Rabu, 07 Desember 2011

Perdagangan Kuno Banten-Lampung



PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
              Pertukaran merupakan salah satu aktivitas manusia yang sudah berlangsung sejak zaman prasejarah. Walaupun pada waktu itu dapat dikatakan belum dikenal adanya perdagangan, namun aktivitas pertukaran dapat dikatakan sebagai bentuk perilaku ekonomi yang merupakan awal terjadinya perdagangan. Pertukaran dapat dipahami sebagai proses penyebaran benda dan atau jasa secara keruangan dari individu ke individu lain dan dari satu kelompok ke kelompok lain (Earle, 1982). Aktivitas pertukaran dapat dilihat pada dua sisi yaitu secara individu dan kelompok. Pertukaran dalam arti kelompok dapat difahami bahwa dalam aktivitas perekonomian berada pada satu kelembagaan umum sosiopolitik. Oleh karena itu kegiatan perekonomian secara khusus mencerminkan sistem sosiopolitik disertai pola kebudayaan, sehingga pertukaran akan memperlihatkan kaitan yang erat dengan aspek simbolik, sofistikasi sosial, dan proses perubahan kebudayaan (Hodder, 1982). Selain itu, kondisi ekologis juga sangat mempengaruhi aktivitas pertukaran dalam skala yang lebih luas.
Lampung sebagai satu kawasan, telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah. Sejak itu pula bukti-bukti adanya pertukaran dapat ditemukan. Pada situs-situs megalitik, fragmen keramik banyak ditemukan. Pada situs-situs permukiman dari masa Islam pun juga banyak ditemukan artefak indikator adanya pertukaran. Pertukaran dalam pengertian perdagangan yang pernah berlangsung di Lampung terjadi peningkatan pesat sejak Malaka dikuasai Portugis. Dalam catatan Tomé Pires mengenai kawasan Lampung pada abad ke-16 terdapat dua nama yaitu Sekampung dan Tulangbawang. Dua nama ini disebutnya sebagai suatu negeri dalam arti bukan kerajaan (Cortesão 1967: 136 – 171).
Sekampung dapat diidentifikasikan sebagai kawasan di sekitar Way Sekampung sekarang. Meskipun Sekampung dikatakan bukan suatu kerajaan, tetapi diberitakan oleh Pires sebagai negeri yang berlimpah-ruah. Lokasinya berdekatan dengan Tana Malaio (Melayu) dan Tulangbawang. Sekampung sudah menjalinan hubungan dagang dengan Sunda dan Jawa. Beberapa barang komoditasnya antara lain kapas, emas, madu, lilin, rotan, lada, beras, dan hasil bumi lainnya. Pemimpin di Sekampung ketika itu masih kafir. Masyarakatnya terutama yang tinggal di daerah hulu juga masih kafir.
Mengenai Tulangbawang, Tomé Pires menceritakan bahwa kerajaan Sunda (regño de Çumda) menjalin hubungan dagang dengan Tulangbawang. Hubungan dagang tersebut berlangsung terus hingga masa Kesultanan Banten. Beberapa barang dagangan dari Tulangbawang seperti lada masuk ke Sunda melalui pelabuhan Cheguide (Cigede). Pelabuhan ini dapat dilokalisir yaitu di situs Kramat, Tangerang dekat muara Sungai Cisedane (Saptono, 1998). Aktivitas perdagangan ini tentunya sudah berlangsung lama jauh sebelum kedatangan Tomé Pires. Beberapa prasasti yang ditemukan di Lampung seperti prasasti Batu Bedil, Palas Pasemah, Bungkuk, Hujung Langit, dan Tanjung Raya mengarahkan suatu gambaran bahwa pada sekitar abad ke-9 sudah terjadi hubungan dagang melalui Sriwijaya.

Sebelumnya, kawasan Tulangbawang sudah disebut-sebut dalam beberapa sumber sejarah. Di dalam kitab sejarah Dinasti Liang terdapat keterangan bahwa antara tahun 430 – 475 datang di Cina beberapa kali utusan dari To-lang P’o-hwang. Menurut G. Ferrand lafal To-lang P’o-hwang dalam dialek Cina dapat disamakan dengan Tulangbawang. Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa To-lang P’o-hwang yang disebut dalam sejarah dinasti Liang, merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran Sungai Tulangbawang, Lampung. Kerajaan ini pada suatu saat ditaklukkan oleh kerajaan lain. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa berita Cina hanya sekali saja menyebut kerajaan ini (Sumadio, 1990: 79). Maka dari itu, pemakalah tertarik untuk membahas tentang pasar dan kegiatan ekonomi pada masa Banten.








                                                                                                                                                     













PEMBAHASAN
FAKTA BANTEN
               Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat Sunda merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di samping itu Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Banten terutama Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura. Batas wilayah Utara Laut Jawa Selatan Samudera Indonesia Barat Selat Sunda Timur Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Jawa Barat Topografi

               Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke 5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak, yang ditemukan di kampung lebak di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman. Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara (menurut beberapa sejarawan ini akibat serangan kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome Pires, penjelajah Portugis pada tahun 1513, Banten menjadi salah satu pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.

             Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di wilayah bekas Banten Girang. Dan pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibukota atau pakuan (berasal dar kata pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Hal itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan Pajajaran ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Kerajaan Sunda yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Asia Tenggara, sejajar dengan Malaka dan Makassar. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk.
              Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya.
              Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah mesjid agung. Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda. Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda. Litografi berdasarkan lukisan oleh Abraham Salm dengan pemandangan di Banten (1865-1872).[1]













BIDANG EKONOMI
Model Pertukaran Lampung - Banten
Pertukaran dan perdagangan sudah terjadi sejak zaman prasejarah. Pertukaran terjadi karena adanya saling membutuhkan antara individu satu dengan lainnya. Pertukaran yang terjadi kemudian tidak hanya antarindividu tetapi berkembang antarkelompok. Perkembangan teknologi, khususnya transportasi, dan pengetahuan navigasi menjadikan pertukaran sebagai suatu aktivitas yang sangat kompleks. Berdasarkan beberapa sudut pandang terdapat beberapa model pertukaran, misalnya pada aspek geografis dikenal adanya model pertukaran hulu–hilir, regional, dan interregional (Wibisono, 2010). Selain dari sudut pandang geografis, model pertukaran juga dapat dilihat dari sisi sosiopolitik. Bagaimanapun keadaan sosial dan politik juga mempengaruhi aktivitas pertukaran.
Secara sosiopolitik, menurut Polanyi, mekanisme pertukaran dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu pertukaran resiprokal, pertukaran redistribusi, dan pertukaran pasar tradisional. Pertukaran resiprokal adalah kewajiban memberi dan menerima di antara individu yang berbeda hubungan sosialnya. Pertukaran redistribusi berkaitan dengan kewajiban membayarkan barang dan jasa kepada pemuka masyarakat, yang kemudian membagikan sebagian perolehannya untuk kepentingan umum atau hadiah. Model pertukaran pasar tradisional, para pelakunya tidak memiliki ikatan sosial tertentu yang mewajibkan mereka untuk melakukan pertukaran dan dimungkinkan adanya tawar menawar di dalamnya (Kusumohartono, 1995).
Model pertukaran resiprokal umum terjadi di berbagai lapisan masyarakat sebagai bentuk perwujudan makhluk sosial, sedang model pertukaran redistribusi dan pasar tradisional memerlukan kondisi tertentu. Di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, model pertukaran redistribusi melibatkan elite masyarakat di satu pihak dan warga masyarakat (Kusumohartono, 1995) dan dapat juga melibatkan elite masyarakat terhadap elite yang lebih tinggi lagi. Kasus yang terjadi di masyarakat Lampung pada abad ke-16 – 18, model pertukaran baik yang bersifat redistribusi maupun pasar tradisional dapat terjadi dikaitkan dengan lada. Hal ini mengingat bahwa pada masa itu kondisi masyarakat Lampung sangat dipengaruhi oleh keberadaan Banten. Sementara itu, Banten mempunyai kepentingan dengan lampung karena lada.
Pada sumber-sumber sejarah banyak diuraikan bahwa lada merupakan barang komoditas yang menjadi incaran dunia. Toponim Pamarican di Banten menunjukkan bahwa lokasi itu merupakan pusat lada atau setidaknya berkaitan dengan lada. Banten merupakan pusat redistribusi lada ke Cina atau Eropa dari wilayah-wilayah kekuasaannya. Banten sebagai pusat lada telah berlangsung sejak masa Kerajaan Sunda di mana kerajaan Islam belum terbentuk (Leur, 1967: 102 – 103). Perdagangan lada terbesar terjadi pada masa Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir yang juga dikenal dengan nama Abdul Qadir Kenari,pada tahun 1603 mengekspor 259.200 pound lada serta 8.440 karung ke pasar Eropa. Selanjutnya pada 1618 datang 10 kapal berbobot 1000 – 1500 ton dari Cina mengambil lada.


Pada abad ke-16 – 18, Lampung merupakan subordinat Banten. Struktur semacam ini memungkinkan terjadinya beberapa model pertukaran. Penguasa Lampung memerlukan pengakuan dari Banten sementara itu Banten juga mengharapkan sesuatu dari Lampung. Ketika itu, Banten sebagai pusat lada hampir tidak bisa memenuhi permintaan dunia karena wilayah Banten di Pulau Jawa tidak bisa memenuhinya. Secara ekologis wilayah Banten di Pulau Jawa tidak cocok untuk tanaman lada. Ekspansi ke Lampung dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan dunia akan lada tersebut. Situasi sosiopolitik di Lampung memungkinkan Banten tidak perlu melakukannya dengan mengerahkan kekuatan militer tetapi cukup dengan mengeluarkan peraturan. Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1662 menerbitkan Undang-undang bagi penguasa beserta rakyat Lampung agar taat kepada Banten.
Melalui aspek yuridis inilah Banten memainkan kepentingannya di Lampung. Kawasan Lampung sangat cocok bagi tanaman lada. Banten sangat berkepentingan terhadap lada, sehingga untuk urusan hukum adat dan kemasyarakatan, Lampung diberi hak otonomi sedangkan untuk lada sepenuhnya urusan Banten (Nurhakim dan Fadillah, 1990: 258 – 274). Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Mahasin (1690 – 1733) telah diterbitkan 5 piagam tembaga 3 diantaranya berisi tentang kewajiban menanam lada untuk daerah (Se)putih, Sukau, dan Rajabasa. Pada masa Sultan Syifa Zainul Arifin (1733 – 1750) telah dikeluarkan dua prasasti yang keduanya dikeluarkan pada tahun 1746. Prasasti pertama berisikan pengangkatan Pangeran Jayasinga sebagai wakil Sultan bagi daerah Tulangbawang di Tagi, prasasti kedua berisi tentang kewajiban menanam seribu pohon lada kepada setiap orang dan ketentuan hukum pidana berkaitan dengan lada. Pada masa Sultan Zaenul Asyikin juga dikeluarkan prasasti. Dua prasasti yang dikeluarkan, pertama berangka tahun 1761 berisi pengangkatan Tumenggung Tanuyuda untuk penggawa Penet. Prasasti kedua berangka tahun 1771 berisi kewajiban menanam pohon lada bagi setiap orang Lampung.
Pada kasus hubungan awal antara Lampung–Banten terdapat model pertukaran resiprokal. Para pemimpin masyarakat di Lampung setelah melakukan siba dengan memberikan pengakuan kekuasaan tertinggi atas Banten, mereka mendapatkan pengakuan pula sebagai penguasa di Lampung dengan ditandai benda-benda regalia. Perkembangan selanjutnya, ketika Banten dihadapkan pada persoalan lada, pihak Lampung dapat memenuhinya dengan imbalan pihak Banten mengangkat penggawa di Lampung. Pengangkatan penggawa ini sebenarnya merupakan kepentingan Banten dalam rangka mengamankan lada, namun bagi Lampung memberikan dampak terhadap semakin kokohnya kedudukan sang pemimpin di mata masyarakat subordinatnya.
Terbangunnya hubungan antara Lampung – Banten memberi peluang terjadinya model pertukaran redistributif antara masyarakat Lampung dengan para penggawa. Masyarakat memberikan pajak atas hasil perdagangan lada kepada para penggawa kemudian memperoleh berbagai fasilitas dari penggawa. Perdagangan ke luar Lampung dilakukan melalui pelabuhan sungai (tangga raja) milik para kepala marga yang sebagian ditunjuk oleh Banten sebagai penggawa. Model perdagangan bebas yang mula-mula terbentuk, selanjutnya berkembang ke monopoli perdagangan. Tingginya permintaan lada di pasar dunia dan situasi politik antara Banten dan VOC, memaksa Banten menerapkan peraturan semacam culture stelsel. Masyarakat Lampung dipaksa menanam lada. Seiring dengan ini berkembanglah sistem monopoli perdagangan.

Sejak masa pemerintahan Sultan Haji (1683-1687) hingga Sultan Zainal Arifin (1750-1752) terdapat aturan bahwa barang siapa menjual lada kepada orang Palembang harus ditangkap dan jika berteriak boleh diikat dan sekeluarga dibawa ke Banten. Penggawa yang merestuinya dipecat dan sekeluarga dibawa ke Banten. Barang siapa menjual lada di lautan, seluruh muatan berikut perahunya dirampas untuk diserahkan kepada sultan. Dalam aturan ini juga dilarang memperdagangkan cengkeh dan pala ((Nurhakim dan Fadillah, 1990: 269).
Monopoli perdagangan di Lampung semakin meningkat dengan berkuasanya VOC. Putra mahkota Banten, Sultan Haji, menyerahkan beberapa wilayah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Belanda. Di dalamnya termasuk Lampung sebagai hadiah bagi Belanda karena membantu melawan Sultan Ageng Tirtayasa. Permintaan itu termuat dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat bertanggal 12 Maret 1682 itu isinya, Saya minta tolong, nanti daerah Tirtayasa dan negeri-negeri yang menghasilkan lada seperti Lampung dan tanah-tanah lainnya sebagaimana diinginkan Mayor/ Kapten Moor, akan segera serahkan kepada kompeni. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung (Hardianto, 2004). Model pertukaran yang terbentuk di Lampung tampaknya tidak dinikmati oleh semua golongan masyarakat. Secara diam-diam ada sekelompok masyarakat atau individu yang mencari keuntungan dengan menerapkan model pertukaran pasar tradisional. Dengan demikian model pertukaran pasar tradisional terjadi secara sembunyi-sembunyi.[2]

PASAR PADA MASA BANTEN
 SEJARAH PASAR BEGOG 
Kota Banten, atau Bantahan menurut sebutan negara Barat, dikenal sebagai kota metropolitan sekaligus kota yang produktif. Karena dilihat dari sarana dan pra sarana sejak dulu seperti Pelabuhan Karangantu yang menarik para pedagang Eropa dan Asia. Menurut Cornelis de Houtman asal Belanda pada tahun 1596 Banten disebut Kota Pelabuhan dan Perdagangan yang sama besar dengan Kota di Amsterdam saat itu, sama pula yang diungkapkan oleh Vincent Leblanc asal Perancis waktu tiba di Banten pada abad 16, beliau mencari hasil bumi terutama LADA dan beliau berucap bahwa Kota Banten ini hampir sama dengan Kota Rouen di negerinya yang ramai dengan para pedagang. Sebelum Banten menjadi Kota Muslim, Banten terkenal dalam perdagangan Ladanya yang menjadi daya tarik bangsa Eropa. Pada tahun 1522 Protugis mengadakan perjanjian dagang dengan para pengusaha Banten, saat itu Banten masih dibawah Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu.
Perdagangan lada ini begitu ramai dan menguntungkan, sehingga para sultan Banten mengambil strategi untuk mengendalikan sepenuhnya komoditi tersebut. Perdagangan lada di Banten sangat ramai karena mutu jenis lada di Banten lebih baik dibadingkan mutu lada dari Malabar dan Aceh. Lada ini lah yang sangat di gemari oleh bangsa Eropa termasuk bangsa Spanyol yang mengintruksikan Magellan dan Portugal untuk mencari lada di Banten pada tahun 1519, sebelum melakukan petualangannya untuk mengelilingi dunia.
           
Para sultan mengadakan tindakan pengetatan pada hasil produksi lada di Banten, dengan cara menginstruksikan semua penduduk di pedalaman ataupun di kota untuk membawa hasil lada mereka ke Kota Banten, untuk diolah dengan standar mutu tinggi. Begitu pula penduduk di daerah Sumatera diwajibkan untuk menanam 500 pohon lada dan hasilnya dikirimkan ke Kota Banten. Di Banten pusat industri untuk produksi lada adalah di Kampung Pamarican yang masih dikenal hingga kini. Dengan tindakan ini bangsa Eropa menilai Banten sudah menjadi Imperium Lada.
            Dengan armadanya yang kuat akhirnya Banten mampu berdagang langsung dengan Mekkah, India, Siam, Kamboja, Vietnam, Taiwan dan Jepang. Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Banten dengan Eropa, India dan Cina (FAVORIT PASTI ITIK) adalah dengan diketemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27 - 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India, Vietnam, ujung utara Sumatra, kemudian menyusuri pantai barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).
Barang yang Diperjualbelikan di Pasar Begog
Pasar Begog termasuk salah satu pasar tradisional yang terletak di Kampung Begog Kec Pontang Kab. Serang Banten. Pengunjung pasar begitu ramai (biasa pembeli penjual lalu lalang). Sebuah pasar kecil jauh dari keramaian kota, dan pengunjung pembeli rata rata penduduk lokal. Penjual sandang pangan, klontongan, baju, celana yang harganya relatif tidak mahal, kue kue jajanan, mainan anak, sayur sayuran, ikan, ayam, itik, daging kerbau dll. Tempat jualan pun sederhana hanya beralaskan dan tiang dari bambu, plastik, terpal lusuh (tatanan pasar mirip di cerita sinetron Angling Darma)
 Di pasar Begog, ada  pedagang itik / daging itik (karkas) mereka menjual layaknya seperti daging ayam, yaitu di kilo / di timbang. dan kebiasaan ini sudah ada sejak dahulu. Saya perhatikan ada yang beli satu ekor, untuk keluarga kecil (suami istri anak satu) mereka bisa membeli setengah (satu ekor di belah dua) kemudian di timbang.
 Hal kedua yang unik lagi, perkilo daging itik rata rata,  Rp. 35.000   (luar biasa)
Harga pasar Jakarta saat ini lewat....!
 Kalau dibandingkan masalah harga antara pasar tradisional pada waktu itu dengan pasar yang ada pada saat ini sangat berbeda kemajuannya. Pasar tradisional saja seperti pasar begog yang mungkin sudah ada sejak Zaman Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1850 (masa masa ke Emasan KeSulthanan Banten, yang wilayah kekuasaan dari Jayakarta sampai Palembang), dan mungkin pasar ini sudah ada sebelum Gunung Krakatau Meletus. tetapi konsep perdagangan daging itik sudah sangat modern dan sangat menguntungkan peternak. dibandingkan saat ini tidak seimbang dengan harga pakan ( makanan ternak ) dan penawaran pembeli. Kalau memang sejak dahulu penjualan daging itik ditimbang dan harganya  disesuaikan seperti di atas pastinya Peternak itik Indonesia akan mampu menyekolahkan anak - anaknya menjadi dokter, bidan, kuliah di luar negeri. Kembali lagi melihat kondisi pasar itik di kota kota besar..... saya pun berpendapat lalu siapa orang yang bertanggung jawab merubah konsep tatanan jual beli di atas dan tentunya saat ini merugikan peternak itik...! di nusantara tercinta. Bagaimana solusi yang harus dicari? apakah penjajah yang membuat pola baru, atau siapa?
Inilah Bukti – Bukti Pengalaman yang Dikutip dari Sejarah Banten :
1. KeSultanan Banten dahulu pernah mengeluarkan mata uang dan berlaku di Eropa abad ke 17 (1580). Bertulis kan Pangeran Ratou Ing Bantam.
2. Numismatika, berupa koleksi mata uang, baik mata uang asing maupun mata uang yang dicetak oleh masyarakat Banten. Mata uang yang pernah dipakai sebagai alat tukar yang sah dalam transaksi jual beli ketika itu adalah caxa/cash, mata uang VOC, mata uang Inggris, tael dan mata uang Banten sendiri.
3.Masih tersimpan mesin pencetak uang Oridab (Oeang Republik Indonesia Daerah Banten), yang digunakan selama masa pergerakan kemerdekaan. Ini terlihat jelas bahwa sejak zaman dahulu Banten mengalami zaman keemasan, Sultan Banten merupakan awal dari peradaban moderen terlihat dari bukti para peneliti tentang mata uang yang beredar pada masa itu, zaman yang harus kita kenang karena Banten masa keemasan memiliki data tarik yang tinggi dan tidak bisa diangap remeh oleh masyarakat indonesia terbukti dari hasil penelitian. Dari hasil penelitian terlihat di gambar mata uang kertas masjid dan menara Banten Lama, dan dari hasil study di Belanda ditemukannya mata uang Banten yang sudah cukup tua serta mereka menjaga dan melestrarikan di museum di Denhag.
4. Etnografika, berupa koleksi miniatur rumah adat suku Baduy, berbagai macam senjata tradisional, dan peninggalan kolonial seperti tombak, keris, golok, peluru meriam, pedang, pistol, dan meriam. Ada juga koleksi pakaian adat dari masa kesultanan Banten, kotak peti perhiasan dan alat-alat pertunjukkan kesenian debus.
5.Keramologika, berupa temuan-temuan keramik, baik itu keramik lokal maupun keramik asing. Keramik asing berasal dari Birma, Vietnam, Cina, Jepang, Timur Tengah, dan Eropa. Masing-masing keramik memiliki ciri-ciri khas sendiri. Keramik lokal lebih dikenal sebagai gerabah yang diproduksi dan berkembang di Banten. Gerabah tersebut biasa digunakan sebagai alat rumah tangga, bahan bangunan, serta wadah pelebur logam yang biasa disebut dengan istilah qowi.
6.Seni rupa, berupa hasil reproduksi lukisan atau sketsa yang menggambarkan aktivitas masyarakat di Banten masa itu. Di antaranya yang terkenal adalah lukisan peta yang menggambarkan posisi Kesultanan Banten pada abad ke-17. Terdapat pula reproduksi lukisan duta besar Kerajaan Banten untuk Kerajaan Inggris, yakni Kyai Ngabehi Naya Wirapraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana yang berkunjung ke Inggris pada tahun 1682. Reproduksi kartografi Banten in European Perspective, lukisan-lukisan yang menggambarkan suasana di Tasikardi dan diornamen latihan perang prajurit Banten.
7.Meriam Ki Amuk. Meriam yang berusia lebih dari empat ratus tahun itu beratnya mencapai tujuh ton dan panjang sekitar 2,5 meter. Konon karena belum ada penelitian ilmiahnya. Ki Amuk punya kembaran yang bernama Ki Jagur yang sekarang sekarang berada di Museum Fattahillah Jakarta. Terdapat pula sebuah artefak bekas penggilingan lada yang terbuat dari batu padas yang sudah tak utuh lagi. Konon, mesin penggiling lada inilah yang menjadikan Banten sukses sebagai pengekspor lada terbesar di Asia Tenggara.
8.Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sangat kesohor. Disebut al-Bantani karena ia berasal dari Banten, Indonesia. Beliau bukan ulama biasa, tapi memiliki intelektual yang sangat produktif menulis kitab, meliputi fiqih, tauhid, tasawwuf, tafsir, dan hadis. Jumlahnya tidak kurang dari 115 kitab dan sampai saat ini kitab Beliaupun masih dipakai sebagai kurikulum wajib di Univ Al Azhar Cairo, dan timur tengah.[3]




















KESIMPULAN
           Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Pedangang Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang berlabuh di Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.
Model pertukaran yang terjadi antara Lampung dan Banten pada abad ke-16–18 dipengaruhi oleh kondisi sosiopolitik pada waktu itu. Masyarakat Lampung secara sosiopolitik menempatkan diri sebagai subordinat terhadap Banten. Pengakuan atas kekuasaan Banten dilakukan dalam bentuk siba. Model seperti ini bagi masyarakat Asia Tenggara dan Pasifik sudah berlangsung lama. Catatan Cina menunjukkan bahwa pada masa awal sejarah (abad ke-4) telah terjadi pengakuan kekuasaan terhadap Kekaisaran Cina dalam bentuk pengiriman utusan dari penguasa-penguasa di berbagai daerah Asia Tenggara. Melalui model seperti ini, penguasa di Lampung lebih mendapatkan legalitas atas kekuasaannya terhadap anggota kelompok yang dipimpinnya.
Bagi Banten, kondisi seperti ini dimanfaatkan dalam perluasan motif ekonomi terutama pemenuhan kebutuhan akan lada. Model pertukaran resiprokal terbentuk antara penguasa Banten dengan penguasa Lampung. Banten memperoleh lada sedangkan penguasa Lampung memperoleh legalitas berupa gelar atau ajaran agama Islam dan secara fisik diwujudkan dalam bentuk regalia dari Banten misalnya berupa lawang kuri.
Hubungan yang terjadi antara penguasa Lampung dengan Banten melahirkan model pertukaran redistributif antara penguasa Lampung dengan masyarakat yang menjadi subordinat pemimpin Lampung. Model pertukaran redistributif tampaknya hanya menguntungkan para elite tertentu apalagi kemudian berkembang model monopoli perdagangan. Masyarakat yang merasa terugikan menerapkan model pertukaran pasar tradisional secara sembunyi-sembunyi.









DAFTAR PUSTAKA
www.mengenal banten/ banten tempo dulu.com
Saptoto Nanang, Perdagangan dan Pertukaran Masa Prasejarah - Kolonial, Jatinangor: Alqo Print, 2010.
Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.
Earle, Timothy K. 1982. Prehistoric Economics and the Archaeology of Exchange. New York: Academic Press.
Groeneveldt, WP. 1960. Historical Notes on Indonesian and Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Hardianto, B Josie Susilo, 2004. Kejayaan Lada Hitam Lampung Telah Pudar. Kompas, Senin, 06 September 2004.
Hodder, Ian. 1982. Towards a Contextual Aproach to Prehistoric Exchange. Cambridge: Cambridge University Press.
Kusumohartono, Bugie. 1985. Strategi Adaptasi Lingkungan, Pola Ekonomi dan Pelestarian Kekuasaan. Paparan Mengenai Beberapa Data Jaman Indonesia Kuna. Dalam Berkala Arkeologi Th. VI (2), hlm. 33 – 47.
---------. 1995. Model Pertukaran Pada Masyarakat Nusantara Kuna: Kajian (Pengujian) Arkeologis. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi Th. XV Edisi Khusus. Hlm. 96 – 104.
Leur, JC van. 1967. Indonesian Trade and Society. The Hague: W van Hoeve.
Miksic, John N. 1981. Perkembangan Teknologi. Pola Ekonomi dan Penafsiran Data Arkeologi di Indonesia. Dalam Majalah Arkeologi IV/ 1 – 2, hlm 1 – 16.
Nurhakim, Lukman dan Moh. Ali Fadillah. 1990. Lada: Politik Ekonomi Banten di Lampung. Dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi III: Agrikultur Berdasarkan Data Arkeologi, hlm. 258 – 274. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahardjo, Supratikno. 2007. Kota-kota Prakolonial Indonesia: Pertumbuhan dan Keruntuhan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Saptono, Nanang. 1998. Cheguide. Dalam Tony Djubiantono, et al. (ed.) Dinamika Budaya Asia Tenggara – Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah, hlm. 241 – 250. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat.
--------- , et al. 2007. Laporan Penelitian Kepurbakalaan Situs Benteng Majapahit Dan Sekitarnya Pekurun, Selagai Lingga, Lampung Utara. Seksi Purbanitrad, Subdin Kebudayaan, Dinas Pendidikan Provinsi Lampung.
Soebing, Abdullah A. 1988. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress. Ambary, H.M., H. Michnob dan John N. Miksic, (1988),
Katalogus Koleksi D ata Arkeologi Benten, Direktonat Perlindungan & Pembinaan Peninggalan Sejarah
Halwany, Michrob, (1989), Catatan Sejarah & Arkeologi : Ekspor Impor di Zaman Kesultanan Banten, Kadinda Serang,(1991), The Shift of The Karangantu-Market Site in Banten Lama (1993), Catatan Masa Lalu Banten





[1] www.mengenal banten/ banten tempo dulu.com
[2]  Saptoto Nanang, Perdagangan dan Pertukaran Masa Prasejarah - Kolonial, Jatinangor: Alqo Print, 2010.
[3] Halwany, Michrob, (1989), Catatan Sejarah & Arkeologi : Ekspor Impor di Zaman Kesultanan Banten, Kadinda Serang,(1991), The Shift of The Karangantu-Market Site in Banten Lama (1993), Catatan Masa Lalu Banten.



3 komentar:

Please Uktub Your Ro'yi Here...