Selasa, 03 April 2012

Ringkasan Fiqh Ekonomi Umar bin Khattab

Oleh : Abdurrahman

Kekuatan fiskal suatu Negara tergantung pada kekuatan devisa yang dihasilkan. Fiskal akan berhubungan dengan kebijakan pendapatan, belanja, utang dan investasi Negara. Kekuatan sebuah Negara dapat diamati dari struktur APBN. Dalam Islam struktur arus keluar-masuk devisa sudah dikenal sejak zaman Rasulullah dan tetap dipertahankan oleh Umar dengan penyempurnaan-penyempurnaan. Penyempurnaan tidak lain terjadi karena perkembangan masyarakat Islam yang luar biasa. Struktur pembiayaan fiskal dan penerimaannya pada saat itu mencakup:[1]

Penerimaan
Pengeluaran
Zakat (Harta)
Kharaj (Pajak Tanah)
Jizyah (Pajak Jiwa)
Khumus (1/5 Ghanimah)
‘Usyur (Bea Cukai)
Fai (Penguasaan tanpa perlawanan)
Ghanimah / Anfal (Rampasan)
Pinjaman Sememntara (Utang)
Penyebaran Islam
Pendidikan dan kebudayaan
Pengembangan ilmu Pengetahuan
Pengembangan infrastruktur
Pembangunan Armada perang dan keamanan
Biaya Moneter (Cetak Uang)
Gaji pejabat dan Pegawai
Pengembangan ke-Qadhi-an (Kehakiman)
Pembangunan Administrasi negara
Layanan Sosial, Hadiah dan Bonus
Baitul Mall adalah lembaga pengelolaan keuangan Negara sehingga kebijakan fiskal dengan jelas dapat kita pahami. Kebijakan fiskal Baitul Mall telah memberikan dampak positif terhadap tingkat investasi, penawaran agregat dan sekaligus berpengaruh kepada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Seiring dengan perluasan Islam sampai ke Iraq dan Mesir maka pemasukan ghanimah, fai dan lain-lain semakin meningkat. Umar kemudian menetapkan pos-pos pemasukan seperti kharaj dari Iraq. Hal ini terjadi pada masa Umar. Umar juga yang pertma kali mentransfer pemasukan zakat dari daerah ke pusat seperti yang terjadi pada Mu’az bin Jabal mengirimkan zakat dari Yaman ke Madinah dan Umar menolaknya. Walaupun pada akhirnya Umar menerimanya karena di Yaman tidak ada lagi mustahiq zakat.[2]
Beberapa laporan tentang keberhasilan kebijakan fiskal Umar dapat kita ketahui dalam sejarah:[3]
o    Saat itu jarang terjadi Angaran devisit. Kecuali hanya sekali pada tahun “Ramadah” kira-kira tahun ke-18 H. Saat itu terjadi terjadi kekeringan di sebagian Negara Islam akan tetapi dapat diatasi dengan bantuan makanan dari wilayah lain. Lama masa “Ramadah” ada yan meriwayatkan 9 bulan, 1 tahun dan ada yang mengatakan sampai 2 tahun.
o    Sistem pajak proposional (prorposional tax). Umar bin Khattab memungut pajak (Jizyah) dari penduduk Syam dan Mesir yang kaya sebesar 4 dinar dan bagi mereka yang penghidupannya menengah diambil 2 dinar sementara bagi mereka yang miskin tetapi berpenghasilan dikutip 1 dinar. Jadi pajak tidak ditentukan pun dapat memenuhi kehidupannya. Terhadap penduduk Iraq diwajibkan membayar jizyah sebesar 48 dirham bagi yang kaya, 24 dirham bagi kalangan menengah dan 12 dirham bagi kalangan miskin berpenghasilan. Lebih jelasnya dapat diperhatikan table berikut:
Klsifikasi wajib pajak
Dinar (4,25 g)
Emas (gram)
Golongan kaya
4
17,00
Golongan menengah
2
8,50
Golongan miskin berpengasilan
1
4,25
Rotasi perhitungan jizyah dalam satu tahun dimulai pada awal bulan Muharram dan ditutup ahkhir bulan Dzulhijjah, hingga selesai penarikan sebelum datangnya bulan Muharram berikutnya. Tiga bulan terakhir adalah untuk ancang dan penyempurnaan perhitungan sehingga genap satu tahun.
o     Besarnya Kharaj (pajak tanah) ditentukan berdasarkan produktifitas lahan, bukan berdasarkan zona. Produktifitas lahan diukur dari tingkat kesuburan lahan dan irigasi. Jadi sangat memungkinkan dalam satu wilayah atau areal yang berdekatan akan berbeda jumlah kharaj yang akan dikeluarkan. Kebijakan ini menyebabkan pengusaha kecil yang kurang produktif masih dapat melanjutkan usahanya. Kharaj ada dua macam, yaitu Kharaj ‘Unwah (pajak paksa) kharaj ini berasal dari lahan orang kafir yang dikuasai oleh kaum muslim secara paksa (peperangan) seperti tanah di Iraq, Syam, Mesir. Umar tidak membatalkan kharaj tanah itu meskipun pemiliknya sudah masuk Islam. Kedua, Kharaj Sulhu (pajak damai) kharaj ini diambil dari tanah dimana pemiliknya telah menyerahkan diri kepada kaum muslimin (berdasarkan perjanjian) damai. Umar telah mengutus Utsman bin Hanif dan Huzaifah bin Nukman untuk melakukan pengukuran tanah-tanah gembur (hitam) dan menetapkan besar kharaj. Setelah menetapkan kriteria tanah yang wajib pajak berdasarkan jenis tanah, jenis tnanaman, proses pengelolaan dan juga hasil akhir, kemudian Umar menetapkan kharaj setiap satu jarib gandum basah 2 dirham, setiap satu jarib kurma yang baru matang 4 dirham, 4 dirham dari satu jarib jagung basah dan 8 dirham untuk setiap satu jarib kurma kering, 6 dirham untuk setiap satu jarib tebu, anggur 10 dirham, zaitun 12 dirham.
o   Progresseve rate adalah penurunan jumlah pajak bertambahnya jumlah ternak. Hal ini akan mendorong orang untuk memperbanyak ternaknya dengan biaya yang lebih rendah.
o   Perhiungan zakat perdagangan berdasarkan besarnya keuntungan bukan atas harga jual.
o   Porsi besar untuk pembangunan infrastruktur. Umar bin Khattab mendirikan kota dengan yang besar yaitu Basrah (gerbang untuk perdagangan dengan Romawi) dan Kufah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia). Khalifah Umar juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah sehingga orang yang membawa gandum ke Mesir tidak perlu lagi memakai unta karena sekarang mereka bisa langsung menyeberang sungai Sinai ke Laut Merah.
o   Managamen yang baik. Penerimaan Baitul Mall pada masa Umar bin Khattab pernah mencapai 180 juta dirham. Umar juga membuat jaringan yang baik dengan Baitul Mall yang ada di daerah.
o   Peningkatan pendapatan dan partisifasi kerja. Umar selalu memantau pendapatan dan hak-hak pada Baitul Mall. Ia juga memantau tanah-tanah garapan agar tidak ada yang terbengkalai. Pendistribusian harta dengan cara ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya akan meningkatkan permintaan agregatif.
o   Pemungutan pajak. Kebijakan ini berhasil menciptakan stabilitas harga dan mengurang inflasi. Pada saat stagnansi, menurunnya permintaan dan penawaran agregat, pemerintah dapat mendorongnya dengan pajak Khumus. Dengan kebijakan ini harga tetap stabil dan produksi tetap berjalan.
o   Pengaturan anggaran. Pengaturan anggaran yang cermat dan proporsional menjaga keseimbangan tidak akanterjadi budget deficit malah surplus



Sumber-sumber pendapatan saat itu tidak terbatas hanya pada zakat saja akan tetapi masih banyak pendapatan lain yang dapat mengisi pundi-pundi Baitul Mall. Sisi permintaan Negara saat itu adalah:[4]
o   kharaj (pajak tanah) seperti yang telah diuraikan di atas. Yang menentukan jumlah besaran pajak adalah: karkteristik tanah (tingkat kesuburan), jenis tanaman dan irigasi.
o   Zakat terkumpul dalam beberapa bentuk, ada yang berupa uang; dinar dan dirham, biji-bijian, ternak, perak dan emas. Zakat yang dibayarkan sangat berfariasi karena sumbernya berbeda-beda. Biji-bijian dari petani, ternak dari peternak dan uang, emas dari zakat perdagangan.
o   Khumus (20% atau 1/5) dari harta rampasan perang (ghanimah).
o   Jizyah adalah pajak jiwa bagi orang yang non muslim (ahluzzimmah) sebagai pengganti zakat fitrah. Besaran kewajiban diklasifikasikan menurut kualitas dan kapasitas seseorang. Semua ini ditentukan dengan baik dan benar.
o   Usyur (bea cukai) 1/10 atas barang dagangan pedagang yang melewati wilayah muslim dan ¼ saja dari 1/10 atas orang muslim.
o   Rikaz juga dikenakan 10%. Rikaz ini kadang-kadang dikelompokkan kedalam ‘Usyur adalah barang tambang atau apa saja yang ditemukan dalam perut bumi seperti harta karun.
Efisiensi dan efektifitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluaran pemerintah. Dalam Islam hal itu dipandu oleh kaidah-kaidah syariah yaitu kemaslahatan dan penentuan skala prioritas. Berikut acuannya dapat kita perhatikan:[5]
o   Pengeluaran demi pemenuhan kebutuhan hajat masyarakat banyak.
o   Pengeluaran sebagai alat retribusi kekayaan.
o   Pengeluaran yang mengarah kepada bertambahnya permintaan-permintaan efektif.
o   Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
o   Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan inetrvensi pasar.
Dengan demikian pada Baitul Mal sebenarnya juga dapat kita perhatikan kebijakan dalam pengalokasian belanja pada masa Umar. Pos pengeluarannya diarahkan kepada empat belas bagian:[6]
o   Belanja kebutuhan operasional pemerintah (dar al-khalifah) termasuk upacara kemerdekaan.
o   Belanja Penunjang Wilayah (masalih ad-daulah) termasuk kebutuhan administrasi surat-menyurat.
o   Biaya pembangunan kota Basrah dan Kufah.
o   Pergantian mata uang (biaya moneter).
o   Belanja pegawai Negara.
o   Biaya utang tanggungan Negara.
o   Belanja umum yang berkaitan dengan infrastruktur (penggalian teluk)
o   Biaya fasilitas kehakiman.
o   Biaya santunan kepada kerabat rasul dan lain-lain.
o   Belanja jihad (militer, persenjataan dan lain-lain).
o   Biaya perluasan Masjid Haram dan kelambu Kiswah oleh Umar, lampu penerangan masjid.
o   Biaya penyimpanan harta zakat.
o   Biaya penjagaan dan penyimpanan harta umum.
o   Biaya pengurus urusan darurat (At-Tawary).
Urutan pembiayaan jika dilihat dari skala prioritas, pembiayaan yang berhubungan dengan kemasyarakatan dapat kita deskripsikan sebagai berikut: [7]

Primer
Skunder
Biaya pertahanan
Penyaluran ‘Usyur kepada mustahiq
Membayar gaji pegawai, guru, imam, qadhi, muadzin, dan pejabat Negara
Infrastruktur (gali teluk)
Biaya fasilitas kehakiman
Biaya pencetakan dirham baru (biaya moneter)
Lampu penerang Masjid
Membayar upah sukarelawan
Membayar utang Negara
Bantuan Imergensi dan musafir
Beasiswa yang belajar ke Madinah
Hiburan untuk delegasi asing, biaya perjalanan
Hadiah untuk pemerintah Negara lain (Masa rasul)
Membayar denda atas mereka yang mati terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan Islam
Pembayaran utang orang Islam yang meninggal dalam keadaan miskin
Pembayaran tunjangan untuk orang miskin
Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah
Persediaan darurat
Umar juga memberikan upah pegawai yang diambil dari kas Negara (Baitul Mal). Untuk gubernur Basrah dan para stafnya perhari diberikan dua ekor kambing yang disembelih satu pada pagi hari dan satu lagi pada sore hari. Mereka memakan dagingnya dan meminum kuahnya. Itulah gaji mereka. Meskipun penulis tidak mendapatkan penjelasan tentang tunjangan tamabahan kepada Abu musa selain 2 ekor kambing setiap hari. Penulis yakin ada tunjangan lain seperti hadiah. Sebab gubernur-gubernur yang lain seperti Ustman bin Hanif mendapatkan 5 dirham setiap hari dan hadiah-hadiah. Untuk petugas pajak ditanah Iraq adalah ¼ kambing dan 5 dirham setiap hari dan hadiah-hadiah lainnya. Abdullah bin Mas’ud 100 dirham perbulan dan ¼ kambing setiap hari.[8]
Ada dua kebijakan yang selalu dilakukan Rasul, Khulafaurrasyidin termasuk Umar bin Khattab dalam mengelola belanja pemerintah yaitu pertama, mendorong masyarakat untuk beraktifitas ekonomi baik secara sendiri-sendiri atau kelompok tanpa bantuan Baitul Mal. Kedua, tindakan atau kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan bantuan dana Baitul Mal.[9]
Inilah garis-garis besar pengeluaran pemerintah umar yang berdasarkan pada kemaslahatan umum dan skala prioritas. Semua pengeluaran yang diambil dari Baitul Mall atas perintah dan sepengetahuan Umar. Begitulah detil dan ketatnya penjagaan Umar terhadap harta kaum muslimin sehingga tidak ada hak-hak mereka yang tertunda apalagi tidak kebagian. “Harta itu bagiku seperti anak yatim” kata Umar bin Khattab dalam pidatonya saat pengangkatannya sebagai khalifah.[10]


[1] Ibid.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5]Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.

3 komentar:

  1. apakah ada bukunya ??? kira2 percetakannya apa?

    BalasHapus
  2. http://www.tokobukuikhwan.com/2015/01/buku-fikih-ekonomi-umar-bin-al-khathab.html

    BalasHapus
  3. mantap... umar sosok luar biasa...

    BalasHapus

Please Uktub Your Ro'yi Here...