Selasa, 10 April 2012

Kehujjahan Syar`u Man Qablana


Oleh : Imam Yazid, MA


Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad. Kaidah Syar`u Man Qablana ini dimasukkan Al-Ghazali ke dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para ulama Ushul.[1]
Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk yang ketiga tersebut di atas tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum dan menasakh syariat sebelumnya.
2.      Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Dari sini muncul kaidah
شرع من قبلنا شرع لنا
Alasan yang mereka kemukakan adalah beberapa petunjuk dari ayat Alquran yang diantaranya:
a.      Surat al-Syura: 13
tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r& tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§xÿtGs? ÏmŠÏù 4
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan jangan kamu berpecah belah tentangnya”

b.      Surat al-Nahl: 123
§NèO !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÅ2ÎŽô³ßJø9$# ÇÊËÌÈ
Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus.

Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah memberlakukan hukum qishash yang seimbang sebagaimana tersebut dalam surat Al-Maidah: 45[2] bagi umat Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi. Berdasarkan pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir dzimmi dikenai qishash sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang Islam. Sedangkan kalangan ulama Syafi’iyah yang tidak memberlakukan syariat umat Yahudi itu untuk umat Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada keseimbangan dalam pelaksanaan qishash antara mushlim dan non-muslim sebagaimana yang diberlakukan terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh kafir dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash. Tetapi bila kafir dzimmi yang membunuh orang Islam, maka diberlakukan qishash.
Sebenarnya perbedaan pendapat dalam soal qishash itu tidak semata disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam hal pemberlakuan syariat sebelum kita tersebut, tetapi ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya. Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang berpendapat bahwa syariat sebelum kita itu dapat menjadi syariat bagi kita adalah bukan karena ia adalah syariat sebelum kita tetapi karena ia terdapat dalam Alquran dan Sunah Nabi yang harus dijadikan pedoman. Demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam tidak berdiri sendiri.
Nabi Muhammad Saw. sampai usia 40 tahun belum menerima risalah dari Allah Swt. untuk diberlakukan bagi umatnya. Selama masa menjelang menerima risalah itu, apakah beliau beramal mengikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini ulama ushul berbeda pendapat, yaitu:
1.      sebagian ulama, termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengikuti syariat manapun dari syariat nabi-nabi sebelumnya ketika beliau belum menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya Nabi Muhammad beramal dengan salah satu syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya tentu akan ada penukilan dari beliau dan akan dikenal luas (populer) tentang beramalnya dengan syariat itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan bergabung dan berbaur dengan sesama umat yang menjalankan syariat tersebut.
Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar Bakry yang mengutip para Jumhur Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika Nabi Saw. terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkannya.[3]
2.      sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti salah satu syariat yang dibawa oleh Nabi dan Rasul sebelumnya menjelang beliau menerima risalah. Alasannya ialah bahwa Muhammad sebelum menerima risalah telah thawaf di Baitullah, dan biasa makan daging kurban. Hal ini bukanlah suatu amalan yang dapat ditetapkan dengan akal. Dengan demikian mesti ada petunjuk wahyu yang diikuti beliau, yaitu syariat dari Nabi dan Rasul terdahulu.
Di kalangan ulama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti suatu syariat sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syariat Nabi yang diikutinya itu:[4]
1)      ada yang menyatakan beliau mengikuti syariat Nabi Nuh dengan alasan bahwa Nuh adalah Nabi yang paling awal disebut membawa syariat, sebagai tersebut dalam surat al-Syura: 13
tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î)
Disyariatkan kepadamu dari agama apa yang diwasiatkan dengannya kepada Nuh dan Kami wahyukan kepadamu

2)      ada yang mengatakan bahwa Muhammad mengikuti syariat Nabi Ibrahim, karena Nabi Ibrahim adalah yang mengasaskan agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran: 67
$tB tb%x. ãNŠÏdºtö/Î) $wƒÏŠqåku Ÿwur $|ÏR#uŽóÇnS `Å3»s9ur šc%x. $ZÿÏZym $VJÎ=ó¡B
Ibrahim itu bukan beragama Yahudi dan bukan pulaberagama Nasrani, tetapi ia adalah orang yang lurus lagi muslim.

3)      Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syariat Nabi Musa, karena Nabi Musa adalah yang pertama disebut sebagai pembawa kitab.
3.      Pendapat ulama yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan sikap tentang apakah Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya atau tidak, meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syariat lama tersebut. Pendapat ini adalah yang terpilih menurut Al-Amidi dan Qadhi Abdul Jabbar dan ulama lain yang sependapat.

Pembahasan ulama ushul berikutnya berkembang kepada kemungkinan Nabi Muhammad mengikuti syariat sebelumnya sesudah beliau menerima risalah. Dalam hal ini timbul beberapa pendapat:
1.      Abu Hanifah, Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat sebelumnya yang sah yang diterimanya melalui wahyu, dan tidak melalui kitab suci para nabi dan rasul terdahulu yang sudah diperbarui Allah atau diubah oleh para pendetanya, selama syariat tersebut belum dinasakh.
Mereka mengajukan argumen dengan beberapa ayat Alquran dan Hadis yang diantaranya adalah
1)      Surat al-Nahl: 123
§NèO !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) Èbr& ôìÎ7¨?$# s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym (
Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif

2)      Surat Al-Maidah: 44
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöq­G9$# $pkŽÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 šcqŠÎ;¨Y9$#
Kami telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang para nabi berhukum berhukum dengannya.

2.      Ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi setelah menerima risalah (wahyu) tidak pernah mengikuti syariat sebelumnya. Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a.      Dalam dialog yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal tentang cara Mu’az menyelesaikan perkara sewaktu tidak menemukan jawabannya dalam Alquran dan Sunah, Mu’az mengatakan bahwa ia akan menggunakan ijtihad dengan akal pikirannya (ra’yu). Dia tidak menyinggung untuk mengambil ketentuan dari syariat sebelumnya. Jawaban Mu’az itu mendapat pujian (persetujuan) Nabi.
b.      Kalau Nabi dan umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah, tentu mempelajari syariat sebelumnya itu menjadi wajib kifayah dan Nabi sendiri wajib merujuknya, dan Nabi sendiri tidak akan berhenti memberikan jawaban terhadap suatu masalah saat tidak (belum) menerima wahyu. Kenyataannya menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah berpedoman pada syariat sebelumnya.
c.       Ijma’ ulama menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu menasakh syariat sebelumnya. Seandainya Nabi pernah mengikuti syariat sebelumnya, maka tentu syariat Islam akan memberikan pengakuan terhadap syariat-syariat sebelumnya, dan tidak akan menasakhnya.


[1] Keempat kaidah itu adalah Syar`u Man Qablana, Qaul al-Shahabi, Istihsan, Istishlah. Lihat Al-Ghazali, Al-Mustashfa.
[2] QS. Al-Maidah: 45
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ   
[3] Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 239.
[4] Al-Ghazali, Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...