Minggu, 22 April 2012

I am a Doctor


Oleh : AM. Bambang Prawiro, MEI


Kalau membaca judul tulisan ini, biasanya akan muncul satu perasaan tidak suka dalam diri kita, karena seolah-olah menunjukan bentuk kesombongan dari orang yang menulis dan mengucapkan kata-kata tersebut. Benarkah demikian? Jawabannya tentu saja bisa benar dan bisa salah karena kesombongan seringkali tidak bisa terdeteksi hanya dari tampilan luar. Misalnya seseorang yang bersedekah terus ingin agar sedekahnya tersebut disebutkan menggunakan pengeras suara, apakah orang tersebut sombong dan riya? Tentu saja harus dilihat dulu motivasi dan penyebabnya. Demikian juga seseorang yang menggunakan pakaian yang bagus, apakah dia sombong? Belum tentu juga karena bisa jadi bajunya yang biasa digunakan sedang kotor atau karena ia baru beli baju baru.
Demikian juga ketika seseorang menyebutkan dirinya sebagai seorang Profesor, Doktor, Sarjana, Kyai, Haji dan berbagai gelar keduniaan lainnya. Belum tentu mereka yang selalu menempelkan di dekat namanya gelar kehormatan telah berbuat sombong.
Sombong adalah masalah hati, ia tercermin dalam tingkah laku sehari-hari, sehingga seseorang dikatakan sombong ketika hatinya menyatakan dirinya itu sombong. Artinya hanya dia sendiri dan Allah yang tahu apakah ia sombong atau tidak. Orang lain hanya bisa melihat dari tingkah laku dan tindak-tanduknya, namun itu juga belum bisa menghukumi seseorang sombong. Hanya sekadar indikasi saja bahwa seseorang itu telah berbuat sombong.
Bicara tentang kesombongan, selain urusan hati ia juga berupa tingkah laku, sehingga kesombongan itu akan terlihat ketika ia merasa tidak nyaman manakala tidak dipanggil dengan gelar kehormatannya tersebut. Namun hal ini juga tidak begitu saja terjadi, sepertinya tidak etis ketika marah jika tidak dipanggil dengan gelar kehormatannya. Indikasi paling jelas tampak dari raut muka dan komunikasi non-verbal jika seseorang tidak suka dengan hal tersebut.
Dari sini dapat dipahami bahwa judul tulisan ini akan sangat relative untuk dipahami, bisa menjadi salah satu bentuk kesombongan atau bisa jadi ia adalah bentuk doa dan cita-cita seseorang. Saya sendiri lebih memaknai judul ini sebagai sebuah doa dan motivasi, tidak ada sedikitpun rasa untuk menyombongkan diri. Percaya tidak? Kalau tidak juga tidak apa, karena ini menjadi problem pribadi dari penulisnya dan tentu saja menyangkut masalah hati jadi hanya penulisnya dan Allah yang Maha Tahu sedangkan manusia hanya bisa melihat dhahirnya.
Saya memaknai judul tulisan sebagai bentuk doa mudah-mudahan doctor tersebut bisa tercapai, sebenarnya sih bukan masalah doctor tapi selesai dalam suatu pekerjaan dalam hal ini proses pembelajaran memiliki kepuasan tersendiri. Tentu saja tanggung jawab setelah proses pendidikan tersebut lebih berat sebelum proses penyelesaiannya. Selanjutnya maka judul ini adalah sebuah cita-cita akademik yang terakhir dalam sebuah jenjang pendidikan di negeri ini. Bukankah tidak ada lagi proses pembelajaran formal setelah seseorang menyelesaikan program doctoral? Kalau berbicara tentang belajar memang tidak ada habisnya, sehingga walaupun secara formal proses pendidikan formal berakhir di program doctoral namun bagi saya justru itu adalah awal dari proses pembelajaran yang sebenarnya. Tanggung jawab sebagai seorang doctor jauh lebih berat dari sekadar bangga dengan gelar S3. Sehingga cita-cita ini yang membuat hidup semakin memiliki harapan dan cita-cita. Mengenai hal ini saya teringat dengan Ummul Muk’minin Ummu Abdillah Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma yang memiliki kunyah (julukan/gelar) Ummu Abdillah, padahal kita tahu bahwa beliau tidak memiliki anak. Demikian juga panggilan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam kepada seorang anak kecil yang beliau panggi dengan Abu Umair, padahal ia masih kecil dan belum meiliki anak. Mak saya meilihat ini adalah sebuah cita-cita dan doa dari seorang hamba kepada rabbnya.
Sebagai sebuah doa dan cita-cita maka “I am a Doctor” menjadi satu harapan yang membuat saya lebih terarah, memiliki rencana-rencana dan amemiliki harapan-harapan ke depan. Inilah salah satu yang membuat hidup saya penuh semangat. Sebagai sebuah doa mudahan-mudahan ia terkabul sehingga saya bisa menyelsaiakan program ini. Sedangkan sebagai sebuah cita-cita ia menjadi pemicu hidup saya agar terus-menerus meningkatkan kualitas diri saya sehingga bisa menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Soal kesombongan? Mungkin saja perasaaan tu ada, namun saya katakana secara jujur bahwa hingga saat ini Alhamdulillah tidak ada rasa untuk bangga dengan diri sendiri atau merasa tinggi dibandingkan yang lain. Tidak pernah terbersit dalam hati saya rasa untuk merasa sombong dengan gelar ini. Justru tanggung jawab yang besar yang selalu menghantui apakah bisa mempertanggungjawabkan keilmuan tersebut. Tentu saja doa agar terhindar dari segala bentuk kesombongan senantiasa dipanjatkan agar jangan terjebak kepada sikap sombong ini bagaimana dengan ucapan “Merasa Tidak Sombong Adalah Salah Satu bentuk Kesombongan”? maka jawabannya adalah ada dalam diri kita. Silahkan bertanya pada diri sendiri apakah kita sombong atau tidak. Wallahu a’lam.      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...