Oleh : Abu Aisyah
Membahas tentang zakat berarti kita berbicara mengenai sebuah ibadah yang berdimensi ganda, dimensi ilahiyah dan dimensi ijtima'iyah (sosial). Keduanya memang tidak bisa dipisah-pisahkan, sehingga manakala zakat hanya dijadikan sebagai ibadah sosial maka ruh darinya akan sirna. Apalagi jika zakat menjadi semacam ladang baru mencari keuntungan.
Zakat sendiri secara bahasa bermakna kesucian, sehingga seseorang yang menunaikan zakat seharusnya lebih suci diri dan hartanya dari segala bentuk kemungkaran kepada Allah ta'ala.
Bagaimana mungkin seorang muzakki berfikiran bahwa zakat adalah suatu aturan yang dapat mengurangi harta bendanya. Ini jelas salah, karena makna zakat yang lainnya berarti juga tumbuh dan berkembang, artinya harta yang dikeluarkan zakatnya bukanlah berkurang jumlahnya, justru ia akan tumbuh berkembang dan bertambah, baik dari segi keberkahannya atau dari jumlah nominalnya.
Saya melihat persoalan zakat justru dari sumber pendapatan harta tersebut. Bagaimana mungkin harta yang diambil dari penghasilan haram akan dikeluarkan zakatnya.
Harta hasil korupsi dikeluarkan zakatnya, harta hasil dari judi dikeluarkan zakatnya, harta dari hasil bekerja yang jelek dikeluarkan zakatnya. Semua itu adalah bukan harta miliknya, sehingga harta tersebut tidak akan berkah.
Sesungguhnya harta yang wajib dizakati adalah harta yang dihasilkan dari pekerjaan yang halal dan thayyib. Bukan dari jalan yang haram. Kalau harta yang bersumber dari yang haram dikeluarkan zakatnya maka tidak akan diterima, kenapa? karena pada dasarnya hasil dari usaha yang haram itu tidak berhak untuk dimiliki karena kepemilikannya tidak diakui oleh Islam.
Demikian pula harta yang bersumber dari usaha yang jelek, maka ia bukanlah harta miliknya, apalagi harta tersebut adalah hasil penggelapan atau korupsi, maka harta tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Dampak psikologisnya adalah pemilik harta tersebut tidak akan bisa hidup tenang walaupun telah mengeluarkan zakat, bahkan akan menambah kegelisahan hidup.
Selanjutnya agar zakat membawa keberkahan tentunya ia harus disalurkan kepada orang-orang yang berhak. Kita sama-sama sudah paham delapan golongan yang menjadi mustahik zakat, sebagaimana disebutkan dalam QS At-taubah ayat 60 :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Cukup jelas para mustahik zakat yang disebutkan dalam ayat di atas. Yang menjadi persoalan adalah barangkali adanya perasaan "kikir" kita sehingga penyaluran itu lebih banyak diberikan kepada orang-orang terdekat kita.
Sampai-sampai ada pertanyaan "Bagaimana hukumnya memberikan zakat kepada ibu atau saudra kita?" saya melihat bahwa pertanyaan ini muncul dari rasa "sayang" dengan harta kita untuk jatuh ke orang lain, sehingga inginnya disalurkan kepada keluarga yang terdekat saja.
Hal ini jelas tidak sesuai dengan ayat tentang mustahik zakat tersebut, walaupun ibu kita miskin, tetap ia bukanlah mustahik zakat kita, karena beliau berada di bawah tanggungan kita untuk memberinya fasilitas hidup.
Bagaimana mungkin anaknya seorang muzzaki sementara ibunya seorang mustahiq, jangan-jangan anak seperti ini termasuk anak yang durhaka pada ibunya.
Intinya adalah bahwa zakat itu adalah hak dari orang-orang yang membutuhkan yang berada pada harta kita, sehingga manakala kita mengeluarkan harta tersebut berarti kita telah memberikan hak orang-orang yang membutuhkan tersebut.
Dan seharusnyalah kita ikhlas dan ridha dengan hal itu, termasuk hal sangat penting adalah bagaimana dengan menunaikan zakat tersebut kita semakin dekat kepada Allah ta'ala.
Dan yang perlu diperhatikan adalah dari mana kita mendapatkan harta tersebut, apakah dengan cara halal atau tidak, kemudian dikeluarkan zakatnya atau tidak dan terakhir diberikan kepada orang-orang yang berhak atau tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...