Sabtu, 03 Desember 2011

TAFSIR AHKAM DAN KONTEKSTUALISASI HUKUM ISLAM




Oleh: M. Syakur Chudlori



A.    Pendahuluan

Al-Qur’an bukan hanya pedoman agar manusia menjadi orang yang bertaqwa (QS,2 : 3), ia juga merupakan pedoman bagi setiap manusia (QS. 2:185) serta ia merupakan kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS, 14:1).
Teks Al-Qur’an sudah jelas ia terkumpul dalam suatu mushhap yang berisi 114 surat dimulai dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas yang terdiri dari 30 juz. Nabi SAW yang diutus sebagai nabi terahir dan untuk seluruh umat telah wafat dan teks Al-Qur’an dengan sendirinya  berhenti, namun al-waqa’i (kejadian-kejadian) akan terus berlangsung, maka untuk itu penafsiran terhadap Al-Qur’an akan sangat berperan.
Al-Qur’an selain berbentuk teks (tersurat), dalam perjalanannya juga memiliki konteks (tersirat). Menurut Chozin Nasuha([1])
1.      Teks Qur’an memiliki kaitan dengan konteks dengan kitab-kitab samawi
2.      Qur’an memiliki kaitan konteks dengan sunah rasulullh SAW
3.      Qur’an turun dengan dilatar belakangi oleh kebutuhan yang terstruktur
4.      Teks Qur’an banyak redaksinya yang berdekatan satu sama lain, dan beberapa ayat qur’an banyak yang memiliki multitafsir. Maka karena  itu mufassir memerlukan pemikiran (ijtihad) yang dapat menyamakan satu penafsiran dengan penafsiran yang ada, atau mencari satu penafsiran baru yang dianggap lebih baik dan manfaat
5.      Pemaknaan terhadap Al-qur’an memiliki konteks yang didorong oleh realitas.
Adapun  Metode kontektualisasi “Ulum al-Qur’an” menurut beliau ([2]) adalah:
1.      Mempelajari entittas kehidupan masyarakat, ketika ‘Ulum al-Qur’an itu dirumuskan . Dalam kaitan ini ‘Ulum al’Qur’an pada mulanya berdialog dengan kebutuhan masyarakat , sehingga terjadi rumusan yang diperlukan  (das solen), Kini berbeda dengan kenyataan (das sein)
2.      Tuntutan kontekstualisasi Ulum al-Qur’an  bekenaan dengan faktor diterminan terhadap perubahan sosial, mencakup lingkungan alam fisik , kebudayaan, pola interaksi masyarakat dan teknologi.
3.      Proses kontektualisasi dilakukan melalui musyawarah, atau diskusi, seminar dan sebagainya, sampai terjadi ijma kontemporer, atau terjadi rumusan  yang berani meskipun akibatnya dia dituduh bid’ah, sekuler, atau aliran kiri dan lain sebagainya.
4.      Bentuknya bisa berkaitan dengan tambahan, atau modifikasi, atau perubahan, sepertii nasikh-mansukh dirubah menjadi kontektualisasi , muhkan mutasyabaih dapat berubah karena ada paradigma baru dan lain sebagainya.
Metode penafsiran Al-Qur’an yang dapat ditempuh adalah metode Hermeneutis( [3]), bila diintegrasikan dengan metode penafsiran teks hukum, maka antara lain digunakan metode gramatis, ekstensif, sistematis, teleologis, atau sosio-historis (takwin) atau analogis (qiyas) dengan alat bantu ilmu ushul fiqh.([4])
            Hukum-hukum yang dikandung dalan Al-Qur'an terbagi dalam tiga jenis yaitu;  hukum-hukum tentang keimanan (i'tiqadiyyah), tentang keislaman ('amaliyah) dan tentang ke ihsanan (khuluqiyyah) ([5]). ketiga hal tersebut bisa disebut dengan : tauhid, fiqh dan tasawwuf dan hampir sejajar dengan; Iman, islam dan ihsan; Ilmu, Amal dan ikhlash al-niyat.([6])
Ketiga hukum kandungan Al-Qur'an itu di isyarahkan Allah Yang Maha Bijaksana dalam surat al-Fatihah, surat pertama atau "pendahuluan" dalam istilah yang digunakan oleh para penulis dalam tulisan ilmiahnya.
Masalah 'itiqadiyah digambarkan Allah dalam surat al-Fatihah ayat 1 s.d 4,
masalah 'amaliyah ayat 5 dan 6, sedang masalah khuluqiyyah diisyarahkan dalam
ayat ke tujuh.
Masalah amaliah dalam al-Qur'an terdiri dari dua jenis pertama masalah ibadah (hubungan manusia dengan Tuhan pencipta) dan masalah mu'amalah (hubungan antara sesama manusia).

B.     Tafsir Ahkam
Tafsir menurut bahasa (lughat) mengikuti wazan taf'il, berasal dari akar kata al-  Fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak([7]).  Adapun tafsir menurut istilah sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah([8]): "Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur'an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
Menurut az-Zarkasyi: "Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.([9])
Menurut Chazin Nasuha([10]): Tafsir secara etimologis ulama berbeda pendapat, tapi kesimpulannya sama yaitu tafsir ialah ungkapan sesuatu yang tersembunyi melalui medium yang dianggap sebagai tanda bagi mufasir, melalui tanda itu, ia dapat sampai pada sesuatu yang tersembunyi. Tafsir dan ta’wil yang baik  adalah tafsiran yang dikontekstualisasikan pada kepentingan masyarakat umum.
Seorang mufassir sering terbentur pada pengertian  tentang tafsir Qur’an, karena dilingkari oleh konteks yang sering berubah dan tidak tetap, sehingga mufassir membutuhkan kejelian ketika ia akan masuk didalamnya. Perubahan konteks dan sistem kehidupan masyarakat menjadikan makna penafsiran tidak satu, bahkan relatif, tergantung kapan dan siapa yang menyusun konsep.
Tafsir sebagai usaha manusia untuk  bisa memahami pesan-pesan Allah dalam Al-Qur’an, telah mengalami perkembangan. Sebagai hasil karya manusia timbul aneka ragam corak penafsiran. Keaneka ragaman itu ditimbulkan dari berbagai hal, diantaranya perbedaan kecenderungan, motifasi penafsir, perbedaan
misi yang diemban, perbedaan ragam keilmuan yang dikuasai penafsir , perbedaan zaman  dan lingkungan yang berada disekitar penafsir, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi, situasi politik saat itu dan lain sebagainya. Keadaan seperti itu menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran tafsir yang bermacam-macam.
Kegunaan tafsir Qur’an ada dua, yaitu teoritika dan praktika. Kegunaan teorika adalah untuk mengembangkan metodologi tafsir Qur’an dalam rangka memberikan wawasan ke depan yang berkaitan dengan teori dan metodologi. Sedangkan kegunaan praktika adalah berhubungan langsung dengan penerapan tafsir Qur’an kepada person dan masyarakat. ([11])
Menurut M. Quraisy  Shihab, ada dua bentuk metode penafsiran al-Qur’an: Pertama metode tahlili atau tajizi-i  dan kedua metode  maudhui (tematik) atau tauhidi (kesatuan). Metode maudhu’i , walaupun benihnya telah dikenal sejak masa Rasul SAW., namun ia baru berkembang jauh sesudah masa beliau. Metode tahlili  lahir jauh sebelum metode maudhu’i. Metode tahlili dikenal sejak tafsir Al-Farra (W.206 H), atau Ibnu Majah (w.  273 H), atau paling lambat Ath-Thabari (w 310 H).([12])
Dilihat dari sumber penafsirannya, tafsir terbagi pada tafsir bi al-ma’tsur yang  juga dikenal  dengan tafsir riwayat atau manqul bila sumber penafsirannya adalah riwayat dan tafsir bi al-ra’yi yang juga dikenal dengan tafsir dirayah atau ma’qul bila sumber penafsirannya adalah ijtihad.([13])
Said Agil Husin Al-Munawwar( [14]), sama halnya dengan Nashruddin Baidan([15]), membagi metode tafsir dalam:
1.      Tafsir Tahlili (analitis), yang terbagi dalam;
a.       Tafsir bi al-ma’tsur
b.      Tafsir bi al-ra’yi
c.       Tafsir shufi
d.      Tafsir falsafi
e.       Tafsir “ilmi
f.       Tafsir adabi
2.      Tafsir ijmali (global)
3.      Tafsir muqarran (perbandingan), dan
4.      Tafsir Maudhu’i (tematik)
Prasyarat menerapkan metode maudhu’i, menurut Quraisy Shibab, beliau kutip sebagaimana yang dipesankan Arkaoun pakar Muslim Aljajair ternama adalah keharusan “rendah hati”, Penafsir hendaklah merendahkan diri dihadapan Allah Tuhannya, berusaha merasakan kebesaran dan keagunganNya, sebab hanya Allahlah yang tahu tentang maksud apa yang difirmankanNya itu.([16]), disamping terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir.
Manna Khalil al-Qattan mencatat ada 9 syarat bagi mufassir dan 11 adab yang sebaiknya dimiliki oleh mufassir,([17])
Persyaratan mufassirin
1.      Akidah yang benar,
2.      bersih dari hawa nafsu,
3.      menafsisrkan lebih dulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
4.      mencari penafsiran dari al-Sunah,
5.      apabila tidak menemukan tafsiran dari Sunah, hendaklah mencari penafsiran dari Shahabat,
6.      bila tidak ditemukan tafsiran baik dlam Al-Qur’an, Sunah maupun pendapat Shahabat, periksa pendapat tabi’in,
7.      mufassir harus tahu pengetahuan bahasa arab dengan segala cabangnya,
8.      pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an,
9.      pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna, atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nah-nas syari’at
Adab Mufassir
1.      Berniat baik dan bertujuan benar,
2.      berakhlaq mulia,
3.      taat dan beramal,
4.      berlaku jujura dan teliti dalam penukilan,
5.      tawaddu dan lemah lembut,
6.      berjiwa mulia,
7.      vokal dalam menyampaikan kebenaran,
8.      berepenampilan baik sehingga berwibawa,
9.      bersikap tenang dan mantap,
10.  mendahulukan orang yang lebih utama dari diriny,
11.  mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik,
bila tidak dipenuhi syarat-syarat dan adab-adab penafiran, kemungkinan
terjadi kesalah, bahkan penyimpangan dari tafsirannya.
Muhammad Husein Adz-dzahabi([18]) mencatat penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur’an, meliputi:
1.      Penyimpangan dalam tafsir para sejarawan,
2.      penyimpangan dalam tafsir dari para ahli tata bahasa arab,
3.      penyimpangan dalam tafsir dari orang-orang yang tidak menguasai kaida-kaidah bahasa Arab,
4.      penyimpangan dalam tafsir Mu’tazilah
5.      penyimpangan dalam tafsir orang-orang Syi’ah
6.      penyimpangan dalam tafsir di kalangan Khawarij
7.      penyimpangan dalam tafsir di kalangan para sufi,
8.      penyimpangan dalam tafsir di kalangan para ilmuwan,
9.      penyimpangan dalam tafsir di kalangan para pembaharu Islam
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an menurut Abdul Wahab Khalaf([19]) terdiri dari: al-ahwal al-syakhsiyyah 70 ayat, madaniyyah 70 ayat, jinayat 30 ayat, murafa 'at 13 ayat, dusturiyat 10 ayat, dauliat 25 ayat, iqtishshdiyah maliyah 10 ayat, sedang menurut Jajuni ([20]) ketentuan hukum dalam All-Qur’an, persentasenya tidak banyak, dengan kriteria Hukum Barat, hanya sekitar 3% dari jumlah ayat Al-Qur’an yang berisi aturan hukum.
Kitab-kitab tafsir yang memberi  nama kitabnya dengan mencantumkan kata hukum ( ahkam ) dan biasa disebut dengan tafsir fiqh, diantaranya:
1.       Ahkam Al-Qur’an karangan Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali ar-Razi yang terkenal dengan sebutan al-Jassas (abad ke empat), madhab Hanafi.
2.       Ahkam Al-Qur’an karangan Abu Bukar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’arifi al-Isybili terkenal dengan sebutan Ibn ‘Arabi, madhab Maliki.
3.       Al-Jami li ahkam al-Qur’an karangan Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Ansari al-Khazraji al-Andulisi, madhab Maliki,
4.       Al-Jami li ahkam Al-Qur’an Karangan imam Qurtubi,
5.       Tafsir Ayat al-Ahkam, karangan Syekh Muhammad ‘Ali al-Sais
6.       Tafsir Ayat al-Ahkam, karangan Syeikh Manna’ al-Qattan,
7.       Rawa’i al-Bayan tafsir ayat al-Ahkam, karangan Muhammad ‘Ali al-Shabuni
Aturan-aturan hukum dalam al-Qur'an secara tafsili diturunkan setelah Nabi hijrah dari Makah ke Medinah (madaniyyah), sedangkan sebelum beliau hijrah (Makiyyah) Al-Qur'an berbicara sekitar; tauhid, pahala dan siksa, serta keutamaan akhlaq.
Penafsiran ulama mutaqadimin/ulama salaf yaitu mereka yang hidup sebelum tahun 300 H., sumber penafsiran diambil dari penafsiran Nabi SAW, penafsiran shahabat dan tabi’in yang dikelompokkan dalam tafsir bi al-ma’tsur, sedang ulama muta’akhirin/khalaf (hidup sesudah tahun 300 H), yaitu abad ke empat sampai abad ke 12, bukan hanya mengambil corak tafsir bi al-ma’tsur, tetapi mengembangkan dengan metode-metode kondisional.([21])
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara tafsir di abad ke-1, ke-2 dan ke-3 (mutaqaddimin) dengan tafsir abad-abad selanjutnya. Penafsiran ulama mutaddimin senantiasa berpijak dan mengacu kepada inti dan kandungan Al-Qur’an itu sendiri.
Pada masa Rasul, shahabat menanyakan masalah-masalah yang tidak jelas pada beliau, setelah Rasul wafat shahabat-shahabat  hususnya yang mempunyai kemampuan untuk  ijtihad; seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Abbas, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab melakukan ijtihad sendiri.([22])
Pada masa tabi’in, mereka menafsirkan berdasarkan tafsir Nabi yang diriwayatkan oleh shahabat, hasil ijtihad shahabat , dan riwayat ahli Kitab, sedang dimasa Tabi’it tabi’in sama seperti masa tabi’in (tafsir Nabi yang diriwayatkan oleh shahabat, hasil ijtihad shahabat, riwayat ahli kitab) dan ijtihad serta atsar tabi’in.([23])

C.    Kontekstualisasi Hukum Islam
Kontekstualisasi berarti mengontekstualkan, sedang kata konteks sendiri seperti dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ([24]) berarti: Apa yang ada didepan atau dibelakang ( kata, atau kalimat, ucapan) yang membantu menentukan makna (kata, kalimat, ucapan dlsb). Oleh karena itu penulis mamaknai judul makalah: “Tafsir Ahkam dan Kontekstualisasi Hukum Islam “ dengan: Bagaimana memahami ayat Al-Qur’an tentang hukum yang turun pada situasi dan kondisi saat turunnya ayat tersebut bisa diterapkan pada saat ini.
Kita diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk mengontekstualisasikan teks ayat-ayat al-Qur’an, sebab al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk orang Arab pada saat Rasul SAW masih hidup saja, tapi diturunkan untuk seluruh manusia di jagat raya ini dan untuk sepanjang masa, sebagaimana Allah telah menurunkan syari’atnya bagi seluruh nabi-nabiNya disesuaikan dengan zamannya, sedang hal-hal yang terkait dengan aqidah semuanya sama yaitu tauhidullah.
Kontekstualisasi adalah proses berkesinambungan yang melalui kontekstual tersebut,kebenaran dan keadilan Allah dapat diterapkan dan muncul dalam situasi-situasi historis yang kongkrit. Kontekstualisasi dapat mencakup semua aspek kehidupan manusia, dan oleh kerena itu hal yang sangat perlu diperhatikan untuk melaksanakan kontektualisasi terhadap ayat-ayat (hukum) Al-Qur’an adalah maqasid al-Syari’ah
Hukum Islam
Hukum Islam adalah sebuah kosa kata dalam bahasa Indonesia yang terdiri dari dua akar kata, yaitu hukum dan Islam. Kata hukum Islam digunakan sebagai padanan dari Islamic Law dalam tradisi akademik Barat. Berbeda dengan titik pijak hukum Islam, yang berasal dari wahyu, hukum dalam tradisi Barat berangkat dari kebutuhan masyarakat untuk menjembatani kebiasaan mereka agar terwujud ketertiban dan keteraturan.
Para akademisi Barat menggunakan kata Islamic Law , sebagai terjemahan dari kata syari’at maupun kata fiqh, namun kecenderungan utama, mereka menggunakan kata syari’at Islam sebagi bentuk lain dari “hukum ketuhanan” yang membedakannya dari sistem-sistem hukum yang didasarkan atas pertimbangan manusia.
Menurut Abdurrahman Wahid, Hukum Islam dalam pengertian yang sederhana adalah “keseluruhan tata kehidupan dalam Islam”. Atau seperti dikatakan oleh Mac Donald, hukum Islam adalah “the science of all things, human and divine (pengetahuan tentang semua hal, baik yang bersipat manusiawi maupun ketuhanan).([25]) 
Menurut Mohammad Daud Ali; Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.([26])
Hukum Islam menurut rumusan seminar/loka karya Hukum Islam 1975, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, adalah:”hukum fiqh mu’amalah dalam arti yang luas, yakni pengertian manusia tentang kaidah-kaidah (norma-norma) kemasyarakatan yang bersumber pertama pada Al-Qur’an, kedua pada sunnah Rasulullah dan ketiga pada akal fikiran.([27])
Menurut  A. Djazuli, kecenderungan terakhir yang dimaksud dengan hukum Islam adalah hukum yang sudah dikodifikasikan dalam bentuk peraturan perundangan di dalam negara tertentu.([28])
Tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun  jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.[29]
Abu Ishak al-Syatibi, (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang kemudian disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Ke lima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah  atau al-maqasid al-syari’ah ([30]).
Syari’ah
Menurut istilah para ulama, Syari’ah adalah:”Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang dibawa oleh salah seorang nabi-Nya SAW., hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara-cara bertingkah laku, yaitu yang disebut dengan hukum-hukum cabang (furu’). Untuk hukum-hukum semacam ini dihimpunlah ilmu fiqh.[31]
Menurut A. Djazuli, syari’ah bisa diartikan dengan arti yang sangat luas, dan dapat pula diartikan dalam arti yang sempit. Hal ini penting diperhatikan, karena para ulama tidak selalu sama dalam mengartikan syari’ah. Ada yang menganggap syari’ah  itu sama dengan fiqh dan ada yang menganggap bahwa syari’ah khusus untuk hukum yang didasarkan kepada dalil yang qath’i saja. Bahkan ada yang menganggap bahwa syari’ah itu adalah keseluruhan ajaran agama.
Menurut Juhaya S. Praja, pengertian syari’ah secara harfiah adalah“sumber air” atau “sumber kehidupan”, sedangkan syari’ah  dalam kalangan ahli hukum Islam mempunyai pengertian umum dan khusus. Syari’at dalam pengertian umum ialah keseluruhan tata kehidupan dalam Islam, termasuk pengetahuan tantang ketuhanan. Syari’ah dalam pengertian ini sering kali disebut fiqh akbar, sedangkan syari’ah dalam pengertian khusus berkonotasi fiqh atau sering kali disebut fiqh ashgar, yakni ketetapan hukum yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syarat tertentu tantang al-Qur’an dan suanah dengan menggunakan metode tertentu (Ushul Fiqh)[32]
Menurut Bismar Siregar; “Syariat adalah cara hidup yang berasal dri nilai-nilai abadi mutlak, diwahyukan dengan jalan keseluruhan amanat Qur’an, cara hidup yang didirikan atas iman kepada kesatuan Tuhan, kesatuan alam yang diciptakannya dan yang telah menjadikan manusia sebagai khalifahNya yang bertanggung jawab. Cara hidup didasarkan atas sikap tunduk tanpa syarat kepada ajakan Tuhan yang kita semua berkewajiban membuka kunci “ayat-ayatNya” dalam keterbukaan alam, dalam kejadian-kejadian sejarah, dan dalam kata-kata Nabi Muhammad.([33])

D.    Penutup
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, ia bukan hanya bermanfaat bagi pemeluknya, berbahagia di dunia serta selamat di akhirat, juga Islam harus memberi kedamaian kepada seluruh umat manusia, baik ia muslim ataupun bukan.
Al-Qur’an sebagai panduan utama umat Islam , ia juga merupakan hudan (pedoman) bagi seluruh manusia. Jika Al-Qur’an menyatakan ma farratna fi al-kitabi min syain, salah satunya berarti bahwa segala sesuatu baik persoalan yang berkaitan langsung dengan dunia apalagi akhirat dapat diselesaikan dengan berpedoman pada Al-Qur’an. Masalahnya adalah dapatkah kita mengontektualkan ayat Al-Qur’an pada kehidupan kita sehari-hari, baik selaku individu, masyarakat dan bernegara.
Melihat syarat-syarat dan adab bagi seorang mufassir seperti yang dikemukakan oleh Manna Khalil al-Qattan seperti telah disebutkan  di atas, kita (penulis) pesimis untuk bisa menafsirkan teks-teks ayat Al-Qur’an apalagi mengontekstualkan dengan kehidupan pada saat ini. Kita akan lebih pesimis lagi jika melihat penyimpangan-penyimpangan penafsiran dari berbagai kalangan seperti yang telah dikemukakan oleh Muhammad Husein Ad-dzahabi di atas.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk bisa memahami teks Al-Qur’an, kemudian memahami konteknya yang selanjutnya mengontektualkan untuk kehidupan sehari-hari, adalah bertanya atau bermusyawarah dengan orang yang ahli dalam hal tersebut.
Agar hasil penafsiran kita menjadi hukum Islam seperti pendapat mereka yang menyatakan bahwa “hukum Islam adalah hukum yang sudah dikodifikasikan dalam bentuk peraturan perundangan di dalam negara tertentu”, maka kewajiban kita selanjutnya adalah memperjuangkan melalui jalur eksekutif (pemerintah) dan legislatif  (DPR).






DAFTAR PUSTAKA
Agil Husin Al-Munawwar dan Masykur Hakim, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologo Tafsir,Dina Utama, Semarang, 1994.
‘Ali al-Sais, Muhammad, Tarikh al-Fiqh al-Islamiy, Muhammad :Ali Shabah wa-auladih, al-Azhar, 1957
Daud Ali, H. Muhammad, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada,Jakarta, Cetakan kelima, 1996.
Djazuli, H.A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-enam, 2006.
Hasbi Ash Shiddieqy, M. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1954.
Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris, Arah Baru Studi Tafsir Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2005.
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000
Jazuni, egislasi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
Khalaf,’Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, al-Majli al-‘Ala al-Indonesiy li al-dawah al-Islamiyah, Jakarta, 1972.
------------------- Khulashah tarikh al-Tasyri’ al-Islamiy, al-Majli al-‘Ala al-Indonesiy li al-dawah al-Islamiyah, Jakarta, 1968
Khudlari Bik, Muhammad, Tarikh al-Tasyri al-Islamiy, dar al-fikr, tanpa tempat, 1967.
Muhammad Husein Adz-dzahabi, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Qur’an, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,  PN Balai Pustaka, Jakarta, 1982
Qattan al, Manna Khali, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-‘ushr al-hadits, Tanpa Kota, 1972.
Qattan al, Manna Khalil, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Terjemahan Mudzakkir AS,Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Litera Antar Nusa dan Pustaka Islamiyah, Jakarta Cet. Kelima, 2000
Quraish Shihab, M.,Wawasan Al-Qur’an,Tafsir Maudhu’i atas Pelbabai Persoalan Umat,  Mizan, Tanpa Tempat, 1996.
Syafrudin H.U., Paradigma Tafsir Tekstual & KontekstualUsaha Memaknai Kembali Pesal Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.
Shabhi al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Dinamika Bekah Utama, Jakarta, Tanpa Tahun.
Zarqani, al, Muhammad ‘Abdu al-‘Adzim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Dzar al-Fikr, Tanpa Tempat, Tanpa Tahun.













TAFSIR AHKAM DAN KONTEKSTUALISASI HUKUM ISLAM

MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Dalam Mata Kuliah
TAFSIR AHKAM
Oleh:
Oleh: M. Syakur Chudlori
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. Khozin Nasuha/Dr. H. Hasan Ridwan

PROGRAM PASCASARJANA (S.3)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN 2011



[1]. Chuzin Nasuha, dalam Cik Hasan Bisri dll, Mengerti Qur’an: Pencarian hingga masa senja, Pusat Penjamin Mutu dan Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, hlm. 66-67

[2] Op. cit, hlm. 83
3. Hermeneutika adalah suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna dalam situasi sekarang, atau dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan intewrepretasi terhadap sebuah teks
[4] Op. cit., hlm.71.
[5] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Majlis al-“ala al-Indonesiy li al-da wah al-islamiy, Jakarta, 1972, Hlm. 32.
[6] K. Anwar Musaddad, perintis berdirinya IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, sering mengatakan bahwa Mahasiswa IAIN haruslah berIlmu, berAmal dan dengan niat yang Ikhlas, atau IAIN adalah kependekan dari Ilmu Amal Ikhlash al-Niyat.
[7] Manna Khalil al-Qattan,Mabahits Fi “ulum Al-Qur’an, Mansyurat al-“ashr al-hadits, tanpa kota, 1973,Hlm 323
[8]  Op. cit, Hlm. 324
[9] al-Zarkasyi, al-Itqan, jilid 2, hlm. 174.
[10] Cik Hasan Bisri dll. Mengerti Qur’an: Pencarian Hingga Masa Senja, 70 Tahun Prof. Dr. H.A. Chozin Nasuha, Pusat Penjaminan Muta dan Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, tt, Hlm. 41.
[11] Cik Hasan Bisri dll. Mengerti Qur’an: Pencarian Hingga Masa Senja, 70 Tahun Prof. Dr. H.A. Chozin Nasuha, Pusat Penjaminan Muta dan Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, tt, Hlm. 41.
[12] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i  Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Cet Kedua, 1996, Bandung, Hlm.xii.
[13] H.U. Syafruddin, Paradigma Tafsir tekstual & kontekstual Usaha memahami Kembali Pesan al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, Hlm. 32.
[14] Agil Husin Al-Munawwar, Masykur Hakim, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, Dina Utama, Semarang,1994, Hlm. 36-39.
[15] Nashruddin Baidan, Metodologo Penafsiran Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, 1998.
[16] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i  Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Cet Kedua, 1996, Bandung, Hlm.xiv
[17]  Manna Khalil al-Qattan,Mabahits Fi “ulum Al-Qur’an, Mansyurat al-“ashr al-hadits, tanpa kota, 1973, Hlm. 462
[18] Adz-dzahabi, Muhammad Husein, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur,an, terjemahan Hamim Ilyas dan Machnun Husei, Rajawali, Jakarta, Cet. Ke-dua, 1991
[19] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Majlis al-“ala al-Indonesiy li al-da wah al-islamiy, Jakarta, 1972, Hlm. 32-33.
[20] Jajuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 25   
[21] Agil Husin Al-Munawwar, Masykur Hakim, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, Dina Utama, Semarang,1994, Hlm. 28.
[22] Muhammad “Ali al-Sais, Tarikh al-Fiqh al-Islamiy, Muhammad “Ali shabah waauladih, Mesir, tt, hlm. 87.
[23] Agil Husin Al-Munawwar, Masykur Hakim, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, Dina Utama, Semarang,1994, Hlm. 29.
[24] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonsia, Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hlm. 251
[25] Abdurrahman Wahid, dalam Tjun Suryaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1994, hlm. 3.
[26] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam – Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. Kelima, 1996, hlm. 38
[27] Djazuli, A. Ilmu Fiqh – Penggalian, perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cet. Ke3enam, 2006, hlm.13
[28] I b i d,  hlm.18.
[29] Mohammad Daud Ali, op.cit, hlm. 53.
[30] I b i d, hlm.53.
[31] A. Djazuli, op.cit,  hlm. 2.
[32] Juhaya S. Praja, dalam Tjun Suryaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktek, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1994, hlm.v-vi
[33] Bismar Siregar, dalam Tjun Suryaman (ed), I b i d,  hlm. 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...