Menurut informasi yang diberiakan oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi di dalam kitab “al-Muljam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim” kata yang terambil dari susunan huruf-huruf ha, ja dan ra (h-j r), dengan berbagai derivasinya, terualng dalam al-Qur’an sebanyak 32 kali, dalam 15 surat, di 27 ayat.[1]
Ayat-ayat hijrah yang mengandung maksud meninggalkan (migrasi atau hijrah secara fisik) sebanyak 21 ayat, terletak dalam surat-surat sebagai berikut: al-Baqarah [2]: 218, ali Imran [3]: 195, al-Anfal [8]: 72, 74, 75, at-Taubah [9]: 20, an-Nahl [16]: 41, an-Nisa [4]: 34,89,97,100, al-Muzzammil [73]: 10, al-Furqan [25]: al-‘Ankabut [29]: 26, al-Mumtahanah [60]: 10, al-Mu’minun [23]; 67, Maryam [19]: 46, al-Muddatsir [74]: 5, al-Hasyr [59]: 8,9, al-Ahzab [33]: 6, 50,an-Nur [24]: 22. Sedangkan ayat-ayat hujrah yang berkaitan dengan makna secara non fisik terdapat di 6 ayat, diantaranya: an_nisa [4]: 34, Maryam [19]: 46, al-Mu’minun [23]: 67, al-Furqan [25]: 20, al-Muzzammil [73]: 10, al-Muddatsir [74]: 5.
Dari semua ayat-ayat yang tercantum, maka dapatlah disimpulkan bahwa kata hijrah dikategorikan menjadi dua bagian yaitu : hijrah secara fisik dan hijrah non fisik.
a. Hijrah secara fisik adalah pindah dari suatu tempat ke tampat alin yang bersifat fisik, atau disebut juga sisi hisi atau haraki. Yaitu makna hijrah yang berkaitan langsung dengan definisi hijrah yang sesungguhnya yaitu berpindah dari suatu daerah ke daerah yang lain (yaitu secara fisik) serta sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.[2]
Adapun ayat-ayat yang terdapat dalam bagian ini terdapat di dua puluh satu ayat yang menyangkut tentang hijrah serta berbagai derivasinya. Dari ayat-ayat tersebut mengandung unsur hukum serta makna yang meliputi beberapa point yaitu :
(1) Ayat yang mengandung unsur hijrah ,iman dan jihad
Ketika diamati dan ditelusuri ayat yang berkaitan hijrah dan jihad, maka terdapat beberapa ayat di dalam Al-Qur’an yang menunjukan bahwa kedua kata itu saling bergandengan dan memiliki arti yang besar dan hikmah yang agung.[3]
Dari beberapa ayat yang menyangkut masalah hijrah dan jihad diketengahkan satu ayat yang mewakili beberapa ayat yang lain, sebagaimana firman Allah swt :
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللهِ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang –orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, maka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyanyang.”(Q.S al-Baqarah [2] : 218)
Sayyid Quthb mengetengahkan maksud, tujuan hakikat dari (hijrah dan jihad) dengan mengatakan “ujuan dan himah, tidak akan ditemukan hanya dengan teori, dan tidak pula hanya dengan menegakan syi’ar agama di dalamnya. Akan tetapi, agama merupakan metode kehidupan (manhaj hayat) yang tidak dapat terlaksana dengan perbuatan tanpa disertai dengan pelaksanaan dan gerakan oleh seluruh tubuh, seperti dalam bentuk aqidah dan keyakinan yang eksistensinya tidak dapat nampak dengan tanpa diaktualisasikan dengan reaksi dan gerakan yang nyata. ”[4]
Adapun Musthafa al-Maraghi mengatakan bahwa orang-orang yang beriman dan konsistensi dalam dalam keimanannya kepada Allah, mereka hijrah bersama Rasulullah dan memperjuangkan serta menolong agama Allah, lalu berjuang dalam menghadapi kaum kafir demi kekuatan kaum Muslimin. Mereka itulah yang mengharap rahmat Allah. Mereka adalah yang begitu pantas mendapatkan rahmat dan kebaikan Allah.[5]
(2) Mengandung pahala orang–orang yang berhijrah
Banyak ayat yang berbicara tentang balasan bagi para Muhajirin yang melaksanakan hijrah dengan syarat berada dalam panji Islam serta bertujuan menyelamatkan agama Allah guna li I’lai kalimatillah. Maka para Muhajirin tersebut berhak mendapatkan pahala dan balasan dari Allah baik laki-laki maupaun wanita pahalanya sama di hadapan Allah swt, dan mereka masing-masing mendapatnya tanpa ada perbedaaan.[6] Sebagaimana disebutkan oleh an-Naisaburi dari Ummi Salamah yang berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, saya tidak mendengarkan firman Allah bagi wanita tentang berhijrah”. Atas dasar peristiwa itu, maka turunlah ayat untuk menjawab keraguan dari Ummu Salamah.[7] Allah swt berfirman :
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لآَأُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ ثَوَابًا مِّنْ عِندِ اللهِ وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
Artinya : “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."(Q.S Ali Imran[3] : 195)
Ayat ini mengisyaratkan tentang keistimewaan yang diberikan kepada orang yang melaksanakan hijrah di jalan Allah swt. Yaitu balasan yang layak di sisi-Nya. Syaikh Muhammad Musthafa al-Maraghi memberikan ringkasan tentang balasan yang berhijrah di jalan Allah swt. Sebagaimana yang ada di dalam ayat ini dengan tiga keistimewaan :
§ Mengampuni dosanya serta menghapus segala kesalahannya, sebagaimana tertera dalam ayat “laa ukaffiranna ‘anhum sayyi atihim”. Hal ini sesuai dengan permintaan mereka dengan mengatakan “Ampunilah dosa-dosa kami dan hilangkanlah segala kesalahan kami”.
§ Memberikan pahala yang besar di sisi-Nya, sebagaimana firman Allah swt : Wa laudhilannahum jannatin tajri min al-anhar. Hal ini sesuai dengan keinginan mereka dengan mengatakan “Berikanlah kepada kami atas apa yang engkau janjikan kepada kami melalui Rasul-Mu”.
§ Pahala serta pemberiannya sesuai dengan kebesaran dan kemuliannya, sesuai dengan firman Allah : “min ‘indillah”, sebagaimana dengan permintaan mereka “Ya Allah, janganlah engaku rendahkan kami pada hari kiamat”. Oleh karena itu, pahala yang didapat oaeh para Muhajirin yaitu balasan yang sempurna dari Allah swt.[8]
(3) Mengandung standar keimanan yang benar
Allah swt menjadikan hijrah sebagai standar dari beberapa standar keimanan yang benar (miqyasan min maqyis al-iman al-shadiq) merupakan tonggak masa lalu. Sedangkan bagi orang-orang yang menolak akan kebenaran hijrah, maka Allah akan menjadikannya sebagai orang yang beriman yang tidak memiliki keimanan yang benar dan kuat kepada Allah swt.[9] maka Allah swt mengisyarakan tentang hal itu sebagaimana firman-Nya :
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَآءً فَلاَ تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَآءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِن تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَلاَتَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلاَ نَصِيرًا
Artinya : “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling[330], tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,” (Q.S an-Nisa’[4]: 89)
Ayat ini memberikan isyarat terhadap orang-orang mukmin yang iman mengimani. Apabila diajak untuk hijrah mereka menyambut ajakan itu dengan keadaan ridha dan lapang dada, mereka rela mengorbankan segala apa yng mereka miliki demi kecintaan kepada Allah swt dan rasul-Nya, rela meninggalkan harta benda dan kerabat demi memperjuangkan agama Allah swt. Di sisi lain, orang yang menghiasi keimanannya denga kekufuran, di waktu pagi dia beriman dan di waktu petang mereka kafir kepada Allah swt, mereka itulah orang-orang yang tidak akan menyambut ajakan hijrah, mereka lari dari panggilan Allah swt. Mereka adalah orang-orang munafik, ucapan mereka sangat berbeda dengan apa yang mereka sembunyikan dalam hati, sehingga Allah swt mengungkapkan keadaan mereka, bahkan menjelaskan bahwa mereka menginginkan dan bercita-cita engkau kafir kepada Allah swt, sebagai bukti kebencian dan permusuhan dari mereka agar engkau hanyut dalam kesesatan.[10]
(4) Pemberlakuan hukum warisan dengan hijrah
Pada awal datangnya Islam di masa Jahiliyyah, seorang laki-laki mengadakan perjanjian dengan lelaki lain dengan mengatakan agamamu, maka hal itu merupakan kebiasaan masa jahiliyyah.
Jika meninggal dan tidak dinamakan, maka ia mengambil seperenamnya. Lalu turunlah ayat dari Allah swt.
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مِن بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُوْلَئِكَ مِنكُمْ وَأُوْلُوا اْلأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللهِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)[626] di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S al-Anfal [8]: 75 )
Setelah ayat ini turun, maka dihapuskanlah setiap transaksi perjanjian (tentang hak yang mewarisi dengan persaudaraan) yang terjadi di antara meraka pada masa Jahiliyah.[11]
b. Hijrah ditinjau dari sisi maknawi.
Hijrah yang tinjau dari non-fisik sangat jauh dengan pengertian hijrah dalam bentuk fisik (yaitu berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain) hijrah berupa sifat, perilaku, serta segala kebiasaan yang jelek. Pada hijrah dari sisi ini terdapat dalam enam ayat, yang masing-masing ayat memiliki klasifikasi tersendiri sehingga dapat menghasilkan satu hukum.
1) Hijrah meninggalkan istri yang berbuat nusyuz
Pada tema di atas mengetengahkan satu ayat dalam Al-Qur’an mengenai proses yang dilaksanakan oleh suami jika istrinya berbuat nusyuz. Dalam ayat Al-Qur’an, Allah swt berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَالاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَتَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (Q.S an-Nisa’ [4]: 34)
Ketika menuliss sebab turunya ayat ini, sebagaimana yang diutarakan oleh an-Naisaburi, beliau mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Sa’ad Ibn Rabi’ (dia adalah seorang pengembara) dan istrinya bernama Habibah Binti Sa’id Ibn Abi hurairah, keduanya dari golongan Anshar. Istrinya berbuat nusyuz (durhaka) kepadanya, maka ia menampar istrinya, lantas Habibah dan bapaknya bergegas menuju Rasulullah saw dan menceritakan kejadian tersebut. Mendengar cerita kejadian tersebut, Rasulullah saw bersabda, dia meski di-qishas, diapun bergegas untuk meng-qishas suaminya dan nabi Muhammad saw mengatakan telah datang kepada ku Jibril as dan Allah menurunkan ayat ini kepadaku .Q.S an-Nisa’[4]: 34. Kemudian Rasulullah saw berkata, kami menginginkan suatu keputusan, akan tetapi Allah lebih memiliki keputusan yang terbaik dan terangkatlah qishas.[12]
Syaikh Mahmud Syaltut telah menjelaskan secara rinci tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan nusyuz istri. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Al-Islam Aqidah wa Syari’ah beliau berpendapat bahwa Al-Qur’an telah mengajarkan bahwa wanita-wanita itu adalah yang shalehah dan taat kepada Allah dengan mengerjakan segala hak-hak suami istri, mengikuti segala perintah suaminya, meletakan suaminya pada proporsi yang benar yaitu sebagai pemimpin rumah tangga, menjaga rahasia-rahasia suami istri dan ruamh tangganya, di mana kehidupan suami istri tidak akan baik kecuali dengan menjaganya.[13]
Sifat-sifat yang seperti ini tidak membutuhkan kekuasaan suami untuk memperbaikinya, firman Allah swt :
فاصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله
Namun juga wanita-wanita yang tidak mau menjaga dan melaksanakan hak-hak suaminya. Mereka juga berupaya menentang dan melakukan nusyuz terhadap suaminya, sehingga mereka melakukan keinginannya sendiri. Maka untuk itulah mereka telah mengantarkan kehidupan keluarga kepada kehancuran dan kerusakan. Sehingga Al-Qur’an telah memperbaiki dan mengembalikan mereka pemenuhan hak-haknya.[14]
2) Hijrah dalam waktu yang lama
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنْ ءَالِهَتِي يَآإِبْرَاهِيمُ لَئِن لَّمْ تَنْتَهِ لأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
Artinya : “Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim? jika kamu tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama".(Q.S Maryam [19]: 46 )
Pada ayat ini Allah swt menceritakan jawaban yang diberikan oleh ayah Ibrahim kepada anaknya. Terhadap seruan yang diarahkan kepadanya, bapaknya berkata, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim?”. Yaitu jika kamu tidak mau menyembahnya dan tiadak menyukainya, maka janganlah kamu mencacinya, jika tidak maka aku akan menuntut balas dirimu dan mencacimu, hal ini diwujudkan dengan kata-katanya, “Maka niscaya kamu akan kurajam”. Demikianlah menurut penafsiran Ibn Abbas.[15]
Wahjurni waliyya (tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama), yakni tinggalkanlah aku untuk selama-lamanya sebelum aku melimpahkan hukuman kepadamu.[16]33 Penafsiran ini dipilih oleh Ibn Jarir. Pada saat itulah Ibrahim berkata kepada bapaknya, “semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu”. Ibrahim telah memintakan ampun kepada bapaknya dalam waktu yang lama bahkan setelah beliau mendirikan Ka’bah dengan mengatakan , “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kaum mu’min pada saat dilaksakan hisab”.
3) Hijrah meninggalkan Al-Qur’an
Adapun ayat yang pertama sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mu’minun :
مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ
Artinya : “Dengan menyombongkan diri terhadap Al Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari.” (Q.S al-Mu’minun [23]: 67)
Imam al-Qurthubi juga mengemukakan dalam tafsirnya sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh Sa’id Ibn Jubair dari Ibn Abbas bahwa mereka para kafir Quraisy mengatakan kata-kata keji kepada Nabi dan ketika itu ayat ini turun (mustakbirina bihi samiran tahjurun), maksudnya adalah lalu Allah swt mencela kaum yang mengatakan kata-kat keji yang jauh dari ketaatan kepada Allah swt, baik berupa cacian maupun ejekan.[17]34
Sedangkan Imam al-Maraghi menjelaskan bahwa tafsir ayat ini bertujuan agar mereka mendengarkan ayat-ayat Allah dibacakan. Mereka ingkar dan mereka membanggakan diri sebab mereka adalah pelayan-pelayan Baitullah. Mereka mencari jalan untuk mengotori Al-Qur’an dan mengatakan hal itu tidak diliputi oleh kebenaran dan tidak pula dalam sisi kesucian (seluruhnya datang dari Muhammad, karena itu adalah bagian dari puisi yang dibuat-buat).[18]35
Di sisi lain, Imam Syaukani mengemukakan bahwa mereka adalah orang-orang musyrik yang menggunjingkan kata-kata keji di sisi baitullah. Mereka pun meninggalkan Rasulullah (dan apa yang dibawanya) sebagaimana yang tertera dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Shaebah dan Ibn Munzir dan Ibn Abi Hatim dan Thabrani dan disahkan oleh Ibn mardawaih, “Sesungguhnya Rasulullah membacakan ayat (mustakbirina bihi samiran tahjurun), ketika itu para musyrikin hijrah kepada Rasulullah dan mengatakan kata-kata keji.”[19] Dalam jalur lain juga dikemukakan bahwa Nabi mengharamkan kata-kata keji ketika ayat ini turun.[20]
Pada ayat selanjutnya tentang hijrah meninggalkan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Furqan :
وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا
Artinya : “Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan".(Q.S al-Furqan [25]: 30)
Makna dari ayat ini bahwa, umat yang mengambil Al-Qur’an ini serta didatangkan terhadap mereka, lalu kami perintahkan untuk disampaikan kepada yang lain.
Imam al-Alusi menyebutkan bahwa ayat ini terkesan mengemukakan kesombongan terhadap apa yang mereka katakana mengenai Al-Qur’an, yaitu sesuatu yang menyesatkan dan dongeng belaka, menutupi kebenaran yang didatangkan Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an adalah kitab suci yang meliputi dan mengandung didalamnya segala unsur kemaslahatan baik hidup di dunia maupun di akhirat.[21]
Sebab dari hijrah mereka dari Al-Qur’an adalah jika mereka bertakwa dan tertarik lalu mereka tidak memiliki hati yang berfikir, lalu mereka tidak memperhatikan dantidak menelaah serta menghayati Al-Qur’an agar dapat meraih kebenaran di dalamnya dan dapat hidayah dan cahaya-Nya. Mereka memperhatikan dan tidak memperoleh aturan dalam kehidupannya. Sedangkan Al-Qur’an datang sebagai metode dan tuntunan kehidupan yang berdiri kokoh sepanjang jalan.[22] Mereka tidak mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan dan tidak pula menghayatinya. Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan kitab Allah tidak mungkin sesuatu kesesatan dating dari depan dan belakangnya serta kanan dan kirinya, sehingga yang meninggalkan Al-Qur’an, mereka itulah orang-orang kafir yang berhak mendapat azab di hari kiamat.[23]
4) Hijrah dari perbuatan orang-orang musyrik
Allah swt memerintahkan kepada Rasulullah untuk meninggalkan orang-orang musyrik serta membuat pembatas terhadap mereka disebabkan kekotoran hatinya, juga menyampaikan dan memberi contoh kepadanya perihal keteladanan yang baik dan menghiasi diri dengan kesabaran terhadap apa yang mereka lakukan terhadap kalian dari kebodohan bersama kaumnya.[24] makna ini tertulis pada kedua firman Allah swt :
وَاصْبِرْ عَلَى مَايَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلاً
Artinya : “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”(Q.S al-Muzzzammil [73]: 10)
Dan firman Allah swt :
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
Artinya : “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.”(Q.S al-Muddatsir [74]: 5)
Ayat ini memberikan kesan terhadap pentingnya kesabaran dalam menghadapi mereka atas perkataan-perkataan yang mereka lontarkan dan diperintahkan untuk meninggalkan mereka dengan perangai yang baik dan tidak menyakiti hati mereka, sebagaimana firman-Nya (wa ishbir ‘ala ma yaqulun wa ihjurhum hajran janila). Imam al-Maraghi mengomentari ayat ini bahwa dengan kesabaran hati dan meninggalkan perbuatan mereka dengan cara yang baik, meninggalkan kesalahan dan dosa mereka tanpa adanya hinaan dan cercaan atas mereka.[25] Sedangkan Ibn Salamah mengemukakan bahwa ayat ini telah dinasakh dengan ayat (al-sayf).[26] lain halnya dengan Ibn al-Jauzi yang berkomentar bahwa sesungguhya yang dihapus (mansukh) adalah rekonsiliasi atau perdamaian (muhadanah) yang terjadi, sebagaimana firman Allah (wa ihjurhum hajran jamila).
Adapun kesabaran adalah diperintahkan dalam setiap waktu dan keadaan apapun.[27] sedangkan hajrun jamil, (jauhilah mereka dengan cara yang baik) adalah meninggalkan dengan nama Allah dibuktikan melalui firman Allah swt, Q.S al-An’am [6]: 68, dan telah menasakh firman Allah (fa’A’ridh anhum) dengan firman-Nya (hatta yahudi fihaditsin gayrih) dimana nabi saw memerintahkan untuk meninggalkan para orang-orang yang bodoh (sufaha) dan membiarkan sanksi hukuman kepada tuhan mereka sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah swt ; Q.S al-Muzzammil [73]: 11.
Imam at-Thabari mengatakan bahwa makna kata ar-rijz adalah tuhan-tuhan mereka sembah, maka Allah swt memerintahkan untuk meninggalkannya dan tidak mendatangi dan mendekatinya.[28] Imam al-maraghi mengomentari dengan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bencana di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman Allah. Q.S al-A’raf [7]: 134.
Di akhir pembahasan klarifikasi ini, Ibn hajar memberikan keterangan tentang pembagian hijrah secara lahir dan batin (hissi dan ma’nawi) dengan mengatakan bahwa maksud dari hijrah yang sesungguhnya pada sisi pertama yaitu meninggalkan seluruh hal (tindakan maupun niat) yang membawa pada ammara bi as-su dan syaitan, sedangkan yang kedua adalah lari dan pergi demi mempertahnkan agama dari fitnah, seperti yang dilakukan oleh kaum Muhajirin ketika datang perintah, mereka rela untuk meninggalkan rumah dan tempat tinggal (dan kesenangan dunia) untuk hijrah demi mempertahankan (agama dan keyakinan) serta sanggup melaksanakan perintah Allah swt serta menjauhi larangan-Nya, dengan keadaan tenang dan damai. Bahkan hakikat hijrah yang sesungguhnya diraih oleh orang yang hijrah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.[29]
Kemudian beliau memperjelas lagi dengan mengemukakan bahwa kedua hijrah (hissi dan ma’nawi) saling melengkapi. Jika salah satu dari keduanya hilang, maka tidak akan memiliki arti sama sekali. Sesungguhnya hijrah yang disadari dengan meninggalkan keluarga, harta dan anak dijalan Allah swt tidak akan memiliki kesempurnaan sampai seseorang juga hijrah meninggalkan seluruh apa yang dilarang oleh Allah swt. Oleh karena itu, hijrah yang dimaksud adalah dengan diri dan ruh kepada Allah swt.[30]
[1] Muhammad fu’ad Abd al-Baqi, al-Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim (Indonesia : Maktab Dahlan, t.th), h. 900-901
[2] Muhammad IbrahimAbd Rahman, al-Hijrah wa al-Muhajirun fi al-Qur’an wa al-Sunnah, t.th, h. 42.
[3] Adapun ayat-ayat yang bergandengan antara hijrah dan jihad di antaranya: Q.S al-Baqarah [2]: 218, Q.S al-Anfal [8]: 72, Q.S at-Taubah [9]: 20, Q.S an-Nahl [16]: 41
[4] Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an, Jilid I, h. 1560.
[5] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut : Dar al-Fikr an-Nasyr wa al-Tawzi’, t.th), h. 137.
[6] Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi ……, h. 47
[7] Abu Hasan ‘Ali Ibn Ahmad al-Wahdi, Asbab an-Nuzul Qur’an, ditahqiq oleh Kamal Basyuni Saglul, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), h. 143.
[8] Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz IV, h. 167
[9] As-Syawqani, Muhammad Ibn Ali, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), juz I, h. 493.
[10] Ibn Jazi, Kitab Tashil Ulumi al-Tanzil, dithqiq oleh Muhammad Abd Mun’in al-Yanusi dan Ibrahim, (Cairo: Matba’ah al-Hasan an-Nasyr Dar al-Kutub al-Hadits, 1973), Juz I, h. 270
[11] Abu Qasim Hebatullah Ibn Salamah, al-Nasikh wa al-Mansukh Bihamis asbab an-Nuzul li an-Nasyaburi, (Beirut : alam Kutub, t.th.), h.132
[12] Al-Nasyaburi, al-Nasikh wa al-mansukh ….. , h.155
[13] Mahmud Syaltut, Al-Islam aqidah wa Syari’ah, (Cairo: Dar al-Qalam, 1966), Cet III, h. 152
[14] Mahmud Syaltut, Al-Islam aqidah …….. , h. 153
[15] Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ahwa al-Manhaj, (Beirut: t.p., 1991), Cet. I, Juz XVI, n. 107
[16] At-Thabari, Tafsir at-Tabari ……., Juz XI, h. 111
[17] Perkataan ini dikutip oleh Muhammad Ibrahim ‘Abdur Rahman, Al-Hijrah wa al-Muhajirun fi al-Qur’an, h. 73.
[18] Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi ….., h. 37.
[19] As-Syawkani, Fath Qadir, Juz III, h. 491
[20] As-Syawkani, Fath Qadir, Juz III, h. 491
[21] Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, h. 19.
[22] Sayyid Quthub,Fi Zhilal ….. , h. 2560
[23] Muhammad Ibrahim Abd Rahman, Al-Hijrah …… , h. 75
[24] Muhammad Ibrahim Abd Rahman, Al-Hijrah …… , h. 76
[25] Al-Maraghi, Juz IX, h. 114
[26] Ibn Slamah Abu Qasim Habatullah, h. 317-318
[27] Ibn al-Jazi, op.cit., Juz IV, h. 297
[28] At-Tahabari, Juz XII, h. 93
[29] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Juz I, h. 106
[30] Ibid., h. 107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...