Oleh Ummu Reza
A. PENDAHULUAN
Persepsi masyarakat terhadap mu’amalah dalam perspektif ajaran Islam dan implentasinya hingga hari ini masih sangat berbeda. Sebagian besar umat masih beranggapan bahwa Islam identik dengan ibadah, sehingga aspek mu’amalah terabaikan. Demikian halnya dengan ekonomi, khususnya dalam dunia perdagangan. Ajaran Islam dalam masalah perdagangan dirasakan menghambat atau mengekang dalam aktifitas perdagangan, mengambil keuntungan dan sebagainya. Persepsi seperti inilah yang menimbulkan sikap tidak kompromistis terhadap nilai-nlai Islam dalam aktifitas perdagangan. Bila kita perhatikan sekarang ini, banyak dijumpai praktek-praktek mu'amalah yang menggunakan tipu daya atau rekayasa. Baik yang telah jelas keharamannya berdasarkan dalil-dalil dari nash, maupun dari masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi.
Fokus utama aktifitas berdagang adalah mencari keuntungan dengan membeli lebih murah dan menjual dengan harga lebih mahal. Agama Islam menegaskan, menghalalkan berdagang dan mengharamkan riba. Allohu Subhanallohu Wa Ta’ala berfirman:
"Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya" (QS Al-Baqarah: 275)
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Mencari untung dan perdagangan dalam konsep Islam tidak terbatas pada keuntungan materi saja, tetapi juga keuntungan yang bersifat non materi serta keuntungan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Dalam berbagai buku fikih Islam, secara garis besar diberikan tuntunan berdagang yang sesuai dengan tuntunan agama. Intinya meliputi, pertama, penjual dan pembeli, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal sehat, secara sukarela, dan bukan pemboros. Kedua, uang dan benda yang dibeli suci dari najis, ada manfaatnya, bukan yang tabzir, barangnya dapat diserahkan, barangnya jelas sehingga tidak terjadi penipuan. Barangnya adalah kepunyaan pemiliknya atau oleh orang yang diberi kuasa pemiliknya (bukan curian atau yang bukan miliknya), dan adanya ijab kabul.
Di samping itu, ada jual beli yang dilarang antara lain menjual barang dengan harga yang jauh lebih tinggi dan harga umum, menawar barang yang sudah ditawar orang lain, menghambat orang dari desa yang akan menjual barangnya di pasar (orang dan desa yang kemungkinan tidak tahu harga pasar dan barang yang akan dijual) sehingga barangnya dijual terlalu murah, membeli barang untuk ditimbun atau spekulasi, jual beli barang untuk maksiat, jual beli yang bersifat mengecoh seperti mengurangi timbangan dan menjual barang yang sudah kadaluwarsa.
Islam memberikan tuntunan lengkap untuk menghindari transaksi perdagangan yang penuh tipu muslihat akibat keserakahan manusia, persaingan yang makin ketat, takut mengalami kerugian, dan sebagainya. [1])
B. BENTUK-BENTUK PENYIMPANGAN DAN PELANGGARAN DALAM PERDAGANGAN
Tak dapat dipungkiri, bahwa saat ini kedudukan konsumen sangat lemah, antara lain disebabkan oleh karena tingkat kesadaran dan tingkat pendidikan konsumen yang masih rendah. Hal ini juga diperparah oleh adanya etos-etos bisnis yang tidak benar, seperti bisnis harus bertujuan untuk memperoleh keuntungan semata-mata, bisnis tidak memiliki nurani, dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk penyimpangan dan pelanggaran dalam perdagangan sering kita jumpai, bahkan hampir setiap hari. Bila kita masuk ke dalam minimarket atau supermarket sering terpampang tulisan “memegang berarti membeli”, “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi”, bahkan ada pemeo di masyarakat “menawar berarti membeli” .
Para ulama, seperti Ibnul Qayyim, atau sebagian ulama lainnya telah memberikan contoh mengenai mu'amalah yang menggunakan praktek hilah atau tipu daya ini. Salah satu contoh amalan yang berhubungan erat dengan masalah hilah ini, sebagai usaha merubah ketentuan syar'i yang telah ditetapkan syari'at Islam adalah seorang Penjual yang ingin berlepas diri dari barang yang cacat dan ia takut nantinya pembeli akan mengembalikannya. Maka ia pun memberikan syarat, barang yang telah dibeli tidak boleh dikembalikan lagi bagaimanapun keadaannya. Alasannya, karena barang tersebut sudah keluar dari toko dan praktek semacam ini banyak dilakukan di masyarakat sekarang ini. [2])
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslimin selalu terikat dengan persyaratan (perjanjian) sesama mereka, terkecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal." [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi 1353. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2353. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni III:27. Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi VI:79. Sanadnya lemah sekali karena adanya Katsier bin Abdullah, dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Karena hadits ini sesuai dengan dasar-dasar ilmu hadits dan dinyatakan hasan oleh al-Bukhari. Dinukil oleh at-Tirmidzi dari perawi yang sama]
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: "Setiap persyaratan yang tidak ada dalam Kitabullah, maka itu bathil." [3])
C. HAK-HAK KONSUMEN YANG TERABAIKAN
Sering kita jumpai beberapa pedagang yang sengaja memajang papan pengumuman di tokonya, yang bertuliskan barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukarkan kembali. Bukankah perilaku pedagang seperti ini sudah menghilangkan hak khiyar bagi pembeli? Sedangkan Hikmah disyari’atkannya khiyar sendiri adalah memberikan kebebasan memilih kepada penjual dan pembeli demi menjaga kemaslahatan mereka berdua dan memberi kesempatan kepada mereka untuk menindaklanjuti urusan mereka apakah tetap dilakukan atau dibatalkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya kedengkian dan permusuhan diantara manusia.
Khiyar sendiri mempunyai bentuk yang bermacam-macam:
1. Khiyar syarat, penjual dan pembeli mempersyaratkan penundaan yang tidak lebih dari 3 hari. Dan ketika waktu yang ditentukan sudah habis, sedang transaksi itu tidak dibatalkan, maka transaksi itu pun terwujud.
Rasululloh shallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda “Jika kamu bertransaksi (jual beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar selama tiga hari. “ (HR. Muslim)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual beli yang mengandung khiyar, tetapi ditunggu sampai gugurnya khiyar.
Menurut ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual, sampai gugurnya khiyar, sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.
Ulama Syaafi’iyah berpendapat, jika khiyar syarat berasal dari pembeli, barang menjadi milik pembeli. Sebaliknya, jika khiyar berasal dari penjual, barang menjadi hak penjual.
Menurut ulama Hanabilah, dari siapa pun khiyar berasal, barang tersebut menjadi milik pembeli. [4])
2. Khiyar Majelis, ketika penjual dan pembeli telah melaksanakan jual beli dengan ijab qabul, mereka berhak untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya, selama mereka masih duduk di tempat transaksi. Jika mereka berpisah dari majelis transaksi ini, maka gugurlah khiyar ini.
Dari Amr bin syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya radhiyallohu ‘anhuma, bahwasanya Rasululloh shallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Penjual dan pembeli berhak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali jual beli telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkanberpisah karena takut jual beli dibatalkan.” (HR. Imam lima kecuali Ibnu majah). Diriwayatkan juga oleh Daruquthni, Ibnu Huzaimah dan Ibnu jarud. Dan Dalam Riwayat lain disebutkan: “sehingga keduanya berpisah dari tempatnya”. [5])
3. Khiyar rukyah, pembeli membeli barang yang belum pernah dilihatnya, transaksi itu sendiri sah, dan dia berhak mendapatkan khiyar ketika melihat barang itu. Khiyar rukyah ini akan gugur jika terjadi perubahan pada komoditas yang tidak mungkin dihilangkan. seperti orang membeli baju gamis, tapi kemudian dipotong dan diubah menjadi kemeja. Atau pembeli menyerahkan pembayaran setelah melihat barang tersebut. [6])
4. Khiyar ‘aib atau cacat, pembeli melihat cacat pada barang yang dibelinya, yang tidak terlihat ketika membeli.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ‘aib pada khiyar adalah segala sesuatu yang menunjukkan adanaya kekurangan dari aslinya, misalnya berkurang nilainya menurut adat, baik berkurang sedikit atau banyak.
Menurut ulama Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu.
Syarat Tetapnya Khiyar ‘aib
1. Adanya ‘aib setelah akad atau sebelumnya diserahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada.
2. Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang.
3. Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat.
Waktu Khiyar ‘aib
1. Khiyar ‘aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama.
2. Membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau ditangguhkan.
Perkara yang Menghalangi untuk Mengembalikan Barang
1. Ridha setelah mengetahui adanya cacat
2. Menggugurkan khiyar, baik secara jelas, atau adanya petunjuk
3. Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya. [7])
Tanya:”Bagaimanakah pandangan hukum syar’I mengenai tulisan yang menyebutkan Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau di tukar yang ditulis oleh beberapa pemilik toko pada faktur/kwitansi yang mereka keluarkan. Apakah menurut syari’at syarat seperti ini dibolehkan? Dan bagaimana nasehat anda mengenai masalah ini?
Jawab: Menjual barang dengan syarat bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan dan ditukar adalah tidak boleh, karena syarat tersebut tidak dibenarkan. Sebab, didalamnya mengandung mudhorot (=ketidak maslahatan). Selain itu, karena tujuan penjual melalu syarat tersebut agar pembeli harus tetap membeli barang tersebut meskipun barang tersebut cacat. Persyaratannya ini tidak melepaskannya dari cacat yang terdapat pada barang. Sebab, jika barang itu cacat, maka dia boleh mengembalikannya dan menukar dengan barang yang tidak cacat, atau pembeli boleh mengambil ganti rugi dari cacat tersebut. Selain itu, karena pembayaran penuh itu harus diimbangi dengan barang yang bagus dan tidak cacat. Tetapi dalam hal ini, penjual yang mengambil dengan harga penuh dengan adanya cacat pada barang merupakan tindakan yang tidak benar. Di sisi lain, syari’at telah memberlakukan syarat-syarat yang sudah biasa berlaku sama seperti syarat berupa ucapan. Hal ini dimaksudkan agar pembeli selamat dari cacat, sehingga dia dapat mengembalikan barang yang sudah dibeli jika terdapat cacat padanya, karena persyaratan barang dagangan bebas dari cacat menurut hukum kebiasaan yang berlaku, berkedudukan sama seperti persyaratan yang diucapkan.
Wabillahi Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa meleimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya.
Al-Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyah Wal Ifta’, Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, Anggota: Syaikh Abdullah bin Ghudayan. Anggota: Syaikh Sholih Al-Fauzan. Anggota: Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh. Anggota: Syaikh Bakr Abu Zaid [Sumber: Fatwa Lajnah Daimah, Kitab Buyuu’. Fatwa no. 13788, dikutip dari salafy.or.id offline judul: Barang Yang Sudah Dibeli Tidak Dapat Dikembalikan]. [9])
b. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menetapkan bahwa Klausula Baku[10]) yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengandung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
Contoh Klausula Baku yang dilarang Undang-Undang
1) Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau disetujui oleh nasabahnya menyatakan bahwa
o “ Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran dari Bank sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai mereka “
2) Kuitansi atau / faktur pembelian barang, yang menyatakan :
o "Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan"
o "Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan"
Contoh Klausula Baku yang Batal Demi Hukum
1) Setiap transaksi jual beli barang dan atau jasa yang mencantumkan Klausula Baku yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
2) Konsumen dapat menggugat pelaku usaha yang mencantumkan Klausula Baku yang dilarang dan pelaku usaha tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana penjara; [11])
Pencantuman Klausula Baku yang benar adalah yang tidak mengandung 8 unsur atau pernyataan yang dilarang dalam Undang-Undang, bentuk dan pencantumannya mudah terlihat dan dipahami; Serta Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23, tentang Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.[12])
D. KESIMPULAN
Tulisan yang menyebutkan barang yang telah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan lagi adalah bathil, karena didalamnya mengandung mudhorot. Selain itu, tujuan penjual melalui syarat tersebut adalah agar pembeli harus tetap membeli barang tersebut meskipun barang tersebut cacat, sehingga tidak adanya hak khiyar bagi pembeli. Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengandung kedelapan unsur-unsur yang terlarang yang tercantum di dalam UU no. 8 tersebut.
Wallohu A’lam
[1] ) http://www.mui-bukittinggi.org
[2] ) http://www.almanhaj.or.id
[3] ) http://pengusahamuslim.com
[4] ) DR. Abdurrasyid Abdul aziz salim, Syarah Bulughul Maram, Halim Jaya, bab Khiyar, hal 476-480
[5] ) Ibid
[6] ) Ibid
[7] ) Arijulmanan, SS, MHI, Khiyar, 14 Nopember 2010
[8] ) Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah Saudi Arabia
[9] ) http://qurandansunnah.wordpress.com
[10]) Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
[11] ) http://id.wikipedia.org
[12] ) http://id.wikisource.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...