Habbudin, M.Pd.I
Secara etimologi kata hijrah berasal dari bahsa Arab yang berbentuk kata benda (isim) dari kata kerja (fi’il) hajara yang berarti memutuskan hubungan, pindah, dan meninggalkan suatu tempat pindah kepada yang lain. Kata ini juga dapat dimaknai lawan kata (antonim) dari kata al-wasl. Pengertian hijrah sebagai lawan kata al-wasl digunakan dengan konotasi umum, sedangkan pengertian yang digunakan dengan makna keluar dari suatu daerah ke daerah lain merupakan pemaknaan yang khusus. Di sisi lain, ada juga yang mengasalkannya dari akar kata hajara, yahjuru, hajran wa hujranan.[1]
Di dalam hadits dikatakan: “la yahillu li rajulin an yahjura ahahu fawqa tsalatsah layal”[2] Artinya: “Tidak dihalalkan bagi seorang muslim meninggalkan atau memutuskan hubungan dengan saudaranya melebihi tiga hari.” Yang dimaksud pada hadits ini adalah apa yang terjadi antara orang yang beriman yang membatasi (memutuskan) persahabatan merupakan tindakan mengindahkan aspek keagamaan.[3]
Fairuz Abadi mengatakan, (hajarahu) hajran dengan fathah dan hijranan dengan kasrah mengandug arti saramahu (putus atau meninggalkan), seperti kata ahjarahu, wa fi as-shaumi I’tizal ‘an nikah (dengan berpuasa berarti meninggalkan nikah, segala kenikmatan yang ada untuk sementara).
Di sisi lain juga disebutkan kalimat yang memiliki ungkapan hajara al-syirku hajran wa hujaranan, wa hijran hasanah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata hijrah ini, baik itu berbaris kasrah dan dhammah, semuanya berarti pindah dari suatu daerah ke daerah lain. Hal inilah yang dinamakan hijrah yang sesungguhnya (khuruj min al-ardh ila akhar, wa qad hajar).[4]
Lain halnya dengan yang diketengahkan oleh Bernand Lewis dkk bahwa pengambilan kata hijrah berasal dari kata “hegira” dan dikenal dalam bahasa Arab dengan kata hajara, yahruju, hijrah.[5]
Ibn Faris mengatakan ; al-hijrah merupakan lawan kata wasl, suatau kaum meninggalkan suatu daerah ke daerah lain (hajara al- qaum min dar ila dar) atau meninggalkan yang pertama menuju ke yang kedua (tark al-awwal li tasaniyah), sebagaimana yang dilakukan kaum muhajirin ketika hijrah dari kota Mekkah ke Madinah di tahun pertama dari penanggalan Islam.[6]
Sedangkan ar-Raghib menambahkan keterangan seputar definisi di atas dengan mengatakan : al-hijru wa al-hijran berarti manusia berpisah dengan yang lainnya (mufaraqah al-insan wa gayruh), terkadang dengan badan, lisan dan kalbu.[7] 7
Sebagaimana firman Allah SWT :
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya : “Pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka.” (Q.S an-Nisa [4]: 34)
Ayat ini merupakan kiasan mengenai tidak mendapati mereka dengan badan istri yang telah berbuat nusyuz kepada suaminya. Permasalahannya ini akan dijelaskan oleh penulis pada klasifikasi ayat-ayat hijrah :
} وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا {
Artinya : "Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan". (Q. S al furqan [25]: 30 )
Ayat ini bermakna hijrah dengan lisan atau dengan lisan dan hati (qalb).
واهجرني مليا
Artinya : “Tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. (Q.S Maryam [19]: 30)
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
Artinya : “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah”, (Q.S al-muddatsir [74]: 5)
Bermakna dorongan meninggalkan secara keseluruhan dari seluruh anggota badan.[8]
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa hijrah apabila dikaitkan dengan pengertian kata-kata tersebut, pada dasarnya dimaksudkan untuk menyingkirkan diri dari tindakan-tindakan dan teror yang bersifat fisik yang dapat mencelakakan diri sendiri dari keyakinan (aqidah) sehingga dapat meraih kebebasan, utamanya kebebasan menjalankan seluru perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.
2. Pengertian Hijrah Menurut Istilah
Secara istilah (syar’i), hijrah mengandung dua pengertian. Pertama, makna atau pengertian yang bersifat umum, yaitu meninggalkan yang dilarang oleh Allah swt. Kedua, bermakna khusus, yaitu berpindah dari negeri yang syirik menuju ke negeri Islam.[9] Ibn Rajab al-Hambali menyebutkan bahwa pengertian hijrah ialah meninggalkan negeri syirik dan berpindah menuju ke negeri Islam.
Jika dilihat pada pengertian pertama (yang lebih dikenal dengan pengertian umum) maka ulama mendefinisikan hijrah dengan makna tersebut. Ada yang memandang hijrah dari sisi makna terperinci (tafshili) dan ada pula yang berbicara secara global (ijma’i).[10]
Golongan pertama yang dimotori oleh Abu Bakar Ibn ‘Arabi, Ibn Hajar al-‘Asqalani da Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah mengatakan bahwa hijrah adalah berpindah dari daerah kufur menuju daerah Islam.[11] Menurut golongan ini bahwa yang dimaksud dengan daerah kufur (dar al-kufr) adalah daerah yang melaksanakan atau menjalankan hukum kafir melalui bentuk perundang-undangan dan sebagainya.
Golongan kedua mengatakan bahwa yang dimaksud dengan makna hijrah secara syar’i adalah berpindah dari daerah zhulm (aniaya) menuju daerah yang adil dengan maksud menyelamatkan agama.[12] Golongan ini memiliki beberapa alasan diantaranya:
a. Firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي اْلأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُوْلاَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendir, (kepada mereka) Malaikat bertanya : "Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?". mereka menjawab: "Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,” (Q.S an-Nisa [4]; 97).
b. Nabi Muhammad saw melakukan hijrah ke negeri Habasy sebab negeri tersebut merupakan negeri yang dipimpin oleh seorang yang tidak melakukan aniaya (zhulm) kepada penduduknya. Ini merupakan tanda yang jelas sebagai tempat melakukan hijrah.
c. Mereka mengatakan bahwa pemerintah Muslim tidak sanggup melaksanakan peran secara menyeluruh dan komprehensif (kamil) di dalam daerah Islam, seperti berbuat aniaya terhadap rakyatnya. Di sisi lain ditemukan di daerah kufur penguasa begitu toleran dalam meberikan kebebasan dalam melaksanakan syariat agama, tidak melarang penduduknya untuk menyiarkan dakwah (ajaran dan ajakan) kepada Allah bahkan memberikan bantuan dan pelayanan sehingga tujuan hjrah dapat terealisasi dengan baik.
Golongan ketiga berpendapat hampir sama dengan golongan pertama yaitu; pindah dari daerah kufur dan komplik menuju daerah Islam. Akan tetapi, pengertiannya meluas pada makna hijrah yang meliputi :
(a) Keluar dari daerah perang menuju daerah Islam, (menjadi wajib sebelum ditaklukkannya kota Mekkah, kemudian kewajiban ini berakhir setelah Islamnya seluruh penduduknya. Akan tetapi, hijrah masih tetap berlaku sampai hari kiamat di Negara manapun yang pendudukya kafir menuju daerah Islam).[13]
(b) Keluar dari daerah (negara) bid’ah jika tidak sanggup mendapatkan suatu perubahan dan berusaha keras memberikan nasehat kepada penduduknya.[14]
(c) Keluar dari daerah yang dominan di dalamnya perbuatan haram.
(d) Keluar karena takut tertimpa bencana terhadap tubuh. Hal itu merupakan keringanan dari Allah swt, jika takut terjadi sesuatu terhadap dirinya. Maka sesungguhnya Allah swt mengijinkan keluar dan hijrah untuk menyelamatkan diri dari bahaya sebagaimana dilakukan oleh Nabi ibrahim as.
فَئَامَنَ لَهُ لُوطٌ وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya: "Sesungguhnya aku berhijrah kepada Tuhanku … (Q.S al-Ankabut [29]: 26)
(e) Hijrah karena takut terjangkit suatu penyakit dalam daerah yang kurang menyehatkan (membahayakan) ke daerah yang aman dan bersih.
(f) Hijrah karena takut terjadi bencana terhadap harta benda, karena perlindunagn harta seorang muslim seperti perlindunagn, penjagaaan darahnya (ja inna hurmah mal al-muslim ka hurmah damuh).[15]
Raghib al-Ishfahani berpendapat bahwa sebagai istilah agama Islam, kata hijrah biasanya mengacu kepada tiga pengertian, yaitu:
(1) Meninggalkan negeri yang berpenduduk kafir menuju negeri yang berpenduduk muslim, seperti hijrah Rasullullah saw dari Mekkah ke Madinah.
(2) Meninggalkan syahwat, akhlak buruk, dan dosa-dosa menuju kebaikan yang diperintahkan oleh Allah swt.
Sedangkan makna hijrah menurut syar’i yang bersifat khusus adalah hijrahnya Rasulullah saw bersama sahabatnya dari Mekkah ke Madinah. Oleh karena itu, sebagaimana yang terdapat dalam shahih bukhari yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ra bahwa sesungguhya Rasulullah saw bersabda pada hari fathu Mekkah, “Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah, akan tetapi jihad dan niat masih tetap berlaku sampai hari kiamat”. Ibn Hajar menambahkan tentang penjelasan hadits ini bahwa hijrah yang sifatnya meninggalkan negara atau daerah yang pada prinsipnya merupakan kewajiban telah berakhir dengan ditaklukannya kota Mekkah.
Dalam Islam, hijrah dari Darul Islam (negeri Islam) memiliki tiga hukum yaitu antara wajib, boleh, dan haram.
Adapun yang pertama, bahwa hijrah menjadi wajib hukumya adalah jika seorang muslim tidak dapat melaksanakan syi’ar-syi’ar Islam, seperti shalat, puasa, zakat, adzan, haji dan sebagainya di negeri tersebut, serta mendapatkan tekanan dalam kebebasan dalam ibadah. Boleh berhijrah dari Darul Islam manakala seorang muslim menghadapi bala’ (cobaan) yang menyulitkan di negeri tersebut.
Dalam kondisi seperti ini ia boleh keluar melaksanakan hijrah menuju negeri Islam yang lain. Sedangkan yang terakhir adalah hukumya haram jika hijrahnya itu menyebabkan terabaikannya kewajiban Islam yaitu hijrah di daerah kaum kafir yang tidak memberikan kebebasan dalam melaksanakan seluruh ajaran syari’at.[17]
[1] Ibn Atsiir al-Jazri, Nihayah fi Gahrib al-Hadits wa al-atsar, (t.tp. Matba’ah ‘Usmaniyyah 1311 H),Juz IV, h. 239 da Al-Jauhari,Taj al-Lugha wa Shihah al-Anabiyyah, (Beirut: Dar “Ilm Malayin,1399 H/1979 M), Juz II, h.85 dan Muhammad Ibrahim Abd Rahman, Hijrah wa Muhajirin fi al-Qur’an wa as-sunnah, (Cairo: Muasasah Mukhtar li an-Nasyr wa al-Tawzi, 1424 H / 2003 M),cet/ I,h 19
[2] Lihat: Shahih Muslim, Kitab “Al-Birr wa Shilah wa al-Adab” No. Hadits 4641, 4642, Sunan Turmidzi kitab al-Birr wa al-Shilah Raululillah, No. 1858, Sunan Abi Daud kitab”al-Adab” No. 4264, Musnad Ahmad kitab Baqi Musnad al-Mukatsirin No. 11630,12230,12580,12857,13420 dan Malik Kitab Jami’ No.1411 (CD Room, Kutub al-Tis’ah)
[3] Muhammad Ibn Makram Ibn mandzur, Lisan al-‘Arab(Beirut :Dar al-Shadir,t.th.),h. 250
[4] Mujiddin Muhammad Ibn Ya’kub Fairuz abadi, Qamus al-Muhith. (Cairo: Maktabah Mustafa al-Bab wa awladuh, 1952, Juz II,h. 163)
[5] Lewis, et.all., The Encyclopedi of Islam, (London Luz’ab& Co, 1972), Vol III, h. 366
[6] Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, ditahqiq oleh Abd Salam Harur (Beirut : Dar al-Fikr,t.th.), JUz VI,h.34. Lihat juga Ibn Atsir al-Jazri, Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar , (Mathba’ah Ustmaniyyah, 1311 H) Juz v, h, 245. Al-jazhari, Taj Lugha wa Shihhah al-“arabiyyah, ditahqiq oleh Ustadz Ahmad gafur al-‘Atthar, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1399 H/1979 M, Juz II, h. 851)
[7] Abu al-Qasim al-Husyn Muhammad al-Ma’ruf bi al-Raghib al-Isfahani, Mufradat al- Raghib, Juz II, h .782
[8] Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat ……, h. 782
[9] Syakh Ali al-Khudaeri, Syarh al-Ushul al-Tsalatsah, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.)h. 54 dan Muhammad Ibrahim Abd Rahman, Hijrah wa al-Muhajirin fi al-Qur’an wa as-sunnah, (Cairo : Muassasah Mukhtar li an-Nasyr al-Tawzi’, 1424 H/2003 M), Cet.1, h. 21
[10] Ahzami Sami’un jazuli, Al-Hijrah fi al-Qur’an al-Karim, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd Arab Saudi, 1996 M/1417 H), h. 26
[11] Abu Bakar Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-fikr, 1972), Cet.II, Juz I, h. 464. Ibn Hajar al-‘Asqalani, fath al-Bari, (Beirut : Dar al-Makrifah, t.th.), Juz VI, h. 39 dan Syaikh Islam Ibn Timiyah, Majmu’ al-Fatawa, (Jeddah: Maktab Ta’limi Sa’udi bi al-Maghrib, t.th.), Juz XII, h. 282
[12] Yang dimaksud dengan daerah adil adalah daerah yang diperintah melalui hokum kafir tetapi toleran (tasamuh). Ini adalah pendapat kebanyakan menusia yang hidup dan berkreasi di dalamnya. Mereka mengetahui bahwa sesungguhnya hijrah tertutup.
[13] Muhammad Ibrahim Abdul Rahman, Al-Hijrah wa al-Muhajirun al-Qur’an wa al-Sunnah, (Cairo : Muhassasah Mukhtar li an-Nasyr wa al-Tawzi, 2003), Cet II, h. 24
[14] Muhammad Ibrahim abdul Rahman, Al-Hijrah ………., h. 25.
[15] Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an ……., h. 466
[16] Raghib al-Isfahani, Mufradat ………., Juz II, h. 782
[17] Muhammad Sa’in Ramadhan al-Butyi, Fiqh Sirah, (Jakarta : Rabbani Press, 2002), h. 103.
nice info
BalasHapusterimakasih infonya. sungguh menambah pengetahuan
BalasHapusSignifikansi hijrah Nabi Muhammad dan pengikutnya dari Mekkah menuju Madinah telah banyak dibahas dalam berbagai forum, terutama menjelang tanggal 1 Muharram. Peristiwa hijrah menandai keberhasilan dakwah Nabi menyebarkan agama Islam dan membangun komunitas (negara) Muslim pertama di Madinah. Tak berlebihan jika kaum Muslim menyepakati hijrah Nabi sebagai awal kalender Islam, tahun Hijriyah. Tulisan ini tidak bermaksud mengulang-ulang apa yang sudah menjadi pengetahuan, https://www.itsme.id/hijrah-dalam-perspektif-revisionis/
BalasHapus