Jumat, 27 Mei 2011

Pendidikan Islam Menurut Mahmud Yunus


Manusia sebagai makhluk berbudaya memerlukan adanya media atau sarana untuk mewariskan kebudayaannya tersebut kepada generasi berikutnya. Media untuk mewariskan budaya tersebut adaah pendidikan. Di sinilah pendidikan memiliki kedudukan yang penting. Jika dunia pendidikan dihubungkan dengan Islam sebagai way of life,  maka ia jelas memiliki derajat yang tinggi dalam doktrinnya.[1]
Ada banyak definisi pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli, sebagai satu tolak ukur dari definisi-definisi itu, Kamus besar Bahasa Indonesia memberikan penjelasan yang cukup memadai tentang makna pendidikan, yaitu : Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan men, menjadi mendidik, yaitu kata kerja yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melakui upaya pengajaran dan latihan.
Menurut istilah pendidikan berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat terutama untuk memperkalkan warga masyarakat baru (generasi muda) pada pengenalan terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya di tengah masyarakat.[2]
Era globalisasi telah membawa dunia pendidikan pada tantangan yang semakin berat. Yaitu berbagai masalah pelik yang apabila tidak segera diatasi secara tepat tidak mustahil dunia pendidikan akan ditinggal oleh zaman, kesadaran akan tampilnya dunia pendidikan dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru, yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis, bahkan suatu keharusan hal yang demikian dapat dimengerti, mengingat dunia pendidikan merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat, kegagalan dunia pendidikan dalam menyiapkan masa depan umat manusia adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa.[3]
Apabila pendidikan sekolah ditinjau dari segi peserta didik, dapat dikatakan bahwa siswa mengalami suatu perkembangan di dalam dirinya selama bersekolah. Perkembangan itu mengandung, pula beberapa aspek, antara lain perkembangan intelektual, emosi, motivasi, dan perkembangan sosial. Tujuan yang mengandung beberapa aspek tadi harus dicapai, terutama melalui bidang pengajaran, pengajaran memang merupakan bidang utama dalam keseluruhan pendidikan sekolah. Pengajaran bersifat dan berjiwa “mendidik “, apabila pribadi siswa dibentuk melalui bidang pengajaran. Namun timbulah pertanyaan, apakah usaha-usaha melalui bidang pengajaran sudah cukup untuk dapat merealisasikan tujuan Pendidikan Nasional?.[4]
Kehidupan manusia tidak lepas dari nilai, yang pada tahapan berikutnya perlu untuk diinstitusionalisasikan. Institusionalisasi nilai yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan. Freeman Butt, dalam bukunya Cultural History of Western Education, menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah yang transformasi dan internalisasi nilai, proses pembiasaan terhadap nilai, proses tekontruksi nilai serta penyesuaian terhadap nilai. Pendidikan sebagai ilmu praktis yang normative berarti menetapkan asas norma yang endak dilaksanakan oleh proses pendidikan. Ilmu pendidikan menjadi pembimbing praktis pelaksanaan membina kepribadian manusia. Dan asas-asas normative yang berlaku di dalam masyarakat dan Negara menjadi nilai- nilai ideal yang menjadi pendorong, motivasi bagi anak didik dalam cita-cita hidupnya, self realization. Bahkan nilai- nilai itu pula yang menjadi isi pokok ( care curriculum ) pendidikan.[5]
Perkembangan sosial biasanya dimaksudkan sebagai perkembangan tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan- aturan yang berlaku di dalam masyarakat di mana anak berada. Reaksi mereka terhadap rasa dingin, sakit ,bosan, atau lapar berupa tangisan ( menangis adalah satu tanda dari tingkah laku sosialisasi ), yang sulit dibedakan, tetapi dengan berjalannya waktu para pengasuh dapat membedakan reaksi anak terhadap stimulinya. Pada usia sekitar 2 bulan anak mulai mampu meniru ( imitasi ) tingkah laku menjulurkan lidah atau menutup mata. Sekitar 6-8 bulan anak- anak mengembangkan kelekatan yang kuat dengan pengasuhnya memenuhi kebutuhan sehiari- hari, biasanya orang tua mereka. Pada usia 2 tahun anak- anak mencoba memantapkan identitas dirinya dan selalu ingin menunjukkan kemauan dan kemampuannya dengan pernyataan “ inilah saya, saya bisa”,. Tidak jarang pada saat tersebut anak dinilai sebagai anak yang keras kepala. Pada usia 3 tahun mereka mulai memantapkan hubungannya dengan anggota keluarga dan orang di luar keluarga. Mereka mulai mengembangkan siasat/ stragegi apa yang diinginkan dan melakukan identifikasi mengenai peran jenis kelamin ( melakukan tingkah laku yang sesuai dengan jenis kelamin).[6]
Tujuan utama dari pendidikan menurut Montessori adalah perkembangan anak secara individual. Dalam kenyataannya belajar pada anak tidak lebih penting dari perkembangan mental atau intelektual anak. Dengan perkataan lain tujuan pendidikan model Montessori dititikberatkan pada keterampilan intektual secara umum, bukan para mata ajaran khusus. Contohnya, menurut “ American Montessori Society (1984), tujuan pendidikan Montessori meliputi; pengembangan konsentrasi, keterampilan mengamati, kesadaran memahami tingkatan dan urutan, koordinasi, kesadaran dalam melakukan persepsi dan keterampilan dan keterampilanpraktis, konsep yang bersifat matematis, terbiasa dengan hal- hal yang bersifat seni yang kreatif, memahami dunia alam lingkungan, memahami ilmu sosial, berpengalaman kata lain program Montessori kenyataanya sangat bertanggung jawab terhadap perkembangan fisik, sosial, emosional dan intelektual anak[7]
Hati yang tidak memiliki sifat kasih sayang, senatiasa akan selalu merasa bersalah dalam melakukan apapun, begitu juga kesalahan serta sikap yang tidak baik akan selalu menghiasi dirinya. Sama halnya jika orang tua tidak memiliki sifat kasih sayang terhadap anaknya.ia akan acuh dan tidak pernah memperhatikan anaknya. Jika hal semacam ini terjadi, bukan hal yang mustahil anak akan memiliki perilaku yang tidak baik. Ia menjadi anak yang minder, bodoh, dan besar dalam kemaksiatan.[8]
Dalam hal ini dikaitkan dengan cara berpikir pada Ilmu yang  merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan, berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.[9]
Para pendidik telah menyadari usaha guru dalam mengajar akan lebih efektif hasilnya apabila orang tua ikut membantu dalam pendidikan tersebut. Sebaliknya apabila orang tua menyadari bahwa disiplin sekolah adalah satu hal yang terpenting, biasanya orang tua akan bersedia membantu kegiatan belajar mengajar anaknya dalam kegiatan yantg berhubungan dengan tugas sekolah. Beberapa hal telah membuktikan bahwa ternyata makin orang tua menyadari pentingnya program sekolah makin langsung dan besar keterlibatan para orang tua.[10]
Perkembangan ilmu pendidikan menjalin kepustakaan baik dalam ilmu pendidikan secara umum maupun khusus. Secara umum tampak pada tulisan- tulisan tentang ilmu Mendidik teoritis, Didaktik dan Metodik, Administrasi Pendidikan, ilmu Pendidikan dan pengembangan sosial, Psikologi Pendidikan. Sedangkan secara khusus sangat banyak yang berkenaan dengan keguruan, diantaranya Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah, dan ribuan buku yang mengetengahkan pengajaran bidang studi seperti pengajaran IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Pengajaran Sastra atau pengajaran Matematika.[11]
Oleh sebab itu lingkungan di sekitarnya harus dioptimalkan sebagai media dalam pengajaran dan lebih dari itu dapat dijadikan sumber belajar para siswa. Berbagai bidang studi yang dipelajari siswa disekolah hampir bisa dipelajari dari lingkungan seperti ilmu-ilmu sosial, ilmu pengetahuan alam, bahasa, kesenian, keterampilan, olah raga kesehatan, kependudukan dan lain-lain.[12]
Pendidikan merupakan sarana strategi untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karenanya kemajuan suatu bangsa dan kemajuan pendidikan adalah suatu determinasi kemajuan beberapa negara di dunia ini merupakan akibat perhatian mereka yang besar dalam mengelola sektor pendidikan. Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sangat terkait erat dengan kegiatan dakwa Islamiah, pendidikan Islam berperan sebagai moderator di mana ajaran Islam dapat disosialisasikan kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui pendidikan ini, masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan al-Qur'an dan as-Sunnah.
Pengamalan masyarakat terhadap ajaran Islam amat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam yang diterimanya. Suatu sistem pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang antara satu dan lainnya saling berkaitan. Komponen pendidikan tersebut meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan profesionalisme, sarana prasarana, evaluasi dan pembiayaan. Berbagai komponen yang terdapat dalam pendidikan ini seringkali berjalan apa adanya, alami dan tradisional, karena dilanjutkan tanpa perencanaan konsep yang matang akibat keadaan yang demikian, maka menjadikan mutu pendidikan Islam kurang menggembirakan.
Hal ini dikarenakan ketidak tersediaan tenaga pendidik Islam yang profesional yaitu tenaga pendidik yang selain menguasai materi ilmu yang diajarkannya secara baik dan benar, juga harus mampu mengajarkannya secara efisien dan efektif kepada para siswa, serta harus pula memiliki idealisme. Semua itu hanya dapat diperoleh melalui pengkajian yang mendalam dan pengalaman lapangan yang ada pada para cendekiawan yang konsen bergerak di bidang pendidikan.
Di antara tokoh pendidikan Islam yang dimiliki oleh Indonesia adalah Mahmud Yunus, beliau memiliki perhatian dan komitmen yang tinggi terhadap upaya membangun, meningkatkan dan mengembangkan Pendidikan Agama Islam sebagai bagian integral dari system pendidikan yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam.
Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara keseluruhan bersifat strategis dan merupakan karya perintis, dalam arti belum pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam sebelumnya. Perhatian dan komitmennya terhadap pembangunan, peningkatan dan pengembangan pendidikan Islam tersebut dapat dilihat lebih lanjut.
Tujuan pokok pendidikan Islam menurut Mahmud Yunus adalah pertama, untuk mencerdaskan perseorangan; kedua, untuk kecakapan mengerjakan pekerjaan.[13] Dalam hubungan ini, ia menilai pendapat ulama tradisional yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam hanyalah untuk beribadah dan sekedar untuk mempelajari agama Islam, sebagai pendapat yang terlalu sempit, kurang dan tidak sempurna. Karena menurutnya, beribadah itu merupakan salah satu perintah Islam. Sedangkan pekerjaan duniawi yang menguatkan pengabdian kepada Allah juga merupakan perintah Islam. Dengan demikian, berarti pekerjaan duniawi termasuk tujuan pendidikan Islam.[14]
Dalam bidang kelembagaan, terlihat bahwa Mahmud Yunus termasuk orang yang memelopori perlunya mengubah sistem pengajaran dari yang bercorak individual kepada sistem pengajaran klasikal. Diketahui bahwa bercorak individual sebagaimana diterapkan di pesantren-pesantren menggunakan metode sorogan atau weton. Dalam metode sorogan ini biasanya murid satu persatu mendatangi guru dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kiai atau guru membacakan kitab yang berbahasa Arab, kata demi kata, dilanjutkan dengan menterjemahkan dan menerangkan maksudnya.
Selanjutnya murid menyimak dan mengulangi bacaan berikut makna yang terkandung di dalamnya untuk membuktikan apakah bacaannya itu sudah benar atau belum. Dalam metode sorongan ini belum dikenal adanya sistem kelas. Selain itu dalam bidang metode pengajaran, Mahmud Yunus memberikan perhatian yang cukup besar. Menurutnya, metode adalah jalan yang akan ditempuh oleh guru untuk memberikan berbagai jenis mata pelajaran. Jalan itu adalah khittah (garis) yang direncanakan sebelum masuk ke dalam kelas dan dilaksanakan di dalam kelas pada saat mengajar.[15]
Oleh sebab itu seorang guru harus menggunakan metode yang efisien dan efektif. Sehingga tidak melelahkan dan membosankan murid, serta beragam dalam pengguaannya. Sehubungan dengan mengharapkan metode pada suatu mata pelajaran, Mahmud Yunus, juga sangat memperhatikan psikologi anak didik sesuai dengan kaidah-kaidah pengajaran modern, dengan tujuan agar pelajaran dapat dipahami dan diingat secara kritis oleh murid. Ia juga sangat menekankan tentang pentingnya penanaman moral dalam proses belajar mengajar, karena moralitas adalah merupakan bagian yang sangat penting dari sistem ajaran Islam.
Pandangan Mahmud Yunus yang demikian itu memperlihatkan bahwa konsep yang dirumuskan dan disosialisasikannya itu benar-benar menyeluruh. Mencakup aspek kognitif, psikomotorik dan afektif. Aspek kognitif karena dalam kegiatan belajar mengajar, Mahmud Yunus lebih menekankan pada pendalaman materi untuk membawa murid berpikir secara kritis. Sehingga para siswa menggunakan penelarannya semaksimal mungkin. Aspek psikomotorik, karena dalam kegiatan belajar mengajar, Mahmud Yunus lebih menekankan pada pengembangan kecakapan murid semaksimal mungkin sehingga seorang anak selain cerdas, juga mampu mengaplikasikan ilmu yang dipelajarinya di masyarakat. sedangkan aspek afektif, terlihat dari cara Mahmud Yunus yang menekankan pentingnya seorang guru kepada murid. Mahmud Yunus juga memberikan cara-cara membangkitkan minat dan perhatian peserta didik dengan cara mengaktifkan panca indra mereka, baik dengan lisan, tulisan, perbuatan, maupun alat peraga. Setelah pelajaran di bahas lalu disimpulkan dan diartikan dengan latihan dan ulangan. Dengan cara demikian, peserta didik dilatih untuk berpikir dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan kekuatannya sendiri, agar pelajaran yang diberikan benar-benar dapat dikuasainya dengan baik.
Selanjutnya Mahmud Yunus juga menyarankan agar setiap pendidik memahami gejolak jiwa, kecenderungan, potensi, gharizah, kemampuan dan bakat yang dimiliki setiap peserta didik. Dengan cara demikian, setiap mata pelajaran yang diberikan dapat diserap oleh anak dengan sebaik-baiknya. Hubungan antara penerapan metode dengan bakat dan jiwa anak, dapat dilihat dari pendapatnya yang mengatakan bahwa dalam mengajarkan keimanan kepada anak didik harus disesuaikan dengan perkembangan akalnya. Sebab pikiran anak belum berkembang mereka belum berpengalaman dan belum sering melakukan percobaan-percobaan.
Mahmud Yunus menganjurkan agar menggunakan pendekatan integrated dalam mengajar pengetahuan agama dan umum. Ia menganjurkan agar pelajaran keimanan diintegrasikan dengan pelajaran ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu bumi, ilmu alam, ilmu Biologi, dan sebagainya. selanjutnya sesuai dengan ketentuan dalam ilmu jiwa. Perkembangan, minat keinginan, kesadaran anak untuk beribadah dihidup suburnya dengan cara melatih dan praktik langsung di tempat berwudlu dan tempat shalat, membiasakan membaca basmala pada setiap kali memulai pekerjaan dan membaca hamdalah pada saat mengakhiri pekerjaan.
Dengan cara demikian, metode pengajaran tersebut selain bersifat integrated juga harus bertolak dari keinginan untuk memberdayakan peserta didik, yaitu mereka yang tidak hanya kaya dalam pengetahuan kognitif (to know). Melainkan juga harus disertai dengan mempraktikkannya (to do), menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari (to act), dan mempergunakannya dalam kehidupan sehari-hari (to life together).[16]
Menurut Mahmud Yunus seorang guru hendaklah menggunakan metode yang tepat dengan cara mengetahui perkembangan jiwa anak didiknya. Untuk itu Mahmud Yunus memberi contoh tentang cara menanamkan keimanan, mendorong anak untuk beribadah dan memperhalus budi pekertinya melalui seni, khususnya nyanyian, hal ini perlu dilakukan karena secara psikologis, jiwa anak-anak masih cenderung kreatif dan bermain.[17]


[1]   Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 26
[2] Drs. Tedi Priatna, M.Ag, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam (Pustaka Bani Quraisy:Bandung 2004 )hal 24-25.
[3] Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, (Bogor: Kencana, 2003), 159
[4] Drs. Samsul Munir Amin, M.A, Bimbingan dan konseling Islam; (cet.1.-Jakarta;Amzah,2010; xvi,396 hlm.;20.5cm ) hal. 301
[5] Drs. Tedi Priatna, M.Ag, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam (Pustaka Bani Quraisy:Bandung 2004 )hal 154
[6]Dr. Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan anak prasekolah ( cet.2 Juli.PT. Asdi Mahassatya, Jakarta;2003 ) hal.31
[7] Dr. Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan anak prasekolah ( cet.2 Juli.PT. Asdi Mahassatya, Jakarta;2003 ) hal.94.
[8] Abdullah Nashih Ulwan, Mencintai dan Mendidik anak secara Islami ( Perpustakaan Nasional; Katalog dalam terbitan (KDT) Jogjakarta : Darul Hikmah, 2009 ) hal 89.
[9] Jujun S. Suriasumarntri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer ( Jakarta;Pustaka Sinar Harapan 2005,hal 273.
[10] Dr. Soemiarti Patmonodewo, Pendidikan anak prasekolah ( cet.2 Juli.PT. Asdi Mahassatya, Jakarta;2003 ) hal.124.
[11] Drs. Opi Suhandi;Ikatan sarjana Pendidikan Indonesia, Perkembangan ilmu pendidikan di Indonesia dalam kurun waktu 1965-1985; (PT. Remaja Rosdakarya Offset-Bandung 1991 ) hal.5
[12] Dr. Nana Sudjana, Drs. Ahmad Rivai, Media Pengajaran ( Cetakan Ketujuh; Bandung, Percetakan Sinar Baru Algensindo Offset Bandung 2007 ) hal 209.
[13] Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Hidayarya Agung, 1990),
[14] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), 62

[15] Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Hidayarya Agung, 1990), 85
[16] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 69
[17] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), 62

1 komentar:

Please Uktub Your Ro'yi Here...