Rabu, 18 Januari 2023

Wasiat bagi Imam Shalat

Oleh: Misno bin Mohamad Djahri

 


Salah satu dari syariah Islam dalam shalat adalah dilaksanakan dengan berjamaah di masjid bagi laki-laki, keutamaannya sangat banyak bahkan pahalanya mencapai 27 kali lipat. Shalat berjamaah meniscayakan adanya imam yang menjadi pemimpin dalam pelaksanaannya, untuk menjadi imam ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi agar shalat berjamaah yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Sayangnya masih ada beberapa imam yang kurang memahami keadaan makmumnya, ada yang terlalu cepat dalam bacaan dan gerakannya dan sebaliknya ada juga yang sangat lama sehingga menyusahkan sebagian makmum yang shalat di belakangnya.

Seorang yang akan menjadi imam shalat harus memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam:

يَؤُمُّ القومَ أقرؤُهم لكتابِ اللهِ . فإن كانوا في القراءةِ سواءً . فأعلمُهم بالسُّنَّةِ . فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً . فأقدمُهم هجرةً . فإن كانوا في الهجرةِ سواءً ، فأقدمُهم سِلْمًا . ولا يَؤُمنَّ الرجلُ الرجلَ في سلطانِه . ولا يقعدُ في بيتِه على تَكرِمتِه إلا بإذنِه قال الأشجُّ في روايتِه ( مكان سِلمًا ) سِنًّا

“Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaan Al Qur’annya. Jika mereka semua sama dalam masalah bacaan Qur’an, maka hendaknya yang paling paham terhadap Sunnah Nabi. Jika kepahaman mereka tentang Sunnah Nabi sama, maka yang paling pertama hijrah (mengenal sunnah). Jika mereka semua sama dalam hijrah, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya”. Dalam riwayat Al Asyaj (bin Qais) disebutkan: “yang paling tua usianya” untuk menggantikan: “yang paling dahulu masuk Islam” HR. Muslim.

Hadits ini memberikan panduan dalam menjadikan seseorang sebagai imam shalat, yaitu yang paling baik bacaan al-Qur’an, paling paham sunnah Nabi, lebih awal hijrah, awal masuk Islam dan penduduk setempat yang menjadi imam rawatib. Selain itu tentu saja ada yang lainnya menyangkut sudah baligh-nya seorang imam dan memiliki akhlak yang baik, termasuk yang mampu memahami keadaan makmumnya.

Sebuah riwayat memberikan hikmah yang sangat berharga, yaitu dari Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata,

صَلَّى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ الأَنْصَارِىُّ لأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَانْصَرَفَ رَجُلٌ مِنَّا فَصَلَّى فَأُخْبِرَ مُعَاذٌ عَنْهُ فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ. فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرَهُ مَا قَالَ مُعَاذٌ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا. وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى. وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ. وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى »

“Mu’adz bin Jabal Al-Anshari pernah memimpin shalat Isya. Ia pun memperpanjang bacaannya. Lantas ada seseorang di antara kami yang sengaja keluar dari jama’ah. Ia pun shalat sendirian. Mu’adz pun dikabarkan tentang keadaan orang tersebut. Mu’adz pun menyebutnya sebagai seorang munafik. Orang itu pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan pada beliau apa yang dikatakan oleh Mu’adz padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menasehati Mu’adz, “Apakah engkau ingin membuat orang lari dari agama, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang-orang, bacalah surat Asy-Syams, Adh-Dhuha, Al-A’laa, Al-‘Alaq, atau Al-Lail.” HR. Muslim

Merujuk pada riwayat ini hendaknya seorang imam tidak menyusahkan makmum khususnya dalam bacaan yang terlalu panjang atau gerakannya yang terlalu lama. Karena hal ini akan menyusahkan makmum khususnya mereka yang sudah lanjut usia atau ada keperluan yang harus segera dilaksanakan. Gerakan yang terlalu lama juga akan menyusahkan makmum yang fisiknya sudah lemah karena sakit atau sudah tua.

Riwayat lainnya yang menguatkan adalah dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ السَّقِيْمَ وَ الضَّعِيْفَ وَ اْلكَبِيْرَ، وَ إِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطِلْ مَا شَاءَ

“Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehandaknya”. HR. Bukhari.

Tetapi bukan berarti juga membaca yang pendek atau dengan Gerakan yang terlalu cepat sehingga makmum juga akan ketinggalan dalam gerakan. Cara yang tepat adalah berlaku pertengahan, tidak terlalu panjang dalam bacaan tetapi juga tidak terlalu pendek. Demikian juga dalam hal gerakan, maka jangan terlalu lama juga jangan terlalu cepat.  Berlakulah sewajarnya sesuai dengan kemampuan dari makmum yang mengikutinya.

Hal ini sangat penting mengingat makmum memiliki banyak kekurangan, kelemahan dan mungkin ada kegiatan lainnya yang imam tidak mengetahuinya. Sebagai imam yang menjadi pemimpin dalam shalat maka memberikan yang terbaik bagi mereka dan memahami keadaan masing-masing makmum adalah yang utama. riwayat sebelumnya menjelaskan bahwa makmum ada yang sudah lanjut usia, anak-anak atau ada keperluan yang harus segera dilaksanakan. Wallahu a’alam, 18012023.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...