Utsman bin ‘Affan memerintah selama 12 tahun kurang 8 hari. Pemilihan terhadapnya (bertepatan dengan Tgl. 1 Muharram 24 H/7 November 644 M) diawali dari pembentukan majelis syura oleh Umar (meninggal karena dibunuh Abu Lu’lu’ah Fairuz), terdiri dari ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf (sepupu Utsman), Sa’ad bin Abi Waqash, Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam (menantu Abu Bakar), Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Umar (tanpa hak suara). Umar juga menetapkan aturan dalam pemilihan khalifah, sebagai berikut:
a. Apabila mencapai mufakat memilih satu orang, maka orang itu akan ditetapkan sebagai khalifah.
b. Bila lima orang dari mereka telah mufakat memilih seseorang dan yang seorang menolak, maka kepalanya segera dipenggal.
c. Apabila empat orang telah mufakat dan dua orang menolak, maka keduanya harus dibunuh.
d. Apabila terdapat dua bagian sama, maka yang menjadi khalifah ialah yang mendapat suara ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf.
Setelah terjadi persaingan ketat beberapa hari dan mendengarkan pendapat tokoh penting di Madinah, plihan akhirnya mengerucut pada Ali dan Utsman. Perbedaan pendapat tidak hanya tentang tokoh perorangan yang akan dipilih, tapi juga tentang konsepsi tugas yang harus dilaksanakan. Ketika Ali ditawari jabatan dengan syarat harus melanjutkan kebijakan Abu Bakar dan Umar, ia secara terus terang mengatakan bahwa ia harus diberi kebebasan mempergunakan penilaiannya sendiri dalam hal-hal yang tidak diatur dalam al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dengan tuntutan keadaan. Tapi ketika Utsman ditawari dengan persyaratan serupa, ia menerimanya tanpa syarat.
Utsman memulai pemerintahannya ketika Islam sudah menguasai wilayah yang sangat luas dan memperlihatkan tanda-tanda akan munculnya ledakan hebat. Dengan kesempatan dan keuntungan yang sangat besar yang diperoleh (terutama) oleh orang-orang Makkah di seluruh wilayah Islam yang baru ditaklukkan, menimbulkan kecemburuan dari berbagai suku lain, sehingga memicu munculnya semangat untuk menuntut kebebasan regional dan upaya melepaskan diri dari pengaruh pemerintah Madinah. Sementara khalifah tidak mempunyai otoritas ataupun alat yang efektif untuk mengendalikan perubahan tersebut.
Utsman berkeinginan memperoleh otoritas lebih dari yang mungkin diperolehnya (melebihi otoritas khalifah sebelumnya). Ia berusaha meningkatkan kekuasaan dalam mengawasi gubernurnya. Selaku tokoh dari suku Umayyah, tidak ada yang dinilainya lebih pantas untuk memegang jabatan gubernur daripada kerabatnya sendiri. Di Damaskus, Mu’awiyah, kemenakannya, sudah jadi gubernur dan cukup memuaskan. Karenanya Utsman menambah wilayah kekuasaannya sampai ke Homs, Palaestina, Yordania dan Libanon. Di Mesir, Amr bin ‘Ash (gebernur sebelumnya yang berpikiran bebas) diganti dengan saudara angkatnya, Abdullah bin Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh (pengawal dan letnan Amr sendiri). Gubernur Kufah dipercayakan kepada Walid bin ‘Uqbah (yang tidak memiliki kemampuan dan pemabuk), tapi kemudian diganti dengan Sa’id bin al-‘Ash, masih kemenakannya. Untuk memegang jabatan gubernur Bashrah diserahkan kepada kemenakannya yang lain, Abdullah bin ‘Amir. Marwan bin Hakam, saudara sepupunya, diangkat sebagai sekretaris negara.
Langkah berikutnya adalah melakukan ekspedisi guna meningkatkan pendapatan Baitulmal. Di Mesir, Ibn Abi Sarh membawa pasukan memasuki wilayah Afrika Utara. Di Bashrah, Abdullah bin ‘Amir berhasil menaklukkan sisa wilayah kerajaan Persia, dan dari Kufah beberapa ekspedisi bergerak ke utara menyerbu beberapa propinsi di sekitar Laut Kaspia.
Selanjutnya Utsman membujuk kelompok qurra` (veteran perang yang mengelola tanah sawad) di Kufah agar mau pindah ke Makkah dan Madinah.dengan memberikan imbalan terhadap tanah yang mereka tinggalkan dengan tanah fai’ yang ada di Makkah dan Madinah (mirip tukar guling). Tapi kemudian kelompok qura` sadar bahwa basis ekonomi mereka sedang dihancurkan Utsman, dan pada tahun 655 M/ 34 H mereka mencegat Sa’id bin al-‘Ash di kampung Jara’ah, sepulangnya dari Madinah, dan meminta Utsman mengangkat Abu Musa al-Asy’ari menjadi gubernur lagi di Kufah. Ia juga menyamakan (penuh) posisi ahl riddah dengan kaum Muslimin lain.
Di Mesir, Ibn Abi Sarh juga membuat heboh. Ia memperbesar bagian anggota pasukan baru dari ghanimah dengan tujuan memperbanyak pasukan. Anggota pasukan lama, yang dapat bagian lebih kecil, sangat keberatan dengan kebijakan itu. Karenanya mereka meminta pembagian yang sama, seperti yang telah dilakukan khalifah sebelumnya. Selain itu, Ibn Abi Sarh, dengan kebijakan yang kaku, juga mengeluarkan kas negara terlalu banyak untuk pengembangan angkatan laut.
Di Madinah, Utsman sendiri membagikan dan mengelola secara bebas 1/5 ghanimah milik Baitulmal. Bagian itu dijadikan sebagai pembayar gaji dan sisanya dijadikan biaya hal-hal yang dianggapnya menjaga kebaikan bersama. Marwan bin Hakam, kemenakan dan penasihat dekatnya, banyak mengguna-kan uang negara untuk “membeli” dukungan politik dari tokoh-tokoh yang berpengaruh agar mendukung kebijakan-kebijakan Utsman.
Kebijakan Utsman yang sangat menurunkan kredibilitasnya di mata umat Islam, di antaranya menambah tunjangan beberapa orang kerabatnya sebesar 100% di minggu pertamanya sebagai khalifah, memanfaatkan harta Baitulmal yang berasal dari zakat untuk pembiayaan perang dan keperluan di luar yang telah ditentukan al-Qur’an, memberikan jatah khusus buat kerabatnya: memberikan 1/5 ghanimah dari Afrika kepada Marwan bin Hakam; memberikan 300 ribu dinar masing-masing kepada Ibn Harits dan Abdullah bin Khalid bin Usaid al-Amawiy. Ia juga membagi dan menjual tanah negara, yang sebelumnya tidak dibagi Umar, kepada keluarganya.
Ahmad Amin menyebutkan kebijakan Utsman lain yang sangat mele-mahkan posisinya, di antaranya mengembalikan al-Hakam bin Abi al-‘Ash dari pembuangan; memberikan tanah wakaf Rasul (dimaksudkan untuk perdagangan di Madinah) kepada al-Harits bin al-Hakam (saudara Marwan bin Hakam); melarang kaum Muslimin, kecuali bani Umaiyah, menggembalakan ternak di padang pengembalaan Madinah; memberikan hadiah 200.000 dirham buat Abu Sufyan, 100.000 kepada Marwan bin Hakam (dikawinkan dengan anaknya, Ummu Aban), membagi kharaj dan jizyah yang dibawa Abu Musa al-Asy’ari dari Irak kepada kerabatnya; membuang Abu Dzar ke Ribzah (oase terpencil di Sahara); membiarkan Ibn Mas’ud (penanggung jawab Baitulmal di Kufah) dipukul di depannya sampai patah tulang rusuknya, dan (paling fatal) surat Marwan (dengan stempel khalifah) kepada gubernur Mesir untuk membunuh orang-orang yang tidak sependapat dengannya.
Kebijakan yang dilakukannya dengan maksud baik, akhirnya membuah-kan ketidak-puasan sebagian besar umat Islam. Abdullah bin Arqam, yang telah menerima kepercayaan mengelola Baitulmal, keberatan dengan kebijakan yang dilakukan Utsman, akhirnya ia menolak menerima upah dari pekerjaannya, malahan ia menolak hadir dalam pertemuan publik yang dihadiri khalifah. Utsman meninggal (dibunuh) di tengah tuntutan ketidak puasan utusan yang berasal dari Irak dan Mesir, setelah ± 50 hari diadakan diskusi dan perdebatan yang tidak menghasilkan apa-apa.
Selain pengelolaan keuangan melalui kebijakan yang di atas, perubah-an yang dilakukan Utsman terhadap Baitulmal adalah dalam pendistribusian zakat, menurutnya zakat boleh dibagikan langsung oleh muzakkiy kepada mustahiq zakat. Ia juga memperlakukan suku Barbar sama seperti terhadap ahl kitab, terhadap mereka ditetapkan kewajiban jizyah. Selebihnya ia hanya meneruskan bentuk Baitulmal yang diterimanya dari Umar, baik dalam pemasukan, pengeluaran, pengorganisasian dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...