Rabu, 25 April 2012

Strategi Pengelolaan Zakat



Oleh : Mashudi Umar

Dalam Islam, zakat dibagi ke dalam dua macam, yaitu zakat jiwa atau fithrah dan zakat harta benda atau mal. Zakat yang pertama merupakan perintah yang paling banyak ditunaikan orang (kemungkinan besar karena ringan dan sangat sederhana). Adapun zakat fithrah harus dibayar oleh setiap Muslim, baik kecil maupun dewasa, secara periodik pada setiap bulan Ramadhan mulai tanggal 27 Ramadhan hingga imam shalat Idul Fitri naik ke atas mimbar.
Berbeda dengan zakat jiwa, pada zakat mal agaknya tidak semua orang memiliki kesadaran penuh untuk membayarkannya (kemungkinan karena berat dan perhitungannya memang tidak gampang). Zakat mal hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah dewasa, tentunya juga berkemampuan. Sedang menyangkut waktu pembayaran zakat mal, Rasulullah mengkategorisasikannya kepada dua bagian. Pertama, zakat yang harus dibayar secara berkala, biasanya mengena kepada zakat niaga (termasuk jasa atau profesi), mata uang, dan ternak. Kedua, zakat yang harus dibayar pada saat harta yang terkena zakat itu tiba di tangan, bersifat insidental, lazimnya mengena pada hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil tambang, dan harta temuan.
Karena dari sudut filosofisnya, di samping berfungsi sebagai penyucian jiwa dan harta benda, zakat juga berfungsi, terutama zakat mal, sebagai sarana pemberdayaan ekonomi rakyat dan pencapaian keadilan sosial. Di samping sebagai pilar ekonomi Islam dipandang berpotensi untuk menunjang bagi tercapainya kesejahteraan.

Visi Sosial Zakat
Di dalam al-Qur`an ada dua perintah yang disebutkan secara bersamaan dalam 82 ayat, yaitu shalat dan zakat. Dua perintah ini, dalam banyak ayat al-Qur`an telah menunjukkan diri sebagai sentra dari seluruh jalan ke-Islam-an itu sendiri. Dalam hadits, kedua perintah itu diletakkan sebagai rukun Islam segera setelah pengakuan terhadap eksistensi ke-Esaan Tuhan (syahadat), dan dalam urutan yang mendahului puasa dan haji. Dalam analisis Mas'udi (1991:29), perintah shalat dimaksudkan untuk meneguhkan ke-Islam-an (kepasrahan) pada Tuhan yang bersifat personal. Sementara perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktualisasikan ke-Islam-an yang bersifat sosial.

Dari paradigma ini, kita dapat mengembangkannya secara lebih jauh bahwa Islam ternyata benar-benar ingin memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat merupakan salah satu sarananya. Abd Karim al-Tawati dalam Mafhum al-Zakat (1986: 27) mengatakan bahwa zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Dalam konsep zakat tampak sekali adanya pemihakan kelas sosial kepada golongan yang lemah dan terpinggir.
Secara vokal al-Qur`an menyerukan agar kekayaan tidak boleh hanya berputar terbatas di kalangan kelas kaya saja (QS, [59]:7). Islam melarang orang-orang yang menumpuk-numpuk harta (QS, [104]: 1-4). Tegasnya, Islam mengecam monopoli dan oligopoli dalam sistem ekonomi. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil menyangkut kekayaan.`
Dengan visi sosial seperti inilah kehadiran zakat dapat dipahami. Zakat datang bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, baik sedikitnya maupun banyaknya, melainkan untuk mencegah terjadinya ketimpangan, di mana sebahagian membubung ke atas dengan kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru tersungkur ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya. Bermula dari ketimpangan dalam hal ekonomi inilah, ketimpangan di bidang yang lain (politik dan budaya) kemudian mengikuti. Pada waktu kekayaan menembus batas teratas, sehingga menyebabkan kesenjangan kelas, saat itulah golongan yang memonopoli dan mengkonsentrasikan kekayaan itu menjadi musuh-musuh Islam (Kuntowijoyo, 1996:300). Al-Qur`an menyerukan agar kita menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah. (QS, [4]: 75).

Tahapan Pengelolaan Zakat
Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda (materi). Seseorang yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tetapi kalau perlu harus dengan tekanan. Zakat dapat dituntut oleh kaum miskin, atau bahkan dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh negara.
Dalam tataran ini, Nabi mengatakan bahwa zakat merupakan kewajiban yang tak dapat ditawar, atas orang yang telah memiliki kemampuan tertentu. Garaudy (1981: 32) mengatakan bahwa zakat itu bukanlah suatu karitas, tetapi suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, sesuatu yang diwajibkan, sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan dirinya, yang pada gilirannya dapat terbentuk formasi sosial yang berkeadilan.
Dengan argumen di atas, dalam pengelolaan zakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan analisis normatif, melainkan juga harus berpijak pada landasan realitas empiris. Sehingga ada beberapa strategi pengelolaan zakat yang harus dilakukan, pertama, sudah saatnya kita melakukan sensus zakat yang dapat mendeteksi para pembayar zakat (muzakki) hingga ke pelosok pedesaan.
Dan lewat sensus ini pula kita dapat mengetahui mereka yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakat).Kedua, wilayah zakat perlu dibagi-bagi atas dasar perbedaan tingkat kemakmuran, untuk distandarkan berapa margin kewajiban zakat pada masing-masing daerah. Masing-masing daerah umumnya sudah memiliki data dasarnya, berupa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), data mengenai penghasilan rata-rata daerah, tingkat ketimpangan pendapatan daerah dan sebagainya.
Untuk ini harus dilakukan perhitungan, kemudian hasil perhitungan itu dijadikan acuan oleh panitia zakat, sehingga distribusi zakat menjadi tepat sasaran, tidak sekedar membagi-bagi tanpa memperhatikan fungsional dan tidaknya zakat buat pemberdayaan ekonomi rakyat pada level bawah. (Effendi, 1999).
Ketiga, perlu untuk membentuk lembaga zakat lintas SARA yang keberadaannya dikukuhkan oleh UU zakat. Secara lebih jauh, lembaga zakat yang memiliki kewenangan formal ini, bukan saja dapat menekan pihak yang enggan membayar zakat, melainkan juga dalam hal pentasarufan (pendayagunaan)-nya pun dapat difungsikan secara nyata sebagai upaya membangun tata kehidupan sosial yang lebih adil buat semuanya.
Keempat, perlunya merelatifkan besaran tarif atau kadar zakat yang harus dikeluarkan. Apabila ada variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat pada masyarakat tertentu, maka tidak ada halangan untuk menaikkan dan begitu juga sebaliknya untuk menurunkan--tarif yang telah ditentukan Nabi Muhammad, yakni antara 2,5 % dan 10 %. Namun ini memang memerlukan kajian lebih mendalam, apakah dimasukan  ke dalam zakat atau hanya dalam bentuk infaq-shadaqah saja.
Dalam konteks ini, Madar F. Mas'udi, Emha Ainun Nadjib dan Jalaluddin Rakhmat pernah mengusulkan untuk menaikkan tarif zakat menjadi 20 % atas berbagai jenis pendapatan (rezki) yang diterima oleh kalangan profesional, seperti dokter, konsultan, dan sebagainya. Tentu saja pendapat ini ditentang oleh banyak ahli hukum Islam karena bertentangan dengan nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Walhasil, kita perlu untuk meningkatkan fungsi zakat yang selama ini lebih sebagai aktivitas personal menjadi sebuah visi dan gerakan sosial yang menyentuh realitas sosio-struktural demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Di ujungnya, bagaimana agar hasil pungutan zakat itu dapat berdampak langsung terhadap masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, yang lazimnya tidak terjangkau melalui alat kebijakan fiskal biasa serta berbagai kebijakan ekonomi yang konvensional.
Terlebih di waktu krisis multidimesi seperti sekarang, di mana angka kemiskinan-kefakiran, pengangguran akibat PHK, dan lain-lain semakin menaik tajam. Dan kasus tragedi Pasuruan 15 September yang menewaskan 21 orang tua, paling tidak menjadi analisa kita khususnya para muzakki untuk melakukan strategi penyaluran zakat yang lebih efektif, sehingga tahun-tahun yang akan datang tidak terulang kembali nyawa manusia melayang dengan sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...