Selasa, 21 Juni 2011

Yunus Bin Ubaid & Sikapnya Terhadap Hutang

Oleh Faqir Ilmu



Tabi'in yang agung ini, Yunus bin Ubaid Rahimahullah tidak memperbolehkan seorang pedagang yang mengambil barang lalu menunda-nunda pembayaran. Beliau menilai bahwa penundaan pembayaran dengan tujuan untuk dikembangkan lagi, padahal sudah jatuh tempo pembayaran dan ia mampu membayarnya adalah sebagai tindakan pencurian.

Beliau berkata: "Tidak ada pencuri yang lebih jahat menurutku daripada seseorang yang mendatangi seorang muslim lalu dia membeli dagangannya dan ditangguhkan pembayarannya hingga waktu tertentu, namun tatkala telah datang waktu yang dijanjikan, dia masih ke sana kemari mengembangkan barang tadi untuk meraup untung. Demi Allah tiada dirham yang didapatkan darinya melainkan sesuatu yang haram."

Yunus bin Ubaid tidak hanya melihat dari batasan-batasan dha­hir dan bentuk hukumnya saja, namun juga melihat dari sisi tujuan, niat dan tendensi yang ditunjukkan dalam perilaku. Mengapakah dia menunda pembayaran tatkala bermu'amalah dengan seorang muslim padahal dia telah dipercaya untuk menjualkan dagangan­nya, demi mendapatkan keuntungan dan mendapatkan manfaat darinya hingga waktu yang telah disepakati, lalu tatkala jatuh tempo dia tidak bersegera membayarnya padahal mampu? Lalu dia masih berambisi untuk menambah keuntungan dengan mengembangkan uang yang semestinya dia bayarkan kepada pemilik barang.

Itulah problematika perdagangan yang rata-rata terjadi di zaman kita ini pemilik barang membantu dengan cara menjual barang dan dibayar dalam tempo tertentu, namun tatkala jatuh tempo, yang mengambil barang meminta penundaan pembayaran dan meng­obral janji-janji yang tidak terwujud. Kemudian mulailah ia mena­war agar harganya diturunkan (dari yang telah disepakati sebe­lumnya), atau merayu agar pemilik barang merelakan sebagian harga dan dianggap lunas sebagian hutangnya atau membawanya kedepan pengadilan untuk diperdebatkan. Padahal sudah sekian hari keterlambatan, sudah demikian banyak keuntungan yang didapatkan pembayarannya

Manakala problem semacam itu dapat diatasi dengan mudah, seandainya masalah dapat diselesaikan dengan konsep agama sebagaimana yang dijelaskan Yunus bin Ubaid dalam kalimatnya yang demikian gamblang, lalu siapakah yang ridha jika dirinya disejajarkan dengan pencuri? Bahkan sejahat-jahat pencuri? Karena sama-sama merampas harta, sama-sama khianat dan menya­lahi janji. Siapakah yang ridha jika dirinya mendapatkan penghasilan dari yang haram karena dihasilkan dengan cara curang dan zhalim?

Sesungguhnya seorang muslim yang tulen akan segera untuk menunaikan apa yang menjadi hak saudaranya, setia dengan janji­nya, bergembira dengan kesetiaan ini dan bersemangat untuk itu. Sehingga terealisasilah rasa saling percaya dalam bermu'amalah. Perdagangan lancar dan kebaikan dirasakan oleh semua.

Atas dasar yang kuat inilah mu'amalah yang terjadi di kalangan kaum muslimin pada generasi utama, yang tidak ada penyakit menjalar di dalamnya, tidak ada pula penyebab keruh dan kerusakannya. Kerjasama yang dilakukan seorang muslim dengan hartanya dengan saudaranya yang menyumbangkan tenaganya, itulah modal itulah buah sebelum panen dan mu'amalah lain yang tegak di atas saling percaya, amanah terealisasi di dalamnya, khianat adalah urusan yang langka dan nyaris tiada.

Akan tetapi masyarakat modern lebih condong dengan konsep materialis yang kelewat batas, hingga mendorong kebanyakan manusia untuk berlaku curang dan menipu, khianat dan dusta da­lam jual beli. Berapa banyak hak-hak terabaikan, berapa banyak rumah tergusur, karena kekurangan ini, yang sebab utamanya adalah hilangnya nilai-nilai iman.
Dengarkanlah wahai para pedagang, bersungguh-sungguhlah untuk menunaikan dan setialah pada janji.

Sumber: Haakadza tahadatsas salaf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...