Kamis, 19 April 2012

Ta'rif Taqnin Al-Ahkam


Oleh : Imam Yazid dan Jaenudin

Secara etimologis, kata taqnin (تقنين) merupakan bentuk masdar dari qannana (قَنَّنَ), yang berarti membentuk undang-undang. Ada yang berpendapat kata ini merupakan serapan dari Bahasa Romawi, canon. Namun ada juga yang berpendapat, kata ini berasal dari Bahasa Persia. Seakar dengan taqnin adalah kata qanun (قَانُوْن) yang berarti ukuran segala sesuatu, dan juga berarti jalan atau cara (thariqah).[1] Taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum dan kaidah penetapan hukum (tasyri`) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga wajib para penegak hukum menerapkannya di tengah masyarakat.[2]
Menurut Sobhi Mahmasani kata Qanun berasal dari bahasa Yunani, masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang berati alat pengukur atau kaidah. Di Eropa, istilah kanun atau canon dipakai untuk menujuk hukum gereja yang disebut pula canonik,[3] seperti corpus iuris cononici yang disahkan oleh Paus Gregorus XIII tahun 1580, kemudian codex iuris coninci oleh Paus Benediktus XV tahun 1919. Hukum kanonik ini terdiri atas injil, fatwa-fatwa dari pemimpin gereja, keputusan dari sidang-sidang gereja dan keputusan dan perintah dari paus.[4]  Oleh intelektual muslim di masa lalu, istilah kanun digunakan untuk menyebut himpunan pengetahuan yang bersifat sains seperti buku yag ditulis oleh Ibn Sina dalam bidang kdokteran yang berjudul Qanun fi al-Tibb,  Qanun al-Mas’udi yakni himpunan pengetahuan tentang astronomi yang dihimpun untuk Sultan al-Mas’ud (sultan Ghaznawiyah) yang ditulis oleh al-Biruni.
Dalam konteks sekarang, menurut Mahmasani istilah qanun memiliki tiga arti yaitu: pertama, pengertian yang sifatnya umum yaitu kumpulan aturan hukum (codex) seperti qanun pidana Utsmani. Kedua, berarti syariat atau hukum, dan ketiga, dipakai secara khusus untuk kaidah-kaidah atau aturan yang tergolong dalam hukum muamalat umum yang mempunyai kekuatan hukum, yakni undang-undang, seperti dewan legislatif membuat qanun larangan menimbun barang.[5]
Sebagai perbandingan, dalam ilmu hukum dikenal istilah hukum dan undang-undang. Dalam ilmu hukum, hukum yaitu himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah maupun larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan pelanggaran atas peraturan tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.[6] Adapun yang disebut pengertian undang-undang secara umum diartikan peraturan yang dibuat oleh negara. Undang-undang memiliki ciri yaitu keputusan tertulis, dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi tentang aturan tingkah laku, dan mengikat secara umum.[7]
Dalam literatur hukum Islam pada saat sekarang, istilah dan bentuk dari hukum Islam mengalami perkembangan, ada yang disebut fikih yakni ijtihad ulama yang tertera dalam kitab-kitab fikih, fatwa yakni pendapat atau ketetapan ulama atau dewan ulama tentang suatu hukum, keputusan-keputusan hakim (qadha), dan qanun.[8]
Qanun dalam kontes sekarang dipandang sebagai formalisasi hukum Islam, yakni aturan syara’ yang dikodifikasi oleh pemerintah yang bersifat mengikat dan berlaku secara umum. Lahirnya Qanun dalam era moderen ini sebagai konsekwensi dari sistem hukum yang berkembang terutama oleh karena pengaruh sistem hukum Eropa. Atas hal ini, sebagian ulama menganggap formalisasi hukum Islam adalah sesuatu yang penting sebagai panduan putusan hukum para hakim dalam suatu masalah yang sama pada lembaga peradilan yang berbeda-beda. Sementara sebagian yang lain tidak sependapat dengan taqnin al-ahkam dengan argumentasi tersendiri dari mereka. Perbedaan pandangan ini kadang menghasilkan pertentangan yang sengit antara kedua kubu. Sebagai akademisi, patut untuk melakukan analisa atas argumentasi dua kutub pemikiran yang berbeda ini. Maka, dalam makalah ini akan dipaparkan tentang sekilas sejarah taqnin al-ahkam, pandangan para ulama tentang taqnin al-ahkam dan analisa pendapat-pendapat tersebut.


[1] Ibrahim Anis, Al-Mu`jam al-Wasith, juz 2, h. 763.
[2] Mushtafa aL-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-`Am, juz 1 (Beirut: Dar al-Qalam, 1418 H), h. 313.
[3] Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: al-Maarif, 1976), h. 27
[4] J. van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, (Pustaka Sarjana, t.t.), h. 143-144.
[5] Sobhi Mahmasani, op.cit., h. 28.
[6] E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar,1957), h. 9.
[7] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, (bandung: Mandar Maju,1998), h. 10.
[8] Jaih Mubarok, Hukum Islam, (Bandung: Benang Merah Press, 2006), h. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...