Kamis, 14 Mei 2020

Hidayah itu Mahal Harganya


Oleh: Misno Mohamad Djahri

Memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, walaupun masih berada di bawah bayang-bayang Covid-19 namun umat Islam semakin meningkatkan amal ibadahnya. Sepuluh hari terakhir Ramadhan sebagai hari-hari yang penuh dengan kemuliaan dimaknai sangat mendalam oleh umat Islam sejak masa kenabian. Adanya malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu malam Lailatul Qadar adalah motivasi terbesar umat Islam untuk mengisi hari-hari ini dengan amal ibadah khususnya membaca Al-Qur’an, shalat taraweh, berdzikir dan amalan lainnya.
Bagaimana jika ternyata memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan ini justru semangat kita semakin melemah? Maka jawabannya adalah karena hidayah itu mahal harganya. Hidayah untuk mendapatkan keutamaan (fadhilah) lailatul qadar itu mahal, sehingga tidak semua orang bisa mendapatkannya. Hanya mereka yang bersungguh-sungguh bahkan bisa jadi sejak awal Ramadhan yang akan mendapatkan malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Hidayah itu mahal harganya, hingga sebagian orang mengatakan “Saya belum dapat hidayah”. Padahal hidayah itu bukan hanya diberikan begitu saja tanpa adanya sebab-akibat, walaupun ada juga jika Allah berkehendak maka kun fa yakun. Namun secara umum bahwa hidayah itu adalah hasil dari jerih payah manusia dalam mendapatkannya. Perlu berbagai perjuangan bahkan terkadang harus bersimbah darah dan air mata untuk mendapatkannya. Maka berusaha untuk mendapatkan hidayah adalah sebuah keniscayaan, bukan hanya tinggal diam dan menunggunnya datang.
Perjuangan untuk mendapatkan hidayah masing-masing orang berbeda, ada yang melalui bacaan, tontonan, teman atau dari media sosial. Masa lalu yang kelam juga seringkali menjadi sebab seseorang untuk kembali ke jalan yang benar. Banyak dari para pengguna narkoba yang kemudian sadar dan kembali ke jalan yang benar karena hidayah padanya. Banyak juga para artis yang kemudian memakai hijab dan menapaki jalan hidayah. Tentu saja ada tahapan yang mereka lalui dalam meraih indahnya hidayah tersebut.
Bertambahnya usia dan kematangan dalam berfikir juga menjadikan manusia merenung tentang hakikat dari kehidupan. Bisa jadi ketika muda dia memuaskan segala keinginannya, ia turuti semua hawa nafsu dunianya. Ketika usia semakin bertambah dan raga tidak lagi sekuat ketika muda maka perlahan ia sadar bahwa jalan yang benar dengan berusaha menggapai hidayah harus segera ia lakukan. Ketika usia semakin bertambah bukan lagi hawa nafsu yang dikedepankan, bukanlah kenikmatan sementara yang diinginkan tapi ketenangan dan persiapan menuju negeri keabadian itulah yang selayaknya dilakukan.
Ketika hidayah sudah menyapa, apakah kita kemudian terpedaya tanpa ada usaha untuk menjaganya? Justru di sinilah mahalnya hidayah. Menjaga dan memeliharanya bisa jadi lebih berat dari mendapatkannya. Berusaha istiqamah dan berada di jalan hidayah itulah sejatinya perjuangan yang sebenarnya. Karena menjaga itu lebih sulit dari mendapatkannya. Mahalnya hidayah teruji dengan bagaimana seseorang itu bisa menjaganya, memeliharanya dan menjadikan ianya selalu menghiasi hari-hari harinya. Maka benarlah sabda rasul yang mulia agar kita sentiasa membaca doa “Ya Muqallibal quluub tsabbit qalby ‘ala diinika, Ya Musharifal quluub sharrif qolby ‘ala tha’atika” artinya “Wahai Dzat yang membolak-balikan hati tetapkan hatiku atas agamaMu”.
Semoga di sepuluh akhir Ramadhan 1441 H, hidayah ini selalu tetap dalam diri kita, agar malam yang lebih baik dari seribu bulan bisa kita dapatkan. Jika kita merasa ia belum hadir dalam jiwa berusahalah untuk bisa menghadirkannya sebelum Ramadhan berakhir, sebelum kemuliaan ini berlalu tanpa kita mendapatkannya. Bogor, 14 Mei 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...