Kamis, 12 April 2012

Sejarah Awal Daulah Abbasiyah

Oleh : Ahmad Zaki Mubarak

Asal-Usul dan Pembentukan Daulah Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau Abbasiyah, dinamakan demikian karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). [1]
Berbicara tentang berdiri dan terbentuknya Abbasiyah tidak bisa terlepas dari Umayyah. Statemen ini merupakan suatu hal yang tidak bisa diingkari, karrena berdiri dn terbentuknya Abbasiyah adalah setelah runtuhnya Umayyah.
Pemerintahan dinasti Abbasiyah berhasil didirikan setelah munculnya berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan al-Abbas dan para penentang lainnya terhadap kekuasaan dinasti Umayyah di Damaskus. Ketidak berdayaan menghadapi pemberontakan massal yang berkepanjangan menyebabkan tumbangnya dinasti Umayyah pada tahun 750 M / 132 H dengan dikalahkannya Khalifah Marwan II.
1. “Barisan Sakit Hati” : Identifikasi Motif-Motif Gerakan Anti Umayyah
Adapun yang faktor melatarbelakangi  munculnya pemberontakan atau gerakan-gerakan anti Umayyah ini sebetulnya  berbeda-beda.  Ada kelompok yang mengusung sentimen keagamaan, klan (kesukuan), bahkan kekecewaan-kekecewaan karena perlakuan diskriminatif dinasti Umayyah secara sosial-ekonomi.
Kelompok Syi’ah misalnya, mereka mengusung sentimen keagamaan sekaligus kesukuan bahkan nampaknya ada motif “sakit hati” dalam gerekan anti umayyah yang mereka usung. Mereka tidak pernah menyetujui pemerintahan Umayyah dan menyebut dinasti Umayyah sebagai “perebut kekuasaan” yang sah karena mereka yakin dengan pendirian mereka bahwa pewaris tunggal dan sah dari kepemimpinan Islam setelah Rasulullah saw adalah kalangan keluarga Nabi (Ahl Bait) termasuk keyakinan bahwa penerus Rasulullah adalah Ali ibn Abi Thalib. Mereka juga tidak pernah memaafkan kesalahan Umayyah terhadap Ali dan Husen. [2]
Perhatian dan ketulusan mereka terhadap keturunan Nabi, lambat laun memperoleh simpati masyarakat, walaupun kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap dinasti Umayyah pada awalnya bukan atas dasar sentimen yang sama dengan keyakinan kaum Syi’ah. Di Irak misalnya, yang mayoritas masyarakatnya menganut paham Syi’ah, penentangan pada pemerintah Umayyah, pada awalnya dipicu oleh kekecewaan karena mendapatkan diskriminasi politik, sosial, dan ekonomi, lambat laun mulai mewujud dalam sentimen keagamaan yang diusung oleh kaum Syi’ah. Selain kelompok Syi’ah, kaum suni sekalipun mereka mengecam pemerintah Umayyah, tapi dengan dalih bahwa para khalifah terlalu mementingkan kehidupan duniawi dan mengabaikan hukum al-Qur'an dan Hadis.[3]
Selain kedua kelompok diatas, ada satu kekuatan destruktif lainnya yang mulai aktif bergerak dengan mempropagandakan hak keluarga Hasyim. Mereka adalah bani Abbas, para keturunan paman Nabi al-Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Mereka mengusung sentimen kedekatan hubungan nasab dengan Nabi sebagai otoritas pemegang kekuasaan Islam.[4] Mereka dengan cerdik bergabung dengan kelompok Syi’ah untuk menentang pemerintah Umayyah dengan menekankan hak bani Hasyim.
Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan mengidentifikasi diri sebagai gerakan pembela Islam yang sejati, para keturunan Abbas segera menjadi pioner pergerakan anti Umayyah.
Selain kelompok barisan sakit hati yang dimotori oleh Bani Abbas-Syi’ah ini, ada juga kelompok sosial masyarakat yang disebut dengan Mawali (masyarakat Islam non Arab –khususnya orang Persia-- yang dianggap kelompok sosial kelas dua ) yang merasa diperlakukan diskriminatif dan dianak tirikan oleh penguasa Umayyah yang Arab sentris. Mereka secara umum diposisikan sebagai mantan budak (mawla) yang tidak pernah lepas dari kewajiban membayar pajak kepala yang biasa dikenakan kepada masyarakat non-muslim. Selain kecewa atas perlakuan diskriminatif tersebut, hal lain yang semakin menegaskan kekecewaan mereka adalah kenyataan bahwa mereka memiliki budaya yang lebih tinggi dan lebih tua, kenyataan yang bahkan diakui oleh orang Arab sendiri[5].
Kekecewaan kaum mawali ini direspon secara cerdas oleh kelompok Bani Abbas - Syi’ah yang terlebih dulu berkoalisi. Mereka seolah-olah menemukan lahan yang subur untuk menyebar benih propaganda mereka yang selanjutnya terbentuklah koalisi Syi’ah, Persia (Mawali) dan Bani Abbas yang dipimpin oleh golongan Abbasiyah.
Namun demikian, secara diam-diam bani Abbasiyah telah mempunyai niat untuk merebut kursi kekhalifahan dari Umayyah. Mereka melakukan gerakan bawah tanah dengan sikap sangat hati-hati dan perhitungan sebelum muncul dalam revolusi terbuka. Selain itu ketika mengorganisir pemberontakan anti Umayyah di Khurasan, bani Abbasiyyah dengan cerdik menjaga dan menyembunyikan kepentingan politis mereka untuk merebut kekuasaan dengan memakai kedok mengatas namakan “keturunan Nabi” (bani Hasyim).  Langkah politis ini diambil selain untuk menghindari deteksi intelijen dinasti Umayyah, juga untuk mendapatkan dukungan sepenuhnya dari kaum Syi’ah yang beranggapan bahwa gerakan anti Umayyah ini adalah untuk memenangkan keturunan Ali (Alawiyah), serta untuk mengakomodir kepentingan kelompok-kelompok lain dalam satu platform perjuangan. [6]
2. Awal Mula Revolusi Abbasiyah
Kesempatan yang paling baik yang diperoleh oleh bani Abbasiyah dalam melakukan propaganda adalah pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz. Pada masa ini, kebenaran dan keadilan lebih tinggi dari segala-galanya. Tidak ada keistimewaan keturunan Umayyah dari umat Islam lainnya. Rakyat bebas menyatakan pendapat mereka.[7]Sungguhpun tindakan Umar ini benar secara normatif, akan tetapi secara politis tindakannya ini telah melemahkan pemerintahannya sendiri.
Pada masa pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik, gerakan oposisi yang dilakukan oleh bani Abbasiyah telah memperoleh pengikut yang banyak. Muhammad ibn Ali, [8] sebagai promotor dari gerakan tersebut setelah memilih tiga daerah sebagai pusat gerakan yaitu Hamimah, Kufah dan Khurasan. Daerah Hamimah adalah posko utama yang mengontrol seluruh kegiatan. Daerah Kufah adalah sebagai tempat bertemunya kader-kader utusan dari Hamimah dan kader-kader propaganda dari Khurasan. Sedangkan Khurasan sendiri adalah sebagai tempat untuk melakukan kegiatan propaganda.[9]
Langkah pertama yang memperoleh sukses besar dalam propaganda tersebut dipelopori oleh Abu Muslim al-Khurasani.[10] Bentuk-bentuk propaganda yang dilakukannya adalah menyebarkan informasi kepada masyarakat dengan mengatakan bahwa golongan Abbasiyah termasuk golongan ahlul bait. Disamping itu dia juga menyalakan api kebencian dan kemarahan terhadap Umayyah karena selalu melakukan intimidasi terhadap golongan ahlul bait. Kemudian terhadap orang-orang mslim non arab (mawali) isu yang disebarkannya adalah persamaan derajat, sehingga dari hari-kehari api kebencian umat Islam semakim menyala dan memanas.[11]
Pada tahun 125 H Muhammad ibn Ali wafat.[12] Sebelum wafatnya ia telah meninggalkan wasiat kepada anaknya Ibrahim ibn Muhammad untuk melanjutkan perjuangannya. Namun demikian, ternyata Ibrahim tidak diberi waktu yang cukup lama untuk memimpin revolusi ini, karena tidak lama kemudian ia juga meninggal dunia, yaitu pada tahun 129 H.[13] Setelah itu pimpinan puncak dari gerakan revolusi tersebut dipegang oleh saudaranya Abdullah ibn Muhammad (Abu al-Abbas) ditangan dialah gerakan revolusi ini memperlihatkan taringnya.
Sebelum wafatnya, Ibrahim sudah memerintahkan kepada Abu Muslim untuk menggerakan revolusi fisik secara terang-terangan. Namun demikian, ia tertangkap dan dipenjarakan.
Selanjutnya, dengan keahliannya Abu Muslim mampu menghimpun kekuatan untuk mengempur Umayyah melalui revolusi fisik. Ia berhasil memanfaatkan situasi permusuhan antara orang-orang Yaman dengan orang-orang Mudar di wilayah Khurasan. Yang menjadi gubernur di Khurasan waktu itu adalah Nasr ibn Sayar, seorang keturunan Mudar. Dengan taktik devide et impera, gubernur Nasr dapat dikalahkan. Setelah itu ia juga berhasil menguasai kota Maru dan Naisabur. Sehingga seluruh kekuatan Umayyah di selatan dapat dikuasainya.[14]  Bersamaan dengan itu, Abdullah ibn Muhammad juga telah bergerak untuk menggempur ibu kota Umayyah, Damaskus. Sehingga Marwan ibn Muhammad Khalifah Umayyah yang terakhir tidak sasnggup menghadapi serbuannya. Ia melarikan diri dari Damaskus ke Mesir namun akhirnya dapat ditangkap oleh pasukan Abdullah ibn Muhammad.
Dua pasukan tersebut yaitu pasukan Abu Muslim al-Khurasani dan pasukan Abdullah ibn Muhammad bertemu di Kufah. Disana telah menunggu Abu Salamah al-Khalal,[15] ia mengundang seluruh penduduk Kufah untuk berkumpul di mesjid untuk memilih seorang khalifah. Dalam pidatonya ia mengatakan:
“Abu Muslim telah berhasil membela agama Islam dan menghancurkan Umayyah yang penuh dosa. Oleh karena itu kita harus memilih seorang  imam atau khalifah yang akan memimpin umat Islam. Tidak ada yang lebih utama dalam hal kesalehan, kemampuan dalam segala kebajikan yang diperlukan untuk kedudukan tersebut selain dari Abdullah ibn Muhammad”.
Dialah yang diusulkan kepada umat Islam supaya dipilih menjadi khalifah. Mendengar penjelasan tersebut seluruh orang yang hadir di mesjid Kufah pada waktu itu mengatakan setuju dengan mengumandangkan takbir. Sejak itu resmilah Abdullah ibn Muhammad (Abu Abbas as-Saffah) menjadi khalifah.[16]
Peristiwa ini terjadi pada hari kamis tanggal 30 Oktober 749 M,[17] dan merupakan hal yang sangat penting sekali artinya karena seseorang tidak akan sampai ketampuk Pemerintahan sebelum dilakukan pembaiatan terhadapnya. Pembai’atan tersebut adalah semacam penobatan yang dilakukan oleh rakyat, dan merupakan satu-satunya pegangan yang pasti bagi seseorang untuk menaiki tahta kekhalifahannya.[18]
Abdullah ibn Muhammad dalam pidato pertamanya setelah dibaiat, mengatakan : “dan sesungguhnya aku berharap kalian tidak akan lagi didatangi oleh kezaliman pada saat kebaikan telah datang kepada kalian, tidak pula kehancuran pada saat perbaikan telah kalian dapatkan”. Setelah itu berdiri pula pamannya, Daud ibn Ali dan menegaskan kepada orang banyak : “demi Allah gerakan yang telah kami lakukan sama sekali tujuannya bukanlah untuk menumpuk harta, membangun istana atau yang lainnya, akan tetapi sesungguhnya kami telah bertindak demi memprotes perampasan hak kami, dan demi membela putra-putra paman kami (Ali ibn Abi Thalib), juga dikarenakan buruknya perlakuan Umayyah terhadap kalian, baik penghinaan mereka terhadap kalian maupun monopoli mereka terhadap harta yang menjadi hak kalian. Maka dengan ini kami berjanji kepada kalian demi kesetiaan kami kepada Allah dan Rasulnya, dan demi kehormatan Abbas untuk memimpin kalian semua sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah, melaksanakan kitab Allah, dan berjalan baik dikalangan umum maupun khusus, dengan teladan Rasulullah saw”.[19]
Sejak saat itulah Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu al-Abbas as-Saffah. Daulah ini berlangsung kurang lebih sampai tahun 1258 M (sekitar 5 abad). Masa yang panjang itu dilaluinya dengan pola pemerintahan dan kebijakan politik yang berubah-ubah sesuai perubahan iklim politik, sosial dan budaya penguasa. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:[20]
  1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
  2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
  3. Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
  4. Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
  5. Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

3. Faktor-Faktor Keberhasilan Revolusi Abbasiyah
            keberhasilan menumbangkan rezim Umayyah tersebut, tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor yaitu, :
  1. Gencarnya propaganda yang dilakukan oleh bani Abbas kepada penduduk yang merasa kecewa dengan kepemerintahan rezim Umayyah.
  2. Kecerdikan para pemimpin revolusi untuk mencari dukungan dari masyarakat yang termasuk barisan “sakit hati” yang disebabkan  perlakuan rezim Umayyah yang diskriminatif dengan mengusung materi-materi propaganda yang sensitif yang menimbulkan kebencian terhadap rezim Umayyah sehingga memudahkan mobilisasi massa.
  3. Mempunyai strategi politik yang cantik dalam mengemas kepentingan golongan (bani Abbas) menjadi common platform perjuangan yang disepakati bersama guna melawan rezim Umayyah.
  4. Kepemerintahan Umayyah yang “zalim” dan korup ikut menyumbang naiknya saham kebencian masyarakat.
  5. Konflik internal yang dialami oleh rezim Umayyah serta kebijakan-kebijakannya turut memperlemah kekuasaan mereka sendiri.[21]


[1] Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Jld. V (Beirut: Dar al-Fikr, 1933), hlm. 39-40; lihat juga Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Tarikh al-Thabari Juz. VIII (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), hlm. 8-9.
[2] Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 351-352.
[3] Ibid.
[4] Namun selain itu nampaknya ada sentimen kesukuan yang tersembuni dibalik argumen mereka yang tidak bisa dinafikan, yaitu faktor persaingan supremasi kesukuan atau kabilah antara bani Hasyim dan Bani Umayyah yang memang bani Hasyim pada masa dinasti Umayyah berada dipihak yang terpinggirkan. Dalam kultur Arab membela kepentingan kabilah merupakan kewajiban untuk menjaga kehormatan atau supremasi, bahkan kalau perlu dengan nyawa sekalipun. Lihat Ibn Khaldun, Muqadimah, terj. Ahmadi Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986) hlm. 53.
[5] Philip K. Hitti, History…. , hlm. 353
[6] John L. Esposito (ed.), Islam : Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial, terj. M. Khoirul Anam (Depok: Inisiasi Press, 2004), hlm. 41
[7] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I  (Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 1994), h. 4
[8] Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Ia dikenal sebagai seorang pemuda yang tajam akal pikirannya, bijaksana dan bercita-cita tinggi. Dia banyak belajar dari pengalaman kaum Syi’ah yang selalu gagal dalam setiap pemberontakannya. Hal ini yang membuatnya sangat berhati-hati sekali dalam melakukan gerakan revolusi, lihat A. Sya’labi, Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), hlm. 10.
[9] Ibid.
[10] Abu Muslim al-Khurasani adalah seorang ahli strategi terbesar dalam gerakan bawah tanah dan militer pada masa selanjutnya. Ditangan dialah pecah revolusi terbesar dalm sejarah Islam yang berakibat dia digelari Great Revolution on Islam. Lihat Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah I (Jakarta: Bulan Bintang 1988), hlm. 13-14.
[11] JJ. Saunders, a History of Medieval Islam (London: Routledge and Kegan Paul, 1980), hlm. 101.
[12] A. Sya’labi, Op.Cit., hlm. 14.
[13] Joesoef Sou’yb, Op.Cit, h. 17.
[14] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I  (Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 45.
[15] Abu Salamah al-Khalal adalah seorang yang bijak dibidang politik dan pemerintahan, seorang yang kaya, cakap dalam bertindak terhadap segala problem yang dihadapi oleh gerakan Abbasiyah. Di kufah ia ditunjuk sebagai tali penghubung antara al-Khurasan dan Hamimah, lihat A. Sya’labi, Op.Cit, hlm. 27.
[16] Syed Amir Ali, Short History of The Saracend (NewDelhi: Kitab Bhayan, 1981), hlm. 208.
[17] Philip. K. Hitti, History…, hlm. 355; lihat juga W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis (Jogjakarta, Tiara Wacana, 1990), h. 31.
[18] Philips K. Hitti, Op.Cit, h. 14.
[19] Abu A’la al-Mawdudi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1992), cet. IV, hlm. 248-249.
[20] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 49
[21] Beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebab kemunduran Dinasti Umayyah antara lain Pertama, karena kebijakan pemerintah untuk melakukan ekspansi Islam ke berbagai wilayah baru sangat menyita konsentrasi dan energi. Kedua,  lambatnya pemerintah dalam merespon perubahan sosial politik yang bergeser kearah kosmopolitanisme, dimana pada pasca tahun 700 H jumlah kaum mawali melebihi jumlah orang muslim Arab yang tentunya membutuhkan suatu perubahan kebijakan sosial politik yang signifikan. Ketiga, Konflik Internal dalam keluarga Umayyah dan Keempat, gaya hidup hedonistik anak-anak khalifah dan pejabat membuat mereka tidak siap dan tidak mampu memikul beban negara yang demikian berat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...