Minggu, 08 April 2012

Ishtishlah dalam Hukum Islam


Oleh: Imam Yazid


Hukum Islam berisi perintah dan larangan Allah Swt yang menuntut kepada setiap muslim mukallaf untuk menaatinya.[1] Allah yang telah menciptakan alam semesta tidak hanya membuat aturan pada makhluk manusia saja melainkan Ia membuat aturan untuk seluruh makhlukNya berdasarkan kekuasaan dan kehendak-Nya Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Oleh karena itu, setiap aturan Allah adalah dalam rangka menjaga keteraturan semesta, termasuk manusia di dalamnya.
Ulama sepakat akan adanya kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang “apakah karena untuk mewujudkan mashlahah itu Allah menetapkan hukum syara’?.” Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah menetapkan hukum bukan karena terdorong untuk mendatangkan kemaslahatan tetapi semata-mata karena iradat dan qudrat-Nya. Tidak suatu pun yang mendesak, mendorong atau memaksa Allah menetapkan hukum. Ia berbuat menurut kehendak-Nya. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tujuan Allah menetapkan hukum atas hamba-Nya adalah untuk mendatangkan kemaslahatan kepada hamba-Nya. Karena kasih-sayangNya maka Ia menginginkan hamba-Nya selalu berada dalam kemaslahatan. Untuk maksud itulah Allah menetapkan hukum menurut sebagian ulama ini.[2]
Setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka biasanya terdapat hukum syara’ dalam bentuk suruhan untuk perbuatan itu. Sebaliknya, setiap perbuatan yang dalam pandangan manusia mengandung kerusakan, maka biasanya ada juga hukum syara’ dalam bentuk pelarangannya. Setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal manusia, dan akal manusia selalu sejalan dengan hukum syara’. Dalam Islam, suatu perbuatan harus mempunyai guna dalam hidup atau mempunyai kemaslahatan bagi dirinya atau masyarakat. Sebab hal itulah yang melatar belakangi mengapa syari’ah Islam itu ada, yaitu menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemadharatan.
Dengan demikian, seluruh perintah Allah mengandung manfaat untuk dirinya baik secara langsung atau tidak. Umpamanya Allah memerintahkan zakat yang diyakini mengandung banyak manfaat. Begitu pula dengan seluruh larangan Allah mengandung manfaat untuk menjaga manusia dalam kemaslahatan. Misalnya larangan zina yang bisa menjaga kemuliaan manusia dan keturunannya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa mashlahah itu diperhitungkan oleh mujtahid yang berijtihad menentukan hukum suatu masalah yang tidak ditemukan hukumnya secara tekstual dalam Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Qiyas, maupun Ijma’. Demi penyelesaian masalah ini, metode istishlah dijadikan solusi bagi mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum permasalahan-permasalahan baru tersebut.


[1] Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, cet. xii (Kairo: Dar al-Qalam, 1978), h. 100.
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, cet. v (Jakarta: Kencana, 2009), h. 344.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...