Sabtu, 24 Desember 2011

Redefinisi Ijtihad dan Taklid



Oleh : Misno

A.    Pendahuluan
Fenomena keberagamaan manusia di era mutakhir terus mengalami perubahan, hal ini berbanding lurus dengan perubahan gaya hidup, system sosial, tekhnologi dan persoalan hidup manusia yang semakin kompleks. Semua itu telah memaksa setiap kepercayaan (religion) untuk menyelaraskan dan menyesuaikan diri dengan keadaan manusia tersebut. Sejatinya perubahan ini adalah sebuah keniscayaan, apalagi di tengah perubahan yang semakin terasa di abad ini. Maka sebuah kepercayaan akan ditinggalkan oleh para pengikutnya jika tidak mampu menjawab problematika ini.
Islam sebagai sebuah manhaj al-hayat memiliki struktur keyakinan yang komprehensif sehingga dapat memberikan solusi bagi setiap problema kehidupan manusia yang ada. Di antara sub struktur Islam yang menjadi tumpuan dalam menjawab problematika umat manusia adalah system hukum Islam yang paripurna. Kesempurnaan hukum Islam tercermin dari pranata hukumnya yang lengkap. Diantaranya adalah sifat dari hukum Islam yang elastis dan dapat beradaptasi dengan lingkungan tempat dan zaman yang berbeda (elektisisme).[1]
Komponen hukum yang dimaksud adalah sumber hukum dan dalil hukum dalam Islam, dalam hal ini Islam memberikan ruang bagi setiap perubahan dan yang dapat menjadi kemaslahatan bagi umat manusia. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan bagi umat manusia. Sebagai pengejawantahan dari system ini adalah diberikannya hak bagi setiap cendekiawan untuk bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di sekitarnya terutama berkaitan dengan hal-hal baru yang belum pernah ada sumber dan dalil hukumnya.[2]
Ijtihad menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap permasalahan yang belum ada dalil hukumnya secara tekstual, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Sebagai sebuah metodologi, ijtihad menjadi bagian terpenting dalam setiap detak kesinambungan hukum Islam. Namun di akhir abad ke-III Hijriah, dimulai sejak munculnya kejumudan pada diri umat Islam, maka tersebar kabar bahwa pintu ijtihad telah ditutup, sehingga sebagian besar cendekiawan muslim tidak lagi berani mengemukakan pendapatnya, khususnya ketika menghadapi suatu permasalahan baru, maka mereka tidak berani untuk keluar dari pendapat pemuka madzhabnya.[3]
Maka muncullah sikap pengagungan terhadap madzhabnya sehingga menimbulkan sikap fanatik dan taklid terhadap madzhabnya masing-masing. Sikap taklid inilah yang membawa kepada fanatik madzhab yang secara tidak langsung menutup pintu ijtihad. Sejak saat itulah taklid menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam sehingga menimbulkan zaman kejumudan bagi umat Islam.
Memasuki abad ke-19 dunia Islam mulai bangun dari tidur panjangnya, para cendekiawan berupaya untuk kembali membangun peradaban Islam yang sekian lama berada di bawah bayang-bayang pemerintahan imperialis. Lantas bagaimana sebenarnya ijtihad ini dalam ranah hukum Islam? Bagaimana pula perkembangan dan redefinisi ijtihad dalam millennium ini? Makalah ini akan membahas mengenai ijtihad dalam ranah kekinian.















B.     Redefinisi Ijtihad
1.   Pengertian Ijtihad
Sebelum membahas lebih jauh mengenai redefinisi ijtihad, terlebih dahulu kita akan membahas mengenai pengertian ijtihad sebagaimana yang dipahami saat ini. Secara etimologi kata ijtihad (اجتهاد) berasal dari kata al-jahd, al-juhd,( الجهد ) dan ath-thaqat, yang artinya kesulitan, kesusahan, dan juga berupa suatu kesanggupan atau kemampuan (almasyaqat).[4] Kata Al-Juhd menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan,(lebih dari pekerjaan biasa). Sedangkan kata ijtihad yaitu bentuk mashdar tsulatsi mazid dari kata kerja ijtahada-yajtahidu-ijtiihaadan  yang berarti جدّ و بذل وسعها, bersungguh-sungguh dan mencurahkan segala kemampuannya, kata ijtihad juga bermakna kesungguhan, kegiatan dan ketekunan.[5]
Imam Al-Jauhari menyebutkan bahwa kata “Al-Jahdu dan al-Juhdu” kedua-duanya memiliki arti kemampuan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala :
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لا يَجِدُونَ إِلا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
…(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. QS At-Taubah : 79.
Sementara Ahmad Fayyumi dalam kamusnya membedakan antara al-Jahdu dan al-Juhdu. Ia menyebutkan bahwa “Al-Juhd adalah kata yang dipakai oleh orang-orang Hijaz sementara kata al-Jahd dipakai oleh selain Arab Hijaz. Al-Jahd memiliki arti mengerahkan segenap kemampuan. Sementara kata al-Juhd mengandung makna kesulitan.”
Berkaitan dengan kata ijtihad, Rasulullah Shalallahu Alaihi wasalam bersabda dalam sebuah haditsnya :
صلوا علي وجتهدوا في الدعاء
Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sunguhlah dalam berdo’a.
Dalam Bab ‘Kaifa As Sholah ‘Alan Nabiyi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam’ An-Nasa’i meriwayatkan bahwa Zaid bin Kharijah berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda :
وَأَمَّاالسُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِى الدُّعَاءِ
…pada waktu sujud bersungguh-sungguhlah dalam berdoa”
Dalam riwayat yang lainnya dari Aisyah ra istri Nabi sempat mengomentari perilaku Rasulullah ketika memasuki bulan Ramadhan. Ibnu Majah menukilkan dari Aisyah ra:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجتهد في العشر الأواخر مالا يجتهد في غيره
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh di sepuluh malam terakhir (pada bulan Ramadlan) yang tidak beliau lakukan di saat-saat lain” HR. Muslim.
Bila kita perhatikan maka tidak ada perbedaan mendasar antara kata al-Jahdu dan ijtihad, hal ini karena dua kata ini memiliki satu sumber yang sama. Kata al-Jahdu yang berarti mengerahkan segenap kemampuan tidak akan pernah dilakukan oleh seseorang bila tidak menemui sebuah kesulitan, artinya kedua kata ini saling melengkapi.
Raghib Al-Isfahani dengan indah mengartikan kata ijtihad dengan menggabungkan dua unsur tersebut. Beliau menyebutkan bahwa Ijtihad adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan segala kemampuan yang dimiliki dan menanggung semua kesulitan yang ada.[6]  
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata ijtihad secara bahasa memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan istilah syara’ yaitu :
بذْلُ الْجهدِ لِإِدراكِ أَمرٍ شاقٍّ
Mengerahkan kesungguhan untuk memperoleh suatu perkara yang berat.
Sedangkan ijtihad secara istilah adalah “Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari (jawaban) hukum yang bersifat dzanni, hingga merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.”
Menurut Ibrahim Husain “Ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam, baik melalui suatu nash maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syari’ah yang disebut maslahat.  Sementara itu Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa Ijtihad adalah penggunaan akal fikiran semaksimal mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum syara.
Adapula Al-Amidi mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
اسْتِفْرَاغُ الْوُسْعِ فِي طَلَبِ الظَّنِّ بِشَىْءٍ مِّنَ الْاَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى وَجْهٍ يُحَسُّ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزُ عَنِ الْمَزِيْدِ فِيْهِ
Mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i  yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.[7] Sementara itu Al-Ghazali merumuskan ijtihad sebagai berikut :
بَذْلُ الْمُجْتَهِدِ وُسْعَهُ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
Pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar’i.
Para sahabat Nabi memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "Penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal dengan "mashlahat."
Kata ijtihad  bila dilihat lebih luas lagi memiliki makna khusus dan makna umum. Dalam makna yang khusus ijtihad dipahami memiliki makna yang sinonim dengan qiyas. Hal ini sebagaimana diebutkan oleh Muhammad bin Idris as-Syafi’i ra dalam ar-Risalahnya ada bab yang judulnya Qiyas, Ijtihad, Istihsan dan Ikhtilaf. Pada bab Qiyas ditanyakan: “Apa itu qiyas, apakah Qiyas sama dengan ijtihad ataukah keduanya adalah kata yang memiliki arti berbeda?” Aku (Syafi’i) menjawab: “Kedua adalah dua kata untuk satu makna”. Dalam hal ini Imam Syafi’i menyebutkan bahwa antara qiyas dan ijtihad adalah semakna. Sebenarnya penyamaan ini bisa kita lihat dari sisi bahwa dalam prosess ijtihad, qiyas menjadi salah satu metode dalam menghasilkan suatu hukum, sehingga wajar jika beliau menyamakan antara keduanya.[8]
Penggunaan qiyas sebagai metode sejatinya juga lebih dulu dilakukan oleh Abu Hanifah, sebagai penggagas mazhab Hanafiyah, beliau memopulerkan penggunaan qiyas. Hal itu dapat dimaklumi mengingat mazhab yang dikembangkannya disebut dengan madrasah ra’yu.
Ensiklopedia fiqih Islam yang dikenal dengan nama Mausu’ah Fiqh Jamal Abdun Naser’ (Ensiklopedia Fiqih Jamal Abdun Naser), pada pasal Anwa’ Ijtihad (bentuk-bentuk ijtihad), setelah menjelaskan makna ijtihad dalam arti yang umum, memerikan apa arti ijtihad khusus. Disebutkan: “Kedua, ijtihad lewat pemikiran pribadi. Ijtihad yang dilakukan ketika tidak ditemukan teks-teks Al-Qur’an dan hadis juga tidak ada ijma’ berkenaan dengan sebuah masalah. Demikian pula mencakup proses penyimpulan sebuah hukum syar’i dengan memakai kaedah-kaedah umum syariat. Ijtihad yang semacam ini disebut Ijtihad Ra’yu”.
Muhammad Salam Madkur menggambarkan sikap para sahabat sekaitan dengan masalah ijtihad tidak hanya melakukan qiyas tapi juga mencakup Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah dan Istihsan. Beliau menulis: “Ijtihad para sahabat Nabi ada tiga bentuk. Pertama, penjelasan teks-teks syar’i dan penafsirannya. Kedua, mengqiyaskan masalah dengan teks-teks syar’i dan ijma’. Ketiga, Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah, Istihsan. Kelompok ketiga inilah yang sering dilakukan oleh para sahabat”.[9]
Hadis dari Mu’adz Bin Jabal ra berkenaan dengan pengutusannya ke Yaman sangat jelas bagaimana ia berijtihad dengan ra’yu-nya. Dalam dialognya dengan Rasulullah saw yang ditulis oleh ad-Darimi dalam Sunannya menyebutkan: “Rasulullah bertanya kepada Mu’adz, Bila ada masalah yang menuntutmu menyelesaikannya bagaimana engkau akan menyelesaikannya?” “Aku akan menyelesaikannya dengan berpegangan pada Kitab Allah”, jawabnya. Rasulullah saw kembali bertanya: “Seandainya masalah yang engkau selesaikan tidak terdapat dalam Kitab Allah apa yang kau perbuat?” “Aku akan berpegangan dengan sunnah Rasulullah”, kembali Mu’adz menjawab. “Bila masalahnya tidak kau temukan dalam Kitab Allah dan sunnah RasulNya?”, tanya Nabi. Mu’adz menjawab: “Ajtahidu bira’yi” (aku akan berijtihad dengan pikiranku sendiri).
Saifuddin al-Amidi as-Syafi’i (W. 631 H) berkata: “Ijtihad adalah usaha serius untuk sampai pada zhan tentang hukum syar’i sehingga seseorang akan merasakan bahwa sulit dibayangkan kemampuannya lebih dari itu”. Ibnu Subki berpendapat: “Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh untuk menghasilkan dzhan terhadap hukum syar’i”.
Pendapat terakhir adalah yang disebutkan oleh Wahbah Zuhaili, ia menyatakan :
وأنسب تعر يف في رأينا من التعار يف المنقولة هو ما ذكره القاضي البيضاوي وهو استفراغ الجهد في إدراك الأحكام الشرعية
“Dan defenisi yang paling sesuai menurut pendapat kami dari defenisi-defenisi yang disadur adalah, apa yang telah disampaikan oleh Qadi al-Baidhawi, bahwa (Ijtihad) adalah mengarahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syara’.
Dari semua definisi yang disebutkan oleh para pakar sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah kesungguhan seseorang atau beberapa orang untuk menghasilkan suatu hukum yang diambil dari nash-nash syar’i.
2.      Dasar Hukum
Ijtihad menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah system hukum yang integral dan universal, ia menjadi ujung tombak bagi permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia. Ijtihad dalam Islam disandarkan pada dalil-dalil Umum yang terdapat di Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antara ayat yang menjadi dasar bagi ijtihad adalah firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS An-Nisaa : 59
Adanya kalimat “al-rad” dalam ayat tersebut mengindikasikan akan adanya ijtihad yang harus dilakukan oleh manusia. Selain itu, ayat lain menyebutkan “wa amruhum syurâ bainahum”, kata “syura”dalam ayat tersebut mengandung arti pembahasan segala sesuatu untuk menentukan hukum syar’i pada setiap permasalahan dengan merujuk pada  dalil yang terdapat pada nash ataupun tidak. Hal ini tidak lain merupakan suatu ijtihad. Begitu juga dengan perkataan Rasul yang menyebutkan bahwa Allah akan mengutus seorang pembaharu agama pada umat Islam dalam setiap seratus tahunnya. Pembaharu(mujaddid) tersebut sudah barang tentu adalah orang yang memiliki pengetahan yang luas dan kafa’ahdalam ilmu syariah sehingga mampu menghidupkan Sunah dan menghindari bidah. Tidak lain adalah  ijtihad itu sendiri. 
Menurut Ali Hasbalah yang dikutip Satria Efendi M. Zein, perintah mengembalikan sesuatu yang diperdebatkan kedalam Al-Quran dan Sunnayh adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang sisebutkan dalam Al-Quran karena persamaan ‘illatnya seperti dalam praktek qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu (Q.S.An-Nisa : 105)
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang  berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan  kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. Q.S. Al-‘Ankabut : 69
اِنَّ فِى ذَلِكَ لِاَ يَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir” QS Ar-Ruum : 21.
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).  QS An-Nisa' : 83
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. QS Asy-Syura : 38
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. QS Al-Hasyr : 2
Adapun dasar hukum Ijtihad dalam As-Sunnah adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam :
·         Hadits yang diriwayatkan oleh Umar,
اَلْحَاكِمُ اِذَا اجْتَهَدَ فَاَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِنِ جْتَهَدَ فَاَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ. (بخارى و مسلم)
“Hakim apabila  berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala”.HR Bukhari dan Muslim
·         Rasulullah juga pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut:
“Berhukumlah engkau dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah”
·         Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman  berikut ini:
عَنْ أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ رَسُوْلُ اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ اللهِ  (رواه ابوداود).
“Diriwayatkan dari penduduk Homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah SAW. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya : Apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”HR. Abu Dawud

3.      Urgensi
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa ijtihad adalah salah satu dari keistimewaan dalam  hukum Islam. Ia menjadi ujung tombak bagi keuniversalan hukum Islam. Maka urgensi dari ijtihad tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebagai sebuah ujung tombak ijtihad sangat menentukan perkembangan hukum Islam. Jika selama ini ijtihad berada di posisi yang tidak proporsional yaitu antara pihak-pihak yang mensakralkan ijtihad sehingga menyikapinya layaknya hukum Tuhan dan juga pihak yang terlalu menyepelekan Ijtihad.
Reposisi ijtihad saat semakin diperlukan mengingat banyaknya permasalahan yang muncul dan berkembang di tengah masyarakat. Semua itu memerlukan jawaban yang segera dan ijtihadlah yang akan menjawab problematika tersebut.      

4.      Syarat-syarat Mujtahid dan Aplikasi
Membahas tentang reposisi ijtihad tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai siapa sebenarnya yang berhak untuk berijtihad. Syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid tidaklah seketat yang dipersyaratkan oleh para ulama kklasik, namun juga tidak segampang beberapa cendekiawan yang terlalu memudahkan syarat-syarat seorang mujtahid.
Dalam literature klasik, syarat-syarat menjadi mujtahid sangat berat. Seperti yang disebutkan oleh DR. Yusuf Qardhawi sebagai berikut :
1.      Mujtahid fisy-syar’i adalah orang-orang yang berkemampun ‘mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan di jadikan pedoman oleh  orang-orang yang tak sanggup berijtihad.
2.      Mujtahid fill-masail adalah mujtahid yang mengarah ijtihad nya kepada masalah tertentu dari suatu mazhb  bukan kepada dssar pokok yang bersifat umum
3.      Mujthahid fill mazhab mujtahid yang hasil ijtihad nya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri.akan tetapi mereka cukup mengikuti  salah seorang imam mazhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan baik dalam masalah yang utama maupun dalam masalah cabang.
4.      Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat ulama shalat dengan   mengethui sumber-sumber hukum
5.      Mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan murid dan guru mereka adalah imam Abu Yusuf, Zarf bin Huzail yang merupakan murid imam Abu Hanifah
6.      Mujtahid tarjih yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagai imam untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan situasi kondisi yang ada tanpa menyimpang dari nash-nash khot'i dan tujuan syariat, misalnya Abu Ishaq al syirazi, imam Ghazali pengetahuan lengkap untuk berisbad dengan Al-qur'an dan Al-hadits dengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui kekuatannya oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini yang paling terkenal adalah imam madzhab empat.
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode antara lain sebagai berikut :
a. Qiyas
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur’an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh : Menurut al-Qur’an surat al-Jum’ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan Jum’at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain (selain jual beli) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum’at? Dalam al-Qur’an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat Jum’at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum’at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra’ 23; seseorang tidak boleh berkata uf (cis) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika ‘ Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab ‘Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.
b. Ijma’
Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Ketika ‘Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : ” Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah “. Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.
c. Istihsan
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18.
d. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur’an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur’an / al-Hadits.
Seorang mujtahid haruslah memiliki kriteria yang telah disebutkan sebagiannya oleh para ulama, di antaranya adalah :
1. Ia mengetahui dalil-dalil syar’i yang dibutuhkan dalam ijtihadnya, seperti ayat-ayat hukum dan hadits-haditsnya.
2. Ia mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan keshohihan hadits dan kedho’ifannya, seperti mengetahui sanad-sanadnya dan para perowinya dan lain-lain.
3. Ia mengetahui nasikh dan mansukh dan tempat-tempat terjadinya ijma’, sehingga ia tidak menghukumi dengan suatu hukum yang sudah mansukh atau menyelisihi ijma’.
4. Ia mengetahui dalil-dalil yang diperselisihkan hukumnya dari pengkhususan, atau taqyid, atau yang semisalnya, sehingga ia tidak menghukumi dengan yang menyelisihi hal tersebut.
5. Ia mengetahui bahasa (‘Arab, pent), dan ushul fiqih yang berhubungan dengan penunjukkan-penunjukkan lafadz, seperti umum, khusus, muthlaq, muqoyyad, mujmal, mubayyan, dan yang semisal itu, sehingga ia menghukumi dengan apa yang menjadi konseskuensi penunjukkanpenunjukkan
tersebut.
6. Ia memiliki kemampuan untuk kokoh dalam menggali hukum-hukum (beristimbath) dari dalil-dalilnya.
Dan ijtihad terkadang terbagi-bagi, terkadang pada satu bab dari bab-bab ilmu, atau pada satu permasalahan dari masalah-masalahnya. Karena itu Muhammad Abu Zahrah dalam Ushul al-Fiqh membagi tingkatan mujtahid menjadi beberapa tingkatan :
1.  Mujtahid Mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan sunnah, melakukan qiyas, berfatwa dan beristihsan.
2. Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang Imam pada hal-hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka dalam hal-hal furu’ (cabang) walaupun pada akhirnya ia akan sampai pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut.
3. Mujtahid fil Madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat Imam Madzhab,baik dalam hal-hal ushul maupun furu’. Usahanya hanya terbatas dalam menyimpulkan hukum-hukum persoalan yang belum ditemui hukumnya dalam pendapat imam madzhab.
4.  Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang meng-isthinbat-kan hukum-hukum yang tidak diijtihadkan oleh para ulama’ sebelumnya. Sebenarnya mujtahid pada tingkatan ini hanya mencari pendapat imam madzhab yang lebih kuat.
5.  Mujtahid Muhafidh, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum-hukum yang telah ditarjih oleh para ulama’ sebelumnya.
6.  Mujtahid Muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat-pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih
5.      Redefinisi
Setelah kita mengetahui bahwa ijtihad dalam ruang lingkup klasik memiliki berbagai tradisi yang sesuai dengan zamannya.   Maka sudah selayaknya saat ini ijtihad diberikan posisi sebagaimana yang telah menjadi semangat Islam dan mensyariatkannya.
Redefinisi atau lebih tepatnya reposisi adalah menempatkan kembali posisi dari ijtihad pada tempatnya. Dalam hal ini menempatkan posisi ijtihad tidak secara ekstrim dengan menyepelekannya atau terlalu mensakralkan sehingga tidak menyentuh permasalahan ummat.
Bentuk reposisi tersebut adalah dengan menyegarkan kembali pemahaman mengenai ijtihad ter sebut, dalam hal ini jika selama ini ijtihad hanya merupakan hasil pemikiran satu orang (Ijtihad Fardhi) maka ke depan ijtihad bisa dikembangkan dan dilakukan oleh beberapa orang yang berkumpul untuk membahas suatu masalah, inilah yang saat ini dikenal dengan istilah Ijtihad Jama’i (Kolektif).
Pada obyek pembahasan ijtihad juga diperlukan reposisi yaitu obyeknya hanya mencakup hal-hal yang yang sifatnya sangat sempit, dalam hal ini Ijtihad yang dilakukan dalam ruang lingkup terbatas (Maudhu’i/Tematik). Dengan demikian akan memudahkan bagi setiap mujtahid untuk bersungguh-sungguh dalam satu bidang kajian yang menjadi keahliannya.
Qadri Azizi menawarkan salah satu dari metodologi ijtihad terbaru yang disebut dengan Modern Scientific Ijtihad, yaitu ijtihad dengan pendekatan sains modern. Di antara ciri-ciri metode ini adalah :
Ø  Mengutamakan Sumber Primer (Primary Sources)
Ø  Penggunaan critical study  bukan doktriner dan dogmatis
Ø  Fiqh  adalah Knowledge (Pengetahuan) yang siap dikritik
Ø  Terbuka terhadap dunia luar  buka apriori
Ø  Responsif terhadap problem mutakhir
Ø  Penafsiran Aktif bukan Progresif
Ø  Jadikan Ahkam Al-Khamsah sebagai etika Sosial
Ø  Menjadikan Ilmu Fiqh sebagai bagian sciences
Ø  Kajian fiqh bersifat induktif/empirk
Ø  Maslahah menjadi landasan hukum Islam
Ø  Al-Qur’an dan Hadits ssebagai kontrol produk ijtihad

Ciri-ciri metode tersebut mencerminkan pandangan ijtihad yang mealampaui masanya, dalam hal ini pertimbangan ijtihad tidak hanya saat itu saja melainkan jauh ke depan, inilah salah satu dari sifat ijtihad yaitu :
  Ijtihad Al-’Ilmi Al-’Ashri : Orientasi Kini dan Esok
  Al-Ilmi : Basis Keilmuan / Sains
  Al-Ashri : Orientasi Masa Kini dan Masa Depan
Dengan pendekatan ini diharapkan akan muncul berbagai bentuk ijtihad yang akan menjadikan hukum Islam terus berkembang dan dapat menjawab setiap persoalan yang ada di tengah masyarakat.  

C.    Taklid
1.   Pengertian  
Taklid atau Taqlid (Arab: تقليد) adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.
Hukum-hukum amaliyyah dapat kita bagikan kepada dua : Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian dan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil yang qath’i dan yang dapat diketahui dengan segera. Ia disebut sebagai al-ma’lum minad din bid-Dloruroh. Contohnya ialah hukum tentang kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa bulan Ramadlan, bilangan rakaat dalam shalat dan sebagainya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat Islam. Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada penelitian terhadap dalil-dalilnya. Dalam masalah ini seseorang itu tidak dibenarkan bertaqlid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali, seperti masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabiyah, apakah batal wudlu? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam kategori ini. Sebab, masalah ini memang ada dalilnya dari Al-Qur’an. Tetapi dalilnya perlu diteliti terlebih dahulu untuk diketahui apakah hukum yang boleh dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian ini, sudah semestinya terjadi perselisihan pendapat. Madzhab-madzhab dan perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama’ terjadi dalam masalah yang seumpama ini. Dalam masalah inilah orang diperbolehkan taqlid.
       
Kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang tidak mampu untuk berijtihad wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau fatwa dari para mujtahid. Menurut Al-Amidi, ibnu al-Najib dan Kamal al-Hummam, tidak wajib bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Dalam satu masalah, mereka boleh beramal dengan madzhab ini, kemudian dalam masalah lain mereka beramal dengan madzhab lain. Berdasarkan madzhab ini, jika kita bertaqlid dengan madzhab Syafi’i dalam satu-satu masalah, tidak semestinya kita bertaqlid dengan madzhab ini dalam semua masalah. Dibenarkan mengamalkan pendapat dari madzhab-madzhab lain.
Taqlid yang diharamkan ialah : Pertama Bertaqlid kepada seseorang tnpa mengindahkan Al-Qur’an dan sunnah. Kedua Bertaqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya berijtihad. Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali). Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya. Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.
Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya dan azimah-azimahnya dalam semua urusan agamanya. Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan.”
Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.  
Pada dasarnya hukum asal dari taklid adalah dilarang, ia menjadi dibolehkan ketika seseorang tidak mampu untuk berijtihad dan menggunakan potensi akalnya dalam memahami nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.

























Referensi :
------,  Reformasi  Bermazhab   (Sebuah  Ikhtiar   menuju   ijtihad Sesuai Saintifik-Modern), Jakarta: Teraju. 2003.
A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2000.
A. Qodri Azizy, Hukum Nasional (Eklektisisme Hukum Islam & Hukum Umum), Bandung: Teraju. 2004.
Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Kuwaitiyyah, Kairo, 1968
Abdul Aziz Dahlan…(et al.)., Ensiklopedia Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van        Hoeve, Jakarta, 2006
Abdul Halim, Ijtihad Kontemporer ; Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum,Keluarga Islam Indonesia dalam Mazhab Jogja : Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2002.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006.        
Abdullah Nasih Ulwan, Syariat Islam, Alih Bahasa Daud Rasyid, Usamah Press,    Jakarta, 1992
Ahmad Ar-Raisuni, 2005. Muhammad Jabal Barut, Ijtihad Fiqh Islam (Meretas Jalan Kebangkitan Umat), Solo: Era Intermedia.
Fathi al-Daraini, al-Manahij al-Ushuliyah fi Ijtihad bi al-Ra’yi fi al-Tasyri’, Dar al-  Kitab al-Hadits, Damsyiq, 1975
Husein Hamid Hasan, Nazhariyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Dar al-Nahdhah          al-Arabiyah, Mesir, 1971
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Diterjemahkan oleh Saefullah Ma’shum    dkk., Pustaka Firdaus, Jakarta, 2005
Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. Pustaka Firdaus. Jakarta: 2008.cet. 12.
Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam Fi      Ushul al- Ahkam, Daar al-Fikr, Beirut, 1996
Yusuf Qardhawi, Muhammad Madani dan Mu'inuddin Qadri, Dasar Pemikiran Hukum Islam. Pustaka Firdaus. Jakarta: 1987.



[1] Uways, Abdul Halim. Al-Fiqh Al-Islam baina Ath-Thatahawur wa Al-Istbat (terjemah : Fiqih Statis dan Dinamis). Jakarta : Pustaka Hidayah, 1998.
[2] Al-Syatibi. Al-Muwafaqaat Fi Ushul Al-Fiqh. Beirut : Dar Al-Ma'rifat, tanpa tahun.

[3] A. Qordi Azizy, Reformasi Bermadzhab; Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai     Saintifik-Modern, Jakarta: Teraju, 2004
[4] al-Abi Lowis Ma’luf Al-Yasu’i, al-Munjid fi al-Lugat wa al-A’lam, Beirut: Daar     Al-Masyriq, 2003
[5] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta : Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984.
[6] Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Kuwaitiyyah, Kairo, 1968
[7] Syaifuddin Abi al-Hasan Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam Fi      Ushul al- Ahkam, Daar al-Fikr, Beirut, 1996
[8] Muhammad bin Idris as-Syafi’I, Maktabah Syamilah Versi : 3.7
[9] Salam Madkur, Muhammad. Al-Madkhal li  Al-fiqh Al-'Am. Beirut : Daar  Al-Fikr, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...