Kamis, 05 April 2012

Pemilihan Kepala Negara dalam Islam


Oleh : Abu Aisyah

Islam sebagai agama yang komprehensif telah mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, tidak hanya dalam masalah individual namun juga masalah kenegaraan telah diatur oleh Islam. Demikian juga dalam hal pemilihan kepala negara, walaupun Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak memberikan secara tekstual mekanisme pemilihan tersebut, namun secara implisit ia telah diatur dalam fiqh Islam. Konsep pemilihan kepala negara dalam Islam tidak spesifik disebutkan mekanismenya yang baku, namun dari praktek yang telah disepakati oleh umat Islam maka bisa ditarik satu kesimpulan bahwa mekanisme pemilihan kepala negara didasarkan kepada bimbingan wahyu dan pendapat para shahabat Nabi. Hal ini tampak dari proses pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Seluruh mekanisme yang terjadi tersebut telah memberikan gambaran kepada kita bagaimana mekanisme pemilihan seorang kepala negara dalam Islam.
Pemilihan dan penetapan Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya, dilaksanakan oleh perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata disetujui oleh semua yang hadir pada saat itu. Karena Rasulullah SAW memang tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa kematiannya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Para pemuka tersebut ternyata tidak keberatan dengan pilihan khalifah Abu Bakar tersebut.
Selanjutnya setelah Khalifh Umar wafat, posisi beliau digantikan Usman bin Affan. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak memilih dan dipilih. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah.
Masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan cukup lama sehingga menghabiskan energy khalifah. Maka muncullah gerakan oposisi yang menyebarkan fitnah mengenai khalifah dan berujung dengan pembunuhan Utsman bin Affan di rumahnya. Sementara khalifah terbunuh dan penggantinya belum ada.
Berkaitan dengan kekhalifahan Ali, menurut Rais sesungguhnya pembaitan terhadapnya berlangsung dalam situasi yang penuh gonjang-ganjing. Walaupun harus digaris bawahi bahwa beliau adalah sahabat terbaik yang masih hidup pada saat itu dan paling berhak memegang kekhalifahan, sayangnya kondisinya tidak mendukung. Sayyidina Ali telah dibaiat oleh penduduk Madina, kecuali sekelompok kalangan sahabat yang menolak. Di antara yang ikut membaiat adalah kelompok pemberontak yang menentang Ustman, dan sebagian di antara mereka ikut bertanggung jawab atas darah kematian Ustman.
Selanjutnya model pemilihan kepala negara berikutnya adalah didasarkan kepada system monarki yaitu diambil dari keturunan atau keluarga terdekatnya. System kerajaan denagan pemilihan kepala Negara dari keluarga dekat terus berlanjut hingga masa-masa kberikutnya bahkan pada beberapa wilayah Islam saat ini juga masih berlaku system keturunan tersebut.
Menurut Mehdi Muzaffari ia mengatakan “Agama Islam dalam bentuk asalnya, tidak menetapkan cara atau prosedur tertentu dalam memilih seorang khalifah, pengganti Rasulullah Saw. Kenyataan ini adalah suatu opini yang dipegang oleh sejumlah (jumhur) umat Islam, dalam madzhab sunni, ta adanya sebuah nas yang memberikan intruksi tentang cara-cara pemilihan seorang pemimpin ini, menimbulkan berbagai cara dan prosedur empat khalifah Rasyidun yang secara silih berganti memimpin masyarakat Islam selama 29 tahun  (632-661 M), jelas  nampak, bahwa setiap khalifah terpilih dengan cara-cara yang berbeda ( empat cara) :
1.      Pada pemilihan khalifah pertama (Abu Bakar Sidik) yaitu dengan cara pembaiatan dari para sahabat, lalu diikuti oleh para kaum muslimin secara langsung.
2.      Dengan cara menyampaikan amanat oleh khalifah Abu Bakar kepada Umar bin khatab ra sebagai pelanjutnya sebagai khalifah yang kedua. Tetapi setlah Abu bakar wafat, Umar menyerahkan kembali kekuasaannya kepada umat Islam lalu beliau terpilih kembali melalui syura.
3.      Membentuk suatu majelis terbatas yang terdiri dari orang-orang pilihan, lalu setelah memperhatikan aspirasi umat majelis tersebut memilih satu diantara mereka Utsman bin Affan ra sebagai khalifah ketiga.
4.      Pada pemilihan yang ke empat hampir sama dengan yang ketiga yaitu pemilihan dengan cara melalui perwakilan umat dan hasil dari penjaringan opini umum yang ada memilih Ali bin Abi Thalib ra. Sebagai Khalifah ke empat dalam pemerintahan islam.
Itulah cara pemilihan kepala negara  yang dilakukan pada masa khulafau Rasyidun, dan untuk selanjutnya dalam sejarah Islam  kita lihat untuk menentukan para pemimpin masa selanjutnya seperti pada masa bani Uamayah, Abasiyah dan seterusnya yang paling dominan seperti sistem kerajan.
Haykal menyatakan dalam Islam tidak ada sistim yang baku yang harus dipegangi dalam pemilihan kepala negara. Sistim yang diterapkan Abubakar, berbeda dengan masa Khalifah Umar, dan seterusnya. Apalagi sistem pemilihan masa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Dengan kata lain, sistim pemilihan kepala negara dalam Islam mengalami perubahan mengikuti perkembangan situasi sosiohistoris yang mengitarinya. Al-Qur’an dan Sunnah menurut Haykal tidak merinci bagaimana seharusnya sistim pemrintahan berlaku. Oleh karenya dalam memilih kepala negara, dengan menggunakan ijtihad yang tentu tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kebebasan memilih kepala negara menurut Haykal mengarah pada pemilihan dengan pemilihan yang bebas dan Musyawarah. Haykal merujuk pada mekanisme pemilihan Khalifah masa Abubakar.
Selain itu kepala negara seharusnya dipilih karena posisi dan prestasi dalam Islam, bukan karena faktor keluarga, atau kekayaan. Bahkan Haykal menyebutkan, hendaknya calon kepala negara tidak mencalonkan untuk dipilih, apalagi melakukan kampanye. Seluruh umat Islam menurutnya berhak untuk dipilih karena masing-masing mempunyai kedudukan yang sama. Selanjutnya kepala negara bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya, dan kepada rakyat yang membaiatnya.
Konsep pemilihan kepala negara ketika masa Khulafaurrasyidin, menurut Haykal berbeda dengan masa bani Abbasiyah. Pertama, konsep pemikiran Arab bahwa keberadaan Abubakar dan Umar adalah manusia biasa, yang kemudian memperoleh kekuasaan dari rakyat untuk dipilih sebagai khalifah. Ketika keduanya dilantik, pidato pelantikannnya mencerminkan jabatannya sebagai kepercayaan umat. Kedua, konsep pemikiran persia bahwa khalifah mendapatkan hak memerintah dari Allah, bukan dari manusia, maka tanggung jawab kepemimpinannya hanya kepada Allah. Pada pidato pelantikannya mereka mencerminkan klaim bahwa posisinya adalah wakil atau bayangan Tuhan dibumi. Terlihat jelas dalam pemikiran mengenai sistim pemilihan kepala negara ini, Haykal menyatakan keberpihakannya pada golongan Sunni, bahwa kepala negara hendaknya dipilih bukan karena faktor keturunan
Penulis dalam hal ini hanya melihat cara pemilihan kepala negara pasca Rasulullah yaitu pada zaman Khulafau Rasyidun, karena pada zaman berikutnya  banyak yang  memakai sistem kerajaan. Kemudian penulis  bisa mengambil kongklusi dan berpandangan bahwa kepemimpinan dalam islam merupakan hal yang sangat diperlukan, atau wajib adanya  dan bukan saja calon pemimpin yang harus memenuhi syarat bahkan calon pemilih atau masyarakat pun dalam pandangan Islam harus memiliki persyaratan adapun bentuk atau cara pemilihan tidak ada bentuk yang dibakukan, begitu juga mengenai waktu memiliki jabatan tidak ada ketentuan berapa tahun tapi hal ini diserahkan kepada umat Islam tentu selama orang itu memiliki kereteria persayaratan dia diperbolehkan untuk menjadi pemimpin,  tetapi sebenarnya dapat juga ditentukan/ dibatasi lamnya memimpin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...