-cara memahami hadits, sementara metodologi syarh: ilmu tentang cara tersebut. Metode yang digunakan oleh pensyarahan hadits ada empat, yaitu metode tahlîlî, metode ijmâlî,  metode muqârin dan metode maudhû’î. Adapun untuk melihat kitab dari sisi bentuk pensyarahan, digunakan teori bentuk syarh bi al-ma`tsûr dan syarh bi al-ra’y. Sedangkan dalam menganalisis corak kitab digunakan teori kategorisasi bentuk syarh fiqhy, falsafy, sufy, atau lugawy.[9]




C.          Metode-metode Pemahaman (syarh) Hadis
1.      Metode Tahlîlî (Analitis)
a.      Pengertian
Metode syarh tahlîlî adalah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercangkup di dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah. [10]
Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadits mengikuti sistematika hadits sesuai dengan urutan hadits yang terdapat dalam sebuah kitab hadits yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah.
Pensyarah memulai penjelasannya dari kalimat demi kalimat, hadits demi hadits secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadits seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadits (jika ditemukan), kaitannya dengan hadits lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadits tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi'in maupun para ulama hadits.[11]
Di antara kitab  yang menggunakan metode tahlîlî  ini adalah Fath al-Bâriy bi syarh Shahîh al-Bukhâriy karya Ibn al-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Hajar al-’Atsqalâniy (772-852 H)
b.      Ciri-ciri Metode Syarh Tahlîlî
Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode syarh tahlîlî biasanya berbentuk ma'tsûr (riwayat) atau ra'y (pemikiran rasional). Syarah yang berbentuk ma'tsûr ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi'in atau ulama hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra'y banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya.
Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlîlî  mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)   Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola menjelaskan makna yang terkandung di dalam hadits secara komprehensif dan menyeluruh.
2)      Dalam pensyarahan, hadits dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan asbâb al- wurûd dari hadits-hadits yang dipahami jika hadits tersebut memiliki asbâb al-wurûdnya.
3)      Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat, tabi' in dan para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
4)      Di samping itu dijelaskan juga munâsabah (hubungan) antara satu hadits dengan hadits lain.
5)      Selain itu, kadang kala syarah dengan metode ini diwamai kecenderungan pensyarah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti corak fiqhy dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.[12]
c.       Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlîlî
Kelebihan
1)   Ruang lingkup pembahasan yang sangat luas.
Metode analitis dapat menyakup berbagai aspek: kata, frasa, kalimat, sabab al wurûd, munâsabah (munasabah internal) dan lain sebagainya.
2)   Memuat berbagai ide dan gagasan.
Memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarah untuk menuangkan ide-ide, gagasan-gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulama.
Kekurangan
1)   Menjadikan petunjuk hadits parsial
Metode analitis menjadikan petunjuk hadits bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga seolah-olah hadits memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena syarah yang diberikan pada hadits  kurang memperhatikan hadits lain yang mirip atau sama redaksinya dengannya.
2).  Melahirkan syarah yang subyektif
Dalam metode analitis, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadits secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang mensyarah hadis sesuai dengan kemauan pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.[13] 
2.      Metode Ijmâlî ( Global)
a.      Pengertian
Metode ijmâlî (global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadis­-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadits yang ada dalam al-Kutub al-Sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan ma’na literal hadis dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami. [14]
Di antara Kitab yang menggunakan metode ijmâlî  ini adalah ’Aun al-Ma’bud ’alâ Sunan Abi Dawûd  karya Muhamad Asyraf ibn Ali Haydar al-Shiddiqy al-Adhim Abady (w. Abad ke-4 H).
b.      Ciri-ciri Metode Ijmâlî [15]
1)      Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir  tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2)      Penjelasan umum dan sangat ringkas.
Pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Namun demikian, penjelasan terhadap hadits-hadits tertentu juga diberikan agak luas, tetapi tidak seluas metode tahlîlî.
c.       Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
1). Ringkas dan padat
Metode ini terasa lebih praktis dan singkat sehingga dapat segera diserap oleh pembacanya. Syarah tidak bertele-tele, sanad dan kritik matan sangat minim.
2).  Bahasa Mudah
Pensyarah langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide atau pendapatnya secara pribadi.


Kekurangan
1).  Menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial
Metode ini tidak mendukung pemahaman hadits secara utuh dan dapat menjadikan petunjuk hadits bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang lain, sehingga hadits yang bersifat umum atau samar tidak dapat diperjelas dengan hadits yang sifatnya rinci.
2).  Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
      Metode ini tidak mnyediakan ruangan yang memuaskan berkenaan dengan wacana pluralitas pemahaman suatu hadits.[16]
3.      Metode Muqârin (komparatif)
a.      Pengertian
Metode muqârin adalah metode memahami hadis dengan cara membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama. Bisa pula dengan membandingkan berbagai pendapat ulama  dalam mensyarah hadits. 19
Jadi metode ini dalam memahami hadits tidak hanya membandingkan badits dengan hadits lain, tetapi juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadits.
Diantara Kitab yang menggunakan metode muqârin ini adalah Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi karya Imam Nawawi, dan Umdat al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhari karya Badr al-Din  al-’Aini.
b.      Ciri-ciri Metode Muqârin
1)   Membandingkan analitis redaksional (mabâhits lafzhiyyah) dan perbandingan periwayat periwayat, kandungan makna dari masing-masing hadits yang diperbandingkan.
2)   Membahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadits tersebut.
3)   Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut  kandungan (makna) hadits maupun korelasi (munasabah) antara hadits dengan hadits. 20
Ciri utama metode ini adalah perbandingan, yakni membandingkan hadits dengan hadits, dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadits.
c.       Urutan Metode Muqârin
Metode ini diawali dengan menjelaskan pemakaian mufradat (suku kata), urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka langkah-yang ditempuh sebagai berikut :
1)   mengidentifikasi dan menghimpun hadits yang redaksinya bermiripan,
2)   memperbandingkan antara hadits yang redaksinya mirip tersebut, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama,
3).  menganalisa perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan itu mengenai konotasi hadits maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya dalam hadits, dan sebagainya,
4).  memperbandingkan antara berbagai pendapat para pensyarah tentang hadits yang dijadikan objek bahasan.21
d.      Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
1)   Memberikan wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan denga metode lain.
2)   Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh berbeda.
3)   Pemahaman dengan metode muqârin sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadits.
4) Pensyarah didorong untuk mengkaji berbagai hadits serta pendapat­pendapat para pensyarah lainnya.
Kekurangan
1)   Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.
2)   Metode ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah
3)   Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru23.
4.      Metode Syarh Maudhû’î (tematik)
a.      Pengertian
Kata maudhû’i dinisbatkan pada kata al-maudhû’ yang berarti topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Secara semantik, syarh maudhû’î menjelaskan hadits menurut tema atau topik tertentu dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab wurudnya. Kemudian pensyarah mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[17]
Di antara kitab yang menggunakan metode syarh maudhû’ii ini adalah adalah  Bulûgh al-arâm, subul al-salâm, ibânat al-ahkâm, dan al-lu`lu` wa al-marjân.
b.      Ciri-ciri syarh Maudû’i
Ciri-cirinya adalah bahwa pensyarah menjelaskan hadits dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1)      Menentukan topik bahasan setelah menentukan batasan- batasan dan mengetahui jangkauannya.
2)      Menghimpun dan menetapkan hadits-hadits yang menyangkut masalah tersebut.
3)      Menyusun hadits-hadits tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai  pengetahuan asbâb al-wurûd.
4)      Menyusun tema pembahasan dalam kerangka yang tepat, sistematis, sempurna, dan utuh
5)      Melengkapi penjelasan dan uraian dengan al-Qur`an yang berhubungan jika dipandang perlu, sehingga  pembahasan semakin jelas.
6)      Mempelajari semua hadits yang terpilih dengan jalan menghimpun hadits-         hadits yang sama pengertiannya; mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus; muthlaq muqayyad; atau yang kelihatan kontradiktif, sehingga diharapkan dapat dicarikan titik temu dalam satu tujuan, tanpa adanya perbedaan dan pemaksaan dalam pensyarahan hadits.
c.       Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhu’î
            Kelebihan
1)      Diprediksi mampu menjawab tantangan  zaman. Melalui metode ini, pemahaman tentang suatu permasalahan dapat dipahami secara komprehensif, karena didukung oleh semua hadits yang berhubungan.
2)      Praktis dan sistematis. Model ini dinilai praktis dan sistematis karena mudah untuk memahami suatu permasalahan dan tersusun sesuai dengan tema-tema permasalahan tertentu.
3)      Memunculkan sikap dinamis dalam mensyarah hadits.
4)      Menghasilkan pemahaman yang utuh.
Kekurangan
1)      Metode ini banyak melakukan pemenggalan hadits
2)      Membatasi pemahaman hadits, karena hanya mengambil  bagian-bagian tertentu saja dari hadits yang berhubungan dengan yang dibahas.
Demikianlah beberapa  metode syarh dalam memahami hadits yang diadopsi dari metode memahami(tafsir) al-Qur`an. Untuk dapat memahami hadits dengan tepat, kelengkapan ilmu bantu mutlak diperlukan. Berkaitan dengan ilmu bantu daIam memahami hadits, Yusuf Al Qardawi memberikan beberapa pedoman, yaitu24 :
1)   Mengetahui petunjuk Al Qur'an yang berkenaan dengan hadits tersebut
2)   Menghimpun hadits-hadits yang se-tema.
3)   Menggabungkan dan mentarjihkan antar hadits-hadits yang tampak bertentangan.
4)   Mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi hadits ketika diucapkan, diperbuat serta tujuaannya.
5)   Mampu membedakan antara sasaran yang berubah-­ubah dengan sasaran yang tetap.
6)   Mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan bersifat metafora.
7) Mampu membedakan antara hadits yang berkenaan dengan alam gaib (kasat mata) dengan yang tembus pandang.
8)         Mampu memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadits.

D.      Metode Kritik Hadits
1.      Tinjauan Historis Kritik Hadits
Pada masa Rasulullah saw; kritik atas hadits tidaklah begitu besar. Keberadaan Rasul di tengah-tengah mereka sudah dianggap cukup untuk menjadi narasumber atas persoalan-persoalan agama. Pada masa pemerintahan khulafa'urrāsyidīn, kritik hadits mulai terlihat mencuat. Terbukti dengan semakin berhati-hatinya para sahabat dalam menerima hadits hal ini sebagaimana yang terjadi dengan Abū Bakar saat ditanya tentang bagian warisan seorang nenek. Begitu juga ‘Umar saat bertanya kepada Abū Musa al-‘Asy’ari tentang keabsahan anjuran mengetuk pintu sebanyak tiga kali saat bertamu. Bahkan Alī bin Abī Thālib tidak akan menerima hadits dari seseorang, sebelum ia bersumpah. Hal ini mengindikasikan bahwa para sahabat begitu antusias untuk memelihara sunnah Rasul.
Ketika permulaan masa tabī’īn, geliat kritik hadits semakin besar. Hal ini disebabkan munculnya fitnah yang menyebabkan perpecahan internal umat Islam. Kondisi ini diperparah dengan merajalelanya para pemalsu hadits untuk mendukung golongan tertentu. Iklim yang tidak sehat ini menuntut para kritikus hadits agar lebih gencar dalam meneliti keadaan para perawi. Mereka lalu melakukan perjalanan untuk mengumpulkan sejumlah riwayat, menyeleksi dan membandingkannya, hingga akhirnya mampu memberikan penilaian atas setiap hadits. 
Metode kritik hadits terus berkembang pesat, ditandai dengan lahirnya beberapa karya ulama tentang kritik sanad hadits. Kritikan tersebut ditulis dalam kitab tersendiri dan memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing perawi. Hal ini dilakukan agar penilaan atas hadits benar-benar objektif sebagaimana yang dilakukan Imam Ahmad dalam karyanya: Kitâbul ‘Ilal fi Ma’rifati’l Rijâl, atau: Musnad al-Mu’allal” karya Ya’qub bin Syaibah. 
Selanjutnya, penulisan kritik hadits menjadi lebih sistematis dengan dilakukannya penelitian atas sanad secara terpisah dari matan. Hal ini digagas oleh pakar kritik hadits seperti Ibnu Abī Hatim dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dîl”, dan ’Ilal yang begitu detail dalam melacak keabsahan hadits dari aspek matan dan perawinya. Setelah sejumlah peninggalan ulama tersebut ditelaah kembAlī oleh para ulama mutaakhirîn seperti al-Mizzi, Dzahabī, Ibnu Hajar dan lainnya, mereka kemudian meletakkan materi-materi kritikan dalam satu buku tersendiri tanpa memuat sanadnya secara lengkap. Kemudian mereka mendiskusikan (munaqasyah) komentar-komentar ulama hadits, hingga dapat memberikan penilaian akhir pada sebuah hadits.
2.      Langkah-langkah Kegiatan Kritik Sanad Hadits

Fakta sejarah telah menyatakan bahwa hadis Nabi hanya diriwayatkan dengan mengandalkan bahasa lisan/hafalan dari para perawarinya selama kurun waktu yang panjang, hal ini memungkinkan terjadi kesalahan, kealpaan dan bahkan penyimpangan. Berangkat dari peristiwa ini ada sebagaian kaum muslimin bersedia mencari, mengumpulkan dan meneliti kualitas hadis, upaya tersebut dilakukan hanya untuk menyakinkan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi.
Sehubungan dengan hal itu, mereka akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu, sebagai langkah mereka mengadakan penelitian pada sanad. Bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah; (1) nama perawi, (2) lambang-lambang periwayatan hadis, misalnya; sami’tu, akhbarani, ‘an dan annă.. menambahkan hal itu menurut Bustamin, sanad harus mempunyai ketersambungan, yaitu (1) perawi harus berkualitas siqat (‘adil dan dhabit); (2) masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya pertemuan, diantaranya; sami’tu, hadatsana, hadatsani, akhbirni, qala lana, dhakarani[18]
Pada umumnya para ulama dalam melakukan penelitian hanya berkosentrasi pada dua pertanyaan; Pertama, apakah perawi tersebut layak dipercaya, atau kedua, apakah perawi tersebut tidak pantas dipercaya[19].
3.      Langkah-langkah Kegiatan Kritik Matn Hadits
Sebagai langkah selanjutnya untuk mengadakan penelitian/kritik hadis pada bidang materi (matn) paling tidak menggunakan kriteria sebagai berikut;
1)      Ungkapanya tidak dangkal, sebab yang dangkal tidak pernah diucapkan oleh orang yang mempunyai apresiasi sastra yang tinggi fasih.
2)      Tidak menyalahi orang yang luas pandanganya/pikiranya, sebab sekiranya menyalahi tidak mungkin ditakwil.
3)      Tidak menyimpang dari kaedah umum dan akhlak.
4)      Tidak menyalahi perasaan dan pengamatan.
5)      Tidak menyalahi cendekiawan dalam bidang kedokteran dan filsafat.
6)      Tidak mengandung kekerdilan, sebab syariah jauh dari sifat kerdil
7)      Tidak bertentangan dengan akal sehubungan dengan pokok kaidah, termasuk sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya.
8)      Tidak bertentangan dengan sunnatullah mengenai alam semesta dan kehidupan manusia.
9)      Tidak mengandung sifat naif, sebab orang berakal tidak pernah dihinggapinya.
10)  Tidak menyalahi al-Qur'an dan al-sunnah.
11)  Tidak bertentangan dengan sejarah yang diketahui umum mengenai zaman Nabi.
12)  Tidak menyerupai mazdhab rawi yang ingin benar sendiri.
13)  Tidak meriwayatkan suatu keadilan yang dapat disaksikan orang banyak, padahal riwayat tersebut hanya disaksikan oleh seorang saja.
14)  Tidak menguraikan riwayat yang isinya menonjolkan kepentingan pribadi
15)  Tidak mengandung uraian yang isinya membesar-besarkan pahala dari perbuatan yang minim dan tidak mengandung ancaman besar terhadap perbutan dosa kecil[20].
Lebih sederhana lagi kriteria ke-shahihan hadis adalah sepeti yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Baqdadi (w.463 H/1072 M) bahwa suatu matn hadis dapat dinyatakan maqbûl (diterima) sebagai matn hadis yang shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut;
1)      Tidak bertentangan dengan akal sehat
2)      Tidak bertentangan dengan al-Qur'an yang telah muhkam
3)      Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4)      Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama masa lalu
5)      Tidak bertentanga dengan dalil yang telah pasti, dan
6)      Tidak bertentangan dengan hadis Ahad yang kualitas keshahihannya kuat[21]
E.       Kesimpulan
1.      Dalam metode pemahaman (syarh) hadits, para ulama menggunakan empat metode, yaitu metode tahlîl (analitis), metode ijmâlî (global),  metode muqârin (perbandingan), dan metode maudhû’ii. keempat metode itu mempunyai kelebihan maupun kelemahan masing-masing. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka tak diragukan lagi akan muncul metode maupun pendekatan baru untuk memahami hadits. Sebab, hadits merupakan salah satu sumber pokok hukum Islam yang takkan lepas dari kajian maupun penelitian.
2.      Dari pembahasan tentang kritik hadits, ada beberapa hal yang dapat diambil menjadi sebuah kesimpulan :
1)      Dengan adanya kritik hadits, diharapkan agar kita mengetahui dengan pasti otentisitas suatu riwayat. Selain itu, kritik hadis juga bermanfaat untuk menguji validitasnya dalam rangka menetapkan suatu riwayat. Sebuah kritik merupakan kerja intelektual yang melibatkan cabang ilmu hadits (Ulûm al-Hadits). Kerja intelektual ini dalam ilmu hadits masuk dalam konsep al-Jarh wa al-Ta’dil, suatu ilmu untuk menilai diterima dan ditolaknya seorang sanad dan rawi hadits.
2)      Untuk melakukan kritik sanad hadits, langkah-langkah yang dilakukan adalah meneliti para perawi dan metode periwayatannya.
3)      Adapun dalam kritik matan hadits, langkah-langkah yang dilakukan adalah Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya, Meneliti Susunan, Lafal Matan yang Semakna, dan Meneliti Kandungan Matan.






























Daftar Pustaka

Al-Asqalâni, Fath al-Bari Shahih al-Bukhari. Tth. Beirut: Dar al-Ma’rifah. Jilid 1.
Agil Husain Munawwar, Said dan Mustaqim, Abdul. 2001.  Asbabul Wurud. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ali, Nizar. 2001. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah.
________. 2007.  (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh} Hadis. Yogyakarta.
Al-Hay al-Farmawi, Abd. 1997. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’i. ,t.tp: Matba’ah al-Hadarah al-‘Arabiyyah.
Baidan, Nashrudin. 2000. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bustamin. Metodologi Kritik hadis. Raja Grafindo. Jakarta. 2004
Endang Soetari, 2005, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah, Bandung: mimbar Pustaka.

Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III.
Yunus, Mahmud. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an.
al-Qardhawi, Yusuf. 1993. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan Bandung: Kharisma.




[1] Said Agil Husain Munawwar dan Abdul Mustaqim. 2001.  Asbabul Wurud. Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal. 24.
[2] Metode ini diadopsi dari metode penafsiran Al-Qur’an dengan melihat karakter persamaan yang terdapat antara penafsiran Al-Qur’an dan penafsiran atau syarh hadis. Artinya metode penafsiran Al-Qur’an dapat diterapkan dalam syarh hadits  dengan mengubah redaksi/kata Al-Qur’an menjadi hadis; tafsir menjadi syarh}. (baca Nizar Ali. 2001. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah., hal. 28.
Dalam studi tafsir telah dijumpai beberapa teori tentang tafsir Al-Qur’an dengan melihat metode dan corak penafsiran yang dipakai oleh para ulama tafsir dalam kitab-kitab tafsir. Ada 4 (empat) metoden penafsiran, yaitu: metode tafsir  tah}lîlî (analitis), metode tafsir ijmâlî (global), metode tafsir muqrin (perbandingan) dan metode tafsir maud}û’î (tematik). Ibid., hal. 28, atau baca Nashrudin Baidan. 2000. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[3] Endang Soetari, 2005, Ilmu Hadits:kajian riwayah dan dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, h. 68.
[4]  Fuad Hasan dan Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia., hal. 16.

[5] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., hal. 740.
[6] Ibid., hal. 741.
[7] Mahmud Yunus. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an.,hal.
[8] Nizar Ali., op.cit., hal 28.
[9] Nizar Ali. 2007. (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh} Hadis. Yogyakarta., hal. 4.

[10] Nizar Ali.,op.cit., hal. 29 atau baca Abd al-Hay al-Farmawi.1997. Al-Bidayah  fi al-Tafsir al-Maudhu’i. ,t.tp: Matba’ah al-Hadarah al-‘Arabiyyah., hal.24.
[11] Ibid, hal. 29.
[12] Ibid., hal.30-31.
[13] Ibid., hal 38-39.
[14] Ibid., hal. 42.
[15] Ibid., hal. 43.
[16] Ibid., hal.44-46.
19 Ibid.,hal. 46.
20 Ibid.,hal 48-49.
21 Ibid., hal. 49.
23 Ibid., hlm.51-52.
[17] Diadopsi dari metode tafsir maudhu’i,  karya Abd al-Hayy al-Farmawi,  al-Bidayah fi …..op.cit.h.24
24Yusuf al-Qardhawi, 1993. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan (Bandung: Kharisma), hlm. 92
[18] Bustamin. Metodologi Kritik hadis. Raja Grafindo. Jakarta. 2004. h.53
[19] Nizar Ali. 2001. Op.Cit. h. 17
[20] Ibid, h.19
[21] Dikutib dari Salah Al-Din bin Ahmad Al-Adabi. Oleh Bustamin; Metodologi Kritik Hadis….h. 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...